“Saya Hasan, tuan.” Jawab pria itu sembari menunduk. Bahkan ketika dia bertemu dengan papa dari pemuda itu, ia tidak pernah ditanyai nama. Membuatnya semakin khawatir. Dia sudah menduga-duga jika nantinya pemuda ini akan mengadu pada papanya, sehingga karirnya akan tamat. Dia tidak ingin hal itu akan terjadi nantinya.“Tolong maafkan saya tuan muda, saya tadi tidak bermaksud menyinggung tuan muda. Hanya saya tidak tahu jika anda anak dari bos besar.” ungkapnya berusaha melunakkan hati pemuda tersebut.“Lalu apa seperti itu kau memperlakukan tamu yang akan berkunjung kemari? Meremehkan hanya karena melihat penampilan tamu itu?” “Bukan tuan muda, tidak seperti itu. Hanya tak biasanya ada tamu dengan usia muda seperti anda.” Mendengar suara Hasan, Anggara tahu bahwa pria itu tengah menyesal dan ketakutan, meskipun tak melihat wajahnya serasa langsung.“Aku harap nantinya kamu terbiasa. Perlakukan semua orang dengan baik, dan jangan sekalipun membeda-bedakannya hanya karena penampilannya
Tak lama Anggara telah tiba di lantai dasar, melewati para staf kantor yang menunduk hormat padanya. Sepertinya Husen sudah memberikan informasi hampir ke seluruh staf kantor akan identitas Anggara. Sehingga dia begitu dihormati layaknya seorang bos muda.Husen melihat ke arah Anggara yang keluar dari pintu utama gedung. Lalu segera berjalan menghampiri dengan raut wajah yang ramah, tak seperti tadi saat pertama kali berjumpa.“Tuan muda, apa mau saya antarkan sampai mobil anda?” Ujarnya menawarkan.“Tidak perlu.” Balas Anggara tanpa menatap ke arah security tersebut. Meninggalkan Husen dengan perasaan cemas akan sikap Bos Muda itu padanya. Sungguh jika waktu bisa diulang kembali, ia akan bersikap manis pada putra pemilik perusahaan terbesar itu. Kini Husen pasrah menerima nasibnya nanti, menunggu panggilan jika nantinya pekerjaannya akan diberhentikan.Anggara berlalu menuju ke arah mobilnya terparkir. Dengan siaga, Yosi segera membukakan pintu untuk anak dari bosnya.Kini mereka tel
Di lain tempat, Bayu masih terlelap di kasur nyamannya. Ketokan pintu dari luar kamar tak juga membuatnya terbangun. Hingga asisten rumah tangga yang masih berusaha mengetuk pintu untuk membangunkan tidurnya, mulai merasa menyerah.Di telinga Bayu terpasang headset yang menyambungkan ke musik dari laptop. Sehingga ia tidak mendengar bunyi ketukan itu.Akhirnya wanita berumur 40 tahun yang bernama Halimah memutuskan untuk kembali ke lantai satu, setelah ia mengira usahanya sia-sia.Anggara melihat ke arah tangga, asisten rumah tangga itu berjalan seorang diri menuju ke arahnya.“Mohon maaf tuan dan nona, mas Bayu masih tidur sepertinya. Sudah saya coba membangunkan, namun pintu kamar tidak juga dibuka.” Ujarnya memberitahu, kepalanya menunduk hormat.Anggara paham, meskipun ia tidak terima dengan sikap Bayu yang seenaknya. Bayu bisa tidur nyenyak sementara kekasihnya sedang berharap-harap cemas.“Baiklah, bik. Tidak apa, biar saya tunggu di sini.” Jawab Anggara dengan ramah.Halimah pa
Bayu menerima setiap pukulan yang dilayangkan Dany pada dadanya. Dia kini sudah sadar akan kesalahannya, dan pantas untuk menerima kemarahan Dany. Masalah ini adalah kesalahan dari hasil perbuatan mereka berdua. Tak seharusnya Dany menanggungnya sendirian. Kembali Bayu mengingat akan kesendiriannya selama satu Minggu ini tinggal di rumah orang tuanya. Sikap kedua orang tuanya yang sangat cuek, mengabaikan keberadaannya di rumah. Bayu seperti hidup sebatang kara, meskipun kini dia berada satu rumah dengan orang tuanya.Saat ini dia telah memiliki kekasih yang tengah mengandung benihnya. Tak seharusnya ia menyia-nyiakan gadis ini. Gadis yang mau menerima kekurangannya meskipun Dany pernah menangkap basah perbuatannya yang tercela.Kini dia sudah tidak bisa berkelit lagi, selain menghadapi masalah ini bersama. Dia harus secepatnya bertemu dengan orang tuanya untuk membicarakan hal ini.“Gue janji akan bertanggung jawab, Beby. Kali ini gue berjanji.” Ujar Bayu, tanpa terasa air matanya i
Anggara tak menjawab ucapan Bayu. Dia segera meraih ponselnya dan melakukan panggilan ke om Bima.Tak berapa lama, pria di seberang sana menerima panggilan itu.“Halo om, maaf mengganggu. Om nanti kira-kira pulang jam berapa?” Tanya Anggara langsung tanpa basa-basi.“Nak Anggara, nanti kami usahakan pulang secepatnya. Apa ada terjadi sesuatu? Bayu sudah bangun kan?” Balas pria itu dari seberang telepon.“Bayu sudah bangun, ini ada yang mau saya bicarakan dengan om. Saya tunggu om di rumah ya, kalau bisa secepatnya om kembali ke rumah. Saya tunggu!” ucap Anggara dengan nada memerintah. Dalam hati Anggara sangat yakin om Bima akan menuruti permintaannya.“Baiklah Ang, kebetulan hari ini juga om gak terlalu sibuk. Nanti om usahakan pulang secepatnya. Mau bicara tentang apa Ang?” Tanya pria itu tampak penasaran. Bima takut jika hal yang nantinya dibicarakan menyangkut bisnis perusahaannya. Apalagi tadi Anggara mengatakan jika sebentar lagi dia akan belajar menggantikan Baskoro. Tentu Bim
Selama di perjalanan, tangan Akira selalu berada dalam genggaman Anggara. Seakan dia tidak ingin melepaskannya meskipun hanya sejenak. Dan sepertinya Akira juga tidak ingin melepaskan genggaman tangan itu. Perasaan hangat mengalir di hati mereka masing-masing.“Ang, terima kasih ya, sudah mau membantu Dany sampai di titik ini. Aku tidak tahu apa nantinya yang akan terjadi jika tanpa bantuanmu.” Ucap Akira mengawali obrolan mereka.“Sama-sama sayang, selama aku bisa maka aku akan membantu semampuku. Kamu tidak perlu berterima kasih, temanmu berarti temanku juga kan?” Balas Anggara sembari menatap wajah teduh kekasihnya. Ingin sekali ia mencium pipi gadis itu, namun kembali ia ingat dengan keberadaan Yosi di mobil itu.Hari itu memang jalanan sangat padat dan macet, sehingga untuk mencapai lokasi membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Membuat Akira tak tahan untuk memejamkan matanya, karena rasa kantuk yang tiba-tiba datang menghampiri.Anggara membiarkan gadis itu menikmati tidurnya.
“Apa nggak lain waktu saja, Ang? Aku belum siap. Kita tunggu sampai keadaan papamu benar-benar sehat.” Jawab Akira akhirnya, hanya itu alasan yang terlintas di benaknya untuk menolak ajakan Anggara. Ia tidak berani menatap langsung ke arah Anggara, hanya melihatnya sekilas dari sudut matanya.Sebenarnya keinginan Anggara begitu menggebu untuk memperkenalkan Akira pada keluarganya. Namun sepertinya ia tidak bisa memaksa kehendak gadis itu, jika kenyataannya Akira belum siap untuk diperkenalkan.“Baiklah, sayang. Aku tunggu sampai kamu siap. Tapi jangan lama-lama ya! Aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku benar-benar serius menjalani hubungan kita.” Anggara meraih tangan Akira lalu menggenggam dengan kedua tangannya. Membuat gadis itu beralih menatapnya. Pandangan mereka bertemu, dan ada perasaan yang sama yang terlihat dari tatapan keduanya."Akupun sama Ang, aku serius. Hanya aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri." balas Akira. "Papa waktu ini sempat mengajakku bicara, papa menyuruh
“Gimana pi? Lagi dimana Anggara?” Tanya Mega yang sangat penasaran dengan kabar dari pemuda itu.“Masih di luar mi, sebentar lagi dia akan balik.” Jawab Bima. “Kita makan duluan saja, Mi.” Lanjutnya sembari menyuruh Halimah untuk mengisi nasi beserta lauk di piringnya.“Huum, kira-kira apa ya pi, yang akan dibicarakan Anggara nanti?” Ucap Mega. Sedari masuk rumah tadi ia langsung menuju meja makan. Tanpa mencari keberadaan putranya. Dia lebih mementingkan perutnya daripada memberikan perhatian pada putranya. Atau mungkin Mega telah lupa jika ia masih menjadi seorang ibu dari seorang pemuda yang sudah beranjak dewasa?“Papi juga gak tahu mi, kita lihat saja nanti. Siapa tahu Anggara membawa kabar baik dari papanya. Ya, kan?” Balas Bima dengan senyum merekah di bibirnya. Harapan Bima adalah untuk mendapatkan sokongan dana, niatnya ingin menambah modal agar omset yang masuk ke penghasilan perusahaan akan lebih besar lagi. Tentunya akan menguntungkannya nanti.Dia telah menghubungi Basko