Drake tersenyum singkat menanggapi pertanyaan Elena. Pria itu kembali menyesap wiskinya. Tak terusik sedikit pun dengan tuduhan yang baru saja terlontar.
“Sama sekali bukan karena kejadian malam itu.”“Lalu, kenapa kau datang dengan ide gila seperti ini? Ya Tuhan, kau semakin gila!”“Media. Kau tahu apa yang ada di pemberitaan tentang perceraian kita? Jujur saja, sahamku juga menurun karena berita perceraian kita. Dengan terlihat rukun, kau bisa mempertahankan perusahaanmu, dan nilai perusahaanku akan semakin naik. Tanpa perlu menjalani pernikahan kontrak seperti dulu.”“Maksudmu, kita bersandiwara?”“Ya. Mengelabuhi media dengan hubungan yang tetap baik, tapi, di sisi lain, kau juga harus bersedia menjadi kekasihku, agar terlihat alami.”“Kau pikir aku mau menggantikan Alexa?”Wajah Elena merah padam menahan amarah. Ia tak bisa menerima ide gila mantan suaminya yang terdengar manipulatif dan ... kesepian.“Tak ada Alexa, kami sudah berpisah saat kita bercerai. Jadi, setujui perjanjian ini, setelah waktunya habis, kau bisa pergi.”“Kau gila!” Setelah merutuki ide aneh Drake, Elena beranjak dari duduknya dan hendak pergi dari ruangan. Tepat saat ia meraih knop pintu, Drake membuka suara lagi.“Pertimbangkan tawaranku, Elena. Kuberi waktu tiga hari.”Wanita dengan tinggi 168 cm itu berbalik sesaat ke arah Drake, hanya untuk mendapati senyum puas dari pria itu. Ia memutuskan segera pergi sebelum amarahnya meledak tak terkendali.*** Elena menambah laju mobilnya, seirama dengan degup jantungnya yang semakin cepat tiap detik. Tangannya meremas kemudi mobil dengan kuat. Setelah beberapa menit, ia meminggirkan mobilnya di dekat jembatan yang sepi. Dengan nafas memburu, ia menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Tubuhnya terasa lemas. Ia mengingat percakapan dengan Drake beberapa menit lalu. Saat meminta bantuan dana dari pria itu untuk menyelamatkan perusahaannya. Dirinya bahkan datang setelah menekan harga diri sebagai mantan istri yang meminta bantuan kepada mantan suami. Menekan segala ego dan malu untuk menemui. Bodoh sekali, ia lupa akan sifat maskulin pria itu di hadapan wanita. Sebagai syarat membantunya, pria dengan sorot mata tajam itu memintanya menjadi kekasih dan perayu, bahkan mengelabuhi media seolah terlihat akrab kembali. Kegilaan macam apa lagi yang dia lakukan melalui syarat ini. Bukankah pria itu memiliki wanita penghangat ranjangnya sejak dulu? Alexa, wanita itulah yang menjadi kekasih Drake sejak lama. Bahkan saat menyandang status sebagai suaminya pun, ia tak pernah tidur seranjang sekali pun dengan Drake, karena pria itu sering tidur di tempat Alexa dari pada pulang ke rumah mereka. Rumah yang ia tinggali bersama sebagai pasangan suami istri di atas kertas.“Dasar pria gila! Pria aneh dan gila! Bajingan dingin itu menawarkan hal tak masuk akal!” Wanita berambut panjang sebahu itu menundukkan kepalanya, usai mengumpat penuh semangat. Dengan rambut pirang yang tergerai di kemudi, seraya bergidik masih mengingat ekspresi santai Drake saat mengatakannya. Bahkan, pria itu tersenyum!*** Sore itu, atas informasi dari sekretarisnya, Elena telah menyusun pertemuan dengan kakak beradik pemilik perusahaan Summerseat dan Outwest. Kolega lama mendiang ayahnya. Malam itu, dengan semangat Elena datang ke sebuah lounge yang telah direservasi. Ia datang ditemani Kate, sekretarisnya. Hasilnya? Sungguh di luar dugaan.“Kami memintamu tinggal di apartemen rahasia yang telah kami siapkan, jadilah wanita penghangat ranjang kami, Elena. Apa pun yang kau inginkan, kami akan mengabulkannya. Membantu perusahaanmu adalah hal kecil bagi kami.” Detik berikutnya, Elena membuang wine di gelasnya dan Kate tepat ke wajah dua pria hidung belang dengan perawakan gendut itu. Dengan tangan gemetar menahan amarah, Elena menatap keduanya dengan kepala mendongak.“Aku tak butuh bantuan kalian. Berhenti merendahkan wanita. Dasar brengsek!” Elena menarik tangan Kate dan berjalan keluar ruangan. Begitu keluar dari ruangan beberapa langkah, sepasang kaki pria berdiri tepat di depannya, menghalangi jalan. Elena mendongak, matanya melebar karena terkejut, melihat Drake sudah berdiri di depannya.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Drake dengan nada menyelidik.Elena hendak menjawab, saat suara menggelegar seseorang terdengar.“Hai, Elena jalang! Beraninya kau menyiram wine ke wajah kami! Apa masih kurang uang yang kami tawarkan padamu?” Elena berbalik, matanya menatap nanar pria tua itu. Elena hendak melangkah ke arah pria buncit untuk menampar wajahnya, saat Drake mendahuluinya. Langkah lebar pria tinggi itu dengan cepat membuatnya berdiri di depan si pria tua lebih dulu. Tanpa peringatan, Drake melayangkan tinju ke wajah pria gendut yang langsung jatuh terkapar.“Jangan pernah menyebut Elena seperti itu, dasar kau pria tua menjijikkan!” Elena dan Kate terkesiap saat melihat pukulan keras Drake. Belum sempat Elena kembali ke realita, pria itu sudah berdiri di depannya.“Kate, kau membawa kunci mobil Elena?”“Ya.”“Pulanglah lebih dulu. Aku akan bicara dengan Elena.”Drake menyambar tangan Elena dan berjalan cepat keluar dari tempat tersebut. Wanita itu berusaha mengikuti langkah Drake dalam diam saat mereka tiba di depan mobil mewah mantan suaminya itu.“Masuklah.”Drake membukakan pintu untuknya.“Drake, aku ...”“Masuklah, Elena. Aku hanya ingin bicara di tempat yang tenang.” Elena menghela napas sebelum menuruti perintah. Ia lalu masuk ke dalam mobil. Tak tahu akan dibawa ke mana oleh pria di balik kemudi mobil ini.*** Mobil Drake berhenti di pinggiran pantai. Angin malam membuat hawa dingin semakin menusuk. Pria itu memberikan jasnya kepada Elena saat mereka turun dari mobil.“Mengapa kau meminta bantuan pada mereka?”“Hanya mencari alternatif pilihan terbaik. Mereka menginginkanku menjadi wanita penghibur, penghangat ranjang lebih tepatnya. Tak berbeda denganmu, kan, Drake?”Elena menatap tajam Drake, kalimatnya bernada sindiran.“Aku tak mengatakan begitu, Elena. Aku hanya ingin kau menjadi kekasihku dan merayuku.”“Apa bedanya dengan menjadi wanita malammu?”“Itu berbeda, Elena. Kau bukan wanita yang pantas disebut begitu.”“Lalu, kalau tidak pantas disebut begitu, mengapa kau menawarkan syarat seperti itu, memintaku merayumu. Kau sudah punya Alexa, Drake. Tiga tahun terakhir kau selalu tidur dengannya. Aku bukan siapa – siapamu. Aku juga tak berniat bersaing dengan Alexa dalam hal tidur denganmu.”Elena berusaha setenang mungkin saat mengatakannya. Sementara Drake hanya diam menatapnya seperti orang bodoh.“Pikirkan bagaimana perasaan Alexa jika mengetahui hal ini, Drake. Wanita mana yang tak terluka melihat pria yang dicintainya tidur dengan wanita lain?”Pria tampan itu hanya menatap Elena dengan ekspresi tak terbaca. Wanita ramping itu berjalan mendekati Drake. Ia mengguncang lengan mantan suaminya itu.“Alexa tak akan bisa menerima ini.”“Alexa dan aku sudah putus sejak delapan bulan lalu.” Dengan ringan Drake mengatakannya. Elena mengerutkan kening, mencoba mencerna perkataan yang baru saja didengarnya. Delapan bulan lalu, satu bulan sebelum perceraiannya dengan pria ini, batin Elena.“Apa pun itu, bagaimana mungkin kita menjadi sepasang kekasih? Kau bisa mencari wanita lain sebanyak yang kau mau, Drake.”“Tidak! Tidak ada yang sepertimu!” Elena membelalakkan matanya, ada apa dengan mantan suaminya ini?Masa pernikahan satu tahun mereka, hanya pernikahan bisnis karena dengan pernikahan ini, keduanya bisa mewarisi perusahaan keluarga masing – masing. Drake mewarisi Graysen Inc dan Elena mewarisi Cartwright Company. Drake adalah pemimpin perusahaan yang baik meski dingin. Drake juga adalah partner dan sahabat masa kecil yang baik bagi Elena, tapi, sebagai suami ia hanya bagus dalam hal akting di depan orang banyak. Elena tahu, mereka berdua bukan pasangan suami istri yang biasa. Mereka hanya bertemu saat acara penting, makan malam tiga kali seminggu dan minimal dua kali sebulan tampil bersama di publik. Itu aturan pastinya yang selalu dijalankan Drake dan Elena tanpa absen selama satu tahun pernikahan. Elena tahu, Drake selalu tidur di tempat Alexa, kecuali di saat tertentu. Seperti saat satu bulan terakhir sebelum pernikahan bisnis mereka berakhir. Anehnya, Drake selalu pulang ke rumah dan setiap hari makan malam bersama Elena. Elena mengenang masa – masa itu dengan perasaan tak menentu. Drake seharusnya tetap menjadi suami yang dingin hingga kontrak berakhir. Perubahannya di saat – saat terakhir kontrak, membuat Elena merasa terusik. Ia mengalihkan pandangan, saat satu panggilan masuk ke ponselnya. Tanpa menatap layar, ia menerima panggilan itu.“Ya, halo.”“Kita gagal lagi, Elena. Mr. Simon, yang akan kau temui besok, mendadak membatalkan pertemuan. Ia mengatakan, tak bisa membantu.”Tangan Elena yang memegang ponsel terkulai di samping tubuh rampingnya. Berita dari Kate membuatnya membeku seketika. Satu alternatif terakhir dari upaya meminta bantuan telah gagal. “Ada apa, Elena?” Wajah yang memucat itu menatap ke arah Drake. Pikirannya berkecamuk, jantungnya terasa enggan berdetak. Satu – satunya harapan yang dimilikinya hanya pria di depannya ini. “Antarkan aku pulang, sekarang.” Suara lirih Elena memecah kesunyian di antara keduanya. Bahunya merosot ke kursi mobil. Elena meremas – remas jarinya. Drake melajukan mobilnya perlahan, menembus gerimis yang mulai turun. Begitu tiba, Elena segera turun diikuti Drake. “Aku tak suka melihatmu berlarian ke sana kemari mencari bantuan. Aku ingin merobek mulut pria gendut tadi karena perkataan busuknya.” “Bukan urusanmu, Drake. Aku yang meminta bertemu dengannya dan meminta bantuan awalnya.” “Karena itu jangan lakukan lagi! Jangan meminta bantuan orang lain.” “Jangan memerintahku, Drake! Aku mencari
“Aku akan menjemputmu. Kita pergi makan malam.” “Tidak perlu, kita bertemu langsung saja di sana.” “Elena, biarkan aku menjemputmu kali ini. Bisa, kan?” “Kenapa kau bersikeras menjemputku?” “Tak apa, hanya ingin memudahkanmu saja. Kau pasti lelah menyetir sendiri.” Dengan nada tak acuh, Drake menjawab. “Baiklah. Aku akan mengirim alamatku yang sekarang padamu nanti.” “Ya, aku tunggu. Sampai jumpa nanti malam.” Elena yang menutup panggilan lebih dulu. Drake tersenyum lebar seraya bersandar di kursi kerjanya. Menarik, mengingat Elena akhirnya menghubunginya, untuk membahas tawarannya. Menatap ponselnya dalam kebisuan, Elena mengembuskan napas dengan berat. Pandangannya beralih pada cermin di depannya. Satu tetes air mata jatuh. Jatuh sedalam hidupnya saat ini. Dalam dunia di penuhi serigala ini, Elena berdiri sendirian. Berbagai macam serigala buas mengelilinginya. Jika tak ada cara melarikan diri di antara para serigala yang kejam ini, setidaknya Elena tahu, serigal
“Kita pergi ke mana, Drake?” Elena yang duduk di kursi sebelah Drake semakin ingin tahu. Tapi, mantan suaminya itu hanya membalas dengan senyum singkat sebelum kembali fokus mengemudi. Ia memilih menatap jalanan yang semakin sepi di depannya. Semakin ke arah pinggiran kota. Elena mulai tahu ke arah mana mereka akan pergi saat perlahan melihat pantai dari kejauhan. Senyum lebar terlihat dari wajah cantiknya. “Kenapa tidak bilang dari tadi kalau kita ke sini?” “Agar kau menebak dalam perjalanan.” Keduanya berjalan – jalan santai di pinggir pantai. Elena tertawa saat mengingat ia sendiri sempat ketakutan akan pergi ke mana dengan Drake malam itu. Ia mengernyit sejenak saat pria yang sejak tadi diam itu menyampirkan jas ke pundaknya. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, tentang Alexa.” Keduanya menghentikan langkah serempak. Ekspresi dingin Drake muncul. Elena mengabaikan perubahan ekspresi pria itu dengan sengaja. “Kalian sudah lama menjalin hubungan, jauh sebelum pernikahan b
Suara kicauan burung menembus hingga ke kamar. Cahaya matahari menyusup masuk hingga menyinari wajah cantik Elena yang masih tertidur. Perlahan, Elena membuka matanya. Hangat sinar matahari membuatnya menikmati suasana pagi yang tenang selama beberapa detik. Ia lalu mengedarkan pandangannya, kesadarannya kembali. Ini bukan kamarnya. Elena terhenyak, ia segera duduk. Matanya melebar dan membolak – balikkan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia berpakaian lengkap, keningnya berkerut. Tepat saat itu pula, seseorang keluar dari kamar mandi.“Kau sudah bangun, Elena?”“Drake,” jawab Elena. Elena menahan rasa terkejutnya. Ia segera memalingkan wajahnya saat menyadari Drake yang hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Memperlihatkan dada dan tubuh atletisnya yang membuat Elena merasa harus segera mengalihkan pandangan. Drake berjalan mendekati Elena.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Drake. Drake mengambil tempat di pinggir ranjang seraya mengamati wajah Elena yang engg
Drake menuntun Elena keluar dari mobil menuju mansionnya. Meski mabuk, Elena masih sanggup berjalan dengan cukup baik. “Wah, akhirnya aku sampai di rumah. Terima kasih sudah mengantarkanku pulang. Hati – hati di jalan, mantan suami.” Wanita dengan rambut sebahu itu masuk ke dalam kamar yang luas. Karena terlalu mengantuk dan merasa pusing, ia langsung merebahkan diri di ranjang besar itu. Drake menyusulnya. Pria tinggi itu hanya berdiri di samping ranjang tempat Elena telah tertidur. Seraya menggelengkan kepalanya saat menatap wanita di hadapannya itu.“Sudah kuperingatkan berkali – kali sebelumnya, jangan terlalu banyak minum, Elena.” Drake membantu Elena melepaskan mantel dan sepatunya. Ia juga membenarkan posisi tidur wanita itu sebaik mungkin. Pria itu menatap lama wajah polos wanita yang kini tengah larut dalam mimpinya itu. Sesaat kemudian, Drake segera menuju kamar mandi. Ia berakhir tidur di sofa tang tak jauh dari ranjangnya. Persis seperti kebiasaannya b
“Alfred, kabur ke mana saja kau selama ini?” Elena menatap tajam saudara sepupunya itu. Biang keladi dari semua masalah yang perusahaannya alami. Penampilan pria itu tampak acak – acakan. Bau alkohol tercium jelas dari tempat Elena berdiri, meski cukup jauh. “Kabur katamu? Aku hanya menenangkan diri sebentar.” Pria itu berjalan mendekati Elena dengan senyum ramah. Yang bagi Elena justru terasa memuakkan. Seperti halnya penampilannya yang berantakan, Alfred menjalani kehidupan dan kinerja yang tak kalah berantakan juga. “Elena sayang, apa kau marah karena aku pergi?” “Bukan marah, muak lebih tepatnya. Ini ya sikap yang ditunjukkan oleh seseorang yang merasa pantas menjadi pemimpin perusahaan?” “Manusia bisa membuat kesalahan satu – dua kali. Itu wajar.” “Wajar jika hanya menyangkut dirimu, tidak untuk 5.000 lebih karyawan yang bergantung dengan perusahaan.” “Kau terlalu serius, Elena, dalam bisnis ini hal yang biasa. Salah perhitungan sesekali terjadi.” “Kau yang terlalu gil
“Alfred?” “Ya, apa kau lupa? Sepupuku.” “Aku ingat. Bukankah kalian satu kantor?” “Ya, dia menghilang sejak membuat kesalahan investasi perusahaan. Hingga kami mengalami krisis.” “Lalu, sekarang ia kembali? Bertanggung jawab atas kesalahannya?” “Yang kutahu, ia bukan tipe orang bertanggung jawab. Kurasa ada hal lain yang diincarnya. Tapi, aku tak tahu apa itu.” “Apa rencanamu selanjutnya?” “Aku ingin mengawasinya. Apa yang dilakukannya agar aku bisa memprediksi tujuannya kembali dengan ekspresi percaya diri seperti itu.” “Apa tadi ia mengancammu?” “Tidak. Tadi aku memberinya peringatan untuk bertanggung jawab karena krisis yang disebabkan olehnya.” “Apa kau membutuhkan orang lain selain Carl untuk menyelidiki Alfred?” “Aku hanya perlu Carl saja untuk mencari tahu. Aku biasa menyetir mobil sendirian jika Carl sedang mengawasi pergerakan Alfred.” “Aku masih punya banyak pengawal lain kalau kau mau,” tawar Drake dengan hangat. “Tak apa, Carl saja sudah cukup.” Keduanya te
Elena menutup mulutnya agar tak bersuara sedikit pun. Satu tangannya yang lain meremas tas kecilnya dengan kuat. Matanya kian memicing begitu wajah Camilla mendekati wajah Drake. Dalam hati, Elena merutuki situasi ini. “Berhenti.” Suara Drake yang dalam dan tegas membuat Elena kembali menatap ke arah mereka. Camilla pasti juga terkejut. Gadis itu terlihat langsung berhenti. “Jangan bersikap kekanakan, Camilla. Aku tahu jika Smith sedang menunggumu. Hotel nomor 1208. Kau tak mau Smith menunggu lama, kan?” “Sial! Kenapa kau bisa tahu?” Camilla dengan kesal menjauhkan dirinya dari Drake. Pria itu tak mengatakan apa pun lagi. “Ternyata benar kata gosip yang beredar. Kau memiliki mata dan telinga di manapun.” Drake mengedikkan bahu singkat. Camilla memilih berjalan keluar dari balik tirai balkon. Elena segera menyembunyikan dirinya tenggelam dalam tirai besar nan mewah itu. Beruntung, Camilla tak lagi menoleh ke arah belakang, sehingga Elena tak ketahuan. Setelah mengembus
Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem
“Kita bicarakan hal lain saja.” “Drake, ada apa? Aku tahu ada yang salah, tapi, kau tak mau cerita padaku.” “Tidak. Itu tidak penting lagi, Elena.” “Penting bagiku.” “Penting bagiku untuk menjaga keadaanmu dan bayi kita tetap stabil.” “Tapi, aku tidak bisa pura-pura tak tahu sedangkan aku jelas merasa kau menyembunyikan sesuatu.” “Sudah kubilang itu tak penting. Semua sudah berlalu.” Elena membuang pandangannya ke samping. Sepertinya ini juga sia-sia saja. Seperti tadi saat bertanya ke Mama Lily. Wanita berambut pirang itu berdiri, lalu keluar dari kamar. Drake menghela napas kasar, mengikuti Elena. “Elena, kau mau ke mana? Ini sudah malam.” “Kau tidur saja.” “Aku tidak mungkin tidur kalau kau belum tidur.” Elena tak menanggapi, ia hanya berjalan terus menuju perpustakaan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Satu ruangan dengan Drake terasa membuatnya kecewa. “Elena, ayo kembali ke kamar.” “Aku masih mau di sini. Pergilah.” Elena baru saja melangkah masuk ke perpustakaan
Tatapan sendu Drake terlihat jelas. Istrinya itu kini tampak rapuh di matanya. Sesekali menghela napas panjang, mengingat setiap momen Elena membantunya mandi, berganti pakaian dan makan. Terkadang ia juga membantu mengetikkan pekerjaan kantornya saat bahunya mulai sakit. Ia ingin merutuki diri sendiri karena tak peka pada keadaan istrinya sendiri. Beberapa kali ia mengetahui Elena muntah di pagi hari. Ia kira hanya karena sakit maaf yang kadang kambuh.“Drake, aku tertidur ya?”Lamunan Drake seketika buyar saat melihat mata Elena terbuka. Istrinya berusaha bangun.“Tidur saja dulu, kau perlu istirahat.”Elena kembali berbaring. Ia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tiba-tiba ia ingat, tangannya langsung mencengkeram jari-jari Drake.“Bayinya bagaimana?”“Baik-baik saja. Tak ada masalah. Jangan khawatir.”“Syukurlah.”Elena memejamkan matanya sesaat. Ia menarik napas panjang dengan rasa lega. Drake beranjak dari duduknya, ia mencium kening istrinya cukup lama.
Wanita berambut pirang itu duduk dengan tatapan kosong. Seolah seperti patung, Elena tak bergerak sedikit pun. Hingga dua orang, pria dan wanita datang menghampiri. “Elena.” Kate langsung memeluk tubuh ramping yang kini rapuh itu. Elena membalas pelukan Kate seraya menangis tersedu. Di tangannya masih tersisa darah dari Drake. “Kate, maaf, bajumu kotor terkena darah di tanganku.” “Tak masalah. Jangan khawatir. Bagaimana kondisi Drake?” “Will bilang bahunya terkena tembakan. Drake menghalau peluru yang sepertinya sengaja dialihkan padaku.” “Pelakunya bagaimana?” tanya Carl dengan nada cemas. “Sudah diamankan oleh pihak berwajib. Will sedang bertemu dengan mereka.” Carl memutuskan tetap berjaga di situ. Ia telah meminta beberapa pengawal Drkae yang lain untuk mendekat ke ruang perawatan ini, menjaga dan mengantisipasi jika saja masih ada orang suruhan Alfred yang berniat mencelakai. “Kita bersihkan dulu tanganmu. Ayo, Elena.” Kate membantu Elena berdiri lalu berjalan menuju t