“Kita pergi ke mana, Drake?”
Elena yang duduk di kursi sebelah Drake semakin ingin tahu. Tapi, mantan suaminya itu hanya membalas dengan senyum singkat sebelum kembali fokus mengemudi. Ia memilih menatap jalanan yang semakin sepi di depannya. Semakin ke arah pinggiran kota. Elena mulai tahu ke arah mana mereka akan pergi saat perlahan melihat pantai dari kejauhan. Senyum lebar terlihat dari wajah cantiknya.“Kenapa tidak bilang dari tadi kalau kita ke sini?”“Agar kau menebak dalam perjalanan.” Keduanya berjalan – jalan santai di pinggir pantai. Elena tertawa saat mengingat ia sendiri sempat ketakutan akan pergi ke mana dengan Drake malam itu. Ia mengernyit sejenak saat pria yang sejak tadi diam itu menyampirkan jas ke pundaknya.“Aku ingin bertanya sesuatu padamu, tentang Alexa.”Keduanya menghentikan langkah serempak. Ekspresi dingin Drake muncul. Elena mengabaikan perubahan ekspresi pria itu dengan sengaja.“Kalian sudah lama menjalin hubungan, jauh sebelum pernikahan bisnis kita terjadi. Aku tahu semuanya karena kita sahabat sejak kecil, keluarga kita juga memiliki hubungan yang dekat. Setelah hampir lima tahun kalian bersama, mengapa tiba – tiba berpisah? Alexa sangat mencintaimu.” Drake menatap Elena cukup lama. Pria itu mengambil satu langkah lebih dekat ke Elena, lalu, merapatkan jas yang menyelimuti tubuh Elena agar tak kedinginan.“Aku tak ingin bersamanya.” Elena melongo, mendengar jawaban dari Drake yang singkat, membuatnya tak percaya.“Mengapa kau tak ingin bersamanya?”“Aku tak ingin membahasnya, Elena. hubunganku dan Alexa sudah berakhir. Semua hanya masa lalu.”“Drake. Jangan katakan padaku kau bosan padanya.”“Bagaimana jika itu yang terjadi?”“Dasar pria bajingan!” Elena memukul dada Drake beberapa kali. Drake tampak tak terusik sedikit pun.“Mengapa kau marah, Elena?”“Karena itu menunjukkan betapa brengseknya dirimu. Kalian tampak saling mencintai. Di luar konteks jika pernikahan kita memang hanya pernikahan bisnis. Lalu, sekarang mengapa kau menawariku menjadi kekasihmu sebagai syarat? Pria bajingan sepertimu bisa kesepian juga ternyata.” Elena menatap tajam mata Drake. Dulu, saat mereka masih kecil, di mata Elena, Drake selalu terlihat keren dan ramah. Tapi, seiring berjalannya waktu, Drake tumbuh menjadi pria berbahaya. Bukan sekali atau dua kali Elena merasa terintimidasi oleh Drake. Seolah Drake memang terlahir untuk mengendalikan kekuasaan. Ekspresi pria itu semakin dingin. Elena tak mengerti apakah itu karena pertanyaannya yang terlalu sensitif atau memang Drake membencinya karena insiden malam sebelum perceraian mereka itu.“Kami tak cocok lagi. Itu saja.” Drake meneruskan langkah dengan santai. Elena masih tak bisa menerima jawaban singkat itu. Ia berusaha menyamakan langkah pria yang terpaut dua tahun lebih tua darinya itu.“Tidak mungkin, kalian sudah kenal lama.”“Aku hanya ... tak mencintainya lagi, Elena. Cukup pembahasan tantang wanita itu.”“Kalau kau masih merasa terluka, itu artinya perasaanmu padanya masih ada, Drake.”“Aku tak ingin membahas wanita itu karena tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kami sudah selesai dan menjalani kehidupan masing – masing.” Tatapan tajam Drake menjadi peringatan tanpa kata dari pria itu. Elena memilih diam seraya melihat apa yang terjadi seiring berjalannya waktu.“Bagaimana kalau kita kembali ke mobil? Kau semakin kedinginan.” Elena akhirnya mengangguk setuju. Ia dan Drake berjalan kembali menuju mobil dalam diam. Dalam hati, Elena akan mencari tahu alasan perpisahan sahabat masa kecil sekaligus mantan suaminya itu dengan Alexa. Drake menyalakan radio lokal, kebetulan membahas tentang cuaca malam itu.“Malam ini hujan badai akan datang. Jarak pandang berkendara akan terganggu. Kami sarankan, jangan berkendara dalam jarak jauh malam ini...” Itu penggalan informasi cuaca terkini di daerah pantai tempat mereka berdua berada sekarang. Jauh dari kota tentu saja.“Kita tak bisa kembali malam ini. Lebih aman jika menginap di sini semalam dan menunggu badainya reda.” Drake mengatakannya seraya menatap wajah Elena yang memucat. Bahu wanita dengan iris mata biru itu merosot ke kursi mobil. Elena meremas – remas jarinya. Drake melajukan mobilnya perlahan menembus gerimis yang mulai turun.“Kita cari penginapan terdekat. Jangan takut, Elena.” Elena hanya menatap tegang jalanan di depannya yang mulai basah oleh air hujan. Sesekali petir terdengar, ia hanya bisa menutup telinga dan menggigit bibir bawahnya menahan teriakan ketakutan. Drake melirik ke arah Elena beberapa kali. Mereka sampai di sebuah penginapan yang tampak luas dan cukup bagus.“Elena, tunggu di sini. Aku akan bertanya apa masih ada kamar kosong.” Elena mengangguk setuju. Beberapa saat kemudian, pria itu kembali dengan wajah kecewa. Bajunya tampak basah karena kehujanan.“Mereka kehabisan kamar kosong. Kita cari tempat lain.” Hal yang sama terjadi di penginapan selanjutnya. Kamar mereka penuh karena cuaca yang buruk. Drake mengemudikan mobilnya lagi menuju penginapan ketiga, yang tampak cukup baik seperti penginapan pertama yang mereka kunjungi. Elena menghela napas kecewa saat Drake kembali ke mobil.“Apa mereka kehabisan kamar juga?” Elena mengambil beberapa lembar tisu, lalu, memberikannya kepada Drake. Wajahnya sama seperti kemejanya, basah kuyup terkena guyuran air hujan.“Tidak, mereka masih punya 1 kamar kosong.”“Apa? Hanya satu kamar kosong?”“Ya, kalau kau tak mau, kita coba lagi penginapan lainnya.” Elena terdiam, ia saja sudah lelah, apa lagi Drake. Lagi pula ini sudah larut malam. Pagi akan tiba dengan cepat. Drake hendak menyalakan mesin mobilnya lagi.“Hentikan, Drake. Kita bermalam di tempat ini saja.”“Mereka hanya punya 1 kamar kosong. Apa kau tak masalah?” Elena menatap wajah lelah Drake. Ia tak sampai hati membiarkan pria itu mencari penginapan lain dan harus kehujanan lebih lama.“Tak apa, Drake. Aku juga sudah mengantuk.” Drake menatap mata Elena, seolah memastikan Elena tak berubah pikiran.“Baiklah, kalau begitu, ayo turun.” Dengan menggunakan jas Drake sebagai payung, keduanya berjalan cepat masuk ke penginapan. Sementara Drake sedang berbicara dengan resepsionis, Elena memandang sekelilingnya. Penginapan itu cukup unik, tampak seperti rumah biasa yang nyaman, bersih dan terawat. Drake mendekati Elena yang terlihat kedinginan.“Ayo, Elena,” ucap Drake mengajak Elena ke tempat yang mereka pesan. Setelah melewati lorong kecil, mereka masuk ke sebuah kamar yang tampak seperti rumah mungil. Tempatnya bagus dan klasik, Elena menyukainya.“Lebih bagus dari dugaanku.” Elena berkomentar seraya berjalan mengelilingi kamar yang cukup besar itu. Bahkan terdapat satu set meja kursi dan kamar mandi yang cukup luas.“Elena, aku keluar sebentar.”“Kau akan pergi ke mana?”“Ada minimarket di sebelah bangunan ini. Aku tak akan lama.” Drake sudah berdiri di ambang pintu, Elena mengikutinya.“Jangan lama, Drake. Kau tahu petirnya tak mereda, kan?”“Ya, aku tahu. Aku tak akan lama.” Drake mengusap kepala Elena sekilas sebelum keluar dari kamar. Terakhir kali Drake mengusap kepala Elena saat mereka bermain bersama, lebih dari sembilan belas tahun lalu. Elena mengingat kembali masa – masa itu seraya menunggu kedatangan Drake. Tak lama kemudian, Drake kembali. Ia membawa dua pasang baju. Satu untuknya dan satu lagi untuk Elena.“Aku membeli ini. Kita bisa sakit jika tetap memakai pakaian basah.” Drake menyodorkan satu pasang pakaian, kaus polos berwarna putih dan celana olahraga. Elena menerimanya seraya menahan tawa. Ia sudah lupa kapan terakhir kali berolahraga, celana olahraga itu seolah mengingatkannya. Usai keduanya mengganti pakaian, Drake membuat mi instan cup yang dibelinya bersamaan dengan pakaian ganti mereka. Makan malam seadanya di depan perapian, tak menghalangi Elena dari rasa kantuk yang luar biasa. Ia bahkan beberapa kali tertidur singkat, lalu, bangun kembali.“Sebaiknya kau tidur, Elle.” Elena tertegun, ia tak salah dengar. Elle adalah panggilan akrab yang diucapkan mantan suaminya itu saat mereka masih kecil. Hanya Drake kecil yang memanggilnya dengan nama Elle. Elena menyembunyikan mencoba bersikap biasa. Ia melirik ke arah ranjang yang berukuran sedang itu.“Ranjangnya cukup sempit.”“Tenang, Elle. Tidurlah, aku tak akan menerkammu.” Drake terkekeh saat melihat ekspresi Elena. Jelas sekali Elena mengantuk. Selain hujan badai disertai petir membuat Elena ketakutan, Elena perlu segera tidur.“Baiklah, kau harus berjanji padaku tak akan berbuat macam – macam. Aku akan pergi tidur sekarang.” Elena berjalan menuju ranjang. Ia merebahkan dirinya dan menarik selimut.“Mengapa petirnya tak berhenti?” gumam Elena yang cukup keras di dengar oleh Drake. Detik berikutnya, Elena telah terlelap dalam mimpi. Drake mendekati ranjang, lalu merebahkan dirinya di samping Elena. Ia menarik tubuh Elena ke dalam pelukannya. Tak lama, suara petir menggelegar semakin keras.“Petirnya,” pekik Elena setengah tertidur.“Ssttt, tak apa. Tak perlu takut. Aku akan menemanimu. Sama seperti dulu.” Drake menenangkan Elena dan memeluknya lebih erat. Elena yang setengah sadar kembali tertidur. Drake tersenyum lebar dalam kamar dengan penerangan yang minim tersebut. Besok, ia harus membuat Elena menerima penawarannya, bagaimana pun caranya.Suara kicauan burung menembus hingga ke kamar. Cahaya matahari menyusup masuk hingga menyinari wajah cantik Elena yang masih tertidur. Perlahan, Elena membuka matanya. Hangat sinar matahari membuatnya menikmati suasana pagi yang tenang selama beberapa detik. Ia lalu mengedarkan pandangannya, kesadarannya kembali. Ini bukan kamarnya. Elena terhenyak, ia segera duduk. Matanya melebar dan membolak – balikkan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia berpakaian lengkap, keningnya berkerut. Tepat saat itu pula, seseorang keluar dari kamar mandi.“Kau sudah bangun, Elena?”“Drake,” jawab Elena. Elena menahan rasa terkejutnya. Ia segera memalingkan wajahnya saat menyadari Drake yang hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Memperlihatkan dada dan tubuh atletisnya yang membuat Elena merasa harus segera mengalihkan pandangan. Drake berjalan mendekati Elena.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Drake. Drake mengambil tempat di pinggir ranjang seraya mengamati wajah Elena yang engg
Drake menuntun Elena keluar dari mobil menuju mansionnya. Meski mabuk, Elena masih sanggup berjalan dengan cukup baik. “Wah, akhirnya aku sampai di rumah. Terima kasih sudah mengantarkanku pulang. Hati – hati di jalan, mantan suami.” Wanita dengan rambut sebahu itu masuk ke dalam kamar yang luas. Karena terlalu mengantuk dan merasa pusing, ia langsung merebahkan diri di ranjang besar itu. Drake menyusulnya. Pria tinggi itu hanya berdiri di samping ranjang tempat Elena telah tertidur. Seraya menggelengkan kepalanya saat menatap wanita di hadapannya itu.“Sudah kuperingatkan berkali – kali sebelumnya, jangan terlalu banyak minum, Elena.” Drake membantu Elena melepaskan mantel dan sepatunya. Ia juga membenarkan posisi tidur wanita itu sebaik mungkin. Pria itu menatap lama wajah polos wanita yang kini tengah larut dalam mimpinya itu. Sesaat kemudian, Drake segera menuju kamar mandi. Ia berakhir tidur di sofa tang tak jauh dari ranjangnya. Persis seperti kebiasaannya b
“Alfred, kabur ke mana saja kau selama ini?” Elena menatap tajam saudara sepupunya itu. Biang keladi dari semua masalah yang perusahaannya alami. Penampilan pria itu tampak acak – acakan. Bau alkohol tercium jelas dari tempat Elena berdiri, meski cukup jauh. “Kabur katamu? Aku hanya menenangkan diri sebentar.” Pria itu berjalan mendekati Elena dengan senyum ramah. Yang bagi Elena justru terasa memuakkan. Seperti halnya penampilannya yang berantakan, Alfred menjalani kehidupan dan kinerja yang tak kalah berantakan juga. “Elena sayang, apa kau marah karena aku pergi?” “Bukan marah, muak lebih tepatnya. Ini ya sikap yang ditunjukkan oleh seseorang yang merasa pantas menjadi pemimpin perusahaan?” “Manusia bisa membuat kesalahan satu – dua kali. Itu wajar.” “Wajar jika hanya menyangkut dirimu, tidak untuk 5.000 lebih karyawan yang bergantung dengan perusahaan.” “Kau terlalu serius, Elena, dalam bisnis ini hal yang biasa. Salah perhitungan sesekali terjadi.” “Kau yang terlalu gil
“Alfred?” “Ya, apa kau lupa? Sepupuku.” “Aku ingat. Bukankah kalian satu kantor?” “Ya, dia menghilang sejak membuat kesalahan investasi perusahaan. Hingga kami mengalami krisis.” “Lalu, sekarang ia kembali? Bertanggung jawab atas kesalahannya?” “Yang kutahu, ia bukan tipe orang bertanggung jawab. Kurasa ada hal lain yang diincarnya. Tapi, aku tak tahu apa itu.” “Apa rencanamu selanjutnya?” “Aku ingin mengawasinya. Apa yang dilakukannya agar aku bisa memprediksi tujuannya kembali dengan ekspresi percaya diri seperti itu.” “Apa tadi ia mengancammu?” “Tidak. Tadi aku memberinya peringatan untuk bertanggung jawab karena krisis yang disebabkan olehnya.” “Apa kau membutuhkan orang lain selain Carl untuk menyelidiki Alfred?” “Aku hanya perlu Carl saja untuk mencari tahu. Aku biasa menyetir mobil sendirian jika Carl sedang mengawasi pergerakan Alfred.” “Aku masih punya banyak pengawal lain kalau kau mau,” tawar Drake dengan hangat. “Tak apa, Carl saja sudah cukup.” Keduanya te
Elena menutup mulutnya agar tak bersuara sedikit pun. Satu tangannya yang lain meremas tas kecilnya dengan kuat. Matanya kian memicing begitu wajah Camilla mendekati wajah Drake. Dalam hati, Elena merutuki situasi ini. “Berhenti.” Suara Drake yang dalam dan tegas membuat Elena kembali menatap ke arah mereka. Camilla pasti juga terkejut. Gadis itu terlihat langsung berhenti. “Jangan bersikap kekanakan, Camilla. Aku tahu jika Smith sedang menunggumu. Hotel nomor 1208. Kau tak mau Smith menunggu lama, kan?” “Sial! Kenapa kau bisa tahu?” Camilla dengan kesal menjauhkan dirinya dari Drake. Pria itu tak mengatakan apa pun lagi. “Ternyata benar kata gosip yang beredar. Kau memiliki mata dan telinga di manapun.” Drake mengedikkan bahu singkat. Camilla memilih berjalan keluar dari balik tirai balkon. Elena segera menyembunyikan dirinya tenggelam dalam tirai besar nan mewah itu. Beruntung, Camilla tak lagi menoleh ke arah belakang, sehingga Elena tak ketahuan. Setelah mengembus
“Well, bukankah aku sudah melakukannya di pesta pembukaan cabang kemarin?” “Sebagai mantan istri yang rukun, ya. Prasangka baik dari publik, tentu. Tapi, klausa sebagai kekasih? Belum.” “Wah, aku tak tahu kau sedetail ini mengulitiku, Drake.” “Daripada menguliti aku lebih suka kata undressing you.” Elena tersenyum miring, mencibir penggunaan kata yang Drake ucapkan. “Sungguh kata yang amat sopan,” sindir Elena. “Mungkin kau ada pilihan kata lain yang lebih tepat?” “Kritis lebih tepat, mengingat kau begitu kritis menilaiku.” “Ada benarnya. Aku memang sedang dalam situasi kritis, Nona Cantik.” “Terdengar seperti kaulah yang harus merayuku, bukannya sebaliknya.” “Jika diperlukan, untuk wanita tertentu.” “Wanita yang bagaimana yang ‘tertentu’ itu?” Drake yang sudah menyelesaikan makan malamnya berdiri dari kursi. Satu tangannya diletakkan di saku celananya. Dengan santai berjalan menuju tempat Elena duduk. “Tebaklah!” “Aku yang bertanya aku juga yang kau minta menebak.” Ek
“Oopps, apa aku salah masuk ruangan?” Mata Elena melebar melihat pria berjambang tipis dengan garis rahang tegas itu tersenyum saat masuk ke rumah utama pamannya. “Drake,” panggil Elena lirih. Senyum Drake sirna ketika melihat kedua lengan Elena telah dicengkeram oleh dua pengawal. Bersamaan dengan itu, Will dan tiga pengawal lain, merangsek masuk ke dalam. “Apa – apaan ini?” Suara keras Paman Smith terdengar. Drake melangkah hingga di depan Elena. “Lepaskan tanganmu darinya.” Suara berat Drake yang setengah menggeram ditujukan pada pengawal yang masih memegangi lengan Elena. “Lepaskan tanganmu!” Drake melayangkan satu tinju ke pengawal di sebelah kiri Elena. Orang tersebut jatuh terkapar di lantai. Sementara seorang lainnya hendak menyerang Drake, pengawal Drake lainnya bergerak lebih cepat menghalangi pukulan. Mendadak, beberapa pengawal keluarga Paman Smith lainnya turut bergabung. Dengan sigap, Drake segera menarik Elena menjauh dari pengawal yang tadi menahannya. M
“Kau akan pulang sekarang?” Kate bertanya saat Elena membereskan barang – barangnya di meja. “Ya, kau juga jangan pulang larut malam.” “Siap, Bos.” Kate menanti Elena yang bersiap – siap. Ia ingin tahu sesuatu yang sejak lama ia tahan. “Ada yang ingin kau katakan?” Elena melirik ke arah Kate yang ia tahu pasti ada hal yang mengganjal. “Bagaimana hubunganmu dengan Drake? Kalian terlihat ... akrab waktu kita makan malam dengan staf.” “Baik, hubungan kami baik – baik saja. Kami memutuskan hidup rukun dan berteman seperti dulu.” “Eheemm. Kupikir kau tak pernah pulang ke rumahmu juga.” Elena menghentikan gerakan tangannya. Detik berikutnya, ia menutup tas kantornya lalu menatap Kate. “Aku tinggal di rumah lain.” “Oh, baiklah.” Meski mengulas senyum santai, dalam hati Elena merasa bersalah karena telah membohongi sahabatnya itu. “Bagus, berteman dan hidup rukun itu jauh lebih baik.” “Ya, Kate. Aku pulang dulu.” “Ya, hati – hati.” Setelah percakapan singkat dengan Kate, E
Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem
“Kita bicarakan hal lain saja.” “Drake, ada apa? Aku tahu ada yang salah, tapi, kau tak mau cerita padaku.” “Tidak. Itu tidak penting lagi, Elena.” “Penting bagiku.” “Penting bagiku untuk menjaga keadaanmu dan bayi kita tetap stabil.” “Tapi, aku tidak bisa pura-pura tak tahu sedangkan aku jelas merasa kau menyembunyikan sesuatu.” “Sudah kubilang itu tak penting. Semua sudah berlalu.” Elena membuang pandangannya ke samping. Sepertinya ini juga sia-sia saja. Seperti tadi saat bertanya ke Mama Lily. Wanita berambut pirang itu berdiri, lalu keluar dari kamar. Drake menghela napas kasar, mengikuti Elena. “Elena, kau mau ke mana? Ini sudah malam.” “Kau tidur saja.” “Aku tidak mungkin tidur kalau kau belum tidur.” Elena tak menanggapi, ia hanya berjalan terus menuju perpustakaan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Satu ruangan dengan Drake terasa membuatnya kecewa. “Elena, ayo kembali ke kamar.” “Aku masih mau di sini. Pergilah.” Elena baru saja melangkah masuk ke perpustakaan
Tatapan sendu Drake terlihat jelas. Istrinya itu kini tampak rapuh di matanya. Sesekali menghela napas panjang, mengingat setiap momen Elena membantunya mandi, berganti pakaian dan makan. Terkadang ia juga membantu mengetikkan pekerjaan kantornya saat bahunya mulai sakit. Ia ingin merutuki diri sendiri karena tak peka pada keadaan istrinya sendiri. Beberapa kali ia mengetahui Elena muntah di pagi hari. Ia kira hanya karena sakit maaf yang kadang kambuh.“Drake, aku tertidur ya?”Lamunan Drake seketika buyar saat melihat mata Elena terbuka. Istrinya berusaha bangun.“Tidur saja dulu, kau perlu istirahat.”Elena kembali berbaring. Ia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tiba-tiba ia ingat, tangannya langsung mencengkeram jari-jari Drake.“Bayinya bagaimana?”“Baik-baik saja. Tak ada masalah. Jangan khawatir.”“Syukurlah.”Elena memejamkan matanya sesaat. Ia menarik napas panjang dengan rasa lega. Drake beranjak dari duduknya, ia mencium kening istrinya cukup lama.
Wanita berambut pirang itu duduk dengan tatapan kosong. Seolah seperti patung, Elena tak bergerak sedikit pun. Hingga dua orang, pria dan wanita datang menghampiri. “Elena.” Kate langsung memeluk tubuh ramping yang kini rapuh itu. Elena membalas pelukan Kate seraya menangis tersedu. Di tangannya masih tersisa darah dari Drake. “Kate, maaf, bajumu kotor terkena darah di tanganku.” “Tak masalah. Jangan khawatir. Bagaimana kondisi Drake?” “Will bilang bahunya terkena tembakan. Drake menghalau peluru yang sepertinya sengaja dialihkan padaku.” “Pelakunya bagaimana?” tanya Carl dengan nada cemas. “Sudah diamankan oleh pihak berwajib. Will sedang bertemu dengan mereka.” Carl memutuskan tetap berjaga di situ. Ia telah meminta beberapa pengawal Drkae yang lain untuk mendekat ke ruang perawatan ini, menjaga dan mengantisipasi jika saja masih ada orang suruhan Alfred yang berniat mencelakai. “Kita bersihkan dulu tanganmu. Ayo, Elena.” Kate membantu Elena berdiri lalu berjalan menuju t