"Makanya hati-hati." Bastian mengoleskan obat pada kaki Nala yang luka akibat terjatuh.
Meringis tat kala obat itu menciptakan rasa perih untuknya. "Iya, maaf. Tadi aku kira itu gambar apaan, otak gue aja yang kotor ternyata." Laki-laki dihadapannya ini hanya fokus mengobati lukanya, membuatnya mengalihkan pandangan ke arah lain. Sial! Yang dilihatnya malah wanita itu tengah menatapnya sinis. "kenapa, Tan? Gitu banget lihatinnya."Sonya mendengus kesal. "Tanggung jawab, minuman gue sampe tumpah gara-gara lo.""Kok? Gue?" Nala menunjuk dirinya sendiri. Perasaan ia tidak melakukan apapun yang merugikan wanita itu, kenapa ia bersalah?"Heh! Gara-gar--""Udah." Sahut Bastian. Ia tak ingin mendengar keributan lagi kali ini. "udah selesai, bisa kan masuk kamar?" Nala menganggukkan kepalanya.Sebenarnya masih perih, tapi ia masih cukup tau diri untuk tidak lebih merepotkan lagi. Untung saja kakinya tidak sampai pincang. Langkah kakinya terhenti saat ia hendak melewati foto tadi, dipandanginya ulang bagian foto yang membuatnya terkejut tadi."Iya ya, ternyata itu orang mau mancing," gumamnya pelan. Padahal, saat dilihatnya pertama kali tadi itu seperti seorang yang hendak kencing. Karena sudut pandang dan minimnya intensitas cahaya itulah yang membuat tangkapannya salah.Nala membaringkan tubuhnya dengan pelan ke atas ranjang, memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Entah bagaimana hidupnya kedepan, kenapa sih ia mendapatkan genre hidup seperti ini?Diraihnya ponselnya yang terletak di atas nakas. Tak ada tatapan binar lagi, padahal biasanya di jam-jam ini, ia mendapatkan banyak pesan masuk dari mamanya.Makan yang sehat, sore nanti nggak usah ke toko, kamu di rumah aja, istirahat.Sekarang, Nala tak lagi mendapatkan pesan seperti itu. Memang hati manusia gampang sekali berubah, dulu ia begitu kesal dengan pesan yang mamanya kirim, tapi sekarang ia begitu merindukannya.Perlahan ia memejamkan matanya, hampir saja dirinya tertidur kalau saja rungunya tak mendengar suara deru mesin mobil dari pekarangan rumah. Ah, sepertinya mereka langsung pergi. Tak ingin banyak berpikir, Nala berusaha kembali menutup matanya, memaksakan diri untuk tidur.Nala terbangun, kerongkongannya terasa begitu kering. "Eugh," lenguhnya sebelum berusaha bangkit dari posisi duduknya. Diusapnya wajahnya dengan kedua tangannya untuk menghilangkan rasa kantuk, sebelum mengguyar rambutnya ke belakang.Lehernya terasa sakit, sepertinya posisinya tadi tak nyaman, membuatnya meringis saat rasanya berdenyut. Pandangan mata Nala beralih pada ponselnya, namun tanpa sengaja ia melihat ke arah jendela. "Hah?" Netra cokelat Nala langsung membola saat menyadari hari sudah gelap, diraihnya dengan kasar benda pipih tersebut. "jam tujuh malam?" Nala menatap tak percaya jam dilayar ponselnya.Kok bisa, sih? Nala beranjak turun dari ranjang. Obatnya sudah bereaksi, kakinya tak lagi terasa sakit, bahkan ia sudah bisa berjalan dengan begitu normal. Tujuan utamanya adalah ke luar dari kamar.Sepi, sepi sekali. "Om?" panggilnya sembari terus melangkahkan kakinya menyusuri ruangan yang ada. "Om?"SreggLangkah kaki Nala langsung terhenti saat mengingat sesuatu. "Apa belum pulang, ya?" Bukan takut, tapi ia hanya belum beradaptasi dengan tempat ini. Bagaimana jika penghuni lain di rumah ini mengganggunya karena belum merasa akrab?Nala merotasikan kedua matanya, mencoba memastikan semuanya aman. Buru-buru Nala memutar arah tubuhnya, berlari secepat yang ia bisa untuk kembali ke kamarnya."Hah ... hah ... hah. Bangsat!" Nala langsung membungkam mulutnya, ia tak boleh berkata kasar di tempat asing ini. Takut ada yang tersinggung.Ditariknya selimut tebal itu hingga menutupi seluruh tubuhnya, di bawah sana deru napas Nala masih menderu. Tangannya menggenggam dengan kuat agar selimut itu tak lepas dari tubuhnya. Lama-lama terasa begitu pengap."Ah shit!" Perutnya terasa sakit, bukan sakit yang bagaimana, melainkan perih. "karena belum makan kali, ya?" Sekitar lima menit kemudian pertahanan Nala akhirnya berakhir juga. Ia membuka dengan kasar selimut yang membungkus tubuhnya."Nggak mungkin juga gue gini terus sampe besok pagi." Pandangan mata Nala mengitari seluruh sudut ruangan, sebelum menarik nafasnya panjang dan menghembuskannya perlahan. "nggak ada apa-apa, kok. Aman." Inilah satu kelebihan Nala, ia tak akan larut dalam rasa takutnya. Mengucapkan sugesti yang bagus untuk dirinya sendiri akan membuatnya bangkit dari rasa takutnya.Tangan kecilnya terulur untuk meraih ponselnya, bangkit dari posisi duduknya dan berlalu menuju kamar mandi. Tubuhnya terasa tak nyaman, sudah saatnya bagi Nala untuk membersihkan diri. Untuk menenangkan dirinya, maka, Nala pun memutar musik yang ada dalam play list-nya untuk menemani kegiatan mandinya.30 menit kemudian Nala keluar hanya dengan handuk yang melilit di tubuhnya, melangkahkan kaki menuju lemari pakaian dan mengeluarkan pakaian rumahan. Tentu saja seorang Nala akan malas jika harus balik ke kamar mandi, ia langsung memakai pakaiannya saat itu juga."Laper." Dielusnya dengan lembut perutnya yang sudah memberontak ingin segera diisi. Setelah meletakkan handuk pada tempatnya, Nala bergegas menuju dapur.Hampir sepuluh menit ia mengitari dapur mencari sesuatu yang bisa dimakannya malam ini, tapi tak ada apapun yang bisa diolah. Rasanya ia ingin menangis, perutnya perih tapi tak ada yang bisa dimakan. Ia sendiri juga tak memiliki uang sepeserpun untuk beli di luar."Pahit banget nih hidup." Diusapnya dengan kasar buliran bening yang baru turun membasahi pipinya. Tak ada pilihan lain, Nala bergegas meraih gelas dan mengisinya dengan air minum. Setidaknya hanya inilah cara yang Nala tau untuk mengganjal perutnya, hampir setengah teko air minum itu telah berpindah ke dalam perut Nala.Nala mendudukkan bokongnya di kursi, perutnya sudah terisi banyak air. Sekarang, dirinya tak lagi merasakan lapar. Tangan kecilmya terulur untuk mengelus perutnya yang membunci, dengan senyuman tipis yang mengiasi bibirnya."Rasanya begah."Malam ini Nala tidur dengan perut yang terasa tak nyaman, ia bolak-balik ke kamar mandi untuk menunaikan hasratnya. Benar-benar tak nyaman rasanya. Namun, untung saja ia masih bisa tidur ketika menjelang tengah malam.Keesokan harinya ....Seperti biasa, Nala harus bangun pagi. Kebetulan pagi ini dirinya sedang ada kela. Jam telah menunjukkan pukul delapan pagi, butuh persiapan baginya selama 30 menit sampai akhirnya ia siap untuk berangkat."Iya, makasih. Mwahh." Panggilan itupun berakhir, Nala tersenyum menatap layar ponselnya, sebelum memasukkan benda pipih tersebut ke dalam tote bag dan bangkit dari posisi duduknya.Lama-lama sepertinya Nala akan terbiasa dengan kondisi rumah ini yang hampir selalu sepi. Nala yakin lebih dari seratus persen, jika Bastian belum pulang hingga detik ini.CeklekkNala terkejut saat dirinya hendak membuka pintu, malah seseorang dari luar juga membukanya. Matanya membola saat mendapati Bastian datang dengan sisa-sisa kekacauannya.Ujung bibir Bastian tertarik saat mendapati presensi Nala. "Mau berangkat kuliah? Saya anter."Ah, benar saja. Aroma alkohol langsung tercium, bahkan lebuh pekat saat Bastian membuka suara. Sebenarnya, apa sih yang dilakukan laki-laki di depannya ini lebih dari semalaman? Kenapa pulang dalam keadaan seperti ini.Seribu pertanyaan yang sudah berada di ujung lidah langsung Nala telan kembali. Tak ada hak baginya untuk menanyakan hal-hal semacam ini, otaknya seketika dipenuhi pengingat untuk tau diri."Nggak usah, Om. Udah dijemput sama temen." Tolak Nala cepat. "gue berangkat duluan, ya, Om." Tanpa menunggu jawaban dari Bastian, Nala lekas melangkahkan kakinya kembali melewati Bastian yang masih di luar pintu.Bastian sendiri tak mau ambil pusing, dipandanginya tubuh Nala yang kian menjauh menghampiri mobil putih di seberang jalan. Tangan besarnya masih memegang tembok untuk menahan bobot tubuhnya.Setelah tubuh Nala hilang masuk ke dalam mobil, barulah ia ikut masuk ke dalam rumah. "Pusing banget, kenapa masih pusing, sih?" Bastian menggelengkan kepalanya dengan kuat, berharap dengan melakukan ini kesadarannya akan kembali sepenuhnya.Kerongkongannya kering, meskipun malas ia harus tetap melangkahkan kaki menuju dapur. Untung saja teko bening itu masih menyisakan sedikit air, sehingga ia tak perlu repot untuk mengisinya lagi. Segelas air yang ada di tangannya langsung tandas hanya dengan beberapa kali cegukan. "Ahhhh."Kaki besar Bastian beralih menuju kulkas, ia ingin memakan sesuatu untuk membersihkan mulutnya, tapi tak ada apapun di sana. "Brengsek!" Ditutupnya pintu kulkas tersebut dengan kasar. Pandangannya beralih pada meja yang tampak rapi dan kosong tersebut."Nala?" Tiba-tiba saja ia langsung teringat tentang istrinya. Buru-buru ia merogoh ponselnya yang berada di dalam saku kemeja. "aisshhh ... nggak punya kontak Nala lagi."Bastian memijit pangkal hidungnya, berharap dengan melakukan ini bisa membuat rasa peningnya berkurang. Tak ada sisa-sisa dari makanan, sepertinya Nala tak makan apapun kemarin siang dan tadi malam. Ia tau jika Nala tak punya uang, sedangkan dirinya juga belum memberikan nafkah pada istrinya."Bego banget!""Kenapa, sih? Kok diem aja dari tadi?" Dina meraih segelas jus mangga yang ada di depannya, sejak tadi belum tersentuh sama sekali.Tak ada yang tau pertanyaan itu ditujukan pada siapa, hingga tak ada yang menanggapinya."Nal?"Nala sontak saja langsung menoleh ke arah Dina, menaikkan sebelah alisnya karena tak paham. "Oh, tadi ngomong sama gue?""Setan.""Ya, maaf. Kan disini yang diem gue sama Argi, nggak tau kalau itu pertanyaan buat gue." Nala menyimpan kembali ponselnya ke atas meja, beralih memfokuskan diri pada teman di sampingnya ini. "gue sebenarnya kangen Mama, bingung."Suasana mendadak berubah. Baik Dina sendiri, Argi, maupun Dewa sama-sama menelan ludahnya sendiri.Menyadari suasana yang berubah karena ucapannya, membuat Nala menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu maksud gue. Gue cuma kangen aja, nggak ada niatan gimana-gimana.""Iya, paham. Wajar kok." Argi membuka suara, ia membasahi bibirnya sebelum melanjutkan ucapannya, "eh, gimana wiu wiu-nya? Mantep, nggak?"Tak ada
Tak hanya Nala, Bastian juga terlonjak kaget karena teriakan melengking Nala. Nala langsung membalikkan tubuhnya dan berlalu keluar dari kamar.BrakkHah ... hah ... hahDibalik pintu yang baru saja tertutup, deru nafas Nala masih terdengar, dadanya kembang kempis. Apa yang baru saja dilihatnya barusan masih terbayang jelas dalam ingatannya."Apaan tadi, woi?" Ditepuknya dengan kasar kedua pipinya itu. Berharap dengan melakukan ini akan mengembalikan kewarasan otaknya. "sakit." Tepukannya berubah menjadi elusan di wajahnya. Rasanya masih panas, kedua pipinya pasti tengah memerah.Ceklek"Astaga!" Nala terlonjak kaget. Spontan saja ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Di mana Bastian keluar dari kamar dengan pakaian lengkap di tubuhnya.Mendadak keduanya sama-sama canggung. Bastian menggaruk belakang kepalanya, sementara Nala sendiri membuang pandangannya ke arah lain sembari mengatur nafasnya."Emm, maaf ya, Om. Tadi malah lancang masuk-masuk ke dalam." Nala meringis, rasa ingin
"Hah? Kenapa, Om?" Buru-buru Nala menghampiri Bastian, lengkap dengan raut wajah penasarannya. "urgent, Om?"Melihat Nala yang terlalu antusias, bahkan meletakkan dengan kasar gelas dan teko di atas meja sebelum mendudukkan bokongnya di kursi, membuat Bastian lekas meletakkan alat makannya dan beralih menatap Nala. "Saya ada kerjaan di Jogja.""Lha? Itukan kerjaannya Om, terus maksudnya gimana?""Saya nggak mungkin ninggalin kamu sendiri."Nala mendengus, itu bukan alasan yang terdengar bagus di telinganya. "Biasanya juga sendiri, Om. Jangan khawatir.""Ini rumah, bukan apart. Nggak ada jaminan keamanan di sini, jangan ngeyel, ya."Kalimat terakhir yang Nala dengarnya terasa menggelitik telinga. Nadanya mengalun lembut. Aduh, tidak sesuai dengan mimik Bastian yang masih datar. "Kemarin juga Om nggak pulang, berani-berani aja tuh. Ya ... meskipun awalnya takut juga, sih, tapi nggak apa-apa, kok."Raut wajah Bastian mendadak terkejut, setelahnya pandangannya berubah memelas. Iya, ia aku
"Gue udah di jalan ke rumah lo.""Hah? Ngapain?" Nala tersetak kaget mendengar ucapan Argi barusan. "gue udah pesen ojek. Udah sampe juga,""Okay kalau gitu. Ntar ketemu aja di kampus, ada yang mau gue omongin. Serius."Nala terkekeh pelan, agak aneh mendengar seorang Argi mengatakan 'Serius'. "Halah, apaan, sih? Nggak pantes lo ngomong serius-serius gitu, muka lo kek badut soalnya."TutttTiba-tiba saja sambungan telepon itupun diputus secara sepihak. Membuat Nala langsung mendelik kesal. "Sialan, nggak sopan banget nih anak."Samar-samar rungunya mendengar suara klakson motor, itu pasti ojek pesanannya. Tanpa menunggu lama lagi, Nala pun mempercepat langkah kakinya. Tak lupa mengunci pintu dan membawa kunci cadangan."Aduh. Maaf, ya, Mas." Nala meraih helm yang diulurkan driver ojek online tersebut dan bergegas naik ke jok motor.Perlahan tapi pasti, motor yang ditumpangi Nala pun mulai melaju dengan kecepatan sedang. Setiap hari, setiap waktu jalanan ibu kota selalu macet, itulah y
"Bagian mana yang bikin lo takut?"Diusapnya air matanya dengan kasar, Nala menarik nafas dalam-dalam sebelum berucap, "Gue juga nggak tau, gue bingung, capek, nggak ngerti banget sama semua jalan hidup gue. Sialan banget emang!"Ditariknya dengan pelan tangan Nala, Argi membawa Nala kedalam pelukannya. Pelukan ekslusif yang bahkan baru pertama kali didapatkan Nala selama menjalin pertemanan dengan laki-laki ini. "Tumpahin tangis lo, nangis puas-puas, nanti ceritain semua uneg-uneg lo sama gue." Argi merasakan Nala yang ada di dalam pelukannya menganggukkan kepala, disusul suara isakan tangis.Isakan tangis itu perlahan mulai memilukan, ada gumaman yang Nala ucapkan, namun Argi sendiri tak memahami dengan pasti apa yang diucapkan Nala. Nala tak benar-benar menumpahkan tangisnya, ada bagian yang masih ia sembunyikan. Lagi pula, apa kata orang kalau ada yang mendengar dirinya menangis meraung di dalam mobil bersama dengan seorang pria. Itu sebabnya ia berusaha meredam suaranya, semampu
Sesi Briefing dari Dina dengan tema utama tips-tips memikat Suami telah berakhir kurang lebih sepuluh menit yang lalu. Kini, Nala sudah berada di pinggir jalan menunggu kedatangan ojek online yang telah dipesannya setelah menolak tawaran Dina untuk mengantarkannya pulang dengan alasan harus belanja.Ketika yang ditunggu datang, Nala langsung nangkring di jok belakang, menikmati pemandangan membosakan ibu kota yang saat ini terlihat lebih menarik untuknya. Mungkin karena efek setelah dirinya mencurahkan isi hatinya pada dua temannya, rasanya beban di pundaknya runtuh seketika. Ah iya, ia juga mendapat bonus berupa nasihat penting dari Argi sebagai semua jawaban dari permasalahannya saat ini dan juga tips dan trik dari Dina.Siapa sangka? Tidak ada yang menyangka memang, wajah polos Dina memang tidak sinkron dengan otaknya. Tak heran lagi jika Dina menjanjikan padanya untuk nanti malam akan dikirimi beberapa film panas sebagai salah satu referensi untuknya."Jangan langsung, jangan tera
Nala tersentak kaget saat mendengar suara bel yang ditekan berulang, lalu diketuk cukup keras. Mendadak kepalanya pening, sebab terbangun dalam kondisi terkejut. Saat ia melirik ke arah jam yang terpasang di dinding, jarum-jarum itu menunjukkan hampir pukul dua dini hari.Suara ketukan semakin intens membuat Nala bergegas bangkit dari posisi duduknya, mengabaikan pening yang dirasakannya, meskipun berkali-kali ia hendak jatuh.Mulut kecilnya terbuka tat kala berhasil membuka pintu dan menampakkan Bastian--suaminya datang dengan laki-laki asing dalam kondisi mabuk. "Om, kenap--"Menghiraukan wanita di depannya ini, David langsung menyerobot masuk, tangannya terasa pegal karena terlalu lama memapah Bastian yang proporsi tubuhnya tidaklah kecil."Di atas, Kak." Nala langsung mempercepat langkah kakinya, mengikuti dari belakang laki-laki itu yang tampak kepayahan merangkul Bastian.Namun, akhirnya Bastian bisa sampai dengan selamat ke kamarnya. Laki-laki itu membanting cukup kuat Bastian
"OM, NGAPAIN!?" Pekik Nala yang langsung tersadar dari tidurnya karena terkejut dan panik yang bersamaa. "itu apaan woiii." Jari telunjuknya mengarah pada Bastian.Sementara laki-laki yang jatuh tersungkur itupun lekas bangkit dari posisinya, mempertahankan raut wajah bingungnya. Kenapa dengan perempuan ini? Kenapa histeris? Kenapa menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya? Apa baru saja melihat setan? Atau efek dari mimpi buruk?"Kenapa?""KENAPA APAAN WOI! LIHAT LO TELANJANG, JANCOK!"Sontak saja Bastian langsung melihat dirinya sendiri. Mendadak wajah dan telinganya memerah, matanya membelalak tak percaya dengan mulut menganga. Rahangnya mengeras dan tanpa membuang-buang waktu lagi ia pun bergegas berlari menjauh.Buk ... buk ... bukBastian melarikan diri dari area itu secepat yang ia bisa. Sialan, ia begitu malu, bahkan lebih dari malu. Ingin rasanya ia menghilang dari bumi detik ini juga.Sesampainya di kamar, Bastian langsung menutup pintu dengan begitu kerasnya, seakan-
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini