Elena menghela napas selama menatap foto Drake di ponselnya. Ia masih marah, tapi, tiga minggu terakhir membuatnya ingin bertemu pria itu lagi. Ia juga tahu, tak mungkin selamanya bersembunyi dari Drake. Ia harus mengumpulkan kesabaran untuk menghadapi pria itu lagi. “Sadarlah, Elena, pria itu iblis. Penuh tipu daya.” Elena menikmati kue dan pudingnya lagi dengan bersemangat. Makanan manis memang tak pernah gagal membuat moodnya membaik. Meski harus ia akui, berat badannya bertambah terus selama di sini. “Ma, aku pulang.” Elena tiba di rumah Mama Lily saat petang. Ia segera menuju dapur dan melihat Mama Lily. “Elena, wajahmu terlihat pucat beberapa hari ini. Apa kau sakit?” tanya Mama Lily seraga memeriksa kening Elena dengan punggung tangannya. “Sedikit lelah dan lemas, Ma. Tapi, aku baik-baik saja.” “Mungkin, kamu kelelahan bekerja dan jalan-jalan, Elena. Bersantailah di rumah beberapa hari.” “Iya, Mama. Jangan cemas, ya. Aku ingin tidur sebentar, Ma. Nanti biar aku siapkan
Hingga matahari terbit, Elena hanya tertidur sebentar. Tubuhnya terasa lelah, mungkin karena ia terlambat datang bulan. Ia lalu mandi dan bersiap turun membantu Mama Lily menyiapkan sarapan. Elena, Mama Lily, dan Drake sarapan bersama. Elena lebih banyak diam sementara Drake tak melepaskan pandangannya sedetik pun dari Elena. Mama Lily menghela napas berat beberapa kali. “Ma, setelah ini aku akan bekerja seperti biasa. Nanti siang kubantu menyiapkan makan siang.” Elena membantu membereskan piring lalu meletakkannya di wastafel. “Tidak perlu, kau harus banyak istirahat. Biar aku saja yang membantu Mama.” Elena langsung menoleh ke arah Drake, memberi tatapan tajam pada pria itu. “Jangan mengaturku.” Drake justru tersenyum berhasil membuat Elena menatapnya. Sejak kemarin, wanita itu tak mau menatapnya lebih lama dari dua detik. *** Lewat tengah hari, Elena keluar dari kamar. Ia bergegas turun membantu Mama Lily menyiapkan makan siang. Ia baru sadar, selai kacang dan beberapa s
Semalaman, Drake menunggu Elena yang sesekali mengigau. Meski suhu tubuhnya berangsur normal, Elena masih merasakan seluruh badannya sakit. Drake memandikan Elena usai keringatnya mereda. Tangannya tak henti menggenggam tangan Elena, seolah takut jika mantan istrinya itu akan menghilang lagi. “Aku minta maaf, Elena. Tolong maafkan aku. Jangan hukum aku dengan seperti ini.” Samar-samar, Elena mendengar rintihan dan tangisan Drake. Tapi, ia tak punya tenaga untuk membuka mata lebih lebar dan terbangun sepenuhnya. Hingga pagi pun tiba. Elena merasa tubuhnya lebih segar dan tak selemah pagi kemarin. Ketika membuka mata, ia melihat Drake tertidur seraya tertunduk di sisi ranjang, menggenggam tangannya. “Drake.” “Ya.” Drake segera bangun, menatap wajah Elena yang tak sepucat kemarin. “Aku haus.” Drake segera mengambilkan segelas air putih. Elena menghela napas panjang usai minum. “Kau tidur di sini?” “Siapa tahu kau membutuhkanku mengambil sesuatu.” “Aku ingin man ....” Kalim
“Elena, aku ....” Suara Drake melemah, ia mengatupkan rahang kuat-kuat. Elena mengernyitkan kening saat melihat ekspresi Drake yang menegang. “Aku sudah mengerti, bagimu cinta itu trauma. Kau tak mau kembali lagi memiliki perasaan seperti itu, kan? Itu membuatmu merasa lemah dan terpuruk. Sementara, itu yang kucari. Sudah jelas, lebih baik kita menjadi orang asing, Drake. Aku mengerti situasinya, jangan diperumit.” “Sejak sadar aku menyia-nyiakan pernikahan kita dengan kontrak itu, semua sudah terlambat. Kita mengakhiri dengan perceraian sesuai kontrak. Kukira aku akan baik-baik saja. Saat itu aku terpuruk, kau tak tahu karena sudah pergi. Aku datang kemari untuk melewati hari-hari yang sulit.” Elena teringat cerita Mama Lily tentang keterpurukan Drake waktu itu. Hal yang membuatnya terkejut begitu tahu. Bahkan, pria ini enggan memberitahunya tentang masa sulit itu. Kenapa sekarang Drake memberitahunya? “Aku ingin membahas dari awal.” Drake mendengar ada celah untuknya. Senyum
“Kau lagi,” ucap Luke seraya membuang muka. “Kenapa kau di sini?” tanya Drake seraya mendekati Elena dan Luke. “Ada urusan tentu saja. Elena, kau mau di antar siapa?” “Aku pulang sendiri saja, Luke. Sampai jumpa besok.” Elena tak ingin melihat situasi tak nyaman. Ia segera pergi meninggalkan dua pria itu di pinggir jalan. Elena berjalan ke halte bus dengan cepat. Ia tak mau ambil bagian diantar pulang salah satu dari mereka jika hanya akan terjadi perdebatan. Di dalam bus, Elena mengambil tempat duduk di tengah. Detik berikutnya seseorang duduk di sebelahnya. “Besok kau mau bertemu dengannya lagi?” “Kau masih saja mengikutiku.” “Aku tahu kau tak merasa nyaman denganku, tapi, aku khawatir. Jadi, mengikutimu diam-diam.” “Kau pikir aku tidak tahu?” “Jadi, kau sudah tahu sejak tadi.” “Sejak kapan kau jadi stalker? Jauh-jauh ke sini hanya ingin menjadi penguntitku?” “Karena kau membenciku. Kalau kau mau aku bisa menemanimu jalan-jalan.” “Lebih baik aku pergi dengan Luke.”
Elena sendiri enggan merespons ciuman Drake. Pria yang seperti kelaparan untuk menciumnya itu berusaha keras membujuk bibirnya untuk terbuka. Ia tak bisa membiarkan mantan suaminya itu bertindak semaunya. Bahkan, permintaannya tak dituruti Drake. Elena bertahan hingga Drake berhenti. “Aku mencintaimu, Elena.” Wajahnya membeku, seluruh tubuhnya mematung di tempat. Tangan Drake menangkup kedua pipinya. “Apa?” “Aku mencintaimu, jangan pergi dari hidupku, Elena.” Drake menempelkan keningnya ke kening Elena. Merasakan setiap embusan napas dan detak jantung Drake yang membuatnya sedih. “Apa kau tahu, kalau cinta yang sesungguhnya bukan melemahkan, Drake. Cinta akan menguatkanmu dan menjadikanmu lebih baik, bersama orang yang tepat. Jangan takut untuk mengakui perasaanmu.” Elena memejamkan mata, merasakan kegetiran yang sama dengan Drake. “Aku takut kau akan pergi dan perasaan itu akan membuatku terpuruk lagi.” “Aku hanya pergi kalau kau tak mencintaiku, Drake. Kau mengerti, kan?”
“Apa kabar yang baru saja pulang honeymoon?” tanya Kate seraya mengerlingkan mata. “Siapa juga yang honeymoon.” Elena menjawab dengan salah tingkah. Ia mencoba fokus membaca dokumen yang baru saja diberikan oleh Kate. Ada yang berubah setelah Elena pulang dari Perancis bersama Drake. Sahabat Kate itu lebih banyak tersenyum. “Jadi, kapan undangan pernikahannya?” goda Kate lagi. “Jadi, kapan kau mau menceritakan bagaimana bisa Carl tinggal di rumahmu?” Serangan balasan dari Elena seraya terkekeh. Kate yang tak menduga akan mendapat balasan seperti itu hanya terdiam. Wajahnya bersemu merah. “Kami sedang mempersiapkan pesta kecil. Nanti pasti kukabari, aku perlu bantuanmu, Kate.” “Ya, tentu saja aku akan membantu.” “Lalu, apa kau dan Carl memang sepasang kekasih sekarang?” “Tidak, kami bukan ... pasangan.” “Kenapa, Kate?” Elena berdiri dari posisinya, menatap wajah sahabatnya itu dengan tatapan penuh tanya. Sebelum sempat Kate menjawab, mendadak pintu terbuka. Carl masuk deng
“Mama memberitahumu?” “Ya, aku minta maaf karena tidak tahu kau terpuruk saat itu.” “Kenapa Mama mengatakan hal itu padamu?” Rahang Drake mengeras, itu adalah masa terpuruk yang terburuk sepanjang hidupnya. Saat berpisah dengan Alexa saja ia tak seperti itu. Kening pria itu berkerut, memberi kesan tak bersahabat. Elena yang juga bersandar di kepala ranjang, sejak tadi mengamati ekspresi mantan suaminya itu. Kalimat pernyataannya pastilah tak mengenakkan didengar. Satu tangan Elena terangkat, mengusap garis rahang wajah Drake. “Kenapa marah?” “Itu adalah waktu terburuk yang pernah kurasakan. Kenapa Mama memberitahumu masa terpurukku?” “Kenapa aku tidak boleh tahu?” Pertanyaan spontan Elena membuat Drake tertegun. Ia memang tak biasa mengakui perasaan dengan cara yang terang-terangan seperti itu. “Karena kau tidak perlu melihatku dalam masa terlemah dan terburukku.” “Itu yang harus kau ubah. Mereka yang saling mencintai akan terbuka untuk hal apa pun, sekalipun itu terburuk