Pagi hari yang cerah pun datang, Nala bangun dari tidurnya yang berkualitas maksimal. Matanya masih belum bisa terbuka lebar, rasa kantuknya tak sepenuhnya menghilang, ia menguap lebar-lebar seperti Naga tengah menyembur."Eugh," lenguhnya sembari berusaha bangkit dari posisi duduknya. "eh--" Buru-buru ia membenarkan posisi baju atasnya yang sudah tersibak hingga ke perut dan kancing area dadanya terlepas.Jam masih menunjukkan pukul enam, masih terlalu pagi untuk melakukan aktivitas dilihatnya laki-laki yang masih tertidur lelap di sampingnya itu. Tak berniat mengganggu, Nala membiarkan Bastian menggunakan baik-baik waktu tidurnya sebelum kembali bergempur dengan pekerjaannya.Setelahnya Nala lekas bergegas menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya di pagi hari ini. Sengaja mandi menggunakan air dingin, menurut Nala ini akan jauh lebih berefek pada tubuhnya dan tentu saja lebih segar dan mengembalikan tenaganya.Ketika keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya
Benda pipih itu Nala letakkan di sampingnya, ia masih menunggu Bastian mencarinya jika laki-laki itu pulang ke hotel dan tak menemukan keberadaannya.Malam ini Nala pergi ke pantai dekat hotel, menikmati suara deburan ombak yang terus datang. Mengagumi bagaimana pantulan bulan itu terlihat di atas air dan juga menikmati angin yang semakin menusuk baju tipis hingga menembus kulitnya tersebut."Gue kenapa, sih?" tanya Nala pada dirinya sendiri. Tak paham sama sekali dengan apa yang dirasakannya saat ini. Kenapa ia tak rela melihat Bastian pergi hanya untuk menemui perempuan lain dan kenapa pula ia harus memiliki perasaan aneh itu, sementara Nala sendiri sadar dirinya tak memiliki hak untuk melarang laki-laki itu pergi.Nala sangat menyukai suasana ini. Bising, namun terasa menenangkan untuknya. Entah berapa lama ia menghabiskan waktu di tempat ini, ponselnya sama sekali tak menunjukkan adanya pesan atau panggilan masuk. Semakin lama perutnya semakin terasa perih, ini sudah terlalu lama d
Perdebatan panjang itu berakhir dengan posisinya masing-masing, dasarnya sama-sama keras kepala hingga tidak ada yang mau mengalah. Sonya tetap kekeh ingin duduk di depan, menolak segala macam bujuk rayu dan mengabaikan makian Nala."Nggak apa-apa ya, Nala. Lagian kan cuma masalah duduk aja. Nanti gantian kamu yang duduk di depan." Kata-kata itulah yang akhirnya mengakhiri perseteruan.Suasana di dalam mobil hanya diisi keheningan, tak ada siapapun yang berniat membuka suara. Nala sendiri memilih menyibukkan diri dengan meggulir sosial media, mencari sesuatu dan berhenti kala menemukan postingan yang membuatnya tertarik. Sampai pada akhirnya...."Bas, nanti makan siang di mana? Ini mau ke mana dulu?"Tak berniat menguping, tapi bagaimana lagi, Nala juga memiliki telinga yang masih berfungsi dengan baik."Nggak tau juga sih mau ke mana dulu? Belanja atau wisata alam? Ada pantai di deket sini. Atau mau lihat gua, lupa nama guanya apa, tapi lumayan makan waktu kalau dari sini, deketan ke
Malam itu Nala benar-benar memutuskan untuk pulang tanpa niat memberitahu Bastian, bukan hal penting. Untung saja semesta seakan mendukung keputusan Nala, di dalam tas miliknya ada kartu yang tempo hari Bastian serahkan padanya, sedikit ia gunakan untuk kembali pulang ke Jakarta.Sengaja Nala mematikan ponselnya, ia tak ingin perjalanan pulangnya terganggu oleh hal lain. Raut wajahnya begitu buruk, tak ada senyuman sedikitpun di sana. Ia hanya duduk manis di pesawat dengan terus berusaha memejamkan kedua matanya. Sesampainya di Jakarta pun Nala langsung mencari taksi untuk membawanya pulang ke rumah.Hampir pukul lima pagi saat Nala benar-benar sampai di kamarnya. Tubuhnya terasa begitu lelah, membuatnya langsung memutuskan untuk membersihkan tubuhnya, sengaja menggunakan air dingin agar lebih segar dan energinya terisi kembali."Dingin," gumamnya dengan suara pelan. Tubuhnya menggigil, ditambah dengan kini ia hanya memakai pakaian pendek.Tubuh itu dilemparkan dengan kasar ke atas ra
