"Jangan GR ya. Siapa yang melanggar privasi di sini. Diam-diam mengambil foto tanpa ijin pemilik apa itu dibenarkan?"sergah Ganis berusaha merebut kamera itu dari tangan pria itu. Pria itu tersenyum ramah. "Maaf kalau begitu. Gimana kalau kita kenalan saja. Biar kita jadi teman. Bukankah seorang teman boleh mengambil foto temannya," ujar pria itu berusaha menjauhkan kameranya dari Ganis. "Kita kenalan tapi syaratnya hapus dulu fotoku, Setelah itu aku yang memuruskan apa kau layak jadi temanku," ujar Ganis tak berusaha merebut kamera itu lagi. Tangannya bersedekap di dada sambil menatap tajam pria di hadapannya. Pria itu berkulit coklat, rambutnya kemerahan dengan mata coklat gelap. Bentuk wajahnya sangat mirip dengan Marco. Hanya saja kulitnya sedikit lebih terang, tubuhnya lebih berisi dan tak ada gigi gingsul saat ia tersenyum. "Syarat yang menarik. Tapi kayaknya aku nggak setuju. Aku harus pergi dulu. Oh iya namaku Shawn kalau kau ingin tahu," ucap Pria itu langsung berbalik dan
"Vani apa kau tak tahu kalau pamanmu ini mulai menyukai kakakmu yang manis itu," kata Ramon ingin Givani mulai mengetahui ketertarikannya pada Ganis."Hmm apa Paman jatuh cinta sama kak Ganis? jadi aku nggak salah dengar,kan kalau Paman akan menikahi kakakku?" tanya Givani makin bersemangat. Ia sangat senang kalau sampai Paman Gisel menikah dengan kakaknya."Ya kira-kira begitulah. Paman lagi PDKT sama kakakmu. Jadi dukung Paman ya. Biarkan kakakmu penasaran dulu sama Paman," ujar Ramon berharap Givani mengerti dan tak merusak rencananya."Ok. Apa ibu juga tahu ini?" tanya Givani menoleh pada Bi Sunnah yang saat itu juga ada di dekatnya."Ya tentu saja. Jadi rahasiakan dulu ya sama kakak," bisik Ramon."OK. Deal," kata Givani gembira. "Anak pintar. Sudah dulu ya. Paman sekarang baru tiba. Nanti di sambung lagi," tukas Ramon menutup panggilan.Simon dan juga Carmen saling pandang sambil tersenyum."Siapa yang telpon Tuan Muda?" tanya Simon sambil mempersilahkan Ramon duduk. Carmen lan
Setelah mendaftar di meja administrasi rumah sakit Ramon segera menuju ruangan di mana Sofia melahirkan. Tobias pasti ada di dalam ruangan bersalin menemani Sofia. Ramon terduduk di bangku di depan kamar bersalin. Ia bisa mendengar suara kesakitan dan juga rintihan Sofia begitu jelas. Para medis terdengar memberi semangat. Ramon kembali membayangkan kalau yang melahirkan itu adalah Ganis. Ganis di dalam ruangan hanya sendirian tanpa dukungan dirinya. Hatinya terasa campur aduk. Antara sedih dan ikut tegang. Detik-detik berlalu terasa lambat. Suara-suara dari dalam kamar bersalin semakin seru. Ramon menghapus butiran keringat yang menyembul di pelipisnya. Bayangan Ganis tengah kesakitan dan memanggil namanya begitu kuat dalam pikirannya. "Maafkan aku Nis," ujarnya dengan perasaan mengharu. Suara tangisan bayi kemudian terdengar membuat Ramon terbangun dari lamunannya. Sebuah tangan menyentuh bahunya. Di hadapannya berdiri Paman Fabio yang tersenyum padanya. "Senang bisa melihatmu
Acara pembaptisan anak dari Tobias dan Sofia berlangsung sederhana tapi meriah. Di hadiri hanya keluarga dekat saja. Ramon sudah tak sabar juga membawa Ganis dan Givani untuk mengenal mereka. Baginya semuanya yang hadir di sana adalah keluarganya. Saat acara berakhir ia berinisiatif ikut mengantarkan Bibi Sabina dan Paman Fabio pulang ke rumah pertanian mereka. Lama juga ia tak berkunjung ke daerah pelosok pedesaan. Tak lupa ia beberapa kali membagikan foto yang ia ambil dari kamera ponselnya kepada Ganis dan juga Givani.Sepanjang perjalanan suguhan pemandangan indah alam yang masih asli tersaji di pelupuk mata. Kini kemana pun ia pergi pikirannya selalu teringat Ganis dan Givani. Ia ingin membagi seluruh pengalaman hidupnya bersama dua orang yang kini begitu penting dalam hidupnya.Lama berkutat dalam pekerjaan,terjebak diantara ruang kerja dan juga bangunan-bangunan menatap pemandangan terasa begitu bebas lepas. Setelah hampir 3 jam berkendara mereka pun sampai di sebuah tanah pert
