Tangan Elena yang memegang ponsel terkulai di samping tubuh rampingnya. Berita dari Kate membuatnya membeku seketika. Satu alternatif terakhir dari upaya meminta bantuan telah gagal.
“Ada apa, Elena?” Wajah yang memucat itu menatap ke arah Drake. Pikirannya berkecamuk, jantungnya terasa enggan berdetak. Satu – satunya harapan yang dimilikinya hanya pria di depannya ini.“Antarkan aku pulang, sekarang.” Suara lirih Elena memecah kesunyian di antara keduanya. Bahunya merosot ke kursi mobil. Elena meremas – remas jarinya. Drake melajukan mobilnya perlahan, menembus gerimis yang mulai turun. Begitu tiba, Elena segera turun diikuti Drake.“Aku tak suka melihatmu berlarian ke sana kemari mencari bantuan. Aku ingin merobek mulut pria gendut tadi karena perkataan busuknya.”“Bukan urusanmu, Drake. Aku yang meminta bertemu dengannya dan meminta bantuan awalnya.”“Karena itu jangan lakukan lagi! Jangan meminta bantuan orang lain.”“Jangan memerintahku, Drake! Aku mencari pilihan terbaik untuk solusi atas masalahku.”“Aku benci mendengar mereka merendahkanmu, Elena. Ayolah, terima saja bantuanku.”“Bagaimana mungkin aku menerima bantuanmu? Kau sama saja dengan yang lain.” Elena menatap tajam mata Drake. Dulu, saat mereka masih kecil, di mata Elena, Drake selalu terlihat keren dan ramah. Tapi, seiring berjalannya waktu, Drake tumbuh menjadi pria berbahaya. Bukan sekali atau dua kali Elena merasa terintimidasi oleh Drake. Seolah Drake memang terlahir untuk mengendalikan kekuasaan.“Apa mereka yang kau mintai bantuan meminta hal buruk padamu? Meminta tubuhmu?” Elena seketika terdiam. Ia tak ingin memberitahu Drake tawaran tak pantas seperti apa dan dari siapa saja. Itu hanya akan membuatnya semakin dipandang rendah oleh Drake. Elena menggelengkan kepala tanpa sadar.“Katakan siapa saja yang berkata seperti itu?” Drake menggenggam tangan Elena. Drake tahu, Elena perlahan mengambil langkah mundur untuk kabur dari pertanyaan ini. Tentu saja, ia tak ingin Drake tahu hinaan yang diarahkan padanya.“Jangan tanyakan itu.”Elena menjawab lirih. Ia merasa malu kepada Drake tentang penawaran tak pantas yang hampir selalu didengar saat ia meminta bantuan kepada orang – orang di sekitarnya.“Aku hanya ingin kau menjadi kekasihku, Elena. Aku tak memaksamu memberikan tubuhmu atau apa pun itu. Kau jangan salah paham.”“Apa bedanya dengan ... merayu?”Elene masih tak mengerti. Apa yang dimaksud merayu dalam konteks permintaan Drake?“Merayu ... apa pun caranya. Berbeda dengan tidur bersama. Tapi, kalau kau memang bersedia memilih jalan untuk tidur bersama, aku ... ““Tidak, tidak akan terjadi. Aku mengerti jika itu berbeda.”Elena melepaskan genggaman tangan Drake. Perlahan, ia mengerti arah pembicaraan yang dimaksud Drake.“Biar kuperjelas, Drake. Kau hanya memintaku merayumu, bukannya tidur bersama. Itu yang membedakanmu dari tawaran lain, kan?”“Ya, kurang lebih seperti itu permintaanku. Tapi, lain cerita jika kau sendiri yang menginginkan tidur denganku, aku akan ...”“Tidak, itu tak akan terjadi.” Elena memotong lagi kalimat Drake dengan cepat. Mendadak, suara petir menggelegar, membuat Elena berteriak dan terkejut. Ia segera kembali memikirkan nasibnya.“Satu lagi, sahamku tetap lebih tinggi 10% darimu agar aku tetap menjadi pemilik sah perusahaan.”“Tentu saja.” Elena membuka knop pintu rumahnya. Ia menghela napas panjang sebelum membalikkan tubuh.“Beri aku waktu dua hari untuk berpikir.” Drake menganggukkan kepalanya, ia menggunakan ponselnya, tak lama setelah itu, ponsel Elena berdering.“Itu nomorku. Hubungi aku kapan pun kau ingin.” Ulasan senyum Drake tak membuat suasana hati Elena membaik. Ia segera masuk ke dalam rumahnya. Mengakhiri hari yang buruk bersama iblis berwajah malaikat itu.*** Kate turun dari mobil dengan tergesa – gesa. Dengan langkah lebar ia segera memasuki rumah tersebut. Bahkan, Kate memasukkan password pintu dengan tangan gemetar. Begitu pintu terbuka, wanita berkaca mata itu setelah berlari menuju sebuah kamar.“Elena!” teriak Kate dengan napas terengah – engah begitu membuka pintu kamar. Elena menoleh ke arah Kate sekilas, sebelum kembali menatap luar jendela. Kate menarik napas panjang, seolah telah kehabisan oksigen.“Ada apa, Kate?” tanya Elena dengan nada tenang.“Aku datang karena sejak dua hari lalu kau tak bisa dihubungi sama sekali.”“Aku hanya ingin menenangkan diri sejenak, Kate. Memangnya kau berpikir aku melakukan apa?”“Aku pikir kau ... kau terlihat begitu putus asa kemarin lusa usai Simon membatalkan bantuannya. Aku takut kau ... sudahlah. Apa kau sudah makan?” Elena mengernyitkan kening saat menatap Kate lagi. Wajah cantik sahabatnya itu tampak sendu dan tegang.“Sepertinya kau perlu minum dan sarapan, Kate.”“Kau juga, Elena. Ayo, bangun. Kita sarapan seadanya saja.” Kate menarik tangan Elena setengah memaksa. Elena mendengus kesal saat Kate menariknya turun dari ranjang. Dengan langkah malas, Elena mengikuti Kate menuju ruang makan yang tak jauh dari dapur. Sementara Kate sibuk membuat sandwich ala kadarnya, Elena justru sibuk bergulat antara hati dan pikirannya.“Akhirnya, sandwichnya sudah jadi.” Kate menyodorkan satu sandwich di atas piring ke arah Elena. Elena beranjak mendekati lemari pendingin, lalu mengeluarkan jus jeruk. Kate mendorong gelasnya mendekat ke Elena, isyarat meminta gelasnya juga diisi dengan jus tersebut. Sesaat, kedua wanita itu menikmati sarapan dalam diam. Kate memperhatikan gurat wajah Elena, sahabatnya itu terlihat buruk karena masalah perusahaan beberapa bulan terakhir.“Elena, aku tahu kau sedang sedih dan merasa buruk. Tapi, separah apa pun situasinya, jangan pernah menyerah. Kita cari jalan keluar lainnya.”“Ya, aku tahu, Kate.”“Hal yang paling kubenci adalah melihatmu seperti ini. Aku suka melihat Elena yang penuh semangat dan mata berbinar saat bekerja.” Elena tak menjawab, pandangannya terpaku pada gelas di tangan kanannya. Ia berusaha keras mencari solusi lain beberapa hari terakhir, tapi, nihil. Ia tak bisa memikirkan apa pun, selain satu hal.“Kate, aku akan meminta bantuan Drake.”“Lagi?”“Ya, kali ini aku yakin. Akan ada berita baik untuk kita.”“Katamu kemarin juga gagal saat bernegosiasi dengannya.”“Sekali lagi, aku akan mencobanya. Percayalah padaku, Kate. Apa pun yang kulakukan hanya untuk menyelamatkan perusahaan kita.” Kate mengernyitkan keningnya. Elena terdengar penuh keyakinan, tapi, ekspresi bosnya ini terlihat suram. Apa yang sebenarnya Elena rencanakan?“Apa yang kau rencanakan? Strategi atau tawaran apa yang akan kau siapkan saat bertemu dengan Drake?”“Tak ada yang spesifik. Tenanglah, aku bisa mengatasinya.” Senyum tampak di wajah Elena. Kate mengalihkan pandangan. Ia senang, Elena telah kembali sedikit bersemangat. Tapi, ada hal lain yang terlewat. Entah apa itu.“Kapan kau akan menemui Drake?”“Nanti malam.”“Kenapa tidak besok?”“Aku mencari tahu dari sekretarisnya, hari ini ia sangat sibuk. Drake punya waktu usai pulang bekerja.” Dalih Elena, sebenarnya, ia tak perlu mengecek kegiatan Drake. Hanya perlu sekali panggilan darinya, Drake berjanji akan datang segera. Elena ingin membuktikan hal itu.“Baiklah, kita coba lagi meminta bantuan Drake. Semoga ia bisa membantu kita.” Elena mengangguk setuju, Kate tak boleh tahu sekarang. Yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan perusahaannya lebih dulu.“Aku senang karena kau tampak lebih bersemangat, Elena.”“Ya, Kate. Aku tak ingin membuatmu khawatir.”“Baiklah, aku akan kembali ke kantor kalau begitu. Kabari aku jika ada berita penting.” Elena mengedipkan matanya seraya tersenyum. Ia turun dari kursinya, lalu, memeluk Kate. Bagai sahabat yang lama tak bertemu.“Terima kasih telah menemaniku, Kate. Aku berjanji akan memulihkan keadaan perusahaan. Jangan khawatir.”“Ya, aku yakin itu. Jadi, bersemangatlah!” Kate mengulas senyum lebar sebelum pergi. Elena tak tahu seberapa besar Kate merasa lega setelah melihatnya kembali bersemangat. Elena mengantar Kate sampai masuk ke mobil. Hingga mobil Kate lenyap dari pandangannya.“Maafkan aku karena tak memberitahumu, Kate,” gumam Elena.“Aku akan menjemputmu. Kita pergi makan malam.” “Tidak perlu, kita bertemu langsung saja di sana.” “Elena, biarkan aku menjemputmu kali ini. Bisa, kan?” “Kenapa kau bersikeras menjemputku?” “Tak apa, hanya ingin memudahkanmu saja. Kau pasti lelah menyetir sendiri.” Dengan nada tak acuh, Drake menjawab. “Baiklah. Aku akan mengirim alamatku yang sekarang padamu nanti.” “Ya, aku tunggu. Sampai jumpa nanti malam.” Elena yang menutup panggilan lebih dulu. Drake tersenyum lebar seraya bersandar di kursi kerjanya. Menarik, mengingat Elena akhirnya menghubunginya, untuk membahas tawarannya. Menatap ponselnya dalam kebisuan, Elena mengembuskan napas dengan berat. Pandangannya beralih pada cermin di depannya. Satu tetes air mata jatuh. Jatuh sedalam hidupnya saat ini. Dalam dunia di penuhi serigala ini, Elena berdiri sendirian. Berbagai macam serigala buas mengelilinginya. Jika tak ada cara melarikan diri di antara para serigala yang kejam ini, setidaknya Elena tahu, serigal
“Kita pergi ke mana, Drake?” Elena yang duduk di kursi sebelah Drake semakin ingin tahu. Tapi, mantan suaminya itu hanya membalas dengan senyum singkat sebelum kembali fokus mengemudi. Ia memilih menatap jalanan yang semakin sepi di depannya. Semakin ke arah pinggiran kota. Elena mulai tahu ke arah mana mereka akan pergi saat perlahan melihat pantai dari kejauhan. Senyum lebar terlihat dari wajah cantiknya. “Kenapa tidak bilang dari tadi kalau kita ke sini?” “Agar kau menebak dalam perjalanan.” Keduanya berjalan – jalan santai di pinggir pantai. Elena tertawa saat mengingat ia sendiri sempat ketakutan akan pergi ke mana dengan Drake malam itu. Ia mengernyit sejenak saat pria yang sejak tadi diam itu menyampirkan jas ke pundaknya. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, tentang Alexa.” Keduanya menghentikan langkah serempak. Ekspresi dingin Drake muncul. Elena mengabaikan perubahan ekspresi pria itu dengan sengaja. “Kalian sudah lama menjalin hubungan, jauh sebelum pernikahan b
Suara kicauan burung menembus hingga ke kamar. Cahaya matahari menyusup masuk hingga menyinari wajah cantik Elena yang masih tertidur. Perlahan, Elena membuka matanya. Hangat sinar matahari membuatnya menikmati suasana pagi yang tenang selama beberapa detik. Ia lalu mengedarkan pandangannya, kesadarannya kembali. Ini bukan kamarnya. Elena terhenyak, ia segera duduk. Matanya melebar dan membolak – balikkan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia berpakaian lengkap, keningnya berkerut. Tepat saat itu pula, seseorang keluar dari kamar mandi.“Kau sudah bangun, Elena?”“Drake,” jawab Elena. Elena menahan rasa terkejutnya. Ia segera memalingkan wajahnya saat menyadari Drake yang hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Memperlihatkan dada dan tubuh atletisnya yang membuat Elena merasa harus segera mengalihkan pandangan. Drake berjalan mendekati Elena.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Drake. Drake mengambil tempat di pinggir ranjang seraya mengamati wajah Elena yang engg
Drake menuntun Elena keluar dari mobil menuju mansionnya. Meski mabuk, Elena masih sanggup berjalan dengan cukup baik. “Wah, akhirnya aku sampai di rumah. Terima kasih sudah mengantarkanku pulang. Hati – hati di jalan, mantan suami.” Wanita dengan rambut sebahu itu masuk ke dalam kamar yang luas. Karena terlalu mengantuk dan merasa pusing, ia langsung merebahkan diri di ranjang besar itu. Drake menyusulnya. Pria tinggi itu hanya berdiri di samping ranjang tempat Elena telah tertidur. Seraya menggelengkan kepalanya saat menatap wanita di hadapannya itu.“Sudah kuperingatkan berkali – kali sebelumnya, jangan terlalu banyak minum, Elena.” Drake membantu Elena melepaskan mantel dan sepatunya. Ia juga membenarkan posisi tidur wanita itu sebaik mungkin. Pria itu menatap lama wajah polos wanita yang kini tengah larut dalam mimpinya itu. Sesaat kemudian, Drake segera menuju kamar mandi. Ia berakhir tidur di sofa tang tak jauh dari ranjangnya. Persis seperti kebiasaannya b
“Alfred, kabur ke mana saja kau selama ini?” Elena menatap tajam saudara sepupunya itu. Biang keladi dari semua masalah yang perusahaannya alami. Penampilan pria itu tampak acak – acakan. Bau alkohol tercium jelas dari tempat Elena berdiri, meski cukup jauh. “Kabur katamu? Aku hanya menenangkan diri sebentar.” Pria itu berjalan mendekati Elena dengan senyum ramah. Yang bagi Elena justru terasa memuakkan. Seperti halnya penampilannya yang berantakan, Alfred menjalani kehidupan dan kinerja yang tak kalah berantakan juga. “Elena sayang, apa kau marah karena aku pergi?” “Bukan marah, muak lebih tepatnya. Ini ya sikap yang ditunjukkan oleh seseorang yang merasa pantas menjadi pemimpin perusahaan?” “Manusia bisa membuat kesalahan satu – dua kali. Itu wajar.” “Wajar jika hanya menyangkut dirimu, tidak untuk 5.000 lebih karyawan yang bergantung dengan perusahaan.” “Kau terlalu serius, Elena, dalam bisnis ini hal yang biasa. Salah perhitungan sesekali terjadi.” “Kau yang terlalu gil
“Alfred?” “Ya, apa kau lupa? Sepupuku.” “Aku ingat. Bukankah kalian satu kantor?” “Ya, dia menghilang sejak membuat kesalahan investasi perusahaan. Hingga kami mengalami krisis.” “Lalu, sekarang ia kembali? Bertanggung jawab atas kesalahannya?” “Yang kutahu, ia bukan tipe orang bertanggung jawab. Kurasa ada hal lain yang diincarnya. Tapi, aku tak tahu apa itu.” “Apa rencanamu selanjutnya?” “Aku ingin mengawasinya. Apa yang dilakukannya agar aku bisa memprediksi tujuannya kembali dengan ekspresi percaya diri seperti itu.” “Apa tadi ia mengancammu?” “Tidak. Tadi aku memberinya peringatan untuk bertanggung jawab karena krisis yang disebabkan olehnya.” “Apa kau membutuhkan orang lain selain Carl untuk menyelidiki Alfred?” “Aku hanya perlu Carl saja untuk mencari tahu. Aku biasa menyetir mobil sendirian jika Carl sedang mengawasi pergerakan Alfred.” “Aku masih punya banyak pengawal lain kalau kau mau,” tawar Drake dengan hangat. “Tak apa, Carl saja sudah cukup.” Keduanya te
Elena menutup mulutnya agar tak bersuara sedikit pun. Satu tangannya yang lain meremas tas kecilnya dengan kuat. Matanya kian memicing begitu wajah Camilla mendekati wajah Drake. Dalam hati, Elena merutuki situasi ini. “Berhenti.” Suara Drake yang dalam dan tegas membuat Elena kembali menatap ke arah mereka. Camilla pasti juga terkejut. Gadis itu terlihat langsung berhenti. “Jangan bersikap kekanakan, Camilla. Aku tahu jika Smith sedang menunggumu. Hotel nomor 1208. Kau tak mau Smith menunggu lama, kan?” “Sial! Kenapa kau bisa tahu?” Camilla dengan kesal menjauhkan dirinya dari Drake. Pria itu tak mengatakan apa pun lagi. “Ternyata benar kata gosip yang beredar. Kau memiliki mata dan telinga di manapun.” Drake mengedikkan bahu singkat. Camilla memilih berjalan keluar dari balik tirai balkon. Elena segera menyembunyikan dirinya tenggelam dalam tirai besar nan mewah itu. Beruntung, Camilla tak lagi menoleh ke arah belakang, sehingga Elena tak ketahuan. Setelah mengembus
“Well, bukankah aku sudah melakukannya di pesta pembukaan cabang kemarin?” “Sebagai mantan istri yang rukun, ya. Prasangka baik dari publik, tentu. Tapi, klausa sebagai kekasih? Belum.” “Wah, aku tak tahu kau sedetail ini mengulitiku, Drake.” “Daripada menguliti aku lebih suka kata undressing you.” Elena tersenyum miring, mencibir penggunaan kata yang Drake ucapkan. “Sungguh kata yang amat sopan,” sindir Elena. “Mungkin kau ada pilihan kata lain yang lebih tepat?” “Kritis lebih tepat, mengingat kau begitu kritis menilaiku.” “Ada benarnya. Aku memang sedang dalam situasi kritis, Nona Cantik.” “Terdengar seperti kaulah yang harus merayuku, bukannya sebaliknya.” “Jika diperlukan, untuk wanita tertentu.” “Wanita yang bagaimana yang ‘tertentu’ itu?” Drake yang sudah menyelesaikan makan malamnya berdiri dari kursi. Satu tangannya diletakkan di saku celananya. Dengan santai berjalan menuju tempat Elena duduk. “Tebaklah!” “Aku yang bertanya aku juga yang kau minta menebak.” Ek
Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem
“Kita bicarakan hal lain saja.” “Drake, ada apa? Aku tahu ada yang salah, tapi, kau tak mau cerita padaku.” “Tidak. Itu tidak penting lagi, Elena.” “Penting bagiku.” “Penting bagiku untuk menjaga keadaanmu dan bayi kita tetap stabil.” “Tapi, aku tidak bisa pura-pura tak tahu sedangkan aku jelas merasa kau menyembunyikan sesuatu.” “Sudah kubilang itu tak penting. Semua sudah berlalu.” Elena membuang pandangannya ke samping. Sepertinya ini juga sia-sia saja. Seperti tadi saat bertanya ke Mama Lily. Wanita berambut pirang itu berdiri, lalu keluar dari kamar. Drake menghela napas kasar, mengikuti Elena. “Elena, kau mau ke mana? Ini sudah malam.” “Kau tidur saja.” “Aku tidak mungkin tidur kalau kau belum tidur.” Elena tak menanggapi, ia hanya berjalan terus menuju perpustakaan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Satu ruangan dengan Drake terasa membuatnya kecewa. “Elena, ayo kembali ke kamar.” “Aku masih mau di sini. Pergilah.” Elena baru saja melangkah masuk ke perpustakaan
Tatapan sendu Drake terlihat jelas. Istrinya itu kini tampak rapuh di matanya. Sesekali menghela napas panjang, mengingat setiap momen Elena membantunya mandi, berganti pakaian dan makan. Terkadang ia juga membantu mengetikkan pekerjaan kantornya saat bahunya mulai sakit. Ia ingin merutuki diri sendiri karena tak peka pada keadaan istrinya sendiri. Beberapa kali ia mengetahui Elena muntah di pagi hari. Ia kira hanya karena sakit maaf yang kadang kambuh.“Drake, aku tertidur ya?”Lamunan Drake seketika buyar saat melihat mata Elena terbuka. Istrinya berusaha bangun.“Tidur saja dulu, kau perlu istirahat.”Elena kembali berbaring. Ia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tiba-tiba ia ingat, tangannya langsung mencengkeram jari-jari Drake.“Bayinya bagaimana?”“Baik-baik saja. Tak ada masalah. Jangan khawatir.”“Syukurlah.”Elena memejamkan matanya sesaat. Ia menarik napas panjang dengan rasa lega. Drake beranjak dari duduknya, ia mencium kening istrinya cukup lama.
Wanita berambut pirang itu duduk dengan tatapan kosong. Seolah seperti patung, Elena tak bergerak sedikit pun. Hingga dua orang, pria dan wanita datang menghampiri. “Elena.” Kate langsung memeluk tubuh ramping yang kini rapuh itu. Elena membalas pelukan Kate seraya menangis tersedu. Di tangannya masih tersisa darah dari Drake. “Kate, maaf, bajumu kotor terkena darah di tanganku.” “Tak masalah. Jangan khawatir. Bagaimana kondisi Drake?” “Will bilang bahunya terkena tembakan. Drake menghalau peluru yang sepertinya sengaja dialihkan padaku.” “Pelakunya bagaimana?” tanya Carl dengan nada cemas. “Sudah diamankan oleh pihak berwajib. Will sedang bertemu dengan mereka.” Carl memutuskan tetap berjaga di situ. Ia telah meminta beberapa pengawal Drkae yang lain untuk mendekat ke ruang perawatan ini, menjaga dan mengantisipasi jika saja masih ada orang suruhan Alfred yang berniat mencelakai. “Kita bersihkan dulu tanganmu. Ayo, Elena.” Kate membantu Elena berdiri lalu berjalan menuju t