"Sudah Givani. Makan yang benar. Jangan bicara aneh-aneh," ujar Bi Sunnah membuat Givani kembali konsentrasi pada makanannya. "Makan yang banyak Vani," ucap Ramon mengelus kepala Givani dengan sayang. Ramon juga sudah berusaha untuk mendekati Ganis. Meskipun usahanya tak digubris sama sekali. 2 nomer ponselnya malah diblokir. Ia mencoba mengirim pesan romantis pada Ganis dengan memakai jasa mesin pencarian. Bukannya membuat Ganis terkesan malah membuatnya tak suka. Ia akan berpikir lagi untuk bisa menjadi akrab dengannya. Ternyata PDKT itu lumayan sulit daripada menjalankan perusahaan. "Bi aku pergi dulu. Vani Paman mau keluar. Apa kau mau titip makanan atau apapun?" tanya Ramon sebelum pergi."Paman belikan aku permen karet. Aku mau belajar meniupnya dari mulutku," kata Givani yang masih penasaran. "Tidak boleh," ucap Ramon tegas. Bayangan permen karet itu tertelan oleh Givani langsung terlintas di pikirannya."Ayolah Paman," rengek Givani. Ramon menggeleng. Ia tak mau putri kesa
Ramon segera menghubungi orangnya yang ada di Jepang. "Awasi lebih ketat kedua orang itu!" perintah Ramon menahan perasaan cemburunya. Ia harus bersabar sedikit lagi. Sebenarnya ia sangat ingin terbang langsung ke Jepang dan langsung berterus terang pada Ganis. Tapi ia pikir ini bukan waktu yang tepat. Ia masih belum bisa meraih hati Ganis. Ia tak mau usahanya beberapa hari ini dengan penolakan menyakitkan ibu dari Givani itu. Saat pikirannya lagi galau memikirkan Ganis yang kini mulai berani bercumbu dengan pria lain ponselnya berdering. Ia langsung mengangkatnya. Dari rumah sakit yang memeriksa DNA Givani. "Pak Ramon hasil tesnya baru saja kami kirimkan secara resmi ke ponsel bapak. Dokumen cetaknya akan kami kirimkan segera," ujar kepala divisi lab rumah sakit. "Ya terima kasih Pak," kata Ramon menjadi tak sabar untuk melihat hasilnya. Meskipun ia bisa menduga hasilnya tapi tak urung jantungnya sedikit berdebar. Ia pun membuka dokumen yang baru masuk melalui ponselnya. Hasil
Ganis mencoba untuk rileks saat Minori mulai check in sebuah hotel. Hatinya masih ragu, tapi ia akan mencoba untuk menghadapinya. Minori tak henti-hentinya menatap Ganis dengan penuh minat. Belum pernah ia menginginkan wanita sebesar ini. Mereka kemudian berjalan menuju lift. Di dalam lift Minori meremas jemari Ganis. Ganis hanya tersenyum kecil sambil membenahi detak jantungnya yang tak karuan. "Jangan takut. Kurasa ini bukan pertama kali buatmu," ucap Minori mengelus punggung tangan Ganis. Ganis mengangguk meremas ujung gaunnya.Beberapa saat kemudian pintu lift pun terbuka. Minori segera mengajak Ganis menuju kamar yang ia sewa. Ganis tiba-tiba ragu. Apakah ini sudah benar untuknya. Tiba-tiba perkataan Ramon 7 tahun lalu terngiang dalam pikirannya."Nis jangan pernah ijinkan pria menyentuhmu jika tak ada kepastian pria itu akan menikahimu," Minori membuka pintu kamar dengan kunci yang dipegangnya. "Masuklah," kata Minori dengan lembut. Perlahan Ganis pun masuk. Ia merasa ia tak
Ganis menatap ke arah sopir. Mungkin ia bisa menanyakan padanya."Maaf apa aku mengenal siapa yang menyuruhmu?" tanya Ganis. "Saya hanya mendapat perintah untuk mengantarkan anda pulang. Tolong beritahu alamat anda," kata sopir itu dengan bahasa resmi dan sopan.Ganis hanya bisa mendesah dalam. Yang terpenting sekarang ia telah bebas dari Minori. Tadi itu seperti mimpi saja. Matanya kini panas dan ia mulai menangis pilu. Seharusnya ia tahu kalau hatinya tak akan bisa berpaling dari cinta Ramon. Harusnya ia tak terlalu memaksakan diri. Entah sampai kapan ia akan terkena kutukan cinta pada pria bule itu. Minori bukan pria yang tepat untuknya. Ia berdoa semoga suatu saat ia akan menemukan pria itu. Pria yang akan memberinya kesempatan untuk secara perlahan mengenal rasa cinta yang baru. Pria yang dengan penuh kesabaran menumbuhkan perasaan cinta. "Nona kita sudah jauh. Dimana alamatnya?" kata sopir itu membuyarkan lamunan Ganis.Ganis segera mengusap sisa airmatanya dan menyebutkan ala
"Nis. Terus terang aku tertarik denganmu. Jangan marah!" Ganis menggeleng makin tak mengerti dengan tingkah pria di ujung ponsel itu yang tambah di luar nalar. "Aku akan menemuimu secara langsung. Kita berkenalan," kata Ramon tidak bisa menahan diri lagi. "Ok. Aku juga penasaran dengan rupa dan penampilanmu," kata Ganis tak urung juga harus berterima kasih karena pria ini telah menyelamatkannya dari Minori. "Kita akan tentukan waktu dan tempatnya," sahut Ramon. "Aku punya waktu di akhir minggu," jawab Ganis. "Aku akan melihat jadwalku dulu. Aku akan menghubungimu kalau aku akan berangkat ke Jepang," sahut Ramon tentu saja tak bisa secara tiba-tiba berangkat ke Jepang. "Kita masih punya banyak waktu. Aku akan berangkat kerja. Hmm terima kasih untuk semalam," tukas Ganis agak pelan. Ramon tersenyum lebar. Akhirnya Ganis mengakui jasanya tadi malam. "Ya berangkatlah. Hati-hati dengan orang Jepang itu. Jangan memberi kesempatan pada cowok jika kamu belum benar-benar bisa se
Keesokan harinya di tempat kerja tibalah saat pengumuman siapa yang akan maju untuk magang langsung di motor GP. Tanpa di duga Ganislah yang terpilih bersama salah satu kandidat lain yaitu pria jepang bernama Kosuke. Ia nyaris tak percaya karena ia tahu semuanya sangat layak untuk lolos. Walaupun kenyataanya dia sangat berharap dirinyalah yang terpilih diantara yang lainnya yang semuanya laki-laki. Saat pulang semuanya mengucapkan selamat padanya. Minori tampak dingin dan tak mengucapkan sepatah katapun. Orang-orang jadi tahu kalau telah terjadi sesuatu diantara Minori dan Ganis. Ganis sendiri juga bingung harus bagaimana menghadapi Minori. Teman-teman akhirnya memberi kesempatan untuk mereka berdua saling bicara setelah semuanya pulang. Ganis duduk berhadapan dengan Minori. Keduanya lama dalam kecanggungan sebelum kemudian Minori memutuskan untuk bicara terlebih dahulu. "Kenapa kamu tiba-tiba pergi . Aku tak tahu apa yang salah. Sepertinya kau tampak menikmati semuanya. Aku hampir
Givani mengedipkan mata besarnya menunggu jawaban dari ketiga orang dewasa di hadapannya."Givani sayang apa kau sudah selesai bermain dengan teman-teman?" tanya Bi Sunnah mencoba mengalihkan pembicaraan. Bu Panca tersenyum. Ramon langsung bangkit menghampiri putrinya seraya mengelus rambutnya."Aku main petak umpet. Kebetulan aku mencari tempat sembunyi dan aku sampai di sini. Aku mendengar namaku dan juga kakak disebut-sebut. Apakah benar kalau Paman akan menikah dengan kak Ganis?" tanya Givani lagi makin penasaran. "Kau tahu kakakmu tak menyukaiku bukan? jadi mana mungkin itu Givani," kata Ramon memutuskan untuk tidak bercerita apapun dulu pada Givani. "Kau mungkin salah dengar tadi," sahut Bi Sunnah. Givani tampak berpikir sejenak."Ya mungkin aku salah dengar," tukas Givani kemudian berbalik hendak melanjutkan bermainnya. "Givani tolong bilang pada anak-anak untuk berkumpul di ruang makan. Sudah waktunya makan malam," kata Bu Panca. Givani langsung mengangguk."Ayo kita makan
"Jangan GR ya. Siapa yang melanggar privasi di sini. Diam-diam mengambil foto tanpa ijin pemilik apa itu dibenarkan?"sergah Ganis berusaha merebut kamera itu dari tangan pria itu. Pria itu tersenyum ramah. "Maaf kalau begitu. Gimana kalau kita kenalan saja. Biar kita jadi teman. Bukankah seorang teman boleh mengambil foto temannya," ujar pria itu berusaha menjauhkan kameranya dari Ganis. "Kita kenalan tapi syaratnya hapus dulu fotoku, Setelah itu aku yang memuruskan apa kau layak jadi temanku," ujar Ganis tak berusaha merebut kamera itu lagi. Tangannya bersedekap di dada sambil menatap tajam pria di hadapannya. Pria itu berkulit coklat, rambutnya kemerahan dengan mata coklat gelap. Bentuk wajahnya sangat mirip dengan Marco. Hanya saja kulitnya sedikit lebih terang, tubuhnya lebih berisi dan tak ada gigi gingsul saat ia tersenyum. "Syarat yang menarik. Tapi kayaknya aku nggak setuju. Aku harus pergi dulu. Oh iya namaku Shawn kalau kau ingin tahu," ucap Pria itu langsung berbalik dan
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l