"Kenapa, sih? Kok diem aja dari tadi?" Dina meraih segelas jus mangga yang ada di depannya, sejak tadi belum tersentuh sama sekali.
Tak ada yang tau pertanyaan itu ditujukan pada siapa, hingga tak ada yang menanggapinya."Nal?"Nala sontak saja langsung menoleh ke arah Dina, menaikkan sebelah alisnya karena tak paham. "Oh, tadi ngomong sama gue?""Setan.""Ya, maaf. Kan disini yang diem gue sama Argi, nggak tau kalau itu pertanyaan buat gue." Nala menyimpan kembali ponselnya ke atas meja, beralih memfokuskan diri pada teman di sampingnya ini. "gue sebenarnya kangen Mama, bingung."Suasana mendadak berubah. Baik Dina sendiri, Argi, maupun Dewa sama-sama menelan ludahnya sendiri.Menyadari suasana yang berubah karena ucapannya, membuat Nala menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu maksud gue. Gue cuma kangen aja, nggak ada niatan gimana-gimana.""Iya, paham. Wajar kok." Argi membuka suara, ia membasahi bibirnya sebelum melanjutkan ucapannya, "eh, gimana wiu wiu-nya? Mantep, nggak?"Tak ada yang paham dengan maksud ucapan Argi barusan. Nala sendiri malah memandang ke arah Dina dan juga Dewa secara bergantian seakan meminta penjelasan, namun dua orang itu sama-sama mengendikkan bahu dan menggelengkan kepalanya."Apaan? Yang jelas kalau ngomong."Argi mendengus kesal, sengaja kata-katanya ia samarkan agar lebih sopan. Namun, malah tak ada yang mengerti maksud ucapannya. "Udah ngentod, belum?""HEH! Congornya!" Nala sontak melempar bantal dan mendarat tepat di wajah Argi. Gerak refleks Nala begitu cepat, berbeda dengan Dina dan juga Dewa yang masih membeku karena terkejut dengan ucapan frontal Arghi barusan. "kayak nggak disekolahin aja itu mulut.""Halah, nggak usah sok polos. Kayak yang nggak pernah ngomongin gituan aja lo."Iya sih, bener. Diantara empat sekawan ini memang Argi dan Nala yang mulutnya paling tidak bisa dikontrol, begitu pula dengan tingkah lakunya. Tapi, sekarang kan suasananya sudah berbeda. Nala sudah mengubah status-nya menjadi seorang Istri, dan percakapan semacam ini hanya cocok dibicarakan oleh orang yang sudah berpasangan secara sah menurut agama dan negara."Iya, tapi kan itu dulu, jangan disamain napa, sih? Dukung dong temennya mau berubah.""Dari jawaban-jawaban model gini, nih. Gue udah tau jawabannya pasti belum." Argi tersenyum miring. "nggak berkesan dong malam pertamanya. Pasti lo yang dit--" Ucapan Argi langsung terhenti saat tak sengaja tatapannya bertemu dengan Dina yang mengisyaratkan untuk diam, memberi kode agar melihat reaksi Dewa.Aduh, Argi lupa kalau di sini ada orang yang masih menyimpan rasa pada perempuan yang telah ber-status sebagai Istri orang. Ia langsung mengusap wajahnya kasar melihat reaksi Dewa yang hanya diam dan menunjuk."Mampus," ucap Nala tanpa mengeluarkan suara, membuat Argi meringis memejamkan matanya karena merasa bersalah. "nggak mood lah gue. Capek," sambungnya yang seketika saja langsung membuat Dewa mengangkat kepalanya.Nala tersenyum lembut pada Dewa, senyuman yang jarang sekali dirinya perlihatkan pada orang lain selain Dewa. "Cepet sembuh, ya, Wa. Lo sih aneh-aneh segala pake makan pedes, udah tau nggak bisa makan itu."Argi dan Dina saling beradu pandang, sebelum keduanya sama-sama mengalihkan pandangan pada Dewa. Dari ketiganya memang tak ada yang memberitahukan pada Nala apa yang sebenarnya terjadi pada Dewa dihari pernikahan Nala."Udah hampir jam lima, gue pulang dulu, ya?" Nala lekas bangkit dari posisi duduknya.Ada rasa tak rela melihat Nala akan pergi, tapi bagaiman lagi? Sudah lebih dari setengah hari Nala berada di sini, tentu saja Dewa tak memiliki hak untuk menahan Nala lebih lama di sini. "Hati-hati, ya? Kabarin kalau udah sampe rumah."Nala menganggukkan kepalanya mantap dan mengacungkan jempolnya. "Cepet sembuh." Pandangannya beralih pada Dina yang masih berada diposisinya semula. "ayok, Din."***Hampir pukul enam sore saat Nala tiba di rumahnya, sementara Dina langsung pamit pulang menolak ajakan basa-basi Nala untuk mampir terlebih dahulu."Beneran nggak ada orang lagi?" Nala melangkahkan kaki memasuki rumah. Ia menarik nafasnya dalam sebelum menarik senyuman. "nggak apa-apa, malah enak sendirian tau."Tak ingin membuang-buang waktu lagi, Nala langsung bergegas masuk ke dalam kamar dan membersihkan dirinya dari pakaian yang telah dikenakannya seharian ini. Harum aroma sabun dan sampo yang menguar dari tubuh Nala terasa begitu segar, tanda jejak pembersihan dirinya.Tok ... tok ... tokGarakan tangan Nala langsung terhenti, keningnya berkerut sebelum akhirnya membelalak sempurna. "Siapa, woi?" Diambilnya dengan kasar vas bunga yang ada di sampingnya."Saya," jawab seseorang di luar sana."Om?""Iya."Mendengar jawaban terakhir membuat Nala menghela nafas lega. Diletakkannya kembali vas bunga tersebut di tempatnya semula. "Sebentar, ya, Om. Masih handukan, gue mau ganti baju dulu.""Oke, saya tunggu di luar, ya."Tanpa menjawab lagi, Nala langsung mempercepat langkah kakinya menuju lemari. Diambilnya pakaian rumahan dari sana, hanya daster yang diambilnya. Buru-buru ia memakai dengan cepat pakaian tersebut.Aroma wangi yang menguar membuat Bastian langsung mengalihkan pandangannya ke arah sumber wangi itu bermuara. "Hah?" Bastian tersentak kaget melihat penampilan wanita yang terus melangkahkan kaki ke arahnya tersebut. Penampilan Nala yang memakai daster lengan pendek selutut dengan rambut setengah basah itu terlihat menarik, namun terlalu bahaya untuk ditampilkan. Buru-buru Bastian mengalihkan pandangannya."Ada apa, Om?" Dengan santai Nala mendudukkan bokongnya di seberang Bastian."Ini buat kamu, pin-nya 22530." Diletakkannya sebuah kartu di hadapan Nala. "sebulan 10 juta sama belanjanya cukup?"Pandangan Nala masih belum beralih dari benda tersebut. Ia butuh, tapi tak juga minat untuk mengambilnya. "O-om?""Buat kuliah aman, saya yang bayar. Oh, ya satu lagi, saya mau belikan motor, kamu maunya motor apa?"Detik demi detik berlalu, netra Bastian menyipit melihat Nala tak ada pergerakan untuk menjawab pertanyaannya. Sejak tadi pandangannya tak beralih dari kartu yang ada di depannya."Kurang, ya, uangnya? Saya bisa tambahin lagi, berap--""Om, ini kebanyakan. Setengahnya aja, Om buat jajan gue. Uang belanja aku minta kalau mau belanja aja, ya, Om." Pandangan Nala beralih menatap laki-laki di depannya ini. "Om malah rugi banget nikahin gue.""Kenapa ngomong gitu?"Nala menarik nafasnya dalam-dalam, agak sulit untuk mengontrol diri yang hampir menangis saat ini. "Om, ini tuh nggak worth it buat gue yang nggak berkontribusi apa-apa. Sebenarnya Om udah bantu biayain Mama aja itu udah lebih dari cukup. Aku bisa biayain hidup aku kok, Om, nanti aku bakalan cari kerja.""Biar apa?""Biarin, Om."Bastian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi tanpa mengalihkan tatapannya pada perempuan di depannya ini. Ia memikirkan sesuatu dalam kepalanya, sebelum akhirnya berucap, "Ini udah tugas saya sebagai Suami kamu. Nggak etis kalau saya biarin kamu kerja, sementara saya masih mampu biayain hidup kamu."Nala terkekeh pelan mendengar jawaban itu. "Om, sadar nggak sih? Om ngomong kayak gini seakan-akan Om beneran niat nikahin aku.""Saya emang niat. Makanya saya nikahin kamu."Hembusan nafas berat Nala kembali terdengar. "Maksudnya kayak yang Om nikah sama orang yang Om suka gitu loh, effort banget.""Jangan bicara kemana-mana, ambil uangnya. Oh, ya, tadi saya sudah belanja." Bastian langsung bangkit dari posisi duduknya."Heh, Om. Tunggu dulu." Dengan cepat Nala msnghentikan pergerakan Bastian, hingga laki-laki itu beralih menatapnya. "anu, minta nomornya dong, Om. Kali aja nanti ada perlu, hehe.""Mana hp kamu?"Nala buru-buru bangkit dari posisi duduknya. "Ada di kamar, Om. Nanti aku ambil, katanya Om abis belanja, ya? Aku beresin dulu. Makasih duitnya." Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Nala langsung meraih dengan kasar kartu tersebut dan lekas melangkahkan kaki menuju dapur.Wahh ... ada tiga kantung besar berisi belanjaan. Mulai dari buah, sayur, daging, bumbu-bumbu, dan juga camilan. Dengan telaten Nala menata barang-barang belanjaan itu dengan rapi. Mulai dari kulkas, rak bumbu, dan juga rak samping untuk menyimpan aneka camilan kering.Setelah memastikan semuanya beres, Nala langsung beranjak kembali ke kamar. Diletakkannya kartu yang baru didapatkannya ke laci meja rias, sebelum tangan kecilnya meraih dengan kasar ponsel miliknya yang tergeletak di atas kasur."Susul ke atas aja kali, ya?" gumam Nala menatap ke arah lantai atas. Tanpa pikir panjang lagi ia pun mulai menaiki satu per satu anak tangga.Di sini tak nampak lagi ada hiasan dinding, sepertinya hiasan dinding hanya di pasang di ruang tengah. Tak sulit untuk menemukan kamar, karena sepanjang penglihatan Nala hanya ada satu kamar yang nampak."Aduh, kok malah kebelet pipis, sih?" gumam Nala. Padahal tadi rasanya tak seperti ini, masih bisa ditahannya. Kenapa sekarang malah hampir jebol. "aduh. Masuk aja dah. Udah di ujung banget ini, sekalian." Terlalu memakan waktu jika ia harus turun, lalu kembali ke sini. Tanpa pikir panjang dibukanya pintu yang kebetulan sedang tak terkunci tersebut.Sreggg"AAA! Om!"Tak hanya Nala, Bastian juga terlonjak kaget karena teriakan melengking Nala. Nala langsung membalikkan tubuhnya dan berlalu keluar dari kamar.BrakkHah ... hah ... hahDibalik pintu yang baru saja tertutup, deru nafas Nala masih terdengar, dadanya kembang kempis. Apa yang baru saja dilihatnya barusan masih terbayang jelas dalam ingatannya."Apaan tadi, woi?" Ditepuknya dengan kasar kedua pipinya itu. Berharap dengan melakukan ini akan mengembalikan kewarasan otaknya. "sakit." Tepukannya berubah menjadi elusan di wajahnya. Rasanya masih panas, kedua pipinya pasti tengah memerah.Ceklek"Astaga!" Nala terlonjak kaget. Spontan saja ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Di mana Bastian keluar dari kamar dengan pakaian lengkap di tubuhnya.Mendadak keduanya sama-sama canggung. Bastian menggaruk belakang kepalanya, sementara Nala sendiri membuang pandangannya ke arah lain sembari mengatur nafasnya."Emm, maaf ya, Om. Tadi malah lancang masuk-masuk ke dalam." Nala meringis, rasa ingin
"Hah? Kenapa, Om?" Buru-buru Nala menghampiri Bastian, lengkap dengan raut wajah penasarannya. "urgent, Om?"Melihat Nala yang terlalu antusias, bahkan meletakkan dengan kasar gelas dan teko di atas meja sebelum mendudukkan bokongnya di kursi, membuat Bastian lekas meletakkan alat makannya dan beralih menatap Nala. "Saya ada kerjaan di Jogja.""Lha? Itukan kerjaannya Om, terus maksudnya gimana?""Saya nggak mungkin ninggalin kamu sendiri."Nala mendengus, itu bukan alasan yang terdengar bagus di telinganya. "Biasanya juga sendiri, Om. Jangan khawatir.""Ini rumah, bukan apart. Nggak ada jaminan keamanan di sini, jangan ngeyel, ya."Kalimat terakhir yang Nala dengarnya terasa menggelitik telinga. Nadanya mengalun lembut. Aduh, tidak sesuai dengan mimik Bastian yang masih datar. "Kemarin juga Om nggak pulang, berani-berani aja tuh. Ya ... meskipun awalnya takut juga, sih, tapi nggak apa-apa, kok."Raut wajah Bastian mendadak terkejut, setelahnya pandangannya berubah memelas. Iya, ia aku
"Gue udah di jalan ke rumah lo.""Hah? Ngapain?" Nala tersetak kaget mendengar ucapan Argi barusan. "gue udah pesen ojek. Udah sampe juga,""Okay kalau gitu. Ntar ketemu aja di kampus, ada yang mau gue omongin. Serius."Nala terkekeh pelan, agak aneh mendengar seorang Argi mengatakan 'Serius'. "Halah, apaan, sih? Nggak pantes lo ngomong serius-serius gitu, muka lo kek badut soalnya."TutttTiba-tiba saja sambungan telepon itupun diputus secara sepihak. Membuat Nala langsung mendelik kesal. "Sialan, nggak sopan banget nih anak."Samar-samar rungunya mendengar suara klakson motor, itu pasti ojek pesanannya. Tanpa menunggu lama lagi, Nala pun mempercepat langkah kakinya. Tak lupa mengunci pintu dan membawa kunci cadangan."Aduh. Maaf, ya, Mas." Nala meraih helm yang diulurkan driver ojek online tersebut dan bergegas naik ke jok motor.Perlahan tapi pasti, motor yang ditumpangi Nala pun mulai melaju dengan kecepatan sedang. Setiap hari, setiap waktu jalanan ibu kota selalu macet, itulah y
"Bagian mana yang bikin lo takut?"Diusapnya air matanya dengan kasar, Nala menarik nafas dalam-dalam sebelum berucap, "Gue juga nggak tau, gue bingung, capek, nggak ngerti banget sama semua jalan hidup gue. Sialan banget emang!"Ditariknya dengan pelan tangan Nala, Argi membawa Nala kedalam pelukannya. Pelukan ekslusif yang bahkan baru pertama kali didapatkan Nala selama menjalin pertemanan dengan laki-laki ini. "Tumpahin tangis lo, nangis puas-puas, nanti ceritain semua uneg-uneg lo sama gue." Argi merasakan Nala yang ada di dalam pelukannya menganggukkan kepala, disusul suara isakan tangis.Isakan tangis itu perlahan mulai memilukan, ada gumaman yang Nala ucapkan, namun Argi sendiri tak memahami dengan pasti apa yang diucapkan Nala. Nala tak benar-benar menumpahkan tangisnya, ada bagian yang masih ia sembunyikan. Lagi pula, apa kata orang kalau ada yang mendengar dirinya menangis meraung di dalam mobil bersama dengan seorang pria. Itu sebabnya ia berusaha meredam suaranya, semampu
Sesi Briefing dari Dina dengan tema utama tips-tips memikat Suami telah berakhir kurang lebih sepuluh menit yang lalu. Kini, Nala sudah berada di pinggir jalan menunggu kedatangan ojek online yang telah dipesannya setelah menolak tawaran Dina untuk mengantarkannya pulang dengan alasan harus belanja.Ketika yang ditunggu datang, Nala langsung nangkring di jok belakang, menikmati pemandangan membosakan ibu kota yang saat ini terlihat lebih menarik untuknya. Mungkin karena efek setelah dirinya mencurahkan isi hatinya pada dua temannya, rasanya beban di pundaknya runtuh seketika. Ah iya, ia juga mendapat bonus berupa nasihat penting dari Argi sebagai semua jawaban dari permasalahannya saat ini dan juga tips dan trik dari Dina.Siapa sangka? Tidak ada yang menyangka memang, wajah polos Dina memang tidak sinkron dengan otaknya. Tak heran lagi jika Dina menjanjikan padanya untuk nanti malam akan dikirimi beberapa film panas sebagai salah satu referensi untuknya."Jangan langsung, jangan tera
Nala tersentak kaget saat mendengar suara bel yang ditekan berulang, lalu diketuk cukup keras. Mendadak kepalanya pening, sebab terbangun dalam kondisi terkejut. Saat ia melirik ke arah jam yang terpasang di dinding, jarum-jarum itu menunjukkan hampir pukul dua dini hari.Suara ketukan semakin intens membuat Nala bergegas bangkit dari posisi duduknya, mengabaikan pening yang dirasakannya, meskipun berkali-kali ia hendak jatuh.Mulut kecilnya terbuka tat kala berhasil membuka pintu dan menampakkan Bastian--suaminya datang dengan laki-laki asing dalam kondisi mabuk. "Om, kenap--"Menghiraukan wanita di depannya ini, David langsung menyerobot masuk, tangannya terasa pegal karena terlalu lama memapah Bastian yang proporsi tubuhnya tidaklah kecil."Di atas, Kak." Nala langsung mempercepat langkah kakinya, mengikuti dari belakang laki-laki itu yang tampak kepayahan merangkul Bastian.Namun, akhirnya Bastian bisa sampai dengan selamat ke kamarnya. Laki-laki itu membanting cukup kuat Bastian
"OM, NGAPAIN!?" Pekik Nala yang langsung tersadar dari tidurnya karena terkejut dan panik yang bersamaa. "itu apaan woiii." Jari telunjuknya mengarah pada Bastian.Sementara laki-laki yang jatuh tersungkur itupun lekas bangkit dari posisinya, mempertahankan raut wajah bingungnya. Kenapa dengan perempuan ini? Kenapa histeris? Kenapa menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya? Apa baru saja melihat setan? Atau efek dari mimpi buruk?"Kenapa?""KENAPA APAAN WOI! LIHAT LO TELANJANG, JANCOK!"Sontak saja Bastian langsung melihat dirinya sendiri. Mendadak wajah dan telinganya memerah, matanya membelalak tak percaya dengan mulut menganga. Rahangnya mengeras dan tanpa membuang-buang waktu lagi ia pun bergegas berlari menjauh.Buk ... buk ... bukBastian melarikan diri dari area itu secepat yang ia bisa. Sialan, ia begitu malu, bahkan lebih dari malu. Ingin rasanya ia menghilang dari bumi detik ini juga.Sesampainya di kamar, Bastian langsung menutup pintu dengan begitu kerasnya, seakan-
Bastian berbalik menatap Nala yang ada di belakangnya. "Gimana? Cuma ada satu kamar."Nala mengerutkan keningnya. Ya, memang kenapa? Apanya yang salah? "Ya udah, Om. Emangnya kenapa, sih? Kita kan udah nikah juga, bukan yang mau kumpul kebo di hotel. Kalau digrebek ya aman aja."Bastian meringis, tak salah memang. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mengambil kamar tersebut, lagi pula lokasi pemotretan untuk besok juga berada di sekitaran sini, terlalu merepotkan jika harus mencari penginapan lain.Sesampainya di kamar hotel, Nala langsung merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, sementara Bastian memilih duduk di sofa. Sampai pada akhirnya perhatian Bastian teralihkan saat mendengar suara perut Nala. "Laper?""Hehe." Nala bangkit dari posisi berbaringnya, memamerkan dertan gigi putihnya. "iya nih, Om.""Kita bersih-bersih dulu, abis itu cari makan. Mau makan di mana? Di resto apa di angkringan aja? Kalau di sini kan banyak yang jualan.Nala menganggukkan kepalanya setuju. Saat ini tubuhnya
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini