“Aku akan menjemputmu. Kita pergi makan malam.”
“Tidak perlu, kita bertemu langsung saja di sana.”“Elena, biarkan aku menjemputmu kali ini. Bisa, kan?”“Kenapa kau bersikeras menjemputku?”“Tak apa, hanya ingin memudahkanmu saja. Kau pasti lelah menyetir sendiri.”Dengan nada tak acuh, Drake menjawab.“Baiklah. Aku akan mengirim alamatku yang sekarang padamu nanti.”“Ya, aku tunggu. Sampai jumpa nanti malam.” Elena yang menutup panggilan lebih dulu. Drake tersenyum lebar seraya bersandar di kursi kerjanya. Menarik, mengingat Elena akhirnya menghubunginya, untuk membahas tawarannya.Menatap ponselnya dalam kebisuan, Elena mengembuskan napas dengan berat. Pandangannya beralih pada cermin di depannya. Satu tetes air mata jatuh. Jatuh sedalam hidupnya saat ini. Dalam dunia di penuhi serigala ini, Elena berdiri sendirian. Berbagai macam serigala buas mengelilinginya. Jika tak ada cara melarikan diri di antara para serigala yang kejam ini, setidaknya Elena tahu, serigala mana yang ia temui dan kenal sebelumnya. Bukankah itu lebih baik? Yang sedikit lebih baik dari sekumpulan yang terburuk.“Aku dalam perjalanan ke rumahmu, Elena.” Itu isi pesan teks dari Drake. Elena masih mematut dirinya di depan cermin. Gaun berwarna biru navy polos yang memiliki panjang sedikit di bawah lutut dengan lengan panjang, krah berbentuk V, Elena mengambil satu buah kalung sebagai pelengkap. Menambah kesan keanggunan dalam dirinya.Tak lama kemudian, terdengar suara mobil memasuki jalanan depan rumah Elena. Bunyi bel rumah pun menyusul selanjutnya. Elena segera meraih tas kecil di meja kerjanya. Ia membuka pintu usai bel berbunyi sekali lagi.“Hai, Elena.” Drake dengan sopan menyapa. Memakai pakaian formalnya yang berwarna biru tua, Drake tampak cocok. Tunggu, biru? Kenapa tema baju mereka kebetulan sama?“Kebetulan sekali, warna tema kita sama,” ujar Drake dengan santai.“Hai, Drake. Ya, kebetulan yang menarik.” Elena dan Drake lalu berjalan menuju mobil. Sang sopir sudah bersiap. Elena menikmati pemandangan jalan. Demikian juga dengan Drake. Hingga sampailah keduanya di tempat makan yang dimaksud.Beberapa saat setelah memesan menu steak andalan tempat itu, Drake juga memesan sebuah wine. Membuat Elena menaikkan satu alisnya.“Wine di sini enak. Kau pasti akan menyukainya, Elena.”“Drake, kau tahu tujuanku menghubungimu, kan?”“Ya, tapi, sebelum membahas hal itu, kita nikmati makan malam ini dengan santai. Bagaimana?”“Ya, aku setuju. Mengingat aku sudah lapar.”“Kenapa saat denganku kau selalu terlihat kelaparan, Elena?”“Dan mungkin saja itu karena melihatmu menguras energi dan emosi.” Elena tersenyum mengejek. Drake menyambut ejekannya dengan senyuman yang sama.“Bisa jelaskan, kenapa aku menguras energi dan emosimu?” Elena memikirkan alasan yang tak membuat Drake salah paham. Ia tak ingin itu terjadi. Tepat saat itu, seorang pelayan menuangkan wine ke masing – masing gelas. Baru setelah pelayan itu pergi, Elena melanjutkan.“Emosi dalam artian yang menjengkelkan, tentu saja. Lihat, sekarang kau mau berbasa – basi, tak seperti dulu yang selalu langsung ke poin utama pembicaraan.”“Ya, aku sedikit berubah, kan?”“Tidak juga. Sifat dominan dan memerintahmu masih kental.”“Setidaknya sekarang aku tahu jika basa - basi itu penting.”“Benarkah kau berpikir demikian, Drake?”“Ya, kurang lebih. Basa basi saat ini penting karena membuatku lebih lama menatap wanita cantik di depanku ini.” Elena tergelak, ia lalu menahan tawanya. Versi Drake yang ini tak pernah gagal membuatnya muak sekaligus geli.“Cantik itu relatif.”“Ya, tapi, kau tampak lebih cantik malam ini.”“Kau juga tampan, warna itu cocok denganmu.”“Kalau saja kau membiarkan satu dua ikal rambut jatuh, itu akan membuatmu semakin sempurna, Elena.”