4 bulan kemudian ...."Om, ini gue bawain sekalian buat makan siang. Nanti ada rencana nongkrong sama temen-temen."Bastian yang tengah mengunyah makanan itupun lekas menoleh ke arah Nala. "Jam berapa pulangnya?""Ya, nggak tau juga. Btw, Om tau nggak hari ini tuh hari apa?" tanya Nala sembari mendudukkan bokongnya di samping Bastian, meraih segelas jus apel buatannya dan lekas menenggaknya."Selasa."Ya, memang benar sih ini hari selasa, tapi maksud Nala tuh bukan yang begini. Ada keheningan setelahnya, Nala sendiri tak lagi menimpali jawaban Bastian barusan. Ujung netranya melirik ke arah ponselnya, belum sempat menyala karena pesan masuk, Nala sudah terlebih dahulu meraihnya."Jangan terlalu malem pulangnya." Nala mendengar ucapan itu, tapi enggan merespon, fokusnya kini hanya tertuju pada sebuah pesan yang baru masuk.Tangan kanannya meraih tote bag miliknya dan lekas dimasukkan ponselnya tersebut ke dalamnya. "Ayo, Om. Nanti nggak usah di jemput.""Iya, nggak. Ada kerjaan di luar
"Kenapa diem aja? Hah?" Ujung bibir Bastian tertarik, kedua tangan besarnya diletakkan pada lengan Nala seraya meremasnya kuat-kuat. Tatapannya terlihat begitu nyalang dengan rahang mengeras, bahkan suara tubrukan antar giginya saja terdengar jelas di telinga Nala.Sakit, sakit sekali rasanya. Remasan tangan besar pada lengannya itu menciptakan rasa perih, Nala yakin sepenuhnya jika selepas ini lengannya pasti akan memar. Namun, ketimbang rasa sakit karena remasan kuat itu--rasa sakit pada hatinya jauh lebih menyesakkan.Meskipun Nala sudah susah payah menahan tangisnya dengan meremas kuat tangannya sendiri, pada akhirnya air mata itu tetap jatuh membasahi pipinya. "Kenapa nggak tanya baik-baik dulu?"Bastian terkekeh pelan, menjauhkan kedua tangannya dari tubuh Nala dan membuang pandangannya ke arah lain. "Apa yang musti ditanyain dulu? Yang gue lihat udah jelas. Lo nggak pulang semalaman, terus pulang sama cowol lain dan...." Bastian memajukan wajahnya, mengendus sisa-sisa bau alkoh
"Kenapa? Nggak niat ya minta maafnya?" Kata-kata Nala kembali terdengar kala hampir tiga menit tak ada jawaban.Bastian sendiri masih dengan wajah memerahnya, sejak tadi gerak-geriknya tampak gelisah. Sepertinya laki-laki itu tengah memikirkan banyak hal di kepalanya. Apapun itu, Nala tidak perduli. Anggaplah ia egois, tapi ini adalah salah satu dari bentuk perjuangannya.Tak bisa tersenyum, yang ada hanyalah senyuman ke bawah. Nala terus menatap pria di depannya ini, masih mampu untuk menunggu jawaban yang akan diterimanya. Entah apa jawaban dari Bastian, yang jelas ia harus siap walaupun kecewa.Bastian menarik nafas panjang seraya membusungkan dadanya, sebelum pandangannya bertemu dengan Nala. Setelah dipikir-pikir permintaan Nala tak salah, malah dirinya sendiri yang kebangetan. Tentu saja ia tau pernikahan ini tak mudah untuknya dan Nala, terlebih bagi Nala sendiri yang harus menikah di usai muda dalam kondisi terpaksa. Tapi lihatlah, wanita itu bahkan jauh lebih berani dari pada
Kurang dari dua jam, semua barang-barang milik Nala sudah tertata rapi di kamar Bastian--Kamar keduanya mulai detik ini, kecuali perlengkapan kampus yang sengaja ditinggal di kamar lama--sengaja diubah menjadi ruang belajar Nala."Woahhh." Nala mengerjabkan matanya beberapa kali, meskipun tak pandai masak, ternyata Bastian sangat andal dalam hal tata menata. Namun, tetap saja masih banyak ruang yang kosong, mengingat seberapa besar kamar ini.Ujung netra Nala melirik ke arah Bastian yang tengah menata vas bunga di meja pojok, hanya bunga hiasan agar ruangan ini terkesan lebih hidup."Nanti malam mau makan di luar?" Bastian membalikkan tubuhnya, melangkahkan kaki ke arah Nala yang kini tengah duduk manis di atas ranjang.Semakin Bastian mendekat padanya, maka Nala pun semakin mendongak agar netranya bisa menangkap wajah laki-laki itu. Keningnya berkerut. "Bukannya tadi Om pergi, ya? Gue pikir Om belanja atau apa gitu, nggak, ya?"Bastian tersenyum tipis sebelum menggelengkan kepalanya
"Ayo, Om." Desak Nala yang rupanya tak memberi ampun, tak memberi jeda untuk Bastian berpikir.Karena desakan Nala itulah yang membuat Bastian lekas menganggukkan kepalanya samar, memiringkan tubuhnya ke arah Nala. Tangan besar itu terulur untuk menjangkau tengkuk Nala, memastikan keduanya dalam posisi yang baik. Melihat Nala yang memejamkan mata membuat Bastian tersenyum, ditariknya tengkuk Nala agar semakin dekat dengannya.Sentuhan benda kenyal dan lembut itu membuat tubuh Nala seperti disengat listrik bertegangan tinggi, ini adalah kali pertama bibirnya dijamah oleh seseorang. Kebahagiaan Nala tentu saja berlipat ganda, merasa dirinya berhasil menjaga kehormatannya, dan tentu saja merasa bangga karena yang pertama melakukan adegan intim dengannya adalah laki-laki sah dalam hidupnya.Lumatan pelan itu mulai terasa, tentu saja pemimpinnya adalah Bastian. Tak perlu susah payah bagi Bastian untuk menjamah masuk ke dalam mulut Nala--sebab perempuan itu sendiri yang menyambut kedatangan
"Udah, ya, Wa. Mungkin emang ini jalan terbaik buat kalian." Usapan lembut Nala tak berhenti membelai punggung laki-laki yang masih terisak tersebut. "kan masih bisa ketemu juga."Di dalam dekap Nala--Dewa menyelesaikan luapan emosinya yang ditahannya sejak semalam dan belum sepenuhnya keluar. Air matanya masih ingin mengalir, dadanya masih terasa sesak. Bahkan ia meruntuhkan harga dirinya sendiri, menunjukkan sisi lemahnya di depan wanita yang masih ada dalam hatinya."Jangan sedih-sedih lagi, ya. Kasihan Mama kamu kalau masih dipaksa buat bertahan, makin sakit dianya. Kalau ini sakitnya mungkin cuma diawal aja, nanti bakalan lebih baik kedepannya. Nala menghela nafas kasar, emosinya kembali memuncak mengingat cerita Dewa tadi. "emang bajingan banget bapak lo, Wa. Ngewe doang kerjaannya, moga membusuk deh tu otongnya."Perlahan Dewa mulai menjauhkan wajahnya, agaknya ia sudah siap memperlihatkan wajah berantakannya. Melihat itu tangan Nala pun lekas terulur untuk menyeka sisa air mat
Seharian ini Nala benar-benar meluangkan waktunya untuk Dewa, menghibur laki-laki itu semampu yang ia bisa. Menikmati makanan yang dibeli dengan dibumbui obrolan ringan yang tak jarang mengundang gelak tawa keduanya.Hampir pukul lima sore, barulah keduanya memutuskan untuk pulang, itu juga karena langit tiba-tiba mendung."Makasih, Nal. Seharian ini udah nemenin gue, jadi pendengar gue."Gerakan Nala yang tengah melepaskan sabuk pengaman itupun terhenti, atensinya beralih pada Dewa yang masih menatapnya lembut. "Santai aja, jangan makasih-makasih mulu. Kalau ada masalah, inget! Masih ada gue buat tempat berbagi cerita. Ini bahu siap jadi sandaran lo kapan aja.""Siap.""Ah, satu lagi." Nala agak tak tega sebenarnya untuk mengatakan ini, namun apa boleh buat? Dewa pasti mengerti akan maksudnya, 'kan? "coba buka hati buat yang lain juga, Wa. Gue ngehargai banget perasaan lo ke gue, tapi mau gimana lagi, Wa? Gue udah nikah."Senyuman di bibir Dewa itupun perlahan luntur, tertampar fakta
Pertemuan dua bibir itu berlangsung lebih lama dari sebelumnya, kemampuan Nala sendiri juga sudah semakin meningkat. Bahkan, saat Bastian hendak menyudahi ciuman itu, Nala menahan tengkuk Bastian, tak rela jika ciuman itu harus berakhir.Posisi keduanya pun sudah berubah, wajah Bastian sudah ada di atas Nala, sementara tubuhnya masih bertahan di samping Nala. Bastian sendiri tak berniat untuk memaksakan kehendak, biarlah Nala menyelesaikan ciuman ini.Pada akhirnya, Nala pula yang kalah. Tangan kecilnya yang bergerak mendorong dada Bastian, wajahnya telah memerah, begitu pula dengan leher dan telinganya. Dalam kondisinya yang kekurangan pasokan oksigen, Nala masih menyempatkan diri untuk melempar senyum pada Bastian. "Makasih, Om.""Lain kali nggak perlu lama-lama, merah semua kan mukanya." Bastian mengusap lembut pipi Nala dengan ibu jarinya, tanpa mengubah posisinya saat ini. Bukannya marah, Nala malah tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi putihnya."Om udah ngantuk, belum
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini