Suasana duka begitu kental terasa. Seorang gadis muda masih terisak tak jauh dari makam. Ia tak peduli gerimis membasahi tubuhnya. Di sekitar makam pendeta baru saja mengakhiri doanya. Semua membubarkan diri dalam keheningan. Seseorang pria berhenti di depan gadis itu. Matanya menatap penuh kebencian. Para pengikutnya ikut berhenti waspada di belakangnya.
“Kau masih di sini? Rupanya kita harus bicara. Bawa dia ke mobilku!” perintah pria itu dengan suara dingin dan sinis.“Hentikan! kalian mau apa? apa salahku,” teriak gadis itu berusaha melepaskan diri ketika dua orang pengikut pria itu memeganginya dan membawanya mengikuti pria itu“Diamlah!” bentak salah satu pria itu. Gadis itu akhirnya berhenti mencoba melawan.Gadis itu didorong masuk ke dalam jok belakang sebuah mobil mewah. Tak lama kemudian pria yang memberi perintah itu pun masuk ke bangku pengemudi. Seorang teman wanitanya akan ikut masuk tapi ia segera mencegahnya.“Biarkan aku sendiri!” ucap pria itu muram.“Aku akan menemanimu hari Ini Ramon,” ucap wanita berambut coklat itu dengan nada suara begitu lembut dan penuh permohonan.“Sofia aku sungguh tak apa-apa,” kata pria itu melepaskan kaca matanya. Tampak mata indah hazelnya yang sembap.“Kenapa kau malah memasukkan gadis itu ke mobil ini?” tanya wanita yang bernama Sofia melirik gadis yang kini duduk diam di jok belakang dengan wajah ingin tahu.“Aku ingin mengintrogasinya. Bagaimanapun dialah yang terakhir kali bersama adikku sebelum kecelakaan terjadi,” ucap pria itu tanpa mengalihkan pandangannya. Kesedihan membayang di wajah tampannya.“Aku harap kau cepat melepaskannya setelah kau selesai. Kalau kau mencurigainya kau bisa langsung serahkan ke kantor polisi. Kau tak perlu mengotori tanganmu,” ujar Sofia memandang pria itu dengan prihatin. Hilang sudah wajah garang dan aura ketegasanya. Maklum ia baru saja kehilangan Marco, adik yang sangat disayanginya.Pria itu hanya mendengus dan berkata,“Ini urusan pribadiku. Biar aku selesaikan sendiri,” serunya kini dengan sudut bibir berkedut. Dalam matanya ada kilatan api amarah yang begitu besar.“Ramon sebenarnya aku ingin berada di sisimu saat ini tapi kurasa kau butuh ruang. Hubungi aku kalau kau butuh sesuatu,” seru wanita bermata coklat terang itu mendaratkan kecupan bibir pada pria berdarah latin-Indonesia itu.Ramon hanya mengangguk pada wanita yang baru beberapa bulan lalu telah menjadi tunangannya itu. Ramon memberikan isyarat pada mobil di belakangnya agar segera kembali ke markas sementara ia melajukan mobilnya dengan cepat menuju suatu tempat.Beberapa saat kemudian Ramon mematikan mesin mobilnya di depan sebuah Bungalow. Pria berbadan tinggi dan tegap itu segera membuka pintu belakang dengan kasar begitu turun dari mobil.“Keluar kau gadis binal!” teriak Ramon mencondongkan tubuhnya dan meraih tangan Gadis itu dengan keras.“Aku bisa turun sendiri,” kata gadis muda itu berusaha melepaskan cengkraman tangan Ramon. Pria itu tak menggubris ucapannya. Ia langsung menyeret gadis itu memasuki pelataran Bungalow.Seorang pelayan berlari tergopoh-gopoh. Ia segera membukakan pintu untuk tuanya yang tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan.“Aku akan menginap!” teriak Ramon pada pelayan tanpa melepaskan gadis itu.Sampai di ruang tamu Ramon langsung menghempaskan gadis itu ke sebuah sofa panjang. Gadis itu terkesiap menatap sinar kesedihan bercampur kemarahan di mata Ramon.“Apa maumu?” seru gadis berambut silver itu mengusap tangannya yang terasa sakit dan membenahi posisi duduknya.“Kau yang melibatkan Marco dalam balap liar ini, kan? kau puas sekarang melihat Marco tewas?” sembur Ramon melepaskan jasnya dan melemparkannya sembarangan.“Ini tak seperti yang kau pikirkan. Aku sahabat Marco. Kau tahu itu. Aku juga sedih,” sahut gadis itu mencoba untuk tetap tenang. Ia tahu yang paling kehilangan Marco adalah Ramon. Ramon memang sangat menyayangi adik semata wayangnya itu.Ramon mendekati gadis itu, membungkuk dan mencondongkan wajahnya. Gadis itu bisa merasakan nafas Ramon menyapu wajahnya. Ia mencoba mengusir sebetik rasa takut dari tatapan Ramon.“Hentikan kepura-puraanmu. Kau gadis jalanan yang hanya memanfaatkan kebaikan adikku. Kau menjerumuskan adikku dalam pergaulan sesat. Kalau tak mengenalmu pasti ia masih baik-baik saja sekarang,” kata Ramon dengan dingin penuh amarah. Tangannya meraih dagunya hingga ia menengadah menentang wajah Ramon.Ramon menemukan kesenduan di mata legamnya. Sejenak timbul iba di hatinya tapi itu tak berlangsung lama. Ia tak boleh terpedaya oleh gadis liar ini.“Marco memang baik padaku. Ia banyak menolongku. Tapi aku tak pernah memanfaatkanya. Kami hanya bersenang-senang dan aku tak tahu akan jadi seperti ini,” jelas gadis itu merasakan intimidasi yang kuat dari pria di hadapannya itu.“Kau pikir aku percaya pada gadis murahan sepertimu? Lihat penampilanmu itu. Tak lebih baik dari seorang pelacur jalanan. Sudah berapa pria kau tiduri? berharap pria kaya menjadi sugar daddymu? Apakah kau mencoba menjadi sugar baby adikku?” bentak Ramon menyeringai. Ia bisa melihat dengan jelas lekuk tubuh gadis itu dengan pakaiannya yang basah. Kelihatannya gadis itu masih sangat muda. Usianya mungkin baru menginjak 20 an tahun.“Hentikan!aku bukan jalang apalagi pelacur. Aku sahabat adikmu. Aku juga sangat sedih sekarang ini. Bisa-bisanya di hari berkabungnya Marco kau tuduh aku seperti itu,” balas gadis itu menentang mata Ramon.Ramon mengeratkan gerahamnya. Rahangnya mengeras. Matanya kini meneliti wajah gadis itu.“Kau Ganis?” ucap Ramon tiba-tiba tangannya menjambak rambut gadis itu. Gadis berkulit sawo matang itu sedikit terkejut. Rambut silver palsunya lepas dan terkulai di lantai. Kini gadis bernama Ganis muncul dengan penampilan aslinya. Berambut cepak, hitam legam seperti pria. Ia memang memakai rambut palsu hanya untuk membuat Marco senang hari itu. Ramon ingat saat Marco mengenalkan Ganis dan kemudian sering menceritakan tentang gadis itu ketika mereka bersama. Ia sungguh hampir saja tak mengenalinya dengan penampilannya itu."PLAAKKK!"
Tak sadar telapak tangan Ganis sudah menampar pipi Ramon. Pria itu terkesiap. Matanya kian menyipit memindai Ganis. Bibirnya berkedut penuh amarah.“Kau mencoba merayu Marco untuk melakukan balap liar? Apa tujuanmu sebenarnya? apa kau suruhan seeorang? kau ingin menang taruhan? Kau ini beneran wanita atau banci?” maki Ramon bergetar menahan emosinya. Beraninya Ganis menamparnya.“Sudah cukup kau menghinaku! Jangan menyalahkan diriku! Kaulah yang salah. Kau sebagai kakak harusnya membuat Marco nyaman bersamamu. Aku tahu kenapa Marco sering main keluar. Kakaknya ternyata seorang monster!” teriak Ganis menepis tangan Ramon. Dengan segenap keberaniannya ia beranjak berdiri. Ia akan pergi. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan. Mau dijelaskan seperti apa juga Ramon tak akan percaya."PLAAAAK," Belum sempat ia melangkah sebuah tamparan keras dirasakan Ganis. Matanya sampai kebas. Darah menetes dari bibirnya yang robek. Kepalanya terasa berputar. Ramon segera meraih tangannya dan menyeretnya masuk ke sebuah kamar. Ia meronta-ronta mencoba melepaskan diri.
“Lepaskan aku!” teriaknya dengan segenap kekuatanya.Ramon tak peduli. Amarah telah menguasainya. Kata-kata Ganis terakhir melukai hatinya yang terdalam. Tentu saja ia tak mau mengakui kalau sebagai kakak ia telah gagal membuat Marco bahagia dan nyaman bersamanya. Kedua orang tua mereka telah meninggal dunia saat Marco masih berusia TK. Otomatis dialah pengganti orang tua bagi Marco selama ini. Usianya dengan Marco terpaut jauh. Hampir 15 tahun.Ramon menghempaskan Ganis ke atas ranjang. Hati Ganis mencelos. Apa yang akan dilakukan Ramon padanya.“Mau apa kau?” teriak Ganis kini beringsut ke sudut ranjang saat Ramon ikut naik dan menindihnya.“Menghukummu jalang!” ucap Ramon mulai melepas baju Ganis dengan kasar. Ganis berusaha mempertahankan kain yang melekat pada tubuhnya sekuat tenaga. Ia merasakan bibir Ramon ingin meraih bibirnya. Ia langsung memalingkan wajahnya dan menggerakkan seluruh tubuhnya.“Maafkan aku. Sungguh jangan lakukan ini kak Ramon,” ucap Ganis dengan putus asa saat Ramon berhasil membuat tubuhnya polos. Ramon yang kalap langsung meraih wajahnya sekaligus mengungkungnya dari atas dengan kuat. “Kak kau salah paham. Dengarkan aku dulu,” mohon Ganis mulai terisak. Ganis tahu ia tak akan lolos dari Ramon. Tubuhnya kalah jauh dengan tubuh besar Ramon. Ia hanya gadis asli Indonesia dan Ramon adalah pria bule. Tubuh Ramon hampir dua kali tubuh Ganis.Dengan beringas dikuasai nafsu dan amarah Ramon melahap bibir Ganis dengan rakus. “Kak tolong hentikan! kasihanilah aku,” Ramon tak mendengar permohonan dan rintihan Ganis. Ia seakan tuli dan terus menjelajah dengan liar. Air mata Ganis mengalir tiada henti. Hatinya sangat sakit dan perih. Tubuhnya serasa diremas dan diremat dengan buas. Ia merasa tak berharga. Rasa sakit seakan terbelah ia rasakan begitu Ramon dengan kasar melebarkan pahanya dan merusak sesuatu yang ia pertahankan sebagai gadis baik-baik. “Akhhh!,” Ga
“Ganis aku lagi menyiapkan motorku. Kau sedang apa? ingat ya janjimu kemarin,” suara Marco di antara deru bunyi motor yang bising.Ganis tersenyum sambil menatap wajahnya di cermin besar di sebuah salon kecantikan.“Aku hampir selesai. Aku takut kau tak akan mengenaliku nantinya,” ujarnya begitu puas dengan penampilannya sekarang.Tak butuh waktu lama pegawai salon telah membuat wajahnya menjadi lebih bersinar. Tak seperti bayangan Ganis yang wajahnya akan ditempeli make up tebal. Ini terlihat sangat natural dan flawless. Ia sangat suka.“Nona apa rambut Nona dibiarkan seperti ini?” kata pegawai itu tampak ragu-ragu.“Memangnya bisa ya?” tanya Ganis masih menatap wajahnya di cermin. Ia merasa rambut cepaknya tak bermasalah.“Nona bisa mengenakan rambut palsu yang panjang. Tenang saja akan tampak alami kok,” kata pegawai itu mengeluarkan sesuatu dari lemari tak jauh dari Ganis duduk. Belum sempat Ganis bicara pegawai itu telah memakaikan rambut palsu itu di kepalanya. Rambut berwarna s
Dalam keadaan setengah sadar ingatan Ganis berputar pada saat kejadian kecelakaan malam itu. “Marc, kau akan selamat. Kita akan ke rumah sakit,” sedu Ganis memeluk Marco yang tak berdaya. Marco menggelepar dalam sakaratul mautnya. Ganis makin terisak. Tampak darah menggenang dari belakang kepala pria itu. “Ga-nis,” ucap Marco dengan sudut bibir mengalirkan darah segar. “Kau can-tik,” ujarnya tersendat. Ganis menoleh ke sekeliling. Kenapa semuanya menghilang. Mana semua orang? Mana teman-teman Marco? “Tolong kami!” teriak Ganis begitu panik. Terdengar bunyi sirine polisi mendekat. Kenapa pertolongan tak juga datang. Mengapa lama sekali.“Marco kau akan sembuh,” ucapnya menatap wajah Marco yang kian memucat. Matanya mulai meredup. “Bertahanlah! sebentar lagi,” “Nis apakah kau menerimaku,” seru Marco dengan sangat susah payah. Nafasnya serasa sudah di ujung tenggorokan. “Ya aku menerimamu. Kita pacaran,” sahut Ganis mengangguk cepat. Ia mencium pipi Marco terharu. Sebentuk senyum s
Ramon berjalan menuju apartemennya. Entahlah ia bisa melewatinya atau tidak. tinggal lagi di apartemen tanpa Marco. Ingatannya kembali pada Ganis. Gadis itu ia tinggalkan saat ia tertidur setelah meminum obatnya. Mungkin ia harus menelpon Sofia. Ia akan membiarkan Sofia menemaninya. "Sofia aku ada di apartemen sekarang," kata Ramon menghubungi Sofia."Ya Ramon aku akan ke sana dalam 10 menit. Tunggulah. Aku akan menyerahkan semua pekerjaan pada asistenku dulu," ujar Sofia. Panggilan pun ditutup. Ramon membuka pintu apartemen. Segera ingatan tentang kenangan Marco semasa hidup kembali mengisi pikirannya. Ia menatap foto Marco di dinding. Mainan Marco di rak pajangan. Ia seolah melihat Marco duduk di sofa melemparkan senyum jahilnya. Ramon tak bisa menahan kepiluan yang menderanya. Ia meraih minuman di kulkas dan menenggaknya. Sambil minum ia berjalan menuju kamar Marco. Ia kini terkenang saat Marco tengah berkelahi dengannya dan berguling-guling di kasur. Hampir 15 tahun ia hidup be
Ramon menunggu Ganis keluar dari kamar mandi dengan gelisah. Ia mulai menimbang-nimbang. Tak mungkin juga ia mengambil langkah aborsi kalau memang Ganis benar-benar hamil. Ia bukan pria sekejam itu. Ganis muncul dari kamar mandi dengan wajah yang sulit ditebak. Bagi gadis itu positif atau negatif baginya sama saja. Sekarang ia bukan gadis lagi. Tubuhnya telah ternoda. Hal yang di banggakan dan akan ia persembahkan untuk orang yang paling dicintainya sudah hilang. "Bawa sini!" perintah Ramon tak sabar.Ganis mengangsurkan test pack itu. Ramon menatap alat itu dengan seksama. Desahan berat terdengar dari nafasnya."Hasilnya negatif. Ini akan menjadi hal mudah bagi kita. Kita tak perlu lagi terlibat dalam suatu hubungan," ucap Ramon tak bisa menyembunyikan kelegaannya."Kau telah merugikanku!" rutuk Ganis marah."Maaf. Ya aku khilaf. Jangan jumawa. Entah apa yang aku pikir saat itu hingga bisa menodaimu. Kau tak begitu cantik. Aku juga punya tunangan. Lagipula mencari gadis yang mau a
Ganis tak mengambil waktu lebih lama untuk tinggak di bungalow. Malam itu juga Ganis pergi meninggalkan Bungalow. Untuk sementara ia nyaris bingung akan kemana. Ia pun memutuskan untuk pulang saja. Sudah hampir seminggu ia tak pulang sejak kematian Marco. "Syukurlah kau masih ingat pulang. Aku lebih senang kau akan tetap tinggal bersama teman-teman beandalmu itu," ucap ibunya ketika melihat Ganis. "Tenang saja ibu aku akan segera pindah. Aku juga udah nggak betah," jawab Ganis menuju kamarnya. Ia melihat ayah tirinya sedang tertawa-tawa menonton TV. Ibunya jam segini masih sibuk menbereskan pekerjaan rumah setelah seharian bekerja. Membiarkan ayah tirinya hanya ogkang-onkang tak mau bekerja. Adik tirinya yang masih balita terlihat tidur di kamar."Memang darimana kau akan dapatkan uang. Menyewa kamar kos juga butuh biaya. Kerjamu saja nggak tentu. Kerjamu cuma keluyuran nggak jelas gitu," gerutu ibunya. "Lebih baik keluyuran nggak jelas daripada ada di rumah," sahut Ganis sangat m
Ganis berbaring gelisah di atas kasur di atas dipan reotnya. Ingatannya melayang pasa saat Ramon menciumnya. Entah kenapa rasanya masih ia ingat. Ia kemudian bangun dan mengibaskan kepalanya. Ia harus melupakan pria itu. Pria itu bukan pria baik dan ia wajib membencinya. Ia akan keluar saja. Ia tak bisa memejamkan matanya barang sejenak pun. Bayangan kepergian Marco dan juga perbuatan bejat Ramon silih berganti mengisi mimpinya membuatnya nyaris tak bisa terlelap. Perasaannya campur aduk. Ia turun dari ranjangnya. Ia akan kembali bekerja di kedai minuman itu dulu sebelum ia mendapatkan pekerjaan baru. Tanpa ponsel dan KTP mencari pekerjaan akan menjadi lebih sulit. Ganis teringat tas favoritnya yang juga ketinggalan di mobil Ramon. Ia menyadari kalau ia masih memakai kemeja dan juga celana dari lemari kamar dimana ia kehilangan kegadisannya. Badannya sebenarnya belum sehat benar tapi ia beranikan untuk mengguyur tubuhnya malam itu. Ia ingin membersihkan sisa-sisa perbuatan Ramon. "A
Sofia terus menggoda Ramon. Ramon tak bisa mengenyahkan wajah Ganis. Ramon kemudian mulai menguasai permainan. Dengan bayangan Ganis dipikirannya ia mulai membalas sentuhan Sofia. Keduanya segera terlibat dalam pergumulan panas. Sofia mulai mendesah dan menggelinjang oleh perlakuan Ramon. Sampai akhirnya keduanya mencapai klimaks. "Ganis!!" seru Ramon saat ia merasakan ledakan yang kuat dalam diri Sofia. Sofia yang baru saja mencapai puncak langsung kesal. Kenapa Ramon tak menyebut namanya seperti biasanya. Siapa Ganis itu?Ramon segera terkulai di samping Sofia. Sofia ingin protes dan bertanya tentang siapa Ganis tapi Ramon telah memeluk dan mencium dahinya kemudian segera memejamkan matanya. Sofia yang biasanya langsung ikut terlelap bersama Ramon kini tak bisa lagi untuk terlelap. Sebuah nama yang diucapkan Ramon tanpa sadar tadi mengusik pikirannya. Seharusnya ia tak cukup khawatir dengan hubunganya dengan pria dipelukannya itu. Apalagi sejak kematian Marco, Ramon telah mengajakn
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l