Jantung Kate berpacu semakin keras. Jika bisa bersuara dan berlomba dengan nyeri kram di kakinya saat ini, tentu akan menang jantung yang semakin cepat bekerja itu. Sebuah tangan mengusap lembut dagu Kate. Terbuai dengan usapan lembut di dagunya, Kate memejamkan mata. Perlahan, bibir Carl semakin turun, menemukan apa yang selama ini dicarinya lalu segera mengambilnya. Dengan sabar, Carl membujuk Kate untuk membuka bibirnya, memperdalam akses yang ia butuhkan. Awalnya Kate menolak, ya, Kate memang selalu seperti itu, Carl tahu. Setelah bersabar beberapa lama, Kate mulai membuka bibirnya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, Carl yang seolah diberi izin, segera masuk dan memperdalam ciumannya. Saat menikmati pagutannya dengan penuh semangat, dering panggilan di ponsel Carl berbunyi. Kate yang semakin larut, samar-samar mendengar bunyi ponsel, setelah mereda, bunyinya muncul kembali. Seketika Kate tersadar. Ia menekan dada Carl seraya menjauhkan wajahnya dari pria itu. Mengetahui adanya
Drake turun dari mobil, lalu berjalan cepat menuju ke lift. Diikuti Will di belakangnya, pria dengan brewok tipis di rahangnya yang maskulin itu bergegas menuju ruangan Elena. Kate yang ada di depan ruangan tersenyum menyapa. “Elena di ruangannya, kan?” “Ya, Tuan Drake.” Kate menjawab dengan panggilan resmi untuk Drake saat di kantor. “Will, kau tunggu di luar saja.” “Baik, Tuan.” Kate menunjuk kursi kosong tak jauh dari tempatnya untuk tempat Will duduk dan menunggu. Carl yang baru saja dari lantai bawah terkejut dengan kedatangan Drake dan Will ke kantor Elena. “Will, kau di sini dengan Tuan Drake?” “Ya, urusan penting.” “Baru kali ini aku melihat Tuan Drake menemui langsung di kantor Elena seperti ini,” sahut Kate turut bergabung dalam percakapan. “Ya, kami juga.” Carl menjawab seraya menatap anggukan setuju dari Will. Ketiga orang itu menatap ke arah pintu ruangan Elena. *** “Drake, apa yang kau lakukan di sini?” Elena langsung berdiri dari posisinya. Ia tak salah
“Aku masih tak mengerti tujuanmu datang ke kantor tadi kenapa, Drake,” tanya Elena begitu Drake muncul dari kamar mandi. Wanita berambut pirang sebahu itu baru saja selesai mengeringkan rambutnya. Ia beranjak menuju ke sofa panjang di tengah ruangan. Sementara Drake yang bertelanjang santai mengikuti Elena duduk. Tangannya meraih pinggang Elena. “Memang tak ada, aku hanya ingin menjemputmu saja.” “Sejak kapan kau ingin datang ke kantorku. Kau tidak pernah melakukannya selama ini.” “Aku sedikit berubah, kan?” “Ya.” “Sering-seringlah datang ke kantorku, Elena.” “Kenapa? Tadi saja kau punya fantasi tertentu saat datang ke kantorku.” Elena menggelengkan kepalanya. Melihat reaksi Elena, Drake pun tertawa. Wanita itu enggan menatapnya. “Ya, memangnya tidak boleh?” Elena memukul lengan Drake. Ia jengkel karena pria dingin itu begitu mudah mengatakan hal mesum begitu saja. Akhir-akhir ini pun selalu mengikuti ke mana Elena pergi dan tiap malam tak mau jauh darinya. Tangan lenti
Kate merapikan veil atau tudung gaun pengantin dengan hati-hati. Ia juga memastikan tak ada benang lepas atau apa pun yang dapat mengurangi kesempurnaan gaun dan pengantin wanita di depannya ini. Kate tersenyum ke arah cermin. Ia bisa melihat Elena tersenyum hangat padanya. Elena mengamati kesibukan tangan sahabatnya, Kate, yang sejak tadi mondar mandir memastikan koordinasi berjalan dengan baik bersama tim WO. Kini sahabatnya itu juga baru saja merapikan tudung gaun pengantinnya dengan penuh perhatian.“Sekarang tak ada lagi sahabat yang kabur dari rumah lalu tidur di flatku.”“Tempatmu adalah tempat ternyaman untuk melarikan diri, Kate. Terima kasih telah menampungku selama ini.”“Sama-sama. Ya, pintu rumahku selalu terbuka untukmu meski aku tak berharap kau akan melarikan diri lagi dari Drake setelah hari ini.”Kedua wanita itu tertawa, menikmati ingatan-ingatan lama yang datang. Untuk sampai ke hari di mana Elena benar-benar menikah. Bukan pernikahan kontrak atau
Drake telah keluar dari kamar mandi. Elena baru saja menghapus make upnya. Ia menatap ke arah balkon, hari menjelang petang. Langkah kaki perlahan mendekat. “Perlu bantuan?” tanya Drake. “Resletingnya.” Elena telah berusaha menarik turun resleting gaunnya sejak tadi, tapi tak berhasil. Ia segera berdiri memunggungi Drake. Pria itu menurunkan resleting perlahan. Jari-jari kulitnya bersentuhan dengan punggung Elena. Seraya menahan senyum, Drake mengusapkan jemarinya ke punggung mulus itu. Membuat Elena seketika meremang. “Drake.” Elena segera membalikkan tubuhnya untuk menatap tajam Drake. Pria itu terkekeh pelan seraya mendekatkan wajahnya ke ceruk leher istrinya. Elena tahu betul apa yang ada di pikiran Drake saat ini. Tangannya mendorong Drake menjauh. “Aku mau mandi.” “Baiklah, baiklah. Aku bisa membantumu.” “Tidak, aku bisa sendiri.” Elena berjalan cepat menuju kamar mandi, mengabaikan senyum lebar Drake karena berhasil membuatnya salah tingkah meski hanya sesaat. Ia c
“BDSM?” “Ya Tuhan, jadi kau ... benarkah kau ....” “Elena, menurutmu aku seperti itu? Kenapa kau mengira begitu?” “Katamu tadi ini baru permulaan. Kupikir kau menyukai sesuatu yang ... ekstrem.” “Itu tidak benar. Aku tahu sendiri aki tidak pernah berlebihan atau mengarah ke BDSM, kan?” Elena menghela napas lega seraya memegangi dadanya. Padahal, saat mengira Drake penganut BDSM, jantungnya serasa ingin lepas. Drake mengamati wajah lega istrinya itu. “Kau lega?” “Tentu saja. Aku tidak ... bisa kalau kau seperti itu.” Drake memeluk Elena yang terduduk lesu di pinggir ranjang dengannya. Meyakinkan istrinya jika ia tak seperti yang dituduhkan. “Kau selalu saja membuat prasangka sendiri. Dulu waktu Alexa menjatuhkan dirinya sendiri dari tangga dan aku membantunya meski terpaksa, kau memberiku tatapan ngeri. Apa yang kau pikirkan saat itu?” Elena melerai pelukannya, ia ingin melihat wajah Drake. Mengingat kembali tatapan suaminya itu di malam itu. Ia menghela napas panjang. “Kar
Bulan madu Drake dan Elena ke Asia selama 10 hari. Tepatnya ke Pulau Lombok dan Raja Ampat di Indonesia. Atas saran dari Elena yang sejak dulu ingin berlibur di wilayah tropis. Wanita itu begitu senang, karena Drake tak mengungkungnya di kamar hotel terus. Karena banyaknya hal gang ingin mereka eksplorasi, Drake pun juga antusias mendatangi berbagai macam tempat. Tak terasa, waktu bulan madu sudah habis. Elena dan Drake kembali ke Inggris. Dalam perjalanan pulang, Drake lebih banyak diam. Kebalikan dari Elena yang terlihat semangat dan penuh senyum.“Drake, ada apa? Apa kau sakit?” tanya Elena seraya mengusap lembut pipi Drake.“Aku tidak sakit.”Drake kembali fokus membaca majalah di tangannya. Elena mengamati suaminya lebih lama.“Drake, aku tahu kau bohong. Kenapa cemberut sejak tadi?”“Aku biasa saja.”“Ini makanannya juga belum kau makan dari tadi.”“Aku tidak lapar.”Semua jawaban Drake hanya mempertegas keadaan jika pria itu dalam suasana hati yang buruk. Ele
“Ya Tuhan, ini sudah pukul tujuh. Drake, cepat bangun, kita bisa terlambat.”Bukannya menuruti perintah istrinya untuk segera bangun, Drake justru mengeratkan pelukannya. Membuat Elena semakin kesal.“Tidak bisakah kita libur saja hari ini?”“Kita sudah libur sepuluh hari, sayang. Ayo, bangun! Tidak boleh malas.”“Panggil sayang sekali lagi.”Elena menghela napas panjang, entah mengapa sejak bulan madu Drake mudah merajuk dan mulai muncul sifat kekanak-kanakannya.“Ayo, bangun, sayang.”“Aku sudah bangun.”“Apanya? Kau masih rebahan.”“Yang itu.”Drake melirik ke bagian bawah tubuhnya yang tertutup selimut. Membuat wajah Elena seketika merona. Pria itu bangun, lalu memeluk Elena lagi.“Sebentar saja. Okay?”“Janji hanya sebentar, ya, awas kalau bohong. Aku harus cepat siap-siap ke kantor.”“Janji, hanya sebentar saja.”Elena pun membiarkan Drake merebahkan dirinya di ranjang. Ia hanya berharap Drake akan memenuhi janjinya.***Tak seperti biasa, seringkali Drake tak m