Drake telah keluar dari kamar mandi. Elena baru saja menghapus make upnya. Ia menatap ke arah balkon, hari menjelang petang. Langkah kaki perlahan mendekat. “Perlu bantuan?” tanya Drake. “Resletingnya.” Elena telah berusaha menarik turun resleting gaunnya sejak tadi, tapi tak berhasil. Ia segera berdiri memunggungi Drake. Pria itu menurunkan resleting perlahan. Jari-jari kulitnya bersentuhan dengan punggung Elena. Seraya menahan senyum, Drake mengusapkan jemarinya ke punggung mulus itu. Membuat Elena seketika meremang. “Drake.” Elena segera membalikkan tubuhnya untuk menatap tajam Drake. Pria itu terkekeh pelan seraya mendekatkan wajahnya ke ceruk leher istrinya. Elena tahu betul apa yang ada di pikiran Drake saat ini. Tangannya mendorong Drake menjauh. “Aku mau mandi.” “Baiklah, baiklah. Aku bisa membantumu.” “Tidak, aku bisa sendiri.” Elena berjalan cepat menuju kamar mandi, mengabaikan senyum lebar Drake karena berhasil membuatnya salah tingkah meski hanya sesaat. Ia c
“BDSM?” “Ya Tuhan, jadi kau ... benarkah kau ....” “Elena, menurutmu aku seperti itu? Kenapa kau mengira begitu?” “Katamu tadi ini baru permulaan. Kupikir kau menyukai sesuatu yang ... ekstrem.” “Itu tidak benar. Aku tahu sendiri aki tidak pernah berlebihan atau mengarah ke BDSM, kan?” Elena menghela napas lega seraya memegangi dadanya. Padahal, saat mengira Drake penganut BDSM, jantungnya serasa ingin lepas. Drake mengamati wajah lega istrinya itu. “Kau lega?” “Tentu saja. Aku tidak ... bisa kalau kau seperti itu.” Drake memeluk Elena yang terduduk lesu di pinggir ranjang dengannya. Meyakinkan istrinya jika ia tak seperti yang dituduhkan. “Kau selalu saja membuat prasangka sendiri. Dulu waktu Alexa menjatuhkan dirinya sendiri dari tangga dan aku membantunya meski terpaksa, kau memberiku tatapan ngeri. Apa yang kau pikirkan saat itu?” Elena melerai pelukannya, ia ingin melihat wajah Drake. Mengingat kembali tatapan suaminya itu di malam itu. Ia menghela napas panjang. “Kar
Bulan madu Drake dan Elena ke Asia selama 10 hari. Tepatnya ke Pulau Lombok dan Raja Ampat di Indonesia. Atas saran dari Elena yang sejak dulu ingin berlibur di wilayah tropis. Wanita itu begitu senang, karena Drake tak mengungkungnya di kamar hotel terus. Karena banyaknya hal gang ingin mereka eksplorasi, Drake pun juga antusias mendatangi berbagai macam tempat. Tak terasa, waktu bulan madu sudah habis. Elena dan Drake kembali ke Inggris. Dalam perjalanan pulang, Drake lebih banyak diam. Kebalikan dari Elena yang terlihat semangat dan penuh senyum.“Drake, ada apa? Apa kau sakit?” tanya Elena seraya mengusap lembut pipi Drake.“Aku tidak sakit.”Drake kembali fokus membaca majalah di tangannya. Elena mengamati suaminya lebih lama.“Drake, aku tahu kau bohong. Kenapa cemberut sejak tadi?”“Aku biasa saja.”“Ini makanannya juga belum kau makan dari tadi.”“Aku tidak lapar.”Semua jawaban Drake hanya mempertegas keadaan jika pria itu dalam suasana hati yang buruk. Ele
“Ya Tuhan, ini sudah pukul tujuh. Drake, cepat bangun, kita bisa terlambat.”Bukannya menuruti perintah istrinya untuk segera bangun, Drake justru mengeratkan pelukannya. Membuat Elena semakin kesal.“Tidak bisakah kita libur saja hari ini?”“Kita sudah libur sepuluh hari, sayang. Ayo, bangun! Tidak boleh malas.”“Panggil sayang sekali lagi.”Elena menghela napas panjang, entah mengapa sejak bulan madu Drake mudah merajuk dan mulai muncul sifat kekanak-kanakannya.“Ayo, bangun, sayang.”“Aku sudah bangun.”“Apanya? Kau masih rebahan.”“Yang itu.”Drake melirik ke bagian bawah tubuhnya yang tertutup selimut. Membuat wajah Elena seketika merona. Pria itu bangun, lalu memeluk Elena lagi.“Sebentar saja. Okay?”“Janji hanya sebentar, ya, awas kalau bohong. Aku harus cepat siap-siap ke kantor.”“Janji, hanya sebentar saja.”Elena pun membiarkan Drake merebahkan dirinya di ranjang. Ia hanya berharap Drake akan memenuhi janjinya.***Tak seperti biasa, seringkali Drake tak m
Wanita berambut pirang itu duduk dengan tatapan kosong. Seolah seperti patung, Elena tak bergerak sedikit pun. Hingga dua orang, pria dan wanita datang menghampiri. “Elena.” Kate langsung memeluk tubuh ramping yang kini rapuh itu. Elena membalas pelukan Kate seraya menangis tersedu. Di tangannya masih tersisa darah dari Drake. “Kate, maaf, bajumu kotor terkena darah di tanganku.” “Tak masalah. Jangan khawatir. Bagaimana kondisi Drake?” “Will bilang bahunya terkena tembakan. Drake menghalau peluru yang sepertinya sengaja dialihkan padaku.” “Pelakunya bagaimana?” tanya Carl dengan nada cemas. “Sudah diamankan oleh pihak berwajib. Will sedang bertemu dengan mereka.” Carl memutuskan tetap berjaga di situ. Ia telah meminta beberapa pengawal Drkae yang lain untuk mendekat ke ruang perawatan ini, menjaga dan mengantisipasi jika saja masih ada orang suruhan Alfred yang berniat mencelakai. “Kita bersihkan dulu tanganmu. Ayo, Elena.” Kate membantu Elena berdiri lalu berjalan menuju t
Tatapan sendu Drake terlihat jelas. Istrinya itu kini tampak rapuh di matanya. Sesekali menghela napas panjang, mengingat setiap momen Elena membantunya mandi, berganti pakaian dan makan. Terkadang ia juga membantu mengetikkan pekerjaan kantornya saat bahunya mulai sakit. Ia ingin merutuki diri sendiri karena tak peka pada keadaan istrinya sendiri. Beberapa kali ia mengetahui Elena muntah di pagi hari. Ia kira hanya karena sakit maaf yang kadang kambuh.“Drake, aku tertidur ya?”Lamunan Drake seketika buyar saat melihat mata Elena terbuka. Istrinya berusaha bangun.“Tidur saja dulu, kau perlu istirahat.”Elena kembali berbaring. Ia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tiba-tiba ia ingat, tangannya langsung mencengkeram jari-jari Drake.“Bayinya bagaimana?”“Baik-baik saja. Tak ada masalah. Jangan khawatir.”“Syukurlah.”Elena memejamkan matanya sesaat. Ia menarik napas panjang dengan rasa lega. Drake beranjak dari duduknya, ia mencium kening istrinya cukup lama.
“Kita bicarakan hal lain saja.” “Drake, ada apa? Aku tahu ada yang salah, tapi, kau tak mau cerita padaku.” “Tidak. Itu tidak penting lagi, Elena.” “Penting bagiku.” “Penting bagiku untuk menjaga keadaanmu dan bayi kita tetap stabil.” “Tapi, aku tidak bisa pura-pura tak tahu sedangkan aku jelas merasa kau menyembunyikan sesuatu.” “Sudah kubilang itu tak penting. Semua sudah berlalu.” Elena membuang pandangannya ke samping. Sepertinya ini juga sia-sia saja. Seperti tadi saat bertanya ke Mama Lily. Wanita berambut pirang itu berdiri, lalu keluar dari kamar. Drake menghela napas kasar, mengikuti Elena. “Elena, kau mau ke mana? Ini sudah malam.” “Kau tidur saja.” “Aku tidak mungkin tidur kalau kau belum tidur.” Elena tak menanggapi, ia hanya berjalan terus menuju perpustakaan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Satu ruangan dengan Drake terasa membuatnya kecewa. “Elena, ayo kembali ke kamar.” “Aku masih mau di sini. Pergilah.” Elena baru saja melangkah masuk ke perpustakaan
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem