Semalaman, Drake menunggu Elena yang sesekali mengigau. Meski suhu tubuhnya berangsur normal, Elena masih merasakan seluruh badannya sakit. Drake memandikan Elena usai keringatnya mereda. Tangannya tak henti menggenggam tangan Elena, seolah takut jika mantan istrinya itu akan menghilang lagi. “Aku minta maaf, Elena. Tolong maafkan aku. Jangan hukum aku dengan seperti ini.” Samar-samar, Elena mendengar rintihan dan tangisan Drake. Tapi, ia tak punya tenaga untuk membuka mata lebih lebar dan terbangun sepenuhnya. Hingga pagi pun tiba. Elena merasa tubuhnya lebih segar dan tak selemah pagi kemarin. Ketika membuka mata, ia melihat Drake tertidur seraya tertunduk di sisi ranjang, menggenggam tangannya. “Drake.” “Ya.” Drake segera bangun, menatap wajah Elena yang tak sepucat kemarin. “Aku haus.” Drake segera mengambilkan segelas air putih. Elena menghela napas panjang usai minum. “Kau tidur di sini?” “Siapa tahu kau membutuhkanku mengambil sesuatu.” “Aku ingin man ....” Kalim
“Elena, aku ....” Suara Drake melemah, ia mengatupkan rahang kuat-kuat. Elena mengernyitkan kening saat melihat ekspresi Drake yang menegang. “Aku sudah mengerti, bagimu cinta itu trauma. Kau tak mau kembali lagi memiliki perasaan seperti itu, kan? Itu membuatmu merasa lemah dan terpuruk. Sementara, itu yang kucari. Sudah jelas, lebih baik kita menjadi orang asing, Drake. Aku mengerti situasinya, jangan diperumit.” “Sejak sadar aku menyia-nyiakan pernikahan kita dengan kontrak itu, semua sudah terlambat. Kita mengakhiri dengan perceraian sesuai kontrak. Kukira aku akan baik-baik saja. Saat itu aku terpuruk, kau tak tahu karena sudah pergi. Aku datang kemari untuk melewati hari-hari yang sulit.” Elena teringat cerita Mama Lily tentang keterpurukan Drake waktu itu. Hal yang membuatnya terkejut begitu tahu. Bahkan, pria ini enggan memberitahunya tentang masa sulit itu. Kenapa sekarang Drake memberitahunya? “Aku ingin membahas dari awal.” Drake mendengar ada celah untuknya. Senyum
“Kau lagi,” ucap Luke seraya membuang muka. “Kenapa kau di sini?” tanya Drake seraya mendekati Elena dan Luke. “Ada urusan tentu saja. Elena, kau mau di antar siapa?” “Aku pulang sendiri saja, Luke. Sampai jumpa besok.” Elena tak ingin melihat situasi tak nyaman. Ia segera pergi meninggalkan dua pria itu di pinggir jalan. Elena berjalan ke halte bus dengan cepat. Ia tak mau ambil bagian diantar pulang salah satu dari mereka jika hanya akan terjadi perdebatan. Di dalam bus, Elena mengambil tempat duduk di tengah. Detik berikutnya seseorang duduk di sebelahnya. “Besok kau mau bertemu dengannya lagi?” “Kau masih saja mengikutiku.” “Aku tahu kau tak merasa nyaman denganku, tapi, aku khawatir. Jadi, mengikutimu diam-diam.” “Kau pikir aku tidak tahu?” “Jadi, kau sudah tahu sejak tadi.” “Sejak kapan kau jadi stalker? Jauh-jauh ke sini hanya ingin menjadi penguntitku?” “Karena kau membenciku. Kalau kau mau aku bisa menemanimu jalan-jalan.” “Lebih baik aku pergi dengan Luke.”
Elena sendiri enggan merespons ciuman Drake. Pria yang seperti kelaparan untuk menciumnya itu berusaha keras membujuk bibirnya untuk terbuka. Ia tak bisa membiarkan mantan suaminya itu bertindak semaunya. Bahkan, permintaannya tak dituruti Drake. Elena bertahan hingga Drake berhenti. “Aku mencintaimu, Elena.” Wajahnya membeku, seluruh tubuhnya mematung di tempat. Tangan Drake menangkup kedua pipinya. “Apa?” “Aku mencintaimu, jangan pergi dari hidupku, Elena.” Drake menempelkan keningnya ke kening Elena. Merasakan setiap embusan napas dan detak jantung Drake yang membuatnya sedih. “Apa kau tahu, kalau cinta yang sesungguhnya bukan melemahkan, Drake. Cinta akan menguatkanmu dan menjadikanmu lebih baik, bersama orang yang tepat. Jangan takut untuk mengakui perasaanmu.” Elena memejamkan mata, merasakan kegetiran yang sama dengan Drake. “Aku takut kau akan pergi dan perasaan itu akan membuatku terpuruk lagi.” “Aku hanya pergi kalau kau tak mencintaiku, Drake. Kau mengerti, kan?”
“Apa kabar yang baru saja pulang honeymoon?” tanya Kate seraya mengerlingkan mata. “Siapa juga yang honeymoon.” Elena menjawab dengan salah tingkah. Ia mencoba fokus membaca dokumen yang baru saja diberikan oleh Kate. Ada yang berubah setelah Elena pulang dari Perancis bersama Drake. Sahabat Kate itu lebih banyak tersenyum. “Jadi, kapan undangan pernikahannya?” goda Kate lagi. “Jadi, kapan kau mau menceritakan bagaimana bisa Carl tinggal di rumahmu?” Serangan balasan dari Elena seraya terkekeh. Kate yang tak menduga akan mendapat balasan seperti itu hanya terdiam. Wajahnya bersemu merah. “Kami sedang mempersiapkan pesta kecil. Nanti pasti kukabari, aku perlu bantuanmu, Kate.” “Ya, tentu saja aku akan membantu.” “Lalu, apa kau dan Carl memang sepasang kekasih sekarang?” “Tidak, kami bukan ... pasangan.” “Kenapa, Kate?” Elena berdiri dari posisinya, menatap wajah sahabatnya itu dengan tatapan penuh tanya. Sebelum sempat Kate menjawab, mendadak pintu terbuka. Carl masuk deng
“Mama memberitahumu?” “Ya, aku minta maaf karena tidak tahu kau terpuruk saat itu.” “Kenapa Mama mengatakan hal itu padamu?” Rahang Drake mengeras, itu adalah masa terpuruk yang terburuk sepanjang hidupnya. Saat berpisah dengan Alexa saja ia tak seperti itu. Kening pria itu berkerut, memberi kesan tak bersahabat. Elena yang juga bersandar di kepala ranjang, sejak tadi mengamati ekspresi mantan suaminya itu. Kalimat pernyataannya pastilah tak mengenakkan didengar. Satu tangan Elena terangkat, mengusap garis rahang wajah Drake. “Kenapa marah?” “Itu adalah waktu terburuk yang pernah kurasakan. Kenapa Mama memberitahumu masa terpurukku?” “Kenapa aku tidak boleh tahu?” Pertanyaan spontan Elena membuat Drake tertegun. Ia memang tak biasa mengakui perasaan dengan cara yang terang-terangan seperti itu. “Karena kau tidak perlu melihatku dalam masa terlemah dan terburukku.” “Itu yang harus kau ubah. Mereka yang saling mencintai akan terbuka untuk hal apa pun, sekalipun itu terburuk
Kate sudah duduk di meja rias selama 15 menit, ia hampir selesai. Ia hanya memoles wajahnya dengan make up tipis. Setelah selesai, ia membuka lemarinya. Beberapa baju ia keluarkan dari sana. Kate lalu mencoba melihat ke cermin dengan beberapa baju yang ditempelkannya ke tubuhnya. Memilih mana yang cocok ia pakai hari ini. Carl baru saja selesai mandi, saat hendak masuk ke kamar Kate untuk mengganti baju, ia melihat wanita itu sibuk mematut dirinya di cermin seraya menempelkan beberapa pakaian ke tubuhnya. Tanpa Kate sadari, Carl berdiri di ambang pintu seraya tersenyum tiap kali Kate mencoba memadupadankan baju ke tubuhnya. Kate seolah sedang berbicara sendiri. Kini, tinggal dua pasang baju yang membuat wanita itu ragu. “Yang mana, ya, apa aku tanya Carl saja. Ke mana dia, dari tadi belum selesai ....” Kalimatnya terhenti saat membalikkan badan dan melihat Carl berdiri di ambang pintu. “Sejak kapan kau di sana?” “Sejak tadi.” Kate meringis saat tahu jawaban Carl. Pria itu pa
Jantung Kate berpacu semakin keras. Jika bisa bersuara dan berlomba dengan nyeri kram di kakinya saat ini, tentu akan menang jantung yang semakin cepat bekerja itu. Sebuah tangan mengusap lembut dagu Kate. Terbuai dengan usapan lembut di dagunya, Kate memejamkan mata. Perlahan, bibir Carl semakin turun, menemukan apa yang selama ini dicarinya lalu segera mengambilnya. Dengan sabar, Carl membujuk Kate untuk membuka bibirnya, memperdalam akses yang ia butuhkan. Awalnya Kate menolak, ya, Kate memang selalu seperti itu, Carl tahu. Setelah bersabar beberapa lama, Kate mulai membuka bibirnya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, Carl yang seolah diberi izin, segera masuk dan memperdalam ciumannya. Saat menikmati pagutannya dengan penuh semangat, dering panggilan di ponsel Carl berbunyi. Kate yang semakin larut, samar-samar mendengar bunyi ponsel, setelah mereda, bunyinya muncul kembali. Seketika Kate tersadar. Ia menekan dada Carl seraya menjauhkan wajahnya dari pria itu. Mengetahui adanya