Elena sendiri enggan merespons ciuman Drake. Pria yang seperti kelaparan untuk menciumnya itu berusaha keras membujuk bibirnya untuk terbuka. Ia tak bisa membiarkan mantan suaminya itu bertindak semaunya. Bahkan, permintaannya tak dituruti Drake. Elena bertahan hingga Drake berhenti. “Aku mencintaimu, Elena.” Wajahnya membeku, seluruh tubuhnya mematung di tempat. Tangan Drake menangkup kedua pipinya. “Apa?” “Aku mencintaimu, jangan pergi dari hidupku, Elena.” Drake menempelkan keningnya ke kening Elena. Merasakan setiap embusan napas dan detak jantung Drake yang membuatnya sedih. “Apa kau tahu, kalau cinta yang sesungguhnya bukan melemahkan, Drake. Cinta akan menguatkanmu dan menjadikanmu lebih baik, bersama orang yang tepat. Jangan takut untuk mengakui perasaanmu.” Elena memejamkan mata, merasakan kegetiran yang sama dengan Drake. “Aku takut kau akan pergi dan perasaan itu akan membuatku terpuruk lagi.” “Aku hanya pergi kalau kau tak mencintaiku, Drake. Kau mengerti, kan?”
“Apa kabar yang baru saja pulang honeymoon?” tanya Kate seraya mengerlingkan mata. “Siapa juga yang honeymoon.” Elena menjawab dengan salah tingkah. Ia mencoba fokus membaca dokumen yang baru saja diberikan oleh Kate. Ada yang berubah setelah Elena pulang dari Perancis bersama Drake. Sahabat Kate itu lebih banyak tersenyum. “Jadi, kapan undangan pernikahannya?” goda Kate lagi. “Jadi, kapan kau mau menceritakan bagaimana bisa Carl tinggal di rumahmu?” Serangan balasan dari Elena seraya terkekeh. Kate yang tak menduga akan mendapat balasan seperti itu hanya terdiam. Wajahnya bersemu merah. “Kami sedang mempersiapkan pesta kecil. Nanti pasti kukabari, aku perlu bantuanmu, Kate.” “Ya, tentu saja aku akan membantu.” “Lalu, apa kau dan Carl memang sepasang kekasih sekarang?” “Tidak, kami bukan ... pasangan.” “Kenapa, Kate?” Elena berdiri dari posisinya, menatap wajah sahabatnya itu dengan tatapan penuh tanya. Sebelum sempat Kate menjawab, mendadak pintu terbuka. Carl masuk deng
“Mama memberitahumu?” “Ya, aku minta maaf karena tidak tahu kau terpuruk saat itu.” “Kenapa Mama mengatakan hal itu padamu?” Rahang Drake mengeras, itu adalah masa terpuruk yang terburuk sepanjang hidupnya. Saat berpisah dengan Alexa saja ia tak seperti itu. Kening pria itu berkerut, memberi kesan tak bersahabat. Elena yang juga bersandar di kepala ranjang, sejak tadi mengamati ekspresi mantan suaminya itu. Kalimat pernyataannya pastilah tak mengenakkan didengar. Satu tangan Elena terangkat, mengusap garis rahang wajah Drake. “Kenapa marah?” “Itu adalah waktu terburuk yang pernah kurasakan. Kenapa Mama memberitahumu masa terpurukku?” “Kenapa aku tidak boleh tahu?” Pertanyaan spontan Elena membuat Drake tertegun. Ia memang tak biasa mengakui perasaan dengan cara yang terang-terangan seperti itu. “Karena kau tidak perlu melihatku dalam masa terlemah dan terburukku.” “Itu yang harus kau ubah. Mereka yang saling mencintai akan terbuka untuk hal apa pun, sekalipun itu terburuk
Kate sudah duduk di meja rias selama 15 menit, ia hampir selesai. Ia hanya memoles wajahnya dengan make up tipis. Setelah selesai, ia membuka lemarinya. Beberapa baju ia keluarkan dari sana. Kate lalu mencoba melihat ke cermin dengan beberapa baju yang ditempelkannya ke tubuhnya. Memilih mana yang cocok ia pakai hari ini. Carl baru saja selesai mandi, saat hendak masuk ke kamar Kate untuk mengganti baju, ia melihat wanita itu sibuk mematut dirinya di cermin seraya menempelkan beberapa pakaian ke tubuhnya. Tanpa Kate sadari, Carl berdiri di ambang pintu seraya tersenyum tiap kali Kate mencoba memadupadankan baju ke tubuhnya. Kate seolah sedang berbicara sendiri. Kini, tinggal dua pasang baju yang membuat wanita itu ragu. “Yang mana, ya, apa aku tanya Carl saja. Ke mana dia, dari tadi belum selesai ....” Kalimatnya terhenti saat membalikkan badan dan melihat Carl berdiri di ambang pintu. “Sejak kapan kau di sana?” “Sejak tadi.” Kate meringis saat tahu jawaban Carl. Pria itu pa
Jantung Kate berpacu semakin keras. Jika bisa bersuara dan berlomba dengan nyeri kram di kakinya saat ini, tentu akan menang jantung yang semakin cepat bekerja itu. Sebuah tangan mengusap lembut dagu Kate. Terbuai dengan usapan lembut di dagunya, Kate memejamkan mata. Perlahan, bibir Carl semakin turun, menemukan apa yang selama ini dicarinya lalu segera mengambilnya. Dengan sabar, Carl membujuk Kate untuk membuka bibirnya, memperdalam akses yang ia butuhkan. Awalnya Kate menolak, ya, Kate memang selalu seperti itu, Carl tahu. Setelah bersabar beberapa lama, Kate mulai membuka bibirnya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, Carl yang seolah diberi izin, segera masuk dan memperdalam ciumannya. Saat menikmati pagutannya dengan penuh semangat, dering panggilan di ponsel Carl berbunyi. Kate yang semakin larut, samar-samar mendengar bunyi ponsel, setelah mereda, bunyinya muncul kembali. Seketika Kate tersadar. Ia menekan dada Carl seraya menjauhkan wajahnya dari pria itu. Mengetahui adanya
Drake turun dari mobil, lalu berjalan cepat menuju ke lift. Diikuti Will di belakangnya, pria dengan brewok tipis di rahangnya yang maskulin itu bergegas menuju ruangan Elena. Kate yang ada di depan ruangan tersenyum menyapa. “Elena di ruangannya, kan?” “Ya, Tuan Drake.” Kate menjawab dengan panggilan resmi untuk Drake saat di kantor. “Will, kau tunggu di luar saja.” “Baik, Tuan.” Kate menunjuk kursi kosong tak jauh dari tempatnya untuk tempat Will duduk dan menunggu. Carl yang baru saja dari lantai bawah terkejut dengan kedatangan Drake dan Will ke kantor Elena. “Will, kau di sini dengan Tuan Drake?” “Ya, urusan penting.” “Baru kali ini aku melihat Tuan Drake menemui langsung di kantor Elena seperti ini,” sahut Kate turut bergabung dalam percakapan. “Ya, kami juga.” Carl menjawab seraya menatap anggukan setuju dari Will. Ketiga orang itu menatap ke arah pintu ruangan Elena. *** “Drake, apa yang kau lakukan di sini?” Elena langsung berdiri dari posisinya. Ia tak salah
“Aku masih tak mengerti tujuanmu datang ke kantor tadi kenapa, Drake,” tanya Elena begitu Drake muncul dari kamar mandi. Wanita berambut pirang sebahu itu baru saja selesai mengeringkan rambutnya. Ia beranjak menuju ke sofa panjang di tengah ruangan. Sementara Drake yang bertelanjang santai mengikuti Elena duduk. Tangannya meraih pinggang Elena. “Memang tak ada, aku hanya ingin menjemputmu saja.” “Sejak kapan kau ingin datang ke kantorku. Kau tidak pernah melakukannya selama ini.” “Aku sedikit berubah, kan?” “Ya.” “Sering-seringlah datang ke kantorku, Elena.” “Kenapa? Tadi saja kau punya fantasi tertentu saat datang ke kantorku.” Elena menggelengkan kepalanya. Melihat reaksi Elena, Drake pun tertawa. Wanita itu enggan menatapnya. “Ya, memangnya tidak boleh?” Elena memukul lengan Drake. Ia jengkel karena pria dingin itu begitu mudah mengatakan hal mesum begitu saja. Akhir-akhir ini pun selalu mengikuti ke mana Elena pergi dan tiap malam tak mau jauh darinya. Tangan lenti
Kate merapikan veil atau tudung gaun pengantin dengan hati-hati. Ia juga memastikan tak ada benang lepas atau apa pun yang dapat mengurangi kesempurnaan gaun dan pengantin wanita di depannya ini. Kate tersenyum ke arah cermin. Ia bisa melihat Elena tersenyum hangat padanya. Elena mengamati kesibukan tangan sahabatnya, Kate, yang sejak tadi mondar mandir memastikan koordinasi berjalan dengan baik bersama tim WO. Kini sahabatnya itu juga baru saja merapikan tudung gaun pengantinnya dengan penuh perhatian.“Sekarang tak ada lagi sahabat yang kabur dari rumah lalu tidur di flatku.”“Tempatmu adalah tempat ternyaman untuk melarikan diri, Kate. Terima kasih telah menampungku selama ini.”“Sama-sama. Ya, pintu rumahku selalu terbuka untukmu meski aku tak berharap kau akan melarikan diri lagi dari Drake setelah hari ini.”Kedua wanita itu tertawa, menikmati ingatan-ingatan lama yang datang. Untuk sampai ke hari di mana Elena benar-benar menikah. Bukan pernikahan kontrak atau
Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem
“Kita bicarakan hal lain saja.” “Drake, ada apa? Aku tahu ada yang salah, tapi, kau tak mau cerita padaku.” “Tidak. Itu tidak penting lagi, Elena.” “Penting bagiku.” “Penting bagiku untuk menjaga keadaanmu dan bayi kita tetap stabil.” “Tapi, aku tidak bisa pura-pura tak tahu sedangkan aku jelas merasa kau menyembunyikan sesuatu.” “Sudah kubilang itu tak penting. Semua sudah berlalu.” Elena membuang pandangannya ke samping. Sepertinya ini juga sia-sia saja. Seperti tadi saat bertanya ke Mama Lily. Wanita berambut pirang itu berdiri, lalu keluar dari kamar. Drake menghela napas kasar, mengikuti Elena. “Elena, kau mau ke mana? Ini sudah malam.” “Kau tidur saja.” “Aku tidak mungkin tidur kalau kau belum tidur.” Elena tak menanggapi, ia hanya berjalan terus menuju perpustakaan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Satu ruangan dengan Drake terasa membuatnya kecewa. “Elena, ayo kembali ke kamar.” “Aku masih mau di sini. Pergilah.” Elena baru saja melangkah masuk ke perpustakaan
Tatapan sendu Drake terlihat jelas. Istrinya itu kini tampak rapuh di matanya. Sesekali menghela napas panjang, mengingat setiap momen Elena membantunya mandi, berganti pakaian dan makan. Terkadang ia juga membantu mengetikkan pekerjaan kantornya saat bahunya mulai sakit. Ia ingin merutuki diri sendiri karena tak peka pada keadaan istrinya sendiri. Beberapa kali ia mengetahui Elena muntah di pagi hari. Ia kira hanya karena sakit maaf yang kadang kambuh.“Drake, aku tertidur ya?”Lamunan Drake seketika buyar saat melihat mata Elena terbuka. Istrinya berusaha bangun.“Tidur saja dulu, kau perlu istirahat.”Elena kembali berbaring. Ia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tiba-tiba ia ingat, tangannya langsung mencengkeram jari-jari Drake.“Bayinya bagaimana?”“Baik-baik saja. Tak ada masalah. Jangan khawatir.”“Syukurlah.”Elena memejamkan matanya sesaat. Ia menarik napas panjang dengan rasa lega. Drake beranjak dari duduknya, ia mencium kening istrinya cukup lama.
Wanita berambut pirang itu duduk dengan tatapan kosong. Seolah seperti patung, Elena tak bergerak sedikit pun. Hingga dua orang, pria dan wanita datang menghampiri. “Elena.” Kate langsung memeluk tubuh ramping yang kini rapuh itu. Elena membalas pelukan Kate seraya menangis tersedu. Di tangannya masih tersisa darah dari Drake. “Kate, maaf, bajumu kotor terkena darah di tanganku.” “Tak masalah. Jangan khawatir. Bagaimana kondisi Drake?” “Will bilang bahunya terkena tembakan. Drake menghalau peluru yang sepertinya sengaja dialihkan padaku.” “Pelakunya bagaimana?” tanya Carl dengan nada cemas. “Sudah diamankan oleh pihak berwajib. Will sedang bertemu dengan mereka.” Carl memutuskan tetap berjaga di situ. Ia telah meminta beberapa pengawal Drkae yang lain untuk mendekat ke ruang perawatan ini, menjaga dan mengantisipasi jika saja masih ada orang suruhan Alfred yang berniat mencelakai. “Kita bersihkan dulu tanganmu. Ayo, Elena.” Kate membantu Elena berdiri lalu berjalan menuju t