“Ganis aku lagi menyiapkan motorku. Kau sedang apa? ingat ya janjimu kemarin,” suara Marco di antara deru bunyi motor yang bising.
Ganis tersenyum sambil menatap wajahnya di cermin besar di sebuah salon kecantikan.
“Aku hampir selesai. Aku takut kau tak akan mengenaliku nantinya,” ujarnya begitu puas dengan penampilannya sekarang.
Tak butuh waktu lama pegawai salon telah membuat wajahnya menjadi lebih bersinar. Tak seperti bayangan Ganis yang wajahnya akan ditempeli make up tebal. Ini terlihat sangat natural dan flawless. Ia sangat suka.
“Nona apa rambut Nona dibiarkan seperti ini?” kata pegawai itu tampak ragu-ragu.
“Memangnya bisa ya?” tanya Ganis masih menatap wajahnya di cermin. Ia merasa rambut cepaknya tak bermasalah.
“Nona bisa mengenakan rambut palsu yang panjang. Tenang saja akan tampak alami kok,” kata pegawai itu mengeluarkan sesuatu dari lemari tak jauh dari Ganis duduk. Belum sempat Ganis bicara pegawai itu telah memakaikan rambut palsu itu di kepalanya. Rambut berwarna silver yang begitu keren telah menggantikan rambut cepaknya.
“Oh Tuhan,” Ganis terkesiap. Ia bisa menatap dirinya saat SMU dulu ketika ia masih memanjangkan rambutnya.
“Sempurna! Kau akan memakainya?” tanya pegawai itu lagi. Ganis langsung mengangguk.
Hari sudah petang ketika Ganis selesai membayar dan keluar dari salon. Ia tak sabar melihat Marco menatap penampilanya. Ia teringat Ramon. Apa pria itu bakal tertarik dengannya dengan penampilannya saat ini. Ganis menepis wajah Ramon dari pikiranya. Ia segera menyewa taksi menuju bengkel Marco.
“Aku menuju tempatmu,” ucap Ganis di ponsel
“Oh langsung saja ke arena balap. Di tempat biasanya. Ada penonton yang menyewa tempatnya. Jadi aman,” kata Marco di ujung ponsel.
Ganis langsung meneriakkan tempat tujuannya pada sopir taxi.
Tak berapa lama kemudian Ganis pun sampai di lokasi. Tampaknya sudah ramai saja. Dadanya berdesir tak biasa saat ia turun.
“Wow kau Ganiskan?” kata Shane salah satu teman Marco. Ia sedikit terpukau melihat Ganis.
“Jangan menggodaku,” kata Ganis langsung menunduk malu. Tak urung sepanjang jalan banyak pasang mata yang memandang kagum padanya. Termasuk teman-teman Dannis. Ganis tak biasa menjadi pusat perhatian.
Dan di sanalah Marco berada. Matanya terpaku pada Ganis yang berjalan menghampirinya.
“Ganis!!” ujarnya tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Ganis sebenarnya cukup manis tanpa riasan apapun tapi kali ini Ganis tampak begitu anggun. Bak seorang putri. Ganis tersenyum jengah.
“Jangan menatap seperti itu,” ucap Ganis meremas gaun merah marroonnya.
“Tunggu aku ya. Semoga menang,” bisik Marco di telinga Ganis . Balapan rupanya akan langsung di mulai. Ganis merasakan tatapan dalam ketika Marco mulai naik ke motornya dan menghidupkannya. Ganis memberikan senyuman termanisnya.
Ganis bersorak saat balapan mulai berjalan. Dadanya kembali berdesir aneh. Entah kenapa perasaannya tak enak. Kini ia menunggu Marco menyelesaikan balapannya dengan gelisah. Selang setengah jam
kemudian terdengar suara decit keras. Suara benturan yang tak bisa dianggap bunyi biasa. Semua orang berlalu menuju sumber suara. Ganis juga mengikuti.
