Hah, suasana di meja makan begitu tegang. Dua wanita berbeda usia itu saling melemparkan tatapan ganas, seakan-akan siap untuk menerkam lawannya kapan saja. Sementara Bastian yang baru bangun dari tidurnya masih mengeluh pusing. Pasalnya, tiba-tiba Nala menggedor-gedor pintu kamarnya hingga membuatnya terlonjak kaget.
"Ya ampun, cuma masak mie doang? Bisa-bisanya punya Istri kok begini."
Nala diam, mengamati bagaimana lawan bicaranya ini menyudutkannya, sembari menunggu respon dari laki-laki yang baru menikahinya tersebut. Apakah akan membelanya?
"Di dapur nggak ada apa-apa yang bisa dimasak, belum belanja. Aku lupa," sahut Bastian yang membuat Nala langsung tersenyum senang mendengarnya. "kamu juga ngapain pagi-pagi ke sini? Kapan pulangnya?"
"Semalem. Jahat banget kamu tuh!"
Bastian pusing. Kepalanya terasa pusing karena Sonya dan juga sisa-sisa minumnya semalam. Diliriknya ke arah Nala yang tampak diam saja menyimak obrolannya dengan Sonya. "Nggak kuliah?"
Brakkk
"Lah, iya! Kok bisa lupa." Panik, Nala panik bukan main. Ia langsung bangkit dari posisi duduknya, meraih tote bag miliknya dengan kasar. "aku berangkat dulu, udah telat."
Srggppp
Gerakan Nala terhenti saat tangannya dicekal oleh seseorang, netranya memicing melihat tangan besar tersebut. "Kenapa?"
"Ayo, saya anter." Bastian langsung bangkit dari posisi duduknya, sebelum mengalihkan pandangan ke arah Sonya. "kita bicara setelah ini,"
***
Di dalam mobil hanya ada keheningan yang terjadi diantara keduanya. Nala sendiri masih canggung dengan orang asing di sampingnya saat ini, sedari tadi ia hanya menunduk atau mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela.
"Kamu biasanya naik apa kalau kuliah?"
Nala mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. "Motor."
"Mau dibelikan motor nggak? Biar enak nggak pusing-pusing lagi."
"Om?" Nala memicing memandang laki-laki di sampingnya ini. Sementara yang tengah diajaknya bicara hanya menoleh sekilas ke arahnya. Masih harus fokus dengan jalanan di depannya. "itu tadi pacar Om, ya?"
Tak ada raut wajah terkejut yang tertangkap indera penglihatan Nala. Bukankah itu membuktikan kalau tebakannya benar? Ah, lagi pula wanita itu juga yang mengakuinya sendiri.
"Om, boleh nggak nanti aku bicara?"
"Soal apa?"
"Kita," jawab Nala ragu-ragu.
Lampu merah menyala, membuat mobil yang ditumpangi Nala harus berhenti. Rungunya sejak tadi siap menunggu jawaban dari suaminya, tapi hanya ada keheningan. Ditariknya nafasnya perlahan, ia tau tak ada sesuatu yang benar-benar mudah. Baru sehari setelah pernikahan, sudah datang sosok lain di rumah tangga jadi-jadian ini.
"Om nggak budeg, 'kan?"
Bastian terkejut. Perempuan di sampingnya ini benar-benar frontal. "Astaga. Kamu ngomongnya kenapa jelek banget sih?"
"Ya abisnya diajak ngomong nggak nyaut-nyaut." Nala masih setia memandang sinis laki-laki di sampingnya ini, bahkan setelah mobil kembali berjalan. "Om punya niat apa? Om kok malah bawa pacar Om ke rumah? Ya ... bukan apa-apa nih ya maksudnya, tapi kan ...."
"Nggak. Dia nanti pergi, nggak tinggal sama kita," sahut Bastian cepat. Telinganya gatal, pagi-pagi sudah mendapat tuduhan.
Nala ini tak bodoh. Ia bahkan tau dengan betul wanita tadi menatap suaminya dengan perasaan suka. Wah, tiba-tiba saja ide gila muncul. Haruskah ia merealisasikannya? Itung-itung untuk memberi pelajaran pada wanita yang sudah merusak mood-nya pagi-pagi.
"Om, aku laper."
Bastian terkejut, ia juga baru teringat perempuan kecil di sampingnya kini belum makan apapun. "Aduh, gimana, ya? Apa aku beliin makanan buat kamu makan di kampus aja?"
Nala diam, otaknya memikirkan sesuatu, hingga akhirnya ia menarik garis senyum di bibirnya. "Om, gimana kalau kita cari sarapan dulu, tadi kan juga belum sarapan."
"Kuliah kamu gimana?"
"Hari ini bolos aja. Aku belum pernah bolos juga kok, jadi masih aman. Anggap aja ini sebagai cara pendekatan kita untuk yang pertama kali."
Setelah menimang-nimang, laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Tak apa bukan? Anggap saja sebagai permintaan maaf karena ucapannya semalam. Mobil yang dikemudikannya melaju semakin cepat, sebelum akhirnya berhenti di salah satu restoran yang menjadi tempat favoritnya.
Kening Nala berkerut saat menyadari di mana kini ia berada. Tak salah. Kepalanya langsung berputar menghadap laki-laki di sampingnya saat ini, ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. "Om suka tempat ini juga? Ini tempat favorit aku sama Mama. Sup ayamnya enak banget."
"Kam--" Belum juga ucapannya selesai, Nala langsung melepaskan sabuk pengaman yang melilit di tubuhnya tadi dengan kasar, lalu keluar begitu saja dari mobil. Bastian hanya bisa menggelengkan kepalanya, agaknya perempuan yang telah resmi menjadi istrinya itu termasuk dalam golongan spesies bar-bar.
Keduanya duduk saling berhadapan di salah satu meja yang dekat dengan jendela, tentu saja ini atas pilihan Nala. Setelah menunggu hampir 10 menit, makanan yang keduanya pesan pun datang. Pramusaji menyajikan makanan dan menatanya dengan rapi, sebelum akhirnya pamit undur diri setelah meninggalkan senyuman santun.
"Kamu suka sup ayam, ya?" tanya Bastian saat Nala langsung menyerang semangkuk sup yang masih mengepulkan asap tipis.
Nala langsung menganggukkan kepalanya, tanpa mengalihkan pandangan pada lawan bicaranya saat ini. "Suka. Suka banget."
Bastian menarik garis senyum tipis di bibirnya, sebelum tangannya terulur untuk meraih sendok dan garpu. Keduanya mulai menikmati sarapan bersama, tak ada obrolan yang terjadi sampai pada akhirnya--
"Om?"
"Hmm?"
"Om sukanya sama yang montok dan semok, 'ya?"
Uhukkk
Bastian langsung tersedak kuah sup ayam yang baru saja masuk ke dalam mulutnya, tak siap dengan pertanyaan yang baru di dengarnya tersebut. Dengan kasar ia langsung meraih segelas air dan menenggaknya hingga hampir setengahnya.
Pandangannya beralih menatap sekitar. Rupanya saat ini ia tengah menjadi pusat perhatian orang-orang. Tak salah memang, sebab perempuan di depannya ini bertanya dengan volume cukup keras. Telinganya memerah, dirinya malu.
"Kenapa nanya gitu sih?"
"Aku emang nggak semontok dan sesemok perempuan tadi, tapi body aku masih bisa dibentuk kok, Om."
Ingin rasanya Bastian menenggelamkan dirinya ke dasar bumi, orang-orang tengah menatapnya dan Nala dengan tatapan aneh. Pasti pikiran mereka macam-macam.
"Udah kan makannya? Ayo, pulang sekarang." Tanpa basa-basi lagi, Bastian langsung menarik tangan Nala, membuat Nala terkejut dengan tarikan cukup keras tersebut.
"Om, sabar Om. Jangan kasar-kasar."
Brakkk
Sesampainya di mobil, Bastian langsung menatap perempuan di sampingnya ini dengan tatapan kesal bukan main. Baru pertama kali ini dirinya bertemu dengan perempuan yang rem mulutnya tak berfungsi, parah sekali.
"Kamu tuh kenapa sih? Mulutnya kok nggak bisa dikontrol? Astaga ... saya sampai pusing dengernya."
"Kok pusing? Aku kan nanya buat solusi kita berdua, Om." Nala berbalik menatap tajam laki-laki di sampingnya saat ini. "aku tanya sama Om sekarang, jawab jujur ya Om?"
Lah? Kok? Situasinya berbalik. Harusnya Bastian yang marah, 'kan?
"Sebelumnya aku minta maaf buat yang tadi, nggak seharusnya aku nanyain itu di sana. Aku tadi cuma keinget sama pesan Mama, kata Mama kalau udah nikah apa-apa harus diobrolin sama Suami.
Deggg
Tiba-tiba saja kerongkongan Bastian terasa kering, susah payah baginya untuk menelan ludah. Sementara Nala masih menatapnya penuh selidik.
"Om bakalan cerain aku, 'ya?"
"A--Nal." Mendadak tubuh Bastian terasa membeku, susah payah ia menelan ludahnya sendiri dengan pandangan yang masih tertuju pada wanita di depannya ini yang masih setia menunggu jawaban darinya.Dari reaksi terkejut yang diperlihatkan Bastian tentu saja Nala tau apa yang tengah dipikirkan laki-laki itu, membuatnya menganggukkan kepalanya samar. "Ayo, Om. Kita pulang."Tanpa menunggu lama lagi, Bastian kembali menyalakan mesin mobilnya, melajukannya dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota. Di sampingnya, Nala hanya diam sembari menatap lurus jalanan yang ada di depannya.TuutttPonsel Nala berdering, membuatnya buru-buru meraihnya, menatap sejenak nama yang tertera, dan menggeser icon berwarna hijau. "Ya, gimana?" tanyanya setelah meletakkan ponselnya di telinga."Aman. Dewa udah baikan, mungkin nanti sore atau besok pagi bakalan pulang.""Gue seneng dengernya. Bilangin sama dia, jangan banyak makan pedes. Oh iya, gue b
"Makanya hati-hati." Bastian mengoleskan obat pada kaki Nala yang luka akibat terjatuh.Meringis tat kala obat itu menciptakan rasa perih untuknya. "Iya, maaf. Tadi aku kira itu gambar apaan, otak gue aja yang kotor ternyata." Laki-laki dihadapannya ini hanya fokus mengobati lukanya, membuatnya mengalihkan pandangan ke arah lain. Sial! Yang dilihatnya malah wanita itu tengah menatapnya sinis. "kenapa, Tan? Gitu banget lihatinnya."Sonya mendengus kesal. "Tanggung jawab, minuman gue sampe tumpah gara-gara lo.""Kok? Gue?" Nala menunjuk dirinya sendiri. Perasaan ia tidak melakukan apapun yang merugikan wanita itu, kenapa ia bersalah?"Heh! Gara-gar--""Udah." Sahut Bastian. Ia tak ingin mendengar keributan lagi kali ini. "udah selesai, bisa kan masuk kamar?" Nala menganggukkan kepalanya.Sebenarnya masih perih, tapi ia masih cukup tau diri untuk tidak lebih merepotkan lagi. Untung saja kakinya tidak sampai pincang. Langkah kakinya terhenti saat ia hendak melewati foto tadi, dipandanginya
"Kenapa, sih? Kok diem aja dari tadi?" Dina meraih segelas jus mangga yang ada di depannya, sejak tadi belum tersentuh sama sekali.Tak ada yang tau pertanyaan itu ditujukan pada siapa, hingga tak ada yang menanggapinya."Nal?"Nala sontak saja langsung menoleh ke arah Dina, menaikkan sebelah alisnya karena tak paham. "Oh, tadi ngomong sama gue?""Setan.""Ya, maaf. Kan disini yang diem gue sama Argi, nggak tau kalau itu pertanyaan buat gue." Nala menyimpan kembali ponselnya ke atas meja, beralih memfokuskan diri pada teman di sampingnya ini. "gue sebenarnya kangen Mama, bingung."Suasana mendadak berubah. Baik Dina sendiri, Argi, maupun Dewa sama-sama menelan ludahnya sendiri.Menyadari suasana yang berubah karena ucapannya, membuat Nala menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu maksud gue. Gue cuma kangen aja, nggak ada niatan gimana-gimana.""Iya, paham. Wajar kok." Argi membuka suara, ia membasahi bibirnya sebelum melanjutkan ucapannya, "eh, gimana wiu wiu-nya? Mantep, nggak?"Tak ada
Tak hanya Nala, Bastian juga terlonjak kaget karena teriakan melengking Nala. Nala langsung membalikkan tubuhnya dan berlalu keluar dari kamar.BrakkHah ... hah ... hahDibalik pintu yang baru saja tertutup, deru nafas Nala masih terdengar, dadanya kembang kempis. Apa yang baru saja dilihatnya barusan masih terbayang jelas dalam ingatannya."Apaan tadi, woi?" Ditepuknya dengan kasar kedua pipinya itu. Berharap dengan melakukan ini akan mengembalikan kewarasan otaknya. "sakit." Tepukannya berubah menjadi elusan di wajahnya. Rasanya masih panas, kedua pipinya pasti tengah memerah.Ceklek"Astaga!" Nala terlonjak kaget. Spontan saja ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Di mana Bastian keluar dari kamar dengan pakaian lengkap di tubuhnya.Mendadak keduanya sama-sama canggung. Bastian menggaruk belakang kepalanya, sementara Nala sendiri membuang pandangannya ke arah lain sembari mengatur nafasnya."Emm, maaf ya, Om. Tadi malah lancang masuk-masuk ke dalam." Nala meringis, rasa ingin
"Hah? Kenapa, Om?" Buru-buru Nala menghampiri Bastian, lengkap dengan raut wajah penasarannya. "urgent, Om?"Melihat Nala yang terlalu antusias, bahkan meletakkan dengan kasar gelas dan teko di atas meja sebelum mendudukkan bokongnya di kursi, membuat Bastian lekas meletakkan alat makannya dan beralih menatap Nala. "Saya ada kerjaan di Jogja.""Lha? Itukan kerjaannya Om, terus maksudnya gimana?""Saya nggak mungkin ninggalin kamu sendiri."Nala mendengus, itu bukan alasan yang terdengar bagus di telinganya. "Biasanya juga sendiri, Om. Jangan khawatir.""Ini rumah, bukan apart. Nggak ada jaminan keamanan di sini, jangan ngeyel, ya."Kalimat terakhir yang Nala dengarnya terasa menggelitik telinga. Nadanya mengalun lembut. Aduh, tidak sesuai dengan mimik Bastian yang masih datar. "Kemarin juga Om nggak pulang, berani-berani aja tuh. Ya ... meskipun awalnya takut juga, sih, tapi nggak apa-apa, kok."Raut wajah Bastian mendadak terkejut, setelahnya pandangannya berubah memelas. Iya, ia aku
"Gue udah di jalan ke rumah lo.""Hah? Ngapain?" Nala tersetak kaget mendengar ucapan Argi barusan. "gue udah pesen ojek. Udah sampe juga,""Okay kalau gitu. Ntar ketemu aja di kampus, ada yang mau gue omongin. Serius."Nala terkekeh pelan, agak aneh mendengar seorang Argi mengatakan 'Serius'. "Halah, apaan, sih? Nggak pantes lo ngomong serius-serius gitu, muka lo kek badut soalnya."TutttTiba-tiba saja sambungan telepon itupun diputus secara sepihak. Membuat Nala langsung mendelik kesal. "Sialan, nggak sopan banget nih anak."Samar-samar rungunya mendengar suara klakson motor, itu pasti ojek pesanannya. Tanpa menunggu lama lagi, Nala pun mempercepat langkah kakinya. Tak lupa mengunci pintu dan membawa kunci cadangan."Aduh. Maaf, ya, Mas." Nala meraih helm yang diulurkan driver ojek online tersebut dan bergegas naik ke jok motor.Perlahan tapi pasti, motor yang ditumpangi Nala pun mulai melaju dengan kecepatan sedang. Setiap hari, setiap waktu jalanan ibu kota selalu macet, itulah y
"Bagian mana yang bikin lo takut?"Diusapnya air matanya dengan kasar, Nala menarik nafas dalam-dalam sebelum berucap, "Gue juga nggak tau, gue bingung, capek, nggak ngerti banget sama semua jalan hidup gue. Sialan banget emang!"Ditariknya dengan pelan tangan Nala, Argi membawa Nala kedalam pelukannya. Pelukan ekslusif yang bahkan baru pertama kali didapatkan Nala selama menjalin pertemanan dengan laki-laki ini. "Tumpahin tangis lo, nangis puas-puas, nanti ceritain semua uneg-uneg lo sama gue." Argi merasakan Nala yang ada di dalam pelukannya menganggukkan kepala, disusul suara isakan tangis.Isakan tangis itu perlahan mulai memilukan, ada gumaman yang Nala ucapkan, namun Argi sendiri tak memahami dengan pasti apa yang diucapkan Nala. Nala tak benar-benar menumpahkan tangisnya, ada bagian yang masih ia sembunyikan. Lagi pula, apa kata orang kalau ada yang mendengar dirinya menangis meraung di dalam mobil bersama dengan seorang pria. Itu sebabnya ia berusaha meredam suaranya, semampu
Sesi Briefing dari Dina dengan tema utama tips-tips memikat Suami telah berakhir kurang lebih sepuluh menit yang lalu. Kini, Nala sudah berada di pinggir jalan menunggu kedatangan ojek online yang telah dipesannya setelah menolak tawaran Dina untuk mengantarkannya pulang dengan alasan harus belanja.Ketika yang ditunggu datang, Nala langsung nangkring di jok belakang, menikmati pemandangan membosakan ibu kota yang saat ini terlihat lebih menarik untuknya. Mungkin karena efek setelah dirinya mencurahkan isi hatinya pada dua temannya, rasanya beban di pundaknya runtuh seketika. Ah iya, ia juga mendapat bonus berupa nasihat penting dari Argi sebagai semua jawaban dari permasalahannya saat ini dan juga tips dan trik dari Dina.Siapa sangka? Tidak ada yang menyangka memang, wajah polos Dina memang tidak sinkron dengan otaknya. Tak heran lagi jika Dina menjanjikan padanya untuk nanti malam akan dikirimi beberapa film panas sebagai salah satu referensi untuknya."Jangan langsung, jangan tera
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini