Sayang sekali, kapal yang Davian sewa untuk makan malam romantisnya bersama Kaira tidak menawarkan fasilitas untuk menginap atau tidur di dalam kapal. Mereka turun di dermaga tepat lima menit setelah kalimat ambigu dari Kaira terucap. Setelah turun, tak ada percakapan berarti yang terjalin. Supir telah menunggu mereka dan Davian hanya menarik istrinya untuk cepat masuk ke dalam mobil dan bahkan masih tidak melepaskannya setelah mereka sampai resort sehingga Kaira hampir seperti ditarik paksa olehnya."M-mas! Pelan-pelan!" Keluh Kaira dalam perjalanan menuju kamar mereka. Davian melirik Kaira sekilas saat keduanya berada dalam lift. Mengendurkan cengkramannya, tentu saja tanpa melepaskan pegangannya pada sang istri. Netra lelaki itu tajam menatap Kaira yang masih bertanya-tanya tentang apa kiranya kesalahan yang dia lakukan hingga Davian nampak sedingin itu. Padahal sebelumnya mereka baik-baik saja, kan?Kurang dari dua puluh menit, Davian berhasil memboyong istrinya kembali ke kamar
Nafas Kaira tercekat ketika sang suami semakin melebarkan pahanya lantas menurunkan tubuhnya sendiri. Posisi Kaira terduduk di atas meja dengan kaki terbuka lebar dan pakaian sudah tak lagi di tempat yang semestinya. Menahan nafas ketika nafas Davian yang hangat berada tepat dihadapan intinya. Bibir Davian mengulas senyuman licik saat menatap wajah istrinya yang memerah. Tanpa aba-aba, Davian memulai aktivitasnya sehingga Kaira yang terkejut juga tanpa aba-aba melolongkan desahannya.Rasanya menyebalkan sekali. Sesuatu yang bagi Kaira seharusnya tidak perlu dilakukan, ingin menolak tapi entah mengapa tubuhnya seolah bereaksi sebaliknya. Saat ini dia tidak tahu apa yang dia inginkan, hanya bisa mengikuti respon tubuh yang benci dia akui sepertinya menginginkan lebih. Kaki Kaira bergerak-gerak hendak menjepit kepala Davian sebab sensasi asing yang tengah dirasakannya. Bukan hanya geli, Kaira serasa hampir menggila karenanya. Davian terus menahan pahanya agar tidak terus bergerak. Seme
Keesokan paginya, Kaira perlahan terbangun dan menemukan dirinya terbungkus dalam selimut dengan nafas hangat yang secara teratur menerpa lehernya dari belakang. Dia juga menyadari lengan kuat suaminya tengah melingkari tubuhnya dengan sangat posesif. Tubuh yang kokoh itu menempel di punggungnya. Berbagi kehangatan satu sama lain tanpa memberi jarak sedikitpun.Sejujurnya, ini adalah perasaan yang luar biasa, perasaan paling asing namun menyenangkan yang sepertinya pernah Kaira rasakan. Meskipun setelah itu, dia mulai merasakan sakit di sekujur tubuh.Dia meringis tanpa suara. Kali pertamanya semalam dan gempuran Davian yang menggila merupakan kombinasi luar biasa yang membuatnya hampir lupa daratan. Seluruh tubuhnya terasa kaku dan juga pegal. Kakinya bahkan terasa seperti jelly, pinggulnya sakit, lengan lemas, dan perut keram seperti habis dijahit. Kombinasi pagi yang luar biasa, belum pernah sebelumnya dia merasakan kelelahan ini. Bahkan jika dibandingkan dengan ingatannya tentang
Kaira keluar dengan berjalan tertatih setelah menyelesaikan kegiatan bersih-bersihnya di kamar mandi. Wanita itu sudah nampak lebih segar dengan aroma sabun yang menguar. Jelas membuat Davian turut melirik istrinya yang kesusahan berjalan itu. Davian hendak membantu, namun gesture tangan Kaira jelas menolak. Pada akhirnya Davian membiarkannya dan hanya bisa mengawasi sampai istrinya duduk di sofa dengan selamat.Davian kini sudah setidaknya menggunakan kaos dan celana panjang santainya. Lebih nyaman untuk Kaira tatapi setidaknya. Wanita itu teralihkan fokusnya saat sadar bahwa sang suami sedang berusaha mengatur ulang barang bawaan mereka untuk masuk ke dalam koper. Sebagai seorang istri yang baik, tentu saja Kaira hendak melakukannya. Packing barang-barang bawaan sebelum meninggalkan hotel. Namun rupanya Davian lebih gesit daripada yang ia kira. "Kamu istirahat saja! Aku sudah hampir selesai, kok! Yang masih tersisa diluar tas hanya peralatan makeup kamu di meja dan juga pakaian y
"Kita mau kemana, mas?"Kaira masih setengah sadar saat terbangun dalam mobil Davian. Langit jalanan sudah sangat gelap saat mereka landing di bandara setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih tiga jam tiga puluh menit. Keduanya dijemput oleh supir utusan keluarga Rajendra. Baru sekitar lima menit masuk mobil, Kaira sudah tertidur pulas tidak sadarkan diri. Dia baru sadar setelah entah berapa puluh menit perjalanan darat dan dengan sisa kesadarannya menemukan bahwa rute yang ditempuh sama sekali bukan rute menuju kediaman Davian.Davian disebelahnya masih nampak lebih segar. Meskipun sebenarnya Kaira yakin suaminya itu sama lelahnya seperti dia. Apalagi dengan kegiatan Davian yang jauh lebih padat. Entah bagaimana cara lelaki itu mempertahankan stamina diri dan menjaga ketenangannya seperti ini.Putra sulung keluarga Rajendra itu duduk tegap di kursi penumpang sembari mengotak-atik gambar dalam tablet. Kaira tadinya sempat menjatuhkan kepala di bahu sang suami, bahkan namp
Malam itu, kediaman Tania Rajendra dipenuhi suasana hangat dan akrab. Pesta kejutan untuk Kaira sukses dilangsungkan meskipun cukup dadakan dan sedikit memaksa pasangan tersebut untuk turut hadir. Sejujurnya, kalau bukan karena Alvero keceplosan menyebutkan bahwa ini adalah hari ulang tahun Kaira, Tania mungkin tidak akan jadi terburu-buru dan heboh begini.Usai makan malam, keluarga Kaira pamit untuk kembali ke rumah mereka. Tania sebenarnya menawarkan untuk menginap, Bude Mita nampak sangat antusias ketika ajakan tersebut dilayangkan. Namun sebagai Kepala Keluarga, Pak Hadinata dengan sopan menolak tawaran tersebut. Selain karena khawatir merepotkan, dia juga harus bekerja pagi-pagi sekali keesokan harinya. Si kembar juga harus berangkat ke sekolah sehingga mereka harus mempersiapkan semuanya di rumah."Nduk, kamu sehat-sehat, ya! Ingat! Selalu dengarkan perkataan suami kamu! Jangan keras kepala dan kalau bisa lebih banyak berdiskusi serta saling memahami satu sama lain," pesan Ibu
Kaira secara perlahan membuka matanya dan mulai menyesuaikan dengan intensitas cahaya yang masuk. Masih cukup minim, sebab ruangan luas dengan nuansa abu-abu dan putih itu masih lumayan gelap dengan hanya cahaya lampu tidur yang menerangi. Samar-samar Kaira melirik jam dinding, sudah pukul enam pagi sekarang. Berpikir lima detik, selebihnya Kaira gunakan untuk memaksa dirinya bangkit dari ranjang super nyaman dan juga dekapan hangat yang memeluknya dari belakang, siapa lagi kalau bukan ulah Davian?Suaminya itu ikut bergerak dan membuka mata saat merasakan pergerakan Kaira yang tiba-tiba. Menggosok wajahnya perlahan saat menyadari istrinya sudah ancang-ancang untuk turun dari ranjang. Melihat itu, Davian menggunakan lengan kokohnya untuk menarik kembali Kaira hingga terjatuh di dada bidangnya."Mas!" Kaira terpekik kaget saat tubuhnya kembali jatuh di ranjang, dalam dekapan kuat Davian pula."Mau kemana? Ini masih pagi sekali," tutur Davian dengan suara khas baru bangun tidur yang me
Sepasang insan yang kini sudah rapi itu akhirnya keluar kamar berjalan menuju meja makan. Kaira mengenakan blouse biru muda dengan semacam kulot yang nyaman. Sementara itu Davian muncul dengan kemeja kerja serta celana bahan berwarna hitam. Mama Tania dan Alvero sudah lebih dulu duduk tenang di meja makan. Tania tersenyum tipis saat melihat putranya terus mencekal pinggang istrinya, mensejajarkan langkah mereka sebab nampaknya Kaira tengah memaksakan diri untuk berjalan dengan normal.Tapi siapapun di rumah itu tahu, apa yang terjadi sehingga Kaira tertatih begitu.Davian nampak super perhatian. Mulai dari menjaga Kaira saat tengah berjalan, hingga membantu istrinya itu duduk. Sebuah pemandangan manis super langka sebab tidak seperti Davian biasanya yang super dingin, cuek, dan cenderung apatis terhadap sekitarnya.Mama Tania duduk di kursi utama, Davian dan Alvero ada di sebelah kanan dan kirinya sehingga mereka saling berhadapan. Sementara Kaira duduk di sebelah Davian. Mereka berem
Kaira membalut rambut panjangnya yang basah dengan handuk. Wanita itu keluar dari kamar mandi dan langsung menemukan aroma lezat menguar di seluruh kamar. Di meja, terlihat Davian tengah sibuk merapikan teko listrik yang mungkin sudah sempat pria itu gunakan. Kaira mendekat sebab aromanya berhasil memancing indra penciumannya yang mengirimkan sinyal ke tubuhnya bahwa dia sudah benar-benar lapar sekarang.Davian tersenyum menemukan istrinya berdiri tidak jauh dengan wajah excited. Dia tidak bisa memesan makanan secara room service disini karena ada batasan waktu yang ditetapkan oleh hotel. Untung saja tadi dirinya membelia dua cup mie dan juga beberapa makanan ringan pendamping yang setidaknya bisa mereka makan malam ini. "Ayo makan! Kita belum makan malam tadi," ajak Davian yang kini sudah merapikan dan menyiapkan makanan malam mereka. Meskipun hanya dua cup mie, tapi makanan tambahannya cukup banyak dan Kaira rasa sepertinya cukup bagi mereka. Uap panas mengepul dari cup itu, memenu
Hujan deras mengguyur tanpa henti, menutupi pandangan jalan di depan mereka. Petir sesekali menyambar, disusul oleh gemuruh yang mengguncang udara. Di dalam mobil, Kaira duduk dengan cemas sambil memegang ponsel, mencoba mencari informasi tentang kondisi jalan. Davian, di sisi lain, memegang setir dengan penuh perhatian, memastikan kendaraan mereka tetap aman meski jalanan licin.Saat melewati tikungan tajam, lampu mobil menerangi pemandangan yang membuat mereka terdiam sejenak. Sebuah pohon besar tumbang, melintang di tengah jalan, menghalangi sepenuhnya jalur menuju kota.Davian menghela napas panjang dan menginjak rem, menghentikan mobil dengan hati-hati. Ia menatap Kaira, yang kini menatap balik dengan ekspresi khawatir."Ada jalur alternatif lain, tapi kita harus putar balik cukup jauh," ujar Kaira sembari menggigiti kuku jarinya. "—Apa sebaiknya kita menunggu hujannya reda dulu? Aku khawatir mas akan sangat kesulitan dengan jarak pandang terbatas seperti ini," sambung Kaira kha
Di dalam mobil yang melaju tenang di bawah langit malam, suasana terasa begitu sunyi. Hanya deru mesin dan desahan napas yang terdengar. Kaira duduk di kursi penumpang, menunduk sambil memeluk tas kecilnya dengan erat. Matanya menerawang kosong, tetapi bibirnya bergetar seperti menahan emosi yang sudah lama membuncah.Davian meliriknya sesekali dari kursi pengemudi. Tangannya yang kuat menggenggam setir dengan tenang, tetapi hatinya gelisah. Ia tahu betul badai yang berkecamuk di dalam hati istrinya. Kejadian di kantor polisi tadi cukup untuk membuat siapa pun terpukul.Dia menyadari seberapa keras Kaira berjuang selama ini. Sayangnya, dia menutup mata tentang apa yang ada dibelakangnya. Bahwa selama ini Kaira masih berjuang untuk keluarganya, bukan sekedar untuk egonya sendiri. Namun justru seperti tidak dihargai?Sejujurnya, Davian pun turut menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia menjadi suami yang tidak peka terhadap penderitaan istrinya selama ini?“Kaira,” panggil Davian
Kemunculan ayah dan ibu Kaira jelas mengejutkan bagi mereka. Pertama, kasus Aidan ini sebenarnya tengah berusaha ditutupi oleh Bude Mita. Itu sebabnya hanya dia dan Kaira yang tahu tentang ini. Bude Mita memaksa Kaira untuk datang sebab dia yakin Kaira pasti bisa mengurus surat-surat untuk Aidan. Biasanya, Kaira juga tidak akan melibatkan kedua orang tuanya sebab dia tidak pernah ingin menyusahkan mereka.Bude Mita memanfaatkan sikap Kaira yang satu itu untuk diam-diam mendapatkan keuntungannya sendiri.Tapi siapa yang menyangka bahwa seluruh keluarga akan berkumpul disini sekarang? Mendengarkan apa yang seharusnya masih tersembunyi dibawah tangan.Sebelum-sebelumnya, ayah dan ibu Kaira memang tahu bahwa putri mereka turut memberikan uang kepada keluarga budenya itu. Tapi mereka tidak tahu bahwa nominal dan bahkan kejadian semacam ini sampai terjadi. "Kamu sudah tua, tapi masih bersikap tidak tahu malu seperti ini? Kamu benar-benar tidak menganggap kakakmu sendiri, huh?!" Ayah Kaira
Mata Bude Mita membelalak tidak percaya. Kali ini sebab mendengar dari mulut putra kesayangannya sendiri bagaimana tiba-tiba pria muda itu balik menyalahkannya."Kamu ini gimana sih, Aidan? Kamu mau sok membela kakak sepupu kamu yang pelit dan gak berguna ini?" Kesalnya.Aidan memejamkan matanya dan mengepalkan kedua tangannya dengan amarah. Kali ini mungkin sudah habis batas kesabarannya. Pria muda itu menjambak rambutnya keras lalu kembali menatap mama dan kakak sepupunya itu secara bergantian. "Mbak Kaira sudah membantu kita selama ini. Jumlahnya cukup untuk biaya sekolah! Aku bahkan tidak pernah kekurangan uang jajan sebab Mbak Kaira selalu memberi lebih, belum lagi uang bulanan yang masih aku terima dari Pakde. Uang untuk mama dan Aira pun terpisah. Bukankah kita sudah hidup sangat senang dan nyaman disana, ma? Jadi mengapa mama balik menyalahkan Mbak Kaira untuk hal ini?" Tanya Aidan panjang. Aidan melanjutkan bicaranya, "Mama mau tahu kenapa aku melakukan ini, kan?"Dia menat
Sore itu, hujan rintik-rintik menyelimuti kota, namun hati Kaira jauh lebih bergemuruh daripada cuaca di luar. Napasnya memburu ketika ia turun dari mobil dan berlari menembus jalanan menuju kantor polisi. Meninggalkan sang suami yang terus berteriak memanggil namanya khawatir sementara saat ini Davian masih harus memarkirkan mobilnya.Telepon dari seorang petugas barusan membuat dunia Kaira runtuh—Aidan yang selama ini dia usahakan untuk penuhi kebutuhannya, justru diselidiki atas dugaan keterlibatan dalam jaringan judi online.Kaira menahan gemuruh amarah dan kecewa dalam dirinya. Apa yang sebenarnya Aidan lakukan? Apa yang anak itu butuhkan sampai dia harus menempuh dan berada disini? Apa uang yang selama ini dia kirimkan masih kurang?Begitu tiba, Kaira melangkah masuk ke ruang interogasi, dan di sana, ia menemukan Aidan duduk dengan wajah penuh penyesalan namun tak berdaya. Adik sepupunya itu bahkan masih menggunakan seragam sekolahnya. Entah apa yang dia lakukan dan bagaimana di
Bude Mita Calling...Kaira memilih mendiamkan panggilan dari budenya itu. Ini entah sudah keberapa kalinya hari ini wanita itu menghubunginya sejak pagi, bahkan tanpa peduli bahwa Kaira saat ini tengah dalam jam kerja.Sebuah bentuk profesionalitas. Sekalipun perusahaan tempatnya bekerja sekarang adalah milik suaminya dan semua karyawan telah mengetahui pasal itu, Kaira tidak bisa seenaknya. Ralat, dia tidak mau bersikap seenaknya. Bekerja tetaplah bekerja. Kaira membalikkan ponselnya sehingga tak lagi melihat layarnya bercahaya akibat panggilan terus menerus yang Bude Mita alamatkan padanya. Serius! Kaira tidak paham lagi dengan isi kepala bibinya satu itu! Belakangan ini dia terus menerus meminta uang pada Kaira entah untuk apa. Masalahnya, Kaira ingat bahwa dia telah memberikan uang bulanan pada Budenya tersebut seminggu lalu dengan nominal yang bahkan tiga kali lipat dari yang bisa dia beri biasanya. Belum lagi untuk adik-adiknya, Kaira sudah melipatgandakan jumlahnya. "Buat apa
"Sudahlah, yang terpenting mamamu benar-benar merestui kita, kan?"Cindy memainkan kancing kemeja Alvero yang kini tengah bersandar di ranjang dashboard kamar apartemennya. Kepalanya bersandar pada dada bidang Alvero sembari menikmati kebersamaan mereka yang belakangan ini sudah sangat jarang dia dapatkan begini. Alvero hanya memandang satu titik gelap di dinding. Nampak tak tergoyahkan meskipun sejak tadi Cindy memberikan kode-kode menggoda dengan memainkan jemari dan bibirnya di dada Alvero. Sudah hampir tiga puluh menit berada di ranjang kamar Cindy, dan mereka benar-benar hanya tiduran tanpa banyak bicara serius setelah pengumuman keputusan Mama Rajendra petang tadi. Cindy hanya bisa diam saat mendengar wanita yang selama ini menghalangi pernikahannya dengan Alvero pada akhirnya memberikan restu bersyarat. Berbeda dengan Alvero yang nampak tidak puas dan bahkan sampai berani setengah membentak mamanya sendiri. Sejujurnya, Cindy sudah cukup bersyukur dengan keputusan itu. Setida
Di dalam mobil yang melaju perlahan menembus jalanan malam, suasana terasa sunyi. Hanya suara lembut dari mesin mobil yang mengisi kekosongan di antara mereka. Davian duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya memegang setir dengan erat, matanya fokus menatap jalan. Sementara itu, Kaira duduk di sampingnya, termenung sambil memandang ke luar jendela.Kaira menghela napas panjang, membiarkan pikirannya kembali pada kejadian di rumah keluarga Rajendra. Keputusan Mama Rajendra untuk merestui hubungan Alvero dan Cindy tadi benar-benar mengejutkannya. Namun, syarat yang menyertainya—agar pasangan itu tetap tinggal di Indonesia—telah memicu reaksi yang tidak biasa dari Alvero.Kaira berbicara pelan, "Alvero terlihat... sangat kesal tadi. Apa menurut mas itu karena syarat Mama?"Davian tidak langsung menjawab. Ia mengubah posisi duduknya sedikit, mencoba mengendurkan ketegangan di bahunya. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berbicara dengan nada rendah, "Iya, mungkin."Kaira menoleh, memanda