Ramon menelfon Mathias dan menyuruhnya menyelidiki kebenaran video mesum Sofia. Ia tak boleh gegabah. Ia juga menyuruh sekretarisnya itu untuk menyelidiki nomer yang mengiriminya video itu. Mungkin saja video itu hanya editan dan hanya ingin mengacaukan rencana pernikahannya. Ramon teringat ketika pulang dari Indonesia pertama kali. Ia sempat menghirup aroma lain di tubuh Sofia dan ia juga sempat melihat tanda bekas pagutan di leher tunangannya itu. Saat Sofia buru-buru naik ke kamarnya untuk mandi. Sambil menunggu hasil penyelidikan ia memacu mobilnya menuju Bungalow. Ramon tak mendapati siapapun di sana. Ganis tak ada di mana-mana. Mungkinkah ia telah pergi? Ramon mencoba menggeledah semua barang-barang Ganis. Semuanya utuh. Mungkin gadis itu hanya pergi sebentar. Ia pun langsung menelpon pak Dirman. "Pak anda dimana? apa tahu kemana Ganis pergi?""Bukannya Ganis ada di Bungalow?Maaf Pak soalnya saya lagi pulang kampung jadi sama sekali tak tahu dengan keadaannya," ujar pak Dirma
Ramon menerima semua pukulan Shane. Shane semakin kesal."Kenapa kau diam saja hah?" ucap Shane. Roni hanya memandang keduanya bingung harus membela siapa. "Karena aku memang payah. Aku tak bisa melindungi orang yang aku cintai," ucap Ramon mendesis dengan wajah lebam. Shane akan melayangkan pukulannya lagi tapi kini Roni tak bisa tinggal diam."Hentikan Shane. Bagaimanapun kak Ramon telah memberikan bengkel ini untuk kita. Jangan sakiti lagi dia," ujar Roni menahan tangan Shane. Shane hanya menatap geram pria yang telah merenggut hati gadis yang selalu didambakan ya. Ia tak rela Ramon ternyata menyia-nyiakan perasaan Ganis.Roni mendekati Ramon dan mencoba mengajak bicara baik-baik."Memangnya kenapa Ganis bisa menghilang. Apa yang terjadi sebenarnya. Mungkin anak-anak bisa membantu menemukan Ganis," ucap Roni dengan tenang."Aku kemari ingin meminta bantuan. Siapa tahu di sini ada yang tahu kemana Ganis pergi. Terakhir kali aku meninggalkan Ganis tanpa mau mendengarkannya yang tiba
Ramon berhadapan dengan Sergio anak buahnya yang telah bekerja dengannya semenjak ada di Indonesia. Hampir 5 tahun lamanya. Dulu Ramonlah pertama kali yang menolongnya dari kematian dalam tawuran antar geng mafia jalan di Argentina. Kemudian Ramon menyuruhnya untuk bergabung dalam organisasi milik Alfaro. "Kenapa kau melakukan semuanya padaku Sergio?" tanya Ramon dengan mata tajam dan rahang mengeras menahan kemarahan yang begitu besar.Sergio menentang mata Ramon dengan berani."Semua demi kejayaanmu. Aku tak mau kau terlihat lemah," "Lemah katamu? Marco dan Ganis adalah kelemahanku?" kata Ramon serasa mencengkeram buku-buku jarinya."Dari dulu aku mengagumimu. Aku tak mau apa yang ada pada dirimu hilang. Tegas, dominan dan tak tersentuh," ujar Sergio tegas."Apakah menurutmu rasa sayang dan cinta yang kurasakan adalah kelemahan yang harus disingkirkan?" tanya Ramon lagi. Kini rasa amarah dalam dirinya sedikit mereda. Ia memandang Sergio kasihan."Ya mereka harus disingkirkan karen
Malam itu sepulang dari bandara Ramon kembali ke Bungalow. Pak Dirman sudah menyambut kedatangan Ramon dengan wajah menyiratkan kekhawatiran."Apa benar Ganis telah mengalami musibah kemudian menghilang?" tanya pak Dirman. Ramon hanya mengangguk muram. "Darimana Pak Dirman tahu?" tanya Ramon duduk di sofa ruang tamu. "Dari teman Non Ganis yang bernama Shane. Dia sempat mencurigai ku menyembunyikan Non Ganis. Sumpah saya tidak tahu apa-apa. Saya pulang kampung. Saat saya kembali orang orang pada ngomong kalau anda sempat keluar mencari-cari non Ganis. Shane datang dan menanyakan non Ganis juga," terang pak Dirman dengan wajah sedih."Apa kau tahu kalau Ganis hamil?" tanya Ramon kini dengan nada kesal.Mata pak Dirman melebar. "Non Ganis hamil? kenapa dia tak mengatakannya pada saya," kata orang tua itu sedikit terkejut. Ramon melihat ekpresi pak Dirman sama sekali tak dibuat-buat. "Kau yang mengantarkannya ke klinik. Kau juga kan yang merawatnya," sahut Ramon ketus."Maafkan aku. S
Ramon tak melanjutkan tidur. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dari Ganis dengan mulai melihat dan menilai kandidat calon CEO yang dikirim Mara. Hampir pukul 7 ia telah memutuskan pilihannya. Ia segera mengirimkannya pada Mara. Ia sudah mempercayakan semuanya pada sekretarisnya itu. Selanjutnya ia akan fokus mencari Ganis sampai ketemu. Bahkan sampai ke ujung dunia pun. Mungkin ia akan menyisir setiap tempat atau mungkin keliling Nusantara. Ia bersumpah tak akan berhenti mencari Ganis. Ia yakin Ganis masih hidup di suatu tempat. Sampai di kantor Mara menyambutnya dengan pandangan bertanya-tanya."Kenapa anda tidak berangkat? bukannya pernikahan anda berlangsung dalam hitungan jam?" tanya Mara berdoa semoga tak terjadi apa-apa dengan rencana bosnya itu."Pernikahanku akan digantikan oleh sepupuku Tobias," jawab Ramon.Mara tampak bingung."Jangan khawatir Mara. Sofia bukan ratu di hatiku. Kami memang tak bisa di takdirkan bersama,"Mara hanya menggeleng. Ia tak bisa berpendapat bany
Pagi itu dalam balutan gaun putihnya Sofia berjalan bergandengan tangan bersama ayahnya menuju altar pernikahan. Tobias memandang Sofia dengan serius. Para tamu hening dalam kekhidmatan. Sofia ingin ini adalah mimpi tapi begitu ayahnya melepaskan tangannya ia tahu ini bukan mimpi. Pendeta mulai membimbing keduanya mengucapkan sumpah pernikahan. Tobias mengucapkan dengan lancar. Sofia berusaha untuk terlihat tenang. Dengan menghela nafas ia pun mengucapkan janji pernikahan. Pendeta pun mulai doa pemberkatan."Mempelai pria boleh mencium mempelai wanita," ucap pendeta. Tanpa canggung Tobias menunduk dan mencium bibir Sofia. Ciuman yang terlalu singkat tanpa kehangatan. Sofia sungguh bersyukur karena tak perlu berlama-lama kontak fisik dengan pria yang lebih muda 4 tahun di bawahnya. Para hadirin pun bertepuk tangan. Tepuk tangan yang garing. Para undangan masih sedikit terkejut karena mempelai pria yang diundangan tidak sama dengan mempelai pria di altar. Semuanya masih sibuk berasums
Paket makanan yang dipesan Sofia akhirnya datang. Sofia sendiri yang menerimanya. Ia tak ingin para pelayan sampai menyentuh pesananya. Dengan antusias Sofia segera menikmati makanannya di meja makan keluarga. "Ini pesanan terakhirmu di sini Sofia " ucap Sabina dengan wajah sinis."Kau tak bisa melarangku. Toh ini uangku sendiri,"kata Sofia mencoba tak peduli. Sabina mendengus. "Ini bukan rumahmu. Kau menantu keluarga ini sekarang. Kau harus menuruti semua aturan disini ,""Ini hanya pernikahan bisnis. Jangan samakan,"bantah Sofia santai.Sabina langsung menggebrak meja."Bahkan Ramon menolakmu meskipun pernikahan bisnis. Harusnya kau bersyukur Tobias masih mau menikahii jalang. Jadi sekarang dengarkan baik-baik." ucap Sabina tanpa mau dibantah. Ia tak ingin Tobias terjebak dengan wanita macam Sofia. "Pertama kau tak boleh memakai ponsel. Tak boleh keluar kecuali untuk belanja keperluan dapur. Fungsimu di sini adalah membantu bibi Carmen mengurus rumah besar ini. Jangan pernah
Hari itu Ramon berpamitan dengan Mara. Mata Mara menatap pria itu dengan tatapan prihatin. Kemarin Ramon telah melantik CEO untuk perusahaan hasil interview beberapa waktu yang lalu."Aku sudah bicara dengan CEO yang baru untuk berdiskusi denganmu jika diperlukan," kata Ramon."Pak aku tak habis pikir seperti apa wanita yang bisa membuat anda meninggalkan perusahaan dan pernikahan anda seperti ini," ucap Mara menggeleng."Seseorang yang juga awalnya aku tak mengira. Aku tak akan kembali ke perusahaan sampai gadis itu bisa aku temukan dan bisa hidup bersamanya," kata Ramon dengan wajah muram."Apakah ini berkaitan dengan adik anda Marco?" Ramon hanya diam tapi sinar matanya mengiyakan. "Aku percayakan jalannya perusahaan ini padamu Mata. Kau bisa menghubungiku jika kau sudah mentok tak bisa mengatasinya. Aku harap itu tak terjadi," kata Ramon akhirnya mengulurkan tangannya. "Lantas pak Ramon akan menetap atau bagaimana?" tanya Mara masih sangat mencemaskan bosnya itu."Aku akan berke
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l