"Makasih, Wa."Setelah menempuh perjalanan cukup lama, Nala pun keluar dari mobil Dewa usai mengembalikan jaket yang tadi sengaja dipinjamkan Dewa padanya. Kata Dewa dingin, karena Nala memang hanya memakai atasan crop top, meskipun Nala menolaknya karena terbiasa dengan pakaian seperti ini, tapi tampaknya Dewa tak rela membiarkan hawa dingin menghunus kulit putih Nala.Melangkahkan kaki tanpa beban, sampai akhirnya langkah kaki kecilnya harus terhenti kala netranya menangkap sosok Bastian yang duduk di sofa dengan nuansa mencekam, tatapan itu begitu tajam padanya."Dari mana?""Rumah temen," balas Nala apa adanya."Duduk."Nala yang hendak melangkahkan kakinya itupun kembali menoleh ke arah Bastian. "Apa? Gue capek."Mendengar penolakan itu membuat Bastian bangkit dari posisi duduknya. "Nggak cuma kamu yang capek, Nala. Saya juga, saya kerja terus pulang dadakan gara-gara kamu."Meskipun benar demikian, namun nampaknya kata-kata itu tak dapat ditangkap dengan baik oleh penalaran Nala
"Di mana?" Kening Bastian berkerut mendengar panggilan seseorang di seberang sana. "okay."Panggilan terputus, Bastian lekas menoleh ke arah Nala yang masih sibuk mengunyah mie kuah buatannya. Ya, untuk kedua kalinya dalam hari ini Nala kembali memakan makanan itu, tak ada pilihan lain, mie instan jauh lebih enak baginya ketimbang spaghetti buatan Bastian tadi.Mendadak bibir Bastian menjadi kaku, agak tak enak hati sebenarnya, tapi apa boleh buat, ia tak memiliki pilihan lain untuk saat ini. "Ehemm, Nala, Saya mau keluar sebentar, jemput Sonya. Nanti saya pulang, janji."Gerakan mulut Nala dalam mengunyah makanan itupun terhenti. Otaknya memikirkan sesuatu sebelum mulutnya merealisasikan jawabannya. Ia sudah kalah tempo hari, tak boleh ada lagi kekalahan dalam hidupnya. "Bandara?" Bastian menganggukkan kepala membenarkan tebakan Nala. "ikut.""Yakin?" tanya Bastian memastikan. Agaknya ini bukan waktu yang tepat, jika Nala dan Sonya bertemu, maka kemungkinan besarnya kedua wanita itu
Usai menyantap nasi goreng di pinggir jalan, Nala dan Bastian pun kembali ke rumah dengan perut terisi penuh."Om, besok masih libur, kan?"Bastian yang ditodong dengan pertanyaan seperti itupun lekas menoleh ke arah Nala dan menganggukkan kepalanya singkat. "Iya, kenapa?""Om masih ngerasa bersalah, nggak? Gue masih belum maafin soalnya. Makanan yang Om buat nggak enak."Ujung bibir Bastian tertarik, terdengar lucu di telinganya. "Iya, maaf. Jadi, saya harus gimana biar dimaafin, hm?""Emmm ... besok tuh aku pengen produktif. Kayak yang pagi-pagi work out, terus sambung masak sesuatu, nonton, dan yang lain-lain gitu.""Iya, boleh. Sesenengnya kamu aja, nikmati liburnya."Mendengar jawaban yang sama sekali tak diinginkannya itu lekas membuat Nala melirik tajam ke arah Bastian, berdecak dengan jelas hingga membuat Bastian kembali menoleh sekilas ke arahnya. "Hihhh. Gue ngomong gitu tuh ya maksudnya temenin, Om. Anggap aja sebagai bentuk permintaan maaf." Dirogohnya dengan kasar ponseln
Hari ini Bastian benar-benar menepati janjinya, dimulai dari jam enam pagi, Nala sudah bangun dan menggedor-gedor pintu kamar Bastian cukup kuat. Membangunkan pria itu dengan satu-satunya cara yang bisa dilakukan Nala.Agak terkejut sebenarnya saat melihat Bastian yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada datang menghampirinya untuk membukakan pintu. Bagaimana tidak kaget? Perutnya itu loh, kotak-kotak mantap.Work out yang keduanya lakukan salah satunya adalah berlari kecil di sekitaran rumah dan berlanjut dengan alat-alat gym milik Bastian yang ada di belakang."Capek, Om," keluh Nala dengan keringat deras mengucur dari keningnya."Iya, udah kok." Bastian pun bangkit dan meninggalkan alat terakhirnya, menghampiri Nala dan menyidorkan segelas air putih. "nanti lanjut apa acaranya?"Tak langsung menjawab, napas Nala masih begitu memburu. Dengan santainya Bastian meraih handuk kecil dan digunakannya untuk menyeka keringat Nala, perhatian kecil dan membuat Nala kembali ters
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini