Sofia terus menggoda Ramon. Ramon tak bisa mengenyahkan wajah Ganis. Ramon kemudian mulai menguasai permainan. Dengan bayangan Ganis dipikirannya ia mulai membalas sentuhan Sofia. Keduanya segera terlibat dalam pergumulan panas. Sofia mulai mendesah dan menggelinjang oleh perlakuan Ramon. Sampai akhirnya keduanya mencapai klimaks. "Ganis!!" seru Ramon saat ia merasakan ledakan yang kuat dalam diri Sofia. Sofia yang baru saja mencapai puncak langsung kesal. Kenapa Ramon tak menyebut namanya seperti biasanya. Siapa Ganis itu?Ramon segera terkulai di samping Sofia. Sofia ingin protes dan bertanya tentang siapa Ganis tapi Ramon telah memeluk dan mencium dahinya kemudian segera memejamkan matanya. Sofia yang biasanya langsung ikut terlelap bersama Ramon kini tak bisa lagi untuk terlelap. Sebuah nama yang diucapkan Ramon tanpa sadar tadi mengusik pikirannya. Seharusnya ia tak cukup khawatir dengan hubunganya dengan pria dipelukannya itu. Apalagi sejak kematian Marco, Ramon telah mengajakn
"Aku sudah rusak. Lantas buat apa aku menjadi gadis bermartabat. Biarkan jadi jalang sekalian. Bukannya dari awal kau menyebutku jalang?" pekik Ganis histeris. Ia sudah lelah sebenarnya. Baginya sama saja ditangkap Dannis atau malah bersama Ramon saat ini. Ganis terus meluapkan emosinya pada dada bidang Ramon.Ramon dengan sedikit ragu akhirnya membelai rambut Ganis lembut. Ia kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa mencoba untuk menenangkan Ganis dengan mengusap-ngusap punggungnya. Mata gadis itu tampak memerah dan sembab."Biarkan aku memperbaiki yang rusak itu Ganis," ucap Ramon trenyuh. Ia sudah menghancurkan masa depan seorang gadis yang sebenarnya butuh arahan dan bimbingan. Menurut informasi ayah Ganis sudah pergi entah kemana. Kini ia hanya tinggal dengan ibu dan ayah tirinya. Kalau tak salah ayah tiri Ganis sedikit mesum sampai Ganis memilih berpenampilan tomboy dan tak mau berlama-lama tinggal di rumah."Jangan ucapkan jalang lagi," sahut Ganis lirih. Kini ia mulai berhenti teri
"Kau ingin aku jadi pembantumu?" seru Gnais terpaksa menghabiskan oseng sayurnya. "Terserahlah kau menyebut apa. Aku jarang mengunjungi bungalow ini. Aku hanya ingin ada yang merawat bangunan ini sampai mungkin suatu saat ada yang menyewa. Aku juga ingin saat aku datang berkunjung ada seseorang yang menyiapkan makanan dan keperluan lainnya," jelas Ramon lebih detail. Ganis mengankat bahu tak bisa putuskan. "Entahlah apa aku bisa tinggal di rumah saja," ucapnya berpikr. Ia masih saja takut kalau Ramon akan memaksanya melakuakn hal yang tak seharusnya padanya lagi. Ramon tahu tak semudah itu membuat Ganis percaya padamu. Mungkin masih butuh waktu. Ia hanya ingin menebus kesalahannya dengan menjamin kehidupan Ganis. Ini juga sebagai bentuk hormat pada Marco sebagai sahabat gadis itu. "Kau masih bisa menikmati masa mudamu. Tentu saja dengan hal positif. Kuliah mungkin bisa jadi pilihanmu," tawar Ramon bangkit dari duduknya. Ia segera berjalan menuju kamar.
Setelah selesai berdoa masih dalam kehenngan mereka kembali berjalan beriringan menuju mobil. Bunyi dering ponsel Ramon menghentikan langkah mereka. Ganis ikut berhenti sambil mengedarkan pandangan di sekitar makan."Bos aku sudah dapatkan Dannis. Dia ada di ruang penyekapan," ujar anak buah Ramon yang lain."Tahan saja di situ. Kalian juga boleh sedikit bermain-main dengannya," ucap Ramon kini menatap pada Ganis.Ganis mendengar kata bermain-main dengan sedikit berjengit. Seperti cerita teman-teman Marco kalau Ramon telah menyekap mereka. Ia membayangkan Dannis yang sekarang sudah babak belur dianiaya anak buah Ramon."Nis!" panggil Ramon masih dengan ponsel terhubung dengan anak buahnya."Ya," sahut Ganis menoleh."Kata teman-teman Marco, Dannis telah melecehkanmu. Kemarin juga anak itu berusaha untuk menculikmu. Sekarang Dannis sudah ada di tangan anak buahku. Kau bisa membalas Dannis dengan tanganmu sendiri. Atau mungkin kau bisa menyuruh anak buahku membalaskannya untukmu," tawar
Kali ini Ganis duduk di jok depan di samping Ramon. Meskipun Ramon masih terlihat tidak nyaman dengan keberadaan kucing di pangkuan Ganis."Kau tak perlu memberikan kartu tabungan pada ibuku. paling juga akan dihabiskan ayah untuk fiya-foya," kata Ganis menatap jalan raya."Ayah tirimu terlalu mengerikan dan ibumu sangat bisa dimanfaatkan. Aku hanya memberi sedikit karena telah mengizinkanmu bekerja denganku,""Aku tak harus bekerja di tempatmu," kata Ganis masih enggan untuk menerima tawaran Ramon. "Kau mau tinggal dimana? tak ada yang lebih aman selain kerja di bungalow. memang kau punya pilihan lain?" ujar Ramon sambil terus menyetir membelah jalanan kota yang lumayan padat. Ganis terdiam karena memang tak punya tujuan. "Tenang saja aku juga tak tiap hari pulang ke bungalow. Beberapa Minggu ke depan aku akan sangat sibuk bekerja. Sambil menjaga bungalow kau bisa melakukan apapun yang kamu mau," jelas Ramon berusaha membujuk Ganis."Apapun itu?" mata Ganis menatap kaca spion dari
Malam itu di sudut gemerlapnya kota Buenos Aires tampak Sofia sedang setengah mabuk menikmati pesta barbeque di salah satu rumah sahabatnya semasa sekolah dulu. Sofia sengaja mengikuti acara semacam reuni itu karena ia juga sudah kangen acara pesta yang merupakan budaya negaranya. Hampir 2 tahun tinggal di Indonesia membuatnya sangat menyukai segala hal tentang kota asalnya. "Kau Benar-benar akan menikah Sofia?" tanya Sebastian. Pria yang juga pernah menjalin hubungan degan Sofia semasa kuliah dulu. Matanya menatap tubuh Sofia yang saat itu tampak kian menggoda dengan gaun yang menampilkan lekuk tubuhnya. "2 bulan lagi. Bersama Ramon Soares. Abyaksa Soares. Pria paling diinginkan di seluruh kota?" ujar Sofia yang tak bisa menahan ucapanya. Minuman telah menghilangkan kewarasannya. "Kau tidak sepenuhnya mencintainya Sof," kata Sebastian yang memang lebih mengenal Sofia. Awalnya Sofia bersama dengan Ramon hanya karena keinginan ayahnya yang memang telah mengabdi pada perusahaan keluar
Ciuman lembut itu perlahan menjadi pagutan kecil yang segera menjadi ciuman menuntut tatkala Ganis tanpa sadar membalas ciuman Ramon. "Kak Ramon aku mencintaimu," gumam Ganis tersenyum masih dengan mata terpejam. Ada kehangatan yang menjalar di dada Ramon mendengar perkataan Ganis. Jantung Ramon berdesir setelah sekian lama. Ternyata di alam bawah sadarnya Ganis menekan perasaan cintanya pada dirinya. Ramon rasa ini sungguh tak benar. Harusnya ia tak boleh merasakan ini. Perasaan berbunga-bunga seperti seorang remaja. Ia sudah punya tunangan dan umurnya juga sudah hampir kepala empat. Sangat tak pantas. Ramon segera bangkit untuk mengambil bantal dan juga selimut untuk Ganis. Ia ingin Ganis tetap menjadi gadis lugu dan tak ingin merusaknya dengan hubungan tanpa harapan.***** Ganis terbangun dan merasakan sebuah beban di perutnya. Ia melihat Katy tengah tidur di dekat kepalanya. Ia sedikit terkejut karena Ramonlah yang kini tertidur di atas perutnya. Ia menatap sekeliling. Di luar
"Sakit!" pekik Ganis ketika tukang urut itu mulai menekan pergelangan kakinya. Ramon sengaja mendatangkan tukang urut itu atas saran pak Dirman. "Tahan sedikit ya Neng," kata tukang urut itu kembali menekan satu titik."Akh!tolong!" Ganis berteriak kesakitan. Matanya sampai berair. Ramon ikut-ikutan mengernyit membayangkan rasa sakitnya. "Nah sudah. Ini akan membaik setelahnya. Jangan banyak bergerak dulu," ujar pria paruh baya itu. Ganis buru-buru mengangguk. Ia mengusap matanya. Baru kali ini kakinya terjatuh dan terkilir separah ini. Ramon mengantar tukang pijat itu sampai ke depan.Ganis berusaha berdiri dan melangkah."Auww," rasa sakit langsung menggigitnya dan membuatnya jatuh terduduk ke sofa. "Aku tak akan bisa kemana-mana sekarang," keluhnya kesal. Ramon muncul dan memandangi kaki Ganis."Gimana rasanya?" tanya Ramon."Sudah tahu sakit!" jawab Ganis ketus. Ia terjatuh gara-gara teriakan Ramon."Kenapa bisa sampai terjatuh sih," Ramon menggeleng sambil mengedikkan kepala
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l