“Kurasa itu artinya berantakan bagiku, Drake.”“Dari sudut pandangmu mungkin, ya. Tapi, tidak denganku.”“Apa kita sedang memulai hidangan utamanya? Langsung ke hal yang kau sebut ... merayu?” Giliran Drake yang terkekeh. Menyenangkan sekali berbasa - basi dengan Elena, saling mengejek satu sama lain seperti saat mereka kecil dulu. Wajah wanita di depannya itu tetap bersinar, masih sama seperti 19 tahun lalu, saat mereka pertama bertemu.“Aku bahkan sudah lupa, kapan terakhir kita makan malam dan berbicara santai seperti ini.” Ucapan Elena membuat Drake menghentikan senyumnya. Benar, apa yang dikatakan Elena, ia juga lupa kapan terakhir bisa bersantai dengan Elena seperti sekarang, seperti masa kecil mereka.“Menjadi sepasang suami istri ternyata justru membuat kita lebih canggung, kan? Seperti sebelum hari ini, kita sudah menjadi orang asing sejak perceraian tahun lalu, Drake.” Pria berambut hitam legam itu tersenyum miring usai mendengar kata ‘orang asing’ keluar dari bibir Elena. Faktanya memang usai perceraian, mereka berdua sama sekali tak bertemu tujuh bulan terakhir. Sekilas, Drake menatap Elena yang kembali menyesap winenya. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa steak pesanan mereka. Elena mengucapkan terima kasih kepada pelayan tersebut sebelum beranjak pergi. Drake sudah mengiris steaknya menjadi beberapa potongan, sebelum menukarnya dengan steak milik Elena.“Kenapa kau menukarnya, Drake?”“Sopan santun seorang pria, Nona Elena.” Elena lalu mencibir sesaat, sebelum mengambil alat makannya.“Sopan santun boleh, tapi, tak ada kata bersahabat untuk sesama orang asing, Drake.” Elena sengaja mengejek Drake. Ya, sedekat apa pun persahabatan mereka, setelah bercerai, tak ada ikatan dan komunikasi sama sekali di antara keduanya.“Dan tak ada pula kata kakak untuk mantan suami, kan?” Serangan balasan dari Drake berhasil membuat Elena tertegun, sebelum kembali bersikap tak peduli dan menikmati steaknya. Drake ikut diam hingga makanannya habis.“Bisakah kita membahas hal terpenting sekarang?”Elena memulai pembahasan. Drake dengan santai mengangguk. Elena meneguk kembali winenya agar lebih tenang.“Aku menerima tawaranmu, bantu aku memulihkan perusahaanku, Drake.” Mata Elena menatap lurus pria dengan iris berwarna abu itu, ketika dengan santai pria itu membalas tatapannya. Drake tersenyum, senyum yang Elena tahu adalah senyum dominasi dari Drake.“Itu bagus, Elena. Keputusan yang terbaik.” Mengabaikan pikiran yang sempat teralihkan oleh senyum pria di hadapannya, Elena berfokus pada pertanyaan – pertanyaan di kepalanya saat ini.“Kita harus membahas banyak hal terkait poin – poin pentingnya, Drake.”“Tentu, sama seperti saat kita menyusun kontrak untuk pernikahan bisnis kita.”“Biar kuperjelas, kau hanya memintaku merayumu, kan? Aku akan menang jika selama enam bulan itu aku membantumu meningkatkan nilai saham dan mengelabuhi media, serta menyingkirkan gerombolan wanita penganggumu sebagai kekasih, dan kau yang menang jika ....” Elena menghentikan kalimatnya seraya memberi tatapan bertanya kepada Drake untuk melengkapi kalimat.“Jika kau yang jatuh cinta padaku, Elena.”“Lalu, jika aku menang, saham akan dibagi dengan selisih milikku 10% lebih banyak daripada milikmu. Jika kau yang menang, saham terbesarnya menjadi milikmu, begitu, kan?”“Jika aku yang menang, apa kau akan mengakuinya?”“Apa pun itu, aku setuju karena yakin jika akulah pemenangnya, tapi, dalam hal merayu, aku ingin agar klausa tidur bersama ditiadakan. Aku hanya perlu merayumu saja, kan?” Drake terkekeh, seolah sedang menatap anak sekolah di depannya. Wanita di masa kecilnya ini memang lain dibandingkan wanita – wanita di sekitarnya.“Separah itukah kau tak ingin tidur denganku?”“Bahkan saat kita masih menjadi suami istri pun, kita tak pernah tidur bersama. Hanya tetap menghormati kehidupan pribadi masing – masing. Lalu, tidak mungkin juga kalau di kontrak kali ini kita melakukannya, kan?”“Apa kau belum pernah tidur dengan pria sekalipun?”Perubahan topik tiba – tiba ini membuat Elena tertegun. Ia lalu mengalihkan pandangan ke arah winenya.“Aku tak ingin menjawabnya.”“Dari ekspresimu aku sudah tahu jawabannya.”“Jangan membahas tentang ini, Drake. Katakan saja persetujuanmu, tambahkan poin dalam kontraknya, aku tak akan tidur denganmu.”“Baiklah, baiklah, aku akan menambahkan hal ini. Tapi, bagaimana jika yang terjadi kebalikannya?”“Maksudmu?”“Bagaimana jika kau yang ingin tidur denganku?” Elena tergelak, pertanyaan Drake sangat lucu. Layaknya mendengar jika bumi itu datar. Elena menggelengkan kepalanya.“Itu tak akan terjadi, Drake. Tak akan pernah. Aku tak akan kalah dari taruhan ini.”“Kau yakin?”“Sangat yakin, lagi pula aku sudah mengenalmu dengan sangat baik.”“Kalau begitu yakin, kita tak perlu menuliskan kemungkinan situasi kedua ini, bukan?”“Ya, tidak perlu, karena itu tak akan terjadi,” jawab Elena dengan tegas. Drake memberi isyarat kepada sekretarisnya untuk mendekat. Pria itu lalu menyodorkan beberapa lembar dokumen, satu untuk Drake dan satu lagi untuk Elena. Elena meraih dokumen tersebut dan mulai membacanya. Demikian pula dengan Drake, keduanya terdiam sejenak saat meninjau isi dokumen di tangan masing – masing. Drake yang lebih dulu selesai meninjau dokumen. Pria yang memiliki warna rambut hitam legam itu mendongak, kembali menatap Elena yang mengerutkan kening seraya membaca. Usai membaca poin – poin penting dalam dokumen tersebut, Elena membalas tatapan Drake. “Aku sudah selesai membacanya, Drake.” Tak ada respons dari Drake. Tak ada senyum atau pun tatapan tajam, seolah Drake sedang melamun. Hanya menatap wanita berambut pirang di hadapannya itu selama mungkin. Jari – jari Elena mengetuk meja cukup keras.“Drake,” panggil Elena sekali lagi.“Ya?” Seolah Drake baru sadar masih berpijak di bumi, pria itu justru menatap Elena dengan satu alis naik lebih tinggi.“Aku bilang sudah selesai membacanya.”“Baiklah, silakan berikan tanda tanganmu.” Drake segera membubuhkan tanda tangan di dokumen tersebut, begitu juga Elena. Keduanya saling menukar dokumen lalu memberikan tanda tangan lagi. Sekretarisnya, pria yang memakai kaca mata itu mendekat dan mengambil satu dokumen dari tangan Drake lalu undur diri.“Mulai detik ini, kontrak kita berjalan.” Drake mengingatkan. Elena mengangguk setuju, saat pria di depannya itu meraih ponsel, menelepon seseorang.“Ya, lakukan sekarang, sesuai permintaanku.”Usai menutup panggilannya, Drake menempatkan kedua tangannya yang membingkai segitiga di atas meja.“Semua akan beres besok. Dana telah ditransfer. Perusahaanmu akan segera pulih.” Elena tak bisa menyembunyikan napas kelegaannya, sebelum kembali menguasai diri. Senyum tipis sempat ia lihat di wajah mantan suaminya. Wanita berambut pirang itu mengambil tas kecilnya. Pertemuan ini sudah berakhir.“Setelah ini, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat yang tenang.”“Ke mana, Drake?”“Tempat yang tenang untuk mengobrol. Bukan tentang bisnis kita.” Entah mengapa, Elena merasa ada nada getir dan kesepian dalam kalimat Drake. Ia ingin pulang, tapi, ia juga ingin tahu ke mana Drake akan membawanya pergi.“Kau mau, kan?”“Baiklah, aku ikut.”“Aku tak akan membawa pengawal dan sekretaris. Hanya kita.” Wanita berhidung mancung itu mengerutkan kening. Selama setahun pernikahan bisnis mereka dulu, tak sekali pun Drake mengajaknya pergi berdua saja seperti ini. Ada rasa merinding yang perlahan menyergap saat teringat malam sebelum perceraian resmi keduanya. Ke mana Drake akan membawanya? Apa yang akan dilakukan pria itu?“Kita pergi ke mana, Drake?” Elena yang duduk di kursi sebelah Drake semakin ingin tahu. Tapi, mantan suaminya itu hanya membalas dengan senyum singkat sebelum kembali fokus mengemudi. Ia memilih menatap jalanan yang semakin sepi di depannya. Semakin ke arah pinggiran kota. Elena mulai tahu ke arah mana mereka akan pergi saat perlahan melihat pantai dari kejauhan. Senyum lebar terlihat dari wajah cantiknya. “Kenapa tidak bilang dari tadi kalau kita ke sini?” “Agar kau menebak dalam perjalanan.” Keduanya berjalan – jalan santai di pinggir pantai. Elena tertawa saat mengingat ia sendiri sempat ketakutan akan pergi ke mana dengan Drake malam itu. Ia mengernyit sejenak saat pria yang sejak tadi diam itu menyampirkan jas ke pundaknya. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, tentang Alexa.” Keduanya menghentikan langkah serempak. Ekspresi dingin Drake muncul. Elena mengabaikan perubahan ekspresi pria itu dengan sengaja. “Kalian sudah lama menjalin hubungan, jauh sebelum pernikahan b
Suara kicauan burung menembus hingga ke kamar. Cahaya matahari menyusup masuk hingga menyinari wajah cantik Elena yang masih tertidur. Perlahan, Elena membuka matanya. Hangat sinar matahari membuatnya menikmati suasana pagi yang tenang selama beberapa detik. Ia lalu mengedarkan pandangannya, kesadarannya kembali. Ini bukan kamarnya. Elena terhenyak, ia segera duduk. Matanya melebar dan membolak – balikkan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia berpakaian lengkap, keningnya berkerut. Tepat saat itu pula, seseorang keluar dari kamar mandi.“Kau sudah bangun, Elena?”“Drake,” jawab Elena. Elena menahan rasa terkejutnya. Ia segera memalingkan wajahnya saat menyadari Drake yang hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Memperlihatkan dada dan tubuh atletisnya yang membuat Elena merasa harus segera mengalihkan pandangan. Drake berjalan mendekati Elena.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Drake. Drake mengambil tempat di pinggir ranjang seraya mengamati wajah Elena yang engg
Drake menuntun Elena keluar dari mobil menuju mansionnya. Meski mabuk, Elena masih sanggup berjalan dengan cukup baik. “Wah, akhirnya aku sampai di rumah. Terima kasih sudah mengantarkanku pulang. Hati – hati di jalan, mantan suami.” Wanita dengan rambut sebahu itu masuk ke dalam kamar yang luas. Karena terlalu mengantuk dan merasa pusing, ia langsung merebahkan diri di ranjang besar itu. Drake menyusulnya. Pria tinggi itu hanya berdiri di samping ranjang tempat Elena telah tertidur. Seraya menggelengkan kepalanya saat menatap wanita di hadapannya itu.“Sudah kuperingatkan berkali – kali sebelumnya, jangan terlalu banyak minum, Elena.” Drake membantu Elena melepaskan mantel dan sepatunya. Ia juga membenarkan posisi tidur wanita itu sebaik mungkin. Pria itu menatap lama wajah polos wanita yang kini tengah larut dalam mimpinya itu. Sesaat kemudian, Drake segera menuju kamar mandi. Ia berakhir tidur di sofa tang tak jauh dari ranjangnya. Persis seperti kebiasaannya b
“Alfred, kabur ke mana saja kau selama ini?” Elena menatap tajam saudara sepupunya itu. Biang keladi dari semua masalah yang perusahaannya alami. Penampilan pria itu tampak acak – acakan. Bau alkohol tercium jelas dari tempat Elena berdiri, meski cukup jauh. “Kabur katamu? Aku hanya menenangkan diri sebentar.” Pria itu berjalan mendekati Elena dengan senyum ramah. Yang bagi Elena justru terasa memuakkan. Seperti halnya penampilannya yang berantakan, Alfred menjalani kehidupan dan kinerja yang tak kalah berantakan juga. “Elena sayang, apa kau marah karena aku pergi?” “Bukan marah, muak lebih tepatnya. Ini ya sikap yang ditunjukkan oleh seseorang yang merasa pantas menjadi pemimpin perusahaan?” “Manusia bisa membuat kesalahan satu – dua kali. Itu wajar.” “Wajar jika hanya menyangkut dirimu, tidak untuk 5.000 lebih karyawan yang bergantung dengan perusahaan.” “Kau terlalu serius, Elena, dalam bisnis ini hal yang biasa. Salah perhitungan sesekali terjadi.” “Kau yang terlalu gil
“Alfred?” “Ya, apa kau lupa? Sepupuku.” “Aku ingat. Bukankah kalian satu kantor?” “Ya, dia menghilang sejak membuat kesalahan investasi perusahaan. Hingga kami mengalami krisis.” “Lalu, sekarang ia kembali? Bertanggung jawab atas kesalahannya?” “Yang kutahu, ia bukan tipe orang bertanggung jawab. Kurasa ada hal lain yang diincarnya. Tapi, aku tak tahu apa itu.” “Apa rencanamu selanjutnya?” “Aku ingin mengawasinya. Apa yang dilakukannya agar aku bisa memprediksi tujuannya kembali dengan ekspresi percaya diri seperti itu.” “Apa tadi ia mengancammu?” “Tidak. Tadi aku memberinya peringatan untuk bertanggung jawab karena krisis yang disebabkan olehnya.” “Apa kau membutuhkan orang lain selain Carl untuk menyelidiki Alfred?” “Aku hanya perlu Carl saja untuk mencari tahu. Aku biasa menyetir mobil sendirian jika Carl sedang mengawasi pergerakan Alfred.” “Aku masih punya banyak pengawal lain kalau kau mau,” tawar Drake dengan hangat. “Tak apa, Carl saja sudah cukup.” Keduanya te
Elena menutup mulutnya agar tak bersuara sedikit pun. Satu tangannya yang lain meremas tas kecilnya dengan kuat. Matanya kian memicing begitu wajah Camilla mendekati wajah Drake. Dalam hati, Elena merutuki situasi ini. “Berhenti.” Suara Drake yang dalam dan tegas membuat Elena kembali menatap ke arah mereka. Camilla pasti juga terkejut. Gadis itu terlihat langsung berhenti. “Jangan bersikap kekanakan, Camilla. Aku tahu jika Smith sedang menunggumu. Hotel nomor 1208. Kau tak mau Smith menunggu lama, kan?” “Sial! Kenapa kau bisa tahu?” Camilla dengan kesal menjauhkan dirinya dari Drake. Pria itu tak mengatakan apa pun lagi. “Ternyata benar kata gosip yang beredar. Kau memiliki mata dan telinga di manapun.” Drake mengedikkan bahu singkat. Camilla memilih berjalan keluar dari balik tirai balkon. Elena segera menyembunyikan dirinya tenggelam dalam tirai besar nan mewah itu. Beruntung, Camilla tak lagi menoleh ke arah belakang, sehingga Elena tak ketahuan. Setelah mengembus
“Well, bukankah aku sudah melakukannya di pesta pembukaan cabang kemarin?” “Sebagai mantan istri yang rukun, ya. Prasangka baik dari publik, tentu. Tapi, klausa sebagai kekasih? Belum.” “Wah, aku tak tahu kau sedetail ini mengulitiku, Drake.” “Daripada menguliti aku lebih suka kata undressing you.” Elena tersenyum miring, mencibir penggunaan kata yang Drake ucapkan. “Sungguh kata yang amat sopan,” sindir Elena. “Mungkin kau ada pilihan kata lain yang lebih tepat?” “Kritis lebih tepat, mengingat kau begitu kritis menilaiku.” “Ada benarnya. Aku memang sedang dalam situasi kritis, Nona Cantik.” “Terdengar seperti kaulah yang harus merayuku, bukannya sebaliknya.” “Jika diperlukan, untuk wanita tertentu.” “Wanita yang bagaimana yang ‘tertentu’ itu?” Drake yang sudah menyelesaikan makan malamnya berdiri dari kursi. Satu tangannya diletakkan di saku celananya. Dengan santai berjalan menuju tempat Elena duduk. “Tebaklah!” “Aku yang bertanya aku juga yang kau minta menebak.” Ek
“Oopps, apa aku salah masuk ruangan?” Mata Elena melebar melihat pria berjambang tipis dengan garis rahang tegas itu tersenyum saat masuk ke rumah utama pamannya. “Drake,” panggil Elena lirih. Senyum Drake sirna ketika melihat kedua lengan Elena telah dicengkeram oleh dua pengawal. Bersamaan dengan itu, Will dan tiga pengawal lain, merangsek masuk ke dalam. “Apa – apaan ini?” Suara keras Paman Smith terdengar. Drake melangkah hingga di depan Elena. “Lepaskan tanganmu darinya.” Suara berat Drake yang setengah menggeram ditujukan pada pengawal yang masih memegangi lengan Elena. “Lepaskan tanganmu!” Drake melayangkan satu tinju ke pengawal di sebelah kiri Elena. Orang tersebut jatuh terkapar di lantai. Sementara seorang lainnya hendak menyerang Drake, pengawal Drake lainnya bergerak lebih cepat menghalangi pukulan. Mendadak, beberapa pengawal keluarga Paman Smith lainnya turut bergabung. Dengan sigap, Drake segera menarik Elena menjauh dari pengawal yang tadi menahannya. M
Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem
“Kita bicarakan hal lain saja.” “Drake, ada apa? Aku tahu ada yang salah, tapi, kau tak mau cerita padaku.” “Tidak. Itu tidak penting lagi, Elena.” “Penting bagiku.” “Penting bagiku untuk menjaga keadaanmu dan bayi kita tetap stabil.” “Tapi, aku tidak bisa pura-pura tak tahu sedangkan aku jelas merasa kau menyembunyikan sesuatu.” “Sudah kubilang itu tak penting. Semua sudah berlalu.” Elena membuang pandangannya ke samping. Sepertinya ini juga sia-sia saja. Seperti tadi saat bertanya ke Mama Lily. Wanita berambut pirang itu berdiri, lalu keluar dari kamar. Drake menghela napas kasar, mengikuti Elena. “Elena, kau mau ke mana? Ini sudah malam.” “Kau tidur saja.” “Aku tidak mungkin tidur kalau kau belum tidur.” Elena tak menanggapi, ia hanya berjalan terus menuju perpustakaan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Satu ruangan dengan Drake terasa membuatnya kecewa. “Elena, ayo kembali ke kamar.” “Aku masih mau di sini. Pergilah.” Elena baru saja melangkah masuk ke perpustakaan
Tatapan sendu Drake terlihat jelas. Istrinya itu kini tampak rapuh di matanya. Sesekali menghela napas panjang, mengingat setiap momen Elena membantunya mandi, berganti pakaian dan makan. Terkadang ia juga membantu mengetikkan pekerjaan kantornya saat bahunya mulai sakit. Ia ingin merutuki diri sendiri karena tak peka pada keadaan istrinya sendiri. Beberapa kali ia mengetahui Elena muntah di pagi hari. Ia kira hanya karena sakit maaf yang kadang kambuh.“Drake, aku tertidur ya?”Lamunan Drake seketika buyar saat melihat mata Elena terbuka. Istrinya berusaha bangun.“Tidur saja dulu, kau perlu istirahat.”Elena kembali berbaring. Ia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tiba-tiba ia ingat, tangannya langsung mencengkeram jari-jari Drake.“Bayinya bagaimana?”“Baik-baik saja. Tak ada masalah. Jangan khawatir.”“Syukurlah.”Elena memejamkan matanya sesaat. Ia menarik napas panjang dengan rasa lega. Drake beranjak dari duduknya, ia mencium kening istrinya cukup lama.
Wanita berambut pirang itu duduk dengan tatapan kosong. Seolah seperti patung, Elena tak bergerak sedikit pun. Hingga dua orang, pria dan wanita datang menghampiri. “Elena.” Kate langsung memeluk tubuh ramping yang kini rapuh itu. Elena membalas pelukan Kate seraya menangis tersedu. Di tangannya masih tersisa darah dari Drake. “Kate, maaf, bajumu kotor terkena darah di tanganku.” “Tak masalah. Jangan khawatir. Bagaimana kondisi Drake?” “Will bilang bahunya terkena tembakan. Drake menghalau peluru yang sepertinya sengaja dialihkan padaku.” “Pelakunya bagaimana?” tanya Carl dengan nada cemas. “Sudah diamankan oleh pihak berwajib. Will sedang bertemu dengan mereka.” Carl memutuskan tetap berjaga di situ. Ia telah meminta beberapa pengawal Drkae yang lain untuk mendekat ke ruang perawatan ini, menjaga dan mengantisipasi jika saja masih ada orang suruhan Alfred yang berniat mencelakai. “Kita bersihkan dulu tanganmu. Ayo, Elena.” Kate membantu Elena berdiri lalu berjalan menuju t