“Ada kecelakaan!! Kecelakaan!” terdengar suara-suara ketakutan dan kengerian. Banyak anak yang mulai tancap gas malah meninggalkan arena. Ganis makin cemas. Kecelakaan apa? Jangan-jangan Marco. Bunyi raungan sirine polisi terdengar. Ganis berusaha menyibak kerumunan. Dan ia terpaku menatap tubun Marco yang telah tergeletak dengan kepala berdarah. Ganis langsung berlari menghampiri Marco. Teman-teman Marco hanya bisa melihat dengan sedih.
Flas back End
Ganis segera memungut gaun itu dan langsung membuangnya ke keranjang sampah yang ada di pojokan kamar. Dalam penampilan tercantiknya ia malah mendapat kemalangan yang tak terlupakan. Bukanya terpesona Ramon malah merudapaksa dirinya. Ia juga kehilangan sahabat terbaiknya.
Dengan tubuh menggigil dan susah payah ia bangkit untuk membuka lemari. Ia hanya menemukan kemeja dan kaos cowok . Ia segera mengenakan salah satu kemeja yang kebesaran di tubuhnya. Saat ia selesai memakai baju ia melihat bayangan terhuyung masuk ke kamar. Ganis sedikit berjengit ketika ia tahu kalau Ramonlah yang masuk. Bayangan mengerikan saat Ramon merenggut kesuciannya berputar di pikirannya. Tanpa sadar ia berjalan mundur membentur dinding.
“Marc kenapa kau tega tinggalkan kakakmu ini,” racau Ramon berjalan mendekati Ganis. Ganis mencium bahu alkohol ketika Ramon berhenti di depanya. Mata Ramon tak fokus.
Ramon tampak sangat berantakan. Rambutnya yang biasanya rapi di sisir ke belakang kini awut-awutan. Kancing kemejanya tak terkancing dengan sempurna.
“Jangan lagi kak Ramon!” ujar Ganis dengan tubuh bergetar saat Ramon meraih wajahnya dengan tangannya yang besar.
“Kenapa harus kamu,” sahut Ramon lemah. Pandangan Ramon mengabur.
“Marco, jangan pergi!” ucapnya kini menangis seperti anak kecil. Tubuhnya terhuyung membuat Ganis harus menahannya agar tak menimpa dirinya. Ganis sadar Ramon saat ini hanya seolah pria lemah yang sedang setengah mabuk.
Ramon terisak. Entah kenapa terdengar pilu. Ganis mencoba membaringkan tubuh Ramon di atas ranjang. Hilang sudah pria brutal yang tadi telah berbuat bejat padanya. Harusnya ia membenci pria ini. Ia bisa saja membunuhnya untuk membalas rasa sakitnya. Atau ia bisa melarikan diri. Kembali ke rumah dan memulai kehidupan seolah ia tak mengenal Marco apalagi Ramon.
Ia sudah beranjak berdiri untuk pergi tapi tangan besar Ramon merangkulnya dan membuatnya rebah di atas ranjang.
“Kau mau kemana? temani aku!” teriak Ramon memeluk Ganis erat. Ganis tak berkutik. Ia berusaha menahan bau alkohol yang masuk ke hidungnya.
“Kau harus bertanggung jawab dengan kesedihan ini,” seru Ramon mengeratkan tubuhnya pada Ganis.
Ingin rasanya Ganis mendorong tubuh Ramon dan menendang selangkangannya. Harusnya ia benci dan marah pada pria di atas tubuhnya itu. Tapi ia malah trenyuh melihat keadaan Ramon. Tampak pipinya basah oleh air mata kehilangan. Marco memang terlalu baik untuk pergi. Air mata Ganis kembali menggenang di matanya. Kesedihan kembali menerpa perasaannya.
*****
Ramon terbangun dengan kepala berat. Ia merasa tangannya menimpa sesuatu yang terasa panas. Ia bangkit dan sedikit kaget saat mengangkat tanganya. Seorang gadis kini sedang berbaring dengan keadaan mengigau dan menggigil.
“Marco! Marc, jangan pergi!” seru Ganis dengan mata terpejam.
Air mata Ganis tak hentinya membasah. Hati Ramon mencelos. Gadis itu tampak rapuh dan menyedihkan. Bagaimana bisa ia menyakiti seseorang yang juga merasa kehilangan Marco. Bukannya ia melindungi gadis yang mungkin saja orang paling dicintai Marco malah ia menodainya tanpa belas kasihan. Perbuatannya sungguh bejat dan keji.
“Arggh,” teriaknya menyugar rambut frustasi. Mungkin memang gadis ini adalah orang yang dicintai Marco tapi gadis inilah yang menyebabkan Marco terlibat balap liar dan akhirnya merenggut nyawanya. Gadis ini juga bersalah dan tindakanya sebenarnya hanyalah balas dendam. Tapi kenapa ia merasa balas dendamnya sudah terlalu berlebihan dan cenderung membabi buta. Bagaimana kalau Ganis memang tak punya tujuan apapun. Ganis murni adalah sahabat baik adiknya.
Apapun kesimpulannya yang menjadi masalahnya sekarang gimana kalau Ganis hamil. Gimana nanti nasib pertunangannya. Gimana kalau Ganis melaporkannya pada pada yang berwajib.
Ia menatap wajah dan tubuh Ganis dengan seksama. Ia mengulurkan tangan menyentuh dahi Ganis yang berkeringat dingin. Suhu badannya panas. Ia harus menghubungi Sofia. Ia segera meraih ponselnya dan memencet beberapa nomer.
"Hallo Sofia sayang. Aku hanya ingin bilang kalau aku akan mengambil cuti seminggu. Mungkin aku harus istirahat. Tolong bilang pada sekretarisku untuk tetap mengerjakan tugas yang bisa ia kerjakan tanpa kehadiranku dulu. Ehmm ya aku baik-baik saja. Jangan berkunjung! Besok aku akan menemuimu. Ya sayang. Jaga dirimu juga. By," serunya kemudian menutup ponselnya.
"Marc, Maafkan aku," igau Ganis kembali dalam demamnya. Ramon melirik Ganis lagi. Ia harus membuat gadis ini tetap dalam kendalinya. Dengan begitu gadis itu tak akan berani melapor ataupun merusak reputasinya. Seorang Ramon tiba-tiba saja menjadi pria pemerkosa. Sungguh ini bukan dirinya.
Dalam keadaan setengah sadar ingatan Ganis berputar pada saat kejadian kecelakaan malam itu. “Marc, kau akan selamat. Kita akan ke rumah sakit,” sedu Ganis memeluk Marco yang tak berdaya. Marco menggelepar dalam sakaratul mautnya. Ganis makin terisak. Tampak darah menggenang dari belakang kepala pria itu. “Ga-nis,” ucap Marco dengan sudut bibir mengalirkan darah segar. “Kau can-tik,” ujarnya tersendat. Ganis menoleh ke sekeliling. Kenapa semuanya menghilang. Mana semua orang? Mana teman-teman Marco? “Tolong kami!” teriak Ganis begitu panik. Terdengar bunyi sirine polisi mendekat. Kenapa pertolongan tak juga datang. Mengapa lama sekali.“Marco kau akan sembuh,” ucapnya menatap wajah Marco yang kian memucat. Matanya mulai meredup. “Bertahanlah! sebentar lagi,” “Nis apakah kau menerimaku,” seru Marco dengan sangat susah payah. Nafasnya serasa sudah di ujung tenggorokan. “Ya aku menerimamu. Kita pacaran,” sahut Ganis mengangguk cepat. Ia mencium pipi Marco terharu. Sebentuk senyum s
Ramon berjalan menuju apartemennya. Entahlah ia bisa melewatinya atau tidak. tinggal lagi di apartemen tanpa Marco. Ingatannya kembali pada Ganis. Gadis itu ia tinggalkan saat ia tertidur setelah meminum obatnya. Mungkin ia harus menelpon Sofia. Ia akan membiarkan Sofia menemaninya. "Sofia aku ada di apartemen sekarang," kata Ramon menghubungi Sofia."Ya Ramon aku akan ke sana dalam 10 menit. Tunggulah. Aku akan menyerahkan semua pekerjaan pada asistenku dulu," ujar Sofia. Panggilan pun ditutup. Ramon membuka pintu apartemen. Segera ingatan tentang kenangan Marco semasa hidup kembali mengisi pikirannya. Ia menatap foto Marco di dinding. Mainan Marco di rak pajangan. Ia seolah melihat Marco duduk di sofa melemparkan senyum jahilnya. Ramon tak bisa menahan kepiluan yang menderanya. Ia meraih minuman di kulkas dan menenggaknya. Sambil minum ia berjalan menuju kamar Marco. Ia kini terkenang saat Marco tengah berkelahi dengannya dan berguling-guling di kasur. Hampir 15 tahun ia hidup be
Ramon menunggu Ganis keluar dari kamar mandi dengan gelisah. Ia mulai menimbang-nimbang. Tak mungkin juga ia mengambil langkah aborsi kalau memang Ganis benar-benar hamil. Ia bukan pria sekejam itu. Ganis muncul dari kamar mandi dengan wajah yang sulit ditebak. Bagi gadis itu positif atau negatif baginya sama saja. Sekarang ia bukan gadis lagi. Tubuhnya telah ternoda. Hal yang di banggakan dan akan ia persembahkan untuk orang yang paling dicintainya sudah hilang. "Bawa sini!" perintah Ramon tak sabar.Ganis mengangsurkan test pack itu. Ramon menatap alat itu dengan seksama. Desahan berat terdengar dari nafasnya."Hasilnya negatif. Ini akan menjadi hal mudah bagi kita. Kita tak perlu lagi terlibat dalam suatu hubungan," ucap Ramon tak bisa menyembunyikan kelegaannya."Kau telah merugikanku!" rutuk Ganis marah."Maaf. Ya aku khilaf. Jangan jumawa. Entah apa yang aku pikir saat itu hingga bisa menodaimu. Kau tak begitu cantik. Aku juga punya tunangan. Lagipula mencari gadis yang mau a
Ganis tak mengambil waktu lebih lama untuk tinggak di bungalow. Malam itu juga Ganis pergi meninggalkan Bungalow. Untuk sementara ia nyaris bingung akan kemana. Ia pun memutuskan untuk pulang saja. Sudah hampir seminggu ia tak pulang sejak kematian Marco. "Syukurlah kau masih ingat pulang. Aku lebih senang kau akan tetap tinggal bersama teman-teman beandalmu itu," ucap ibunya ketika melihat Ganis. "Tenang saja ibu aku akan segera pindah. Aku juga udah nggak betah," jawab Ganis menuju kamarnya. Ia melihat ayah tirinya sedang tertawa-tawa menonton TV. Ibunya jam segini masih sibuk menbereskan pekerjaan rumah setelah seharian bekerja. Membiarkan ayah tirinya hanya ogkang-onkang tak mau bekerja. Adik tirinya yang masih balita terlihat tidur di kamar."Memang darimana kau akan dapatkan uang. Menyewa kamar kos juga butuh biaya. Kerjamu saja nggak tentu. Kerjamu cuma keluyuran nggak jelas gitu," gerutu ibunya. "Lebih baik keluyuran nggak jelas daripada ada di rumah," sahut Ganis sangat m
Ganis berbaring gelisah di atas kasur di atas dipan reotnya. Ingatannya melayang pasa saat Ramon menciumnya. Entah kenapa rasanya masih ia ingat. Ia kemudian bangun dan mengibaskan kepalanya. Ia harus melupakan pria itu. Pria itu bukan pria baik dan ia wajib membencinya. Ia akan keluar saja. Ia tak bisa memejamkan matanya barang sejenak pun. Bayangan kepergian Marco dan juga perbuatan bejat Ramon silih berganti mengisi mimpinya membuatnya nyaris tak bisa terlelap. Perasaannya campur aduk. Ia turun dari ranjangnya. Ia akan kembali bekerja di kedai minuman itu dulu sebelum ia mendapatkan pekerjaan baru. Tanpa ponsel dan KTP mencari pekerjaan akan menjadi lebih sulit. Ganis teringat tas favoritnya yang juga ketinggalan di mobil Ramon. Ia menyadari kalau ia masih memakai kemeja dan juga celana dari lemari kamar dimana ia kehilangan kegadisannya. Badannya sebenarnya belum sehat benar tapi ia beranikan untuk mengguyur tubuhnya malam itu. Ia ingin membersihkan sisa-sisa perbuatan Ramon. "A
Sofia terus menggoda Ramon. Ramon tak bisa mengenyahkan wajah Ganis. Ramon kemudian mulai menguasai permainan. Dengan bayangan Ganis dipikirannya ia mulai membalas sentuhan Sofia. Keduanya segera terlibat dalam pergumulan panas. Sofia mulai mendesah dan menggelinjang oleh perlakuan Ramon. Sampai akhirnya keduanya mencapai klimaks. "Ganis!!" seru Ramon saat ia merasakan ledakan yang kuat dalam diri Sofia. Sofia yang baru saja mencapai puncak langsung kesal. Kenapa Ramon tak menyebut namanya seperti biasanya. Siapa Ganis itu?Ramon segera terkulai di samping Sofia. Sofia ingin protes dan bertanya tentang siapa Ganis tapi Ramon telah memeluk dan mencium dahinya kemudian segera memejamkan matanya. Sofia yang biasanya langsung ikut terlelap bersama Ramon kini tak bisa lagi untuk terlelap. Sebuah nama yang diucapkan Ramon tanpa sadar tadi mengusik pikirannya. Seharusnya ia tak cukup khawatir dengan hubunganya dengan pria dipelukannya itu. Apalagi sejak kematian Marco, Ramon telah mengajakn
"Aku sudah rusak. Lantas buat apa aku menjadi gadis bermartabat. Biarkan jadi jalang sekalian. Bukannya dari awal kau menyebutku jalang?" pekik Ganis histeris. Ia sudah lelah sebenarnya. Baginya sama saja ditangkap Dannis atau malah bersama Ramon saat ini. Ganis terus meluapkan emosinya pada dada bidang Ramon.Ramon dengan sedikit ragu akhirnya membelai rambut Ganis lembut. Ia kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa mencoba untuk menenangkan Ganis dengan mengusap-ngusap punggungnya. Mata gadis itu tampak memerah dan sembab."Biarkan aku memperbaiki yang rusak itu Ganis," ucap Ramon trenyuh. Ia sudah menghancurkan masa depan seorang gadis yang sebenarnya butuh arahan dan bimbingan. Menurut informasi ayah Ganis sudah pergi entah kemana. Kini ia hanya tinggal dengan ibu dan ayah tirinya. Kalau tak salah ayah tiri Ganis sedikit mesum sampai Ganis memilih berpenampilan tomboy dan tak mau berlama-lama tinggal di rumah."Jangan ucapkan jalang lagi," sahut Ganis lirih. Kini ia mulai berhenti teri
"Kau ingin aku jadi pembantumu?" seru Gnais terpaksa menghabiskan oseng sayurnya. "Terserahlah kau menyebut apa. Aku jarang mengunjungi bungalow ini. Aku hanya ingin ada yang merawat bangunan ini sampai mungkin suatu saat ada yang menyewa. Aku juga ingin saat aku datang berkunjung ada seseorang yang menyiapkan makanan dan keperluan lainnya," jelas Ramon lebih detail. Ganis mengankat bahu tak bisa putuskan. "Entahlah apa aku bisa tinggal di rumah saja," ucapnya berpikr. Ia masih saja takut kalau Ramon akan memaksanya melakuakn hal yang tak seharusnya padanya lagi. Ramon tahu tak semudah itu membuat Ganis percaya padamu. Mungkin masih butuh waktu. Ia hanya ingin menebus kesalahannya dengan menjamin kehidupan Ganis. Ini juga sebagai bentuk hormat pada Marco sebagai sahabat gadis itu. "Kau masih bisa menikmati masa mudamu. Tentu saja dengan hal positif. Kuliah mungkin bisa jadi pilihanmu," tawar Ramon bangkit dari duduknya. Ia segera berjalan menuju kamar.
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l