Setelah Sofia menelepon semua jadi tak menyenangkan. Ganis tak bisa menikmati jalan jalan ke desa tanpa membayangkan Sofia yang kini hancur. Ramon berusaha untuk mengajak Ganis melihat pemandangan di pantai tapi Ganis sudah tak berminat. "Kak kita pulang. Segera kakak temui kak Sofia. Aku tak ingin pernikahan kakak batal gara-gara aku. Ramon tak bisa membujuk Ganis lagi. Mau tak mau ia harus menghadapi kenyataan yang ada. Meninggalkan Ganis dan menikahi Sofia itulah takdirnya. itulah jalan yang benar. Ia melihat Ganis kini tampak tegar. Entah kenapa kini hatinyalah yang hancur. "Nis kukira kita bisa punya waktu sedikit lagi," ujarnya menatap Ganis muram."Sebanyak apapun kita tak akan cukup kak. Kita pulang sekarang atau kita akan terjebak menjadi penghianat cinta," kata Ganis tegas. Ramon meraih tangan Ganis erat. Ia mendesah berat."Nis kita kawin lari saja. Persetan dengan Sofia," ujar Ramon penuh emosi. "Aku tak pernah bisa berbahagia di atas penderitaan wanita lain kak. Ayolah
Sofia turun di depan sebuah Bungalow lumayan besar. Dari luar tampak pepohonan yang lumayan asri.“Kau boleh pergi Sergio!” kata Sofia menatap garasi. Ada mobil Ramon di sana. Tak salah Ramon memang menghabiskan waktunya bersama gadis jalang itu disini. Perlahan Sofia berjalan menuju pintu utama. “Maaf anda siapa?” tanya seseorang tua mengagetkan Sofia.“You siapa?” tanya Sofia balik. Pak Dirman menatap seluruh penampilan Sofia menyelidik. Wanita Bule yang sangat tak tahu sopan santun pikirnya.“Saya Pak Dirman. Penjaga Bungalow ini. Ada perlu apa anda ke sini? apa anda kenal dengan pemilik Bungalow ini?” tanya Pak Dirman tak bisa membiarkan sembarang orang masuk tanpa izin.“Perlu You tahu ya. Aku adalah tunangan Ramon. Bukannya Ramon ada di dalam? jangan halangi aku untuk masuk,” kata Sofia terus menerobos untuk membuka pintu. Pak Dirman langsung pasang badan menghalanginya.“Pak Ramon sedang keluar. Saya akan telepon dulu orangnya kalau Pak Ramon kasih izin baru saja perbolehkan a
Di sanalah Ramon sedang mencumbu Sofia dengan ganasnya. Di atas ranjang yang beberapa hari lalu juga menjadi saksi percintaan Ganis dan Ramon. Ganis berusaha untuk tetap membuka matanya tanpa air mata. Dadanya terasa sesak ketika Ramon melucuti bajunya. Ganis berusaha memegangi dadanya. Ramon sama sekali tak menoleh pada Ganis. Ia hanya akan berkonsentrasi pada tubuh Sofia yang kini juga telah polos. Rasa mual mulai menguasai Ganis ketika mendengar desahan Sofia. Tangannya mulai gemetar, kakinya nyaris tak bisa menapak menyaksikan Ramon mulai menggenjot Sofia dengan brutalnya. Jeritan Sofia memenuhi ruangan diiringi geraman Ramon. Ganis sudah tak bisa menahan rasa mualnya yang memuncak. Ia langsung berlari keluar Bungalow. Di teras ia memuntahkan semua isi perutnya. Beberapa menit Ganis harus merasakan kepalanya yang pening dan perut yang serasa diperas. Untuk kemudian akhirnya ia tumbang tak sadarkan diri. ***** Ramon tak bisa melanjutkan semua ini. Segera saja ia menarik dirinya
Bunyi dering ponsel membangunkan Ramon yang memang tak bisa tidur dengan lelap. Setelah apa yang terjadi tentu saja ia tak bisa tenang. Pikirannya masih melayang pada Ganis. Dering ponsel itu tidak berhenti. Sofia menggeliat ikut terbangun.“Ponselku,” ucap Ramon meraih ponselnya. Ia mendesah berat. Dari Alfaro papa Sofia.“Ya,” kata Ramon bersiap menerima omelan.“Ramon kau sedang bersama Sofia?” tanya Alfaro yang begitu mengkhawatirkan putrinya yang langsung menyusul Ramon tanpa pamit padanya.“Ya. Di sedang tidur. Dia bersamaku,” jawab Ramon singkat.“Kau tahu kan apa yang membuat Sofia pergi menyusulmu? Kau ini pria dewasa. Harusnya ini tak terjadi. Tobias sudah mengurus semuanya. Ia kini merangkap direktur sekaligus CEO untuk sementra. Segera bawa Sofia pulang bersamamu setelah masalahmu selesai. Setelah ini aku tak mau lagi mendengar keluhan dari Sofia. Panggil Sofia!” perintah Alfaro.“Dia sedang tidur!” jawab Ramon melihat Sofia masih berbaring dan menutup matanya.“Bangunkan
Bab 42 Kejutan “Aku berhenti di rumah Pak Dirman saja Shane,” kata Ganis.“Ya sebaiknya kau ada yang menemani. Aku takut dengan keadaanmu Nis,” ujar Shane langsung memberhentikan motornya di depan rumah Pak Dirman. Rumah pak Dirman hanya seratus meter dari Bungalow.Ganis pun turun dari motor.“Aku masuk Shane,” ujar Ganis membalikkan badan.“Nis tunggu dulu,”“Ya apa lagi? “ ucap Ganis kini sudah enggan bicara banyak dengan Shane.“Sungguh jangan salah sangka padaku Nis. Sebenarnya aku ingin berterusterang awalnya pada kak Ramon tapi aku waktu itu sangat ketakutan. Kak Ramon saat itu tampak begitu bengis dan kejam,”“Semua sudah terjadi Shine. Yang penting kita sudah tahu siapa yang jahat. Berkata jujur dimana-mana akan sangat membantu Shine,” kata Ganis langsung berbalik dan masuk ke rumah pak Dirman. Shane sudah kehilangan harapannya sekarang dengan Ganis. Gadis kelihatannya sudah tak bersimpati dengannya. Paling tidak ia sudah mengatakan yang sebenarnya. Ia bisa mendoakan Marco
Ramon mendesah berat. Banyak kejadia di luar rencanma. Perpisahan dengan kenangan indah dengan Ganis gagal dengan kemunculan Sofia secara mendadak. Ia tahu ada yang berkhianata. Dan ia tahu siapa itu. Dia adalah Sergia. Darimana Sofia tahu segalanya kalau tidak dari dia. Yang paling dekat dengan Sofia adalah Sergio. Sergio satu satunya anak buahnya yang langsung berasal negara asalnya. Sergio juga satu-satunya orang terdekatnya yang bisa bahasa spanyol. “Sergio masuk ke ruanganku sekarang juga,” ujar Ramon dengan suara tegas dan dingin. Ia tak mungkin akan terus mempertahankan seorang penghianat. Rupanya kepercayaannya selama ini telah di salah gunakan oleh Sergio.Sergio muncul dengan wajah tegang. Ia tahu saat ini akan tiba juga.“Duduklah!” perintah Ramon. Ramon kemudian memecet nomer Sofia dan mengadakan panggilan Video.Sofia yang saat itu ada di apartemen langsung terkesiap ketika Ramon menghubungi lewat video call dan muncullah raut muka Sergio.“Sergio apa kau yang membocork
“Ganis kita harus terima kenyataan. Kita harus realistis. Bukankah kau kemarin juga sempat menguatkanku. Jalan yang benar adalah kita berpisah. Aku akan menjalani pernikahan dengan Sofia,” kata Ramon kini merasa Ganis sedikit aneh. “Kakak tahu kak Sofia tak sebaik yang aku kira ternyata,” ucap Ganis lagi.“Sudahlah Ganis. Ayo kita bangun. Aku telah membawa makanan,” ajak Ramon segera turun menuju kamar mandi. Ganis langsung pergi menyusul Ramon. Ramon sungguh tak akan bisa menahan diri untuk tidak menyentuh Ganis lagi. Jadi ia segera mempercepat mandinya segera keluar.“Kenapa kakak langsung pergi? Aku belum selesai,” teriak Ganis langsung mempercepat mandinya juga.Saat ia keluar kamar mandi Ramon sudah rapi. Terlihat ia akan segera pergi lagi.“Kakak harus dengarkan aku dulu,” ujar Ganis membuat Ramon semakin takut tak bisa berpisah dengan gadis itu.“Ganis aku akan segera pergi untuk mengurus sesuatu. Pergilah ke meja makan. Apa kau tak lapar?” ucap Ramon bergegas keluar dari kama
Ramon menelfon Mathias dan menyuruhnya menyelidiki kebenaran video mesum Sofia. Ia tak boleh gegabah. Ia juga menyuruh sekretarisnya itu untuk menyelidiki nomer yang mengiriminya video itu. Mungkin saja video itu hanya editan dan hanya ingin mengacaukan rencana pernikahannya. Ramon teringat ketika pulang dari Indonesia pertama kali. Ia sempat menghirup aroma lain di tubuh Sofia dan ia juga sempat melihat tanda bekas pagutan di leher tunangannya itu. Saat Sofia buru-buru naik ke kamarnya untuk mandi. Sambil menunggu hasil penyelidikan ia memacu mobilnya menuju Bungalow. Ramon tak mendapati siapapun di sana. Ganis tak ada di mana-mana. Mungkinkah ia telah pergi? Ramon mencoba menggeledah semua barang-barang Ganis. Semuanya utuh. Mungkin gadis itu hanya pergi sebentar. Ia pun langsung menelpon pak Dirman. "Pak anda dimana? apa tahu kemana Ganis pergi?""Bukannya Ganis ada di Bungalow?Maaf Pak soalnya saya lagi pulang kampung jadi sama sekali tak tahu dengan keadaannya," ujar pak Dirma
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l