"Tidak ada apa-apa," kata Ganis tak mungkin menceritakan soal Marco pada Shawn. "Jadi kita bisa bersama-sama mulai dari sekarang. Kau akan tinggal di penginapanku. Aku tak akan membiarkanmu tinggal bersama para teknisi Motor GP yang kebanyakan laki-laki itu. Terlalu berbahaya untukmu jika ada di Spanyol," tukas Shawn tak bisa di bantah. Ganis hanya menatap Shawn tak habis pikir. Sungguh pria yang sangat pemaksa. "Selama ini mereka sangat sopan padaku. Jangan sok tahu," bantah Ganis,"Lagian apa penginapanmu ada di Barcelona?" tanya Ganis."Tempat tinggalku memang di Barcelona," jawab Shawn tersenyum penuh kemenangan. Ganis pun akhirnya menyerah. Ia akan menyetujui ajakan Shawn. Apa salahnya juga memanfaatkan Shawn jadi pemandunya. Ia sendiri masih belum pernah ke Spanyol dan sama sekali tak ada kenalan. Ia tak menyangka Kosuke masih memikirkannya. Kosuke selalu seperti kakaknya diantara semua rekannya.Setelah keluar dari bandara Shawn memesan taxi."Nis apa kau akan langsung bekerj
Ternyata bibi Merry tak mempermasalahkan status Ganis. Buktinya sikapnya sama sekali tak berubah setelah mendengar keterangan Ganis. Ia harusnya paham kalau di Spanyol memang pergaulan agak bebas. Single parent adalah fenomena yang biasa. Bukan suatu aib atau sesuatu yang buruk. Malam itu Ganis makan bersama Shawn dan Bibi Merry. Masakan telur bernama tortilla espanola yang sangat enak. Juga Paela semuanya sangat lezat membuat Ganis kekenyangan. Masalahnya saat minum coklat ia sudah menikmati cemilan Churros yang sudah terkenal itu. "Lihatlah kau sudah mengantuk," kata Bibi Merry melihat Ganis yang menguap berulangkali. Sangat tidak sopan sekali setelah makan terus ngantuk pikir Ganis. Ia harap semua kekurangannya itu membuat niat Bibi Merry menjadikannya menantu urung. Shawn malah melihat semua perilaku Ganis sangat apa adanya. Itulah yang membuatnya semakin tertarik pada perempuan yang baru dikenalnya beberapa minggu itu. "Ayo aku antarkan kau ke kamar," kata Shawn. "Tapi kau
"Kau mengenalnya?" tanya Shawn melihat Ganis terpaku melihat pria yang kini sedang berdoa di depan sebuah makam itu."Oh tidak. Aku salah orang. Cuma mirip saja. Ayo kita pergi. Aku penasaran di mana tempat tinggal sahabatmu itu," ujar Ganis memilih segera memalingkan muka dan beranjak terlebih dahulu. Ia tak ingin Ramon memergokinya. Shawn tak ingin menanyakan lagi tentang pria itu yang jelas sikap Ganis sedikit berubah setelah melihatnya. Setahunya Ganis tak punya kenalan siapapun di sini. Keduanya tak banyak bicara selama perjalan menuju rumah sahabat Shawn.Rumah sahabat Shawn hanya berjarak beberapa ratus meter dari komplek makam. Nama temannya itu adalah Bonito. Bonito mengelola cafe kecil-kecilan di depan rumahnya. Shawn langsung merangkul sahabatnya dan mengenalkan Ganis. Bonita tersenyum ramah dan menyajikan wine di meja. Beberapa teman lainnya juga ikut bergabung. Beberapa orang cewek berkenalan dengan Ganis. Mereka berpesta untuk Shawn. Semua orang yang hadir adalah teman
"Apa maksudmu melakukan ini?" tanya Ganis menatap paman Gisel tak mengerti. Paman Gisel hanya tersenyum."Aku hanya ingin kau bisa menikmati kota Barcelona dari atas. Sangat menakjubkan. Jadi santailah dan coba lihatlah ke bawah," kata Paman Gisel dengan nada biasa."Kau mau aku bersantai setelah kau menculikku? aku sangat ketakutan tahu! lalu bagaimana dengan Shawn?" protes Ganis. "Jangan khawatir. Copet itu akan mengembalikan ponselmu nanti sore. Kau bisa menghubungi temanmu nanti," ucap paman Gisel kini mulai fokus melihat pemandangan di bawah. "Ya Allah bagaimana bisa kau melakukan semua ini," dengus Ganis. Perlahan ia pun memberanikan diri melihat ke arah bawah. Sangat indah dan memang menakjubkan. Tatanan kota yang begiti unik dan penuh karya seni. Sebuah superblok yang sangat estetik. Spanyol adalah kiblat arsitektur modern. Rumah arsitek Antony Gaudi menuangkan karya besarnya. "Cantik sekali!" seru Ganis mengamati distrik Eixample yang indah. "Tapi kau kan tak perlu samp
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l