Ramon menunggu Ganis keluar dari kamar mandi dengan gelisah. Ia mulai menimbang-nimbang. Tak mungkin juga ia mengambil langkah aborsi kalau memang Ganis benar-benar hamil. Ia bukan pria sekejam itu.
Ganis muncul dari kamar mandi dengan wajah yang sulit ditebak. Bagi gadis itu positif atau negatif baginya sama saja. Sekarang ia bukan gadis lagi. Tubuhnya telah ternoda. Hal yang di banggakan dan akan ia persembahkan untuk orang yang paling dicintainya sudah hilang."Bawa sini!" perintah Ramon tak sabar.Ganis mengangsurkan test pack itu.Ramon menatap alat itu dengan seksama. Desahan berat terdengar dari nafasnya."Hasilnya negatif. Ini akan menjadi hal mudah bagi kita. Kita tak perlu lagi terlibat dalam suatu hubungan," ucap Ramon tak bisa menyembunyikan kelegaannya."Kau telah merugikanku!" rutuk Ganis marah."Maaf. Ya aku khilaf. Jangan jumawa. Entah apa yang aku pikir saat itu hingga bisa menodaimu. Kau tak begitu cantik. Aku juga punya tunangan. Lagipula mencari gadis yang mau aku tiduri tak sulit bagiku. Ucapanmu terlalu lancang. Apapun alasanmu itulah hukumanmu," ucap Ramon tak mau terlihat bersalah di depan Ganis. Ganis berdecak."Sombong sekali. Kau pikir dengan mengatakan itu aku tak akan berani menuntut dan melaporkanmu? kau pikir aku akan bangga menjadi wanita yang kamu nodai? Ok, kau memang tampan tapi ketampananmu tak sebanding dengan Marco. Setidaknya Marco sangat menghormati wanita," sahut Ganis sinis.Hari Ramon kembali meradang."Jangan sebut Marco lagi! Apalagi membandingkannya denganku. Kita bisa menyelesaikan semua ini secara dewasa. Ok, aku memang merugikanmu tapi itu sepadan. Aku sendiri juga tak mau repot dan aku masih kasihan denganmu kalau melapor. Aku bisa membuatmu malah masuk penjara. Ingat disini yang punya uang dan kuasa adalah aku. Jadi kau harus menuruti semua tawaranku,""Aku rasa Marco mungkin sekarang sedang menangis melihat kelakuan kakaknya. Kau mau membeli hukum rupanya. Marco pasti menyesal telah begitu bangga padamu. Bagaimana bisa aku jatuh cinta padamu," Ganis menatap jijik pada Ramon.Pria itu mulai hilang kesabaran. Ia meraih dagu Ganis. Mata mereka bersitatap."Kau selalu menyebut Marco untuk membuatku marah. Apa kau ingin aku menodaimu lagi? Apa kau malah penasaran gimana rasanya bermain bersamaku tanpa paksaan? kau berkata apa tadi, kau jatuh cinta padaku?" seringai Ramon menekan dagu Ganis lebih keras.Ganis langsung menepis tangan Ramon dan membuang muka."Siapa yang jatuh cinta padamu," ralat Ganis buru-buru. Bisa-bisa makin besar kepala saja ini orang.Sebenarnya Ramon sendiri hanya menggoda Ganis saja. Namun keberanian dan sifat keras kepalanya mengusik sisi lain Ramon. Segera ia meraih tengkuk Ganis dan menutup bibir Ganis dengan mulutnya. Mulanya Ganis berontak tapi sapuan lembut bibir Ramon di atas bibirnya membuatnya terpaku. Sungguh ini di luar kendali Ganis. Pikirannya menolak tapi gelayar nikmat dari gerakan bibir pria itu membuatnya hilang akal. Lidah Ramon mulai bermain di dalam mulutnya begitu dominan saat gadis itu membuka mulutnya hendak bicara.Jujur Ramon tak pernah berhasrat sekuat itu pada seorang wanita. Jiwa pemberontakan Ganis membuatnya tertantang untuk menguasai nya dalam cumbuannya.Hampir semenit keduanya terlena sampai kesadaran Ganis mulai menguasai akalnya. Ganis mendorong tubuh Ramon dengan keras."Dasar mesum tak tahu diri!" bentak Ganis sambil menyesali diri yang telah terlena dengan kenikmatan ciuman Ramon. Matanya langsung berkaca-kaca.Perlahan Ramon jadi paham mengapa Marco sampai jatuh cinta padanya.Ganis sendiri sangat ketakutan dengan ciuman kakak Marco itu. Sebelum kejadian perudapaksaan itu mungkin berciuman dengan Ramon adalah impiannya. Pernah juga ia membayangkan percintaan yang panas dengan pria itu.Untuk saat ini tentu saja tidak. Rasa sakitnya begitu membekas meninggalkan trauma. Bahkan bekas kebuasan Ramon masih tersisa di beberapa titik tubuhnya.Sejenak Ramon membayangkan bagaimana permainan Ganis di atas ranjang. Ia masih ingat bagaimana kesat dan legitnya keperawanan Ganis. Apalagi bila gadis itu aktif di atas ranjang, mengerang penuh kenikmatan di bawah tubuhnya dengan penuh penyerahan. Ada keinginan untuk memiliki tubuh Ganis dan tak ingin ada pria lain yang menyentuh gadis itu. Namun ia tak punya alasan untuk menahan Ganis. Gadis itu pasti punya keluarga yang juga mencari dan mengkhawatirkannya.Ramon sedikit menyesal tak bisa mengendalikan diri dan kembali mencium dan melecehkan gadis itu. Ia bisa melihat mata Ganis yang hampir menangis.
"Mungkin aku tak bisa mengembalikan kesucianmu tapi aku akan memberi kompensasi untuk kesalahpahaman ini," ucap Ramon mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya."Aku tak tertarik. Memang kesucianku bisa diganti dengan uang," bantah Ganis kesal."Entahlah. Yang jelas kita sudah selesai. Jangan mengusikku lagi. Kurasa uang yang ada di kartu itu cukup untuk kamu bisa sekolah atau buka usaha. Kau tak berbakat jadi jalang atau sugar daddy siapapun. Kau masih muda," kata Ramon tak bisa menyembunyikan rasa penyesalannya.Ganis bisa melihat mata hazel milik Ramon meredup. Ya Ramon tulus menyesali perbuatannya. Ia hanya membuang muka tak ingin terperdaya oleh pria itu."Jalani hidupmu. Lupakan Marco dan apa yang telah aku perbuat. Kau boleh tinggal di sini sampai kau benar-benar pulih. Ada bibi pelayan yang bisa membantumu," ujar Ramon menatap Ganis sejenak dan melangkah menuju pintu kamar.Ganis tak bisa mengatakan apapun. Sampai di ambang pintu Ramon menoleh,"Tunggu. Jangan senang dulu. Aku masih akan menyelidiki penyebab kecelakaan Marco. Jika kau terlibat jangan harap kau bisa lolos dariku. Kau masih dalam pengawasanku selama 3 bulan ke depan sampai penyelidikan ini selesai," ucap Ramon tegas dan kemudian berbalik menghilang di balik pintu."Tidak hanya kau, aku juga akan mencari tahu kenapa Marco bisa kecelakaan," desis Ganis penuh tekad.Ia menatap kartu kredit dari Ramon. Tentu saja kesuciannya tak bisa tergantikan. Sakit hati dan perasaan cintanya pada pria itu membuat perasaannya campur aduk tak karuan.Ia mendengus kesal. Kenapa uang selalu menggiurkan. Ia pun meraih kartu itu dan memasukkan ke saku kemeja yang ia pakai. Uang bisa berguna dalam banyak hal. Uang juga bisa mempermudah segalanya. Ia jadi teringat ponsel dan juga tasnya.Ia bangkit dan keluar mencari bibi suruhan Ramon."Bibi!""Ya Nona manggil saya," seru wanita itu begitu ia panggil."Apa pak Ramon sudah pergi?""Baru saja Nona. Ada apa ya?""Kau tahu pak Ramon menyimpan tas kecil dan ponselku?"Wanita itu berpikir sejenak."Saya tak melihat sama sekali Non," jawabnya akhirnya.Ganis menepuk dahinya. Gawat! Tanpa ponsel ia akan kehilangan semua kontak teman-temannya dan juga teman Marco. Ia ingat tas kecilnya itu tertinggal di mobil Ramon saat Ramon memaksanya keluar dari mobil. Ponselnya sendiri ia masih tak tahu pasti hilang dimana. Tas kecil itu hanya berisi KTP dan juga kartu sosial.*****Ramon sendiri kini tengah dalam perjalanan menuju suatu tempat di mana ia telah menahan beberapa teman dekat Marco untuk mencari tahu kronologi kejadian. Ia tahu Marco sangat ahli dalam berkendara. Mustahil ini kecelakaan biasa.Mengenai Ganis melalui KTP gadis itu yang ia dapatkan dari jok belakang mobilnya ia telah menyuruh anak buahnya menyelidikinya."Sergio apa yang bisa kau informasikan mengenai gadis itu?" tanya Ramon pada salah satu anak buahnya yang kini sedang menginterogasi teman-teman Marco.Ganis tak mengambil waktu lebih lama untuk tinggak di bungalow. Malam itu juga Ganis pergi meninggalkan Bungalow. Untuk sementara ia nyaris bingung akan kemana. Ia pun memutuskan untuk pulang saja. Sudah hampir seminggu ia tak pulang sejak kematian Marco. "Syukurlah kau masih ingat pulang. Aku lebih senang kau akan tetap tinggal bersama teman-teman beandalmu itu," ucap ibunya ketika melihat Ganis. "Tenang saja ibu aku akan segera pindah. Aku juga udah nggak betah," jawab Ganis menuju kamarnya. Ia melihat ayah tirinya sedang tertawa-tawa menonton TV. Ibunya jam segini masih sibuk menbereskan pekerjaan rumah setelah seharian bekerja. Membiarkan ayah tirinya hanya ogkang-onkang tak mau bekerja. Adik tirinya yang masih balita terlihat tidur di kamar."Memang darimana kau akan dapatkan uang. Menyewa kamar kos juga butuh biaya. Kerjamu saja nggak tentu. Kerjamu cuma keluyuran nggak jelas gitu," gerutu ibunya. "Lebih baik keluyuran nggak jelas daripada ada di rumah," sahut Ganis sangat m
Ganis berbaring gelisah di atas kasur di atas dipan reotnya. Ingatannya melayang pasa saat Ramon menciumnya. Entah kenapa rasanya masih ia ingat. Ia kemudian bangun dan mengibaskan kepalanya. Ia harus melupakan pria itu. Pria itu bukan pria baik dan ia wajib membencinya. Ia akan keluar saja. Ia tak bisa memejamkan matanya barang sejenak pun. Bayangan kepergian Marco dan juga perbuatan bejat Ramon silih berganti mengisi mimpinya membuatnya nyaris tak bisa terlelap. Perasaannya campur aduk. Ia turun dari ranjangnya. Ia akan kembali bekerja di kedai minuman itu dulu sebelum ia mendapatkan pekerjaan baru. Tanpa ponsel dan KTP mencari pekerjaan akan menjadi lebih sulit. Ganis teringat tas favoritnya yang juga ketinggalan di mobil Ramon. Ia menyadari kalau ia masih memakai kemeja dan juga celana dari lemari kamar dimana ia kehilangan kegadisannya. Badannya sebenarnya belum sehat benar tapi ia beranikan untuk mengguyur tubuhnya malam itu. Ia ingin membersihkan sisa-sisa perbuatan Ramon. "A
Sofia terus menggoda Ramon. Ramon tak bisa mengenyahkan wajah Ganis. Ramon kemudian mulai menguasai permainan. Dengan bayangan Ganis dipikirannya ia mulai membalas sentuhan Sofia. Keduanya segera terlibat dalam pergumulan panas. Sofia mulai mendesah dan menggelinjang oleh perlakuan Ramon. Sampai akhirnya keduanya mencapai klimaks. "Ganis!!" seru Ramon saat ia merasakan ledakan yang kuat dalam diri Sofia. Sofia yang baru saja mencapai puncak langsung kesal. Kenapa Ramon tak menyebut namanya seperti biasanya. Siapa Ganis itu?Ramon segera terkulai di samping Sofia. Sofia ingin protes dan bertanya tentang siapa Ganis tapi Ramon telah memeluk dan mencium dahinya kemudian segera memejamkan matanya. Sofia yang biasanya langsung ikut terlelap bersama Ramon kini tak bisa lagi untuk terlelap. Sebuah nama yang diucapkan Ramon tanpa sadar tadi mengusik pikirannya. Seharusnya ia tak cukup khawatir dengan hubunganya dengan pria dipelukannya itu. Apalagi sejak kematian Marco, Ramon telah mengajakn
"Aku sudah rusak. Lantas buat apa aku menjadi gadis bermartabat. Biarkan jadi jalang sekalian. Bukannya dari awal kau menyebutku jalang?" pekik Ganis histeris. Ia sudah lelah sebenarnya. Baginya sama saja ditangkap Dannis atau malah bersama Ramon saat ini. Ganis terus meluapkan emosinya pada dada bidang Ramon.Ramon dengan sedikit ragu akhirnya membelai rambut Ganis lembut. Ia kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa mencoba untuk menenangkan Ganis dengan mengusap-ngusap punggungnya. Mata gadis itu tampak memerah dan sembab."Biarkan aku memperbaiki yang rusak itu Ganis," ucap Ramon trenyuh. Ia sudah menghancurkan masa depan seorang gadis yang sebenarnya butuh arahan dan bimbingan. Menurut informasi ayah Ganis sudah pergi entah kemana. Kini ia hanya tinggal dengan ibu dan ayah tirinya. Kalau tak salah ayah tiri Ganis sedikit mesum sampai Ganis memilih berpenampilan tomboy dan tak mau berlama-lama tinggal di rumah."Jangan ucapkan jalang lagi," sahut Ganis lirih. Kini ia mulai berhenti teri
"Kau ingin aku jadi pembantumu?" seru Gnais terpaksa menghabiskan oseng sayurnya. "Terserahlah kau menyebut apa. Aku jarang mengunjungi bungalow ini. Aku hanya ingin ada yang merawat bangunan ini sampai mungkin suatu saat ada yang menyewa. Aku juga ingin saat aku datang berkunjung ada seseorang yang menyiapkan makanan dan keperluan lainnya," jelas Ramon lebih detail. Ganis mengankat bahu tak bisa putuskan. "Entahlah apa aku bisa tinggal di rumah saja," ucapnya berpikr. Ia masih saja takut kalau Ramon akan memaksanya melakuakn hal yang tak seharusnya padanya lagi. Ramon tahu tak semudah itu membuat Ganis percaya padamu. Mungkin masih butuh waktu. Ia hanya ingin menebus kesalahannya dengan menjamin kehidupan Ganis. Ini juga sebagai bentuk hormat pada Marco sebagai sahabat gadis itu. "Kau masih bisa menikmati masa mudamu. Tentu saja dengan hal positif. Kuliah mungkin bisa jadi pilihanmu," tawar Ramon bangkit dari duduknya. Ia segera berjalan menuju kamar.
Setelah selesai berdoa masih dalam kehenngan mereka kembali berjalan beriringan menuju mobil. Bunyi dering ponsel Ramon menghentikan langkah mereka. Ganis ikut berhenti sambil mengedarkan pandangan di sekitar makan."Bos aku sudah dapatkan Dannis. Dia ada di ruang penyekapan," ujar anak buah Ramon yang lain."Tahan saja di situ. Kalian juga boleh sedikit bermain-main dengannya," ucap Ramon kini menatap pada Ganis.Ganis mendengar kata bermain-main dengan sedikit berjengit. Seperti cerita teman-teman Marco kalau Ramon telah menyekap mereka. Ia membayangkan Dannis yang sekarang sudah babak belur dianiaya anak buah Ramon."Nis!" panggil Ramon masih dengan ponsel terhubung dengan anak buahnya."Ya," sahut Ganis menoleh."Kata teman-teman Marco, Dannis telah melecehkanmu. Kemarin juga anak itu berusaha untuk menculikmu. Sekarang Dannis sudah ada di tangan anak buahku. Kau bisa membalas Dannis dengan tanganmu sendiri. Atau mungkin kau bisa menyuruh anak buahku membalaskannya untukmu," tawar
Kali ini Ganis duduk di jok depan di samping Ramon. Meskipun Ramon masih terlihat tidak nyaman dengan keberadaan kucing di pangkuan Ganis."Kau tak perlu memberikan kartu tabungan pada ibuku. paling juga akan dihabiskan ayah untuk fiya-foya," kata Ganis menatap jalan raya."Ayah tirimu terlalu mengerikan dan ibumu sangat bisa dimanfaatkan. Aku hanya memberi sedikit karena telah mengizinkanmu bekerja denganku,""Aku tak harus bekerja di tempatmu," kata Ganis masih enggan untuk menerima tawaran Ramon. "Kau mau tinggal dimana? tak ada yang lebih aman selain kerja di bungalow. memang kau punya pilihan lain?" ujar Ramon sambil terus menyetir membelah jalanan kota yang lumayan padat. Ganis terdiam karena memang tak punya tujuan. "Tenang saja aku juga tak tiap hari pulang ke bungalow. Beberapa Minggu ke depan aku akan sangat sibuk bekerja. Sambil menjaga bungalow kau bisa melakukan apapun yang kamu mau," jelas Ramon berusaha membujuk Ganis."Apapun itu?" mata Ganis menatap kaca spion dari
Malam itu di sudut gemerlapnya kota Buenos Aires tampak Sofia sedang setengah mabuk menikmati pesta barbeque di salah satu rumah sahabatnya semasa sekolah dulu. Sofia sengaja mengikuti acara semacam reuni itu karena ia juga sudah kangen acara pesta yang merupakan budaya negaranya. Hampir 2 tahun tinggal di Indonesia membuatnya sangat menyukai segala hal tentang kota asalnya. "Kau Benar-benar akan menikah Sofia?" tanya Sebastian. Pria yang juga pernah menjalin hubungan degan Sofia semasa kuliah dulu. Matanya menatap tubuh Sofia yang saat itu tampak kian menggoda dengan gaun yang menampilkan lekuk tubuhnya. "2 bulan lagi. Bersama Ramon Soares. Abyaksa Soares. Pria paling diinginkan di seluruh kota?" ujar Sofia yang tak bisa menahan ucapanya. Minuman telah menghilangkan kewarasannya. "Kau tidak sepenuhnya mencintainya Sof," kata Sebastian yang memang lebih mengenal Sofia. Awalnya Sofia bersama dengan Ramon hanya karena keinginan ayahnya yang memang telah mengabdi pada perusahaan keluar
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l