"Apa maksudmu melakukan ini?" tanya Ganis menatap paman Gisel tak mengerti. Paman Gisel hanya tersenyum."Aku hanya ingin kau bisa menikmati kota Barcelona dari atas. Sangat menakjubkan. Jadi santailah dan coba lihatlah ke bawah," kata Paman Gisel dengan nada biasa."Kau mau aku bersantai setelah kau menculikku? aku sangat ketakutan tahu! lalu bagaimana dengan Shawn?" protes Ganis. "Jangan khawatir. Copet itu akan mengembalikan ponselmu nanti sore. Kau bisa menghubungi temanmu nanti," ucap paman Gisel kini mulai fokus melihat pemandangan di bawah. "Ya Allah bagaimana bisa kau melakukan semua ini," dengus Ganis. Perlahan ia pun memberanikan diri melihat ke arah bawah. Sangat indah dan memang menakjubkan. Tatanan kota yang begiti unik dan penuh karya seni. Sebuah superblok yang sangat estetik. Spanyol adalah kiblat arsitektur modern. Rumah arsitek Antony Gaudi menuangkan karya besarnya. "Cantik sekali!" seru Ganis mengamati distrik Eixample yang indah. "Tapi kau kan tak perlu samp
Ramon bangkit dari duduknya. Ia memantapkan hatinya untuk membuka kedoknya. Apapun reaksi Ganis nanti. Ia berjalan ke tembok pembatas gedung. Ganis juga beranjak dari duduknya memandang pria bertopeng itu yang sedang membelakanginya. "Tidakkah kau bisa menebaknya sedikit saja Ganis," ucap Ramon mulai melepas soflen mata hitamnya. "Aku sangat sibuk. Mana sempat main tebak-tebakan," kata Ganis tak bisa mengesampingkan keindahan langit senja yang menjadi latar belakang mereka saat ini. "Kau sungguh melupakan suara ini. Aroma tubuhku dan juga segala hal tentangku?" tukas Ramon perlahan melepas topengnya. Hati Ganis mencelos. Ya ia akui suara Paman Gisel dan juga aromanya sepertinya ia pernah mendengar dan menciumnya tapi hatinya selalu menolak untuk berpikir dan menyimpulkan. "Kau yakin aku memang mengenalmu sebelumnya," ucap Ganis mulai merangkai semua ingatan percakapan yang pernah terjadi diantara mereka. "Kau tak ingat tentang rumah yatim yang aku kunjungi dan aku telah men
Ganis keluar dari gedung seni tanpa mempedulikan apapun. Ia berharap Ramon tak mengejarnya atau menyuruh seseorang kembali menangkapnya. Di depan gedung saat ia bingung mencari taxi seseorang mencegatnya. "Nona saya utusan Pak Ramon. Saya akan mengantar anda pulang," ujar pria itu sopan seraya membungkukkan badan dan membukakan pintu sebuah mobil hitam. Ganis mundur dan akan pergi tapi pria itu berteriak. "Nona jangan pergi. Banyak tempat tak aman di sini. Jangan membuat saya kena marah Tuan Ramon," ujar pria itu mengejar Ganis. Ganis berhenti dan menatap pria itu ragu. Pria itu tersenyum ramah. "Maafkan rekan saya tadi yang mungkin membuat Nona takut. Nah mari silahkan naik. Saya akan antarkan Nona ke manapun Nona mau," bujuk pria itu dengan suara lembut. Ganis pun akhirnya memutuskan untuk ikut dan naik ke dalam mobil. Ganis menyebut tempat tinggal Shawn. Tak ada tempat tinggal lain baginya sekarang. Pria itu mengangguk dan melajukan mobilnya menembus malam. Ganis memandang jal
"Maaf Pak, Givani tiba-tiba demam. Suhu badannya tinggi sekali. Dia nggak mau minum obat. Katanya ia sangat merindukan anda. Dan ingin anda segera pulang," ujar bi Sunnah dengan nada penuh kecemasan. Ramon langsung terdiam beberapa saat. Hampir seminggu memang ia tak menelpon Ganis. Sejak ia tahu Ganis ada di Spanyol ia berangkat ke Spanyol dengan tergesa-gesa. Apalagi dengan semua persiapannya untuk bertemu Ganis dan juga kunjungannya ke makam ayahnya.. "Sambungkan aku padanya," ucap Ramon.Bi Sunnah segera menempelkan ponsel itu ke telinga Givani."Vani dari Paman Gisel," seru bi Sunnah. Givani berusaha membuka matanya yang berat. "Paman kapan balik? katanya perginya tak lama!" ujar Givani lemah. Hati Ramon. terasa diremas mendengar ucapan Givani itu. Beginilah rasanya saat buah hati kita sakit."Ya sayang. Aku akan segera balik. Kebetulan urusan Paman sudah mau selesai. Tunggu 2 hari lagi ya. Givani mau minum obat dulu ya. Givani mau kan menunggu sedikit lagi? Givani anak yang s
Ganis segera menghubungi bi Sunnah setelah sarapan. "Bi apa benar Givani sakit?" tanya Ganis cemas."Dari kemarin ia demam. Dokter sudah memeriksanya. Kalau demamnya masih berlanjut akan tes darah," terang bi Sunnah yang baru saja menyuapi Ganis bubur hangat dan meminumkan obat."Bi Sunnah kenapa bibi mengkhianati kepercayaanku? apa salahku pada bibi? kita sudah saling mengenal lebih tujuh tahun. Tega sekali bibi melukai hatiku," ucap Ganis begitu kecewa. Bi Sunnah kini mulai paham apa yang terjadi. Pasti Ganis telah tahu kalau paman Gisel adalah Ramon. "Semua ini aku lakukan demi kebaikan kalian berdua. Givani cepat atau lambat akan tahu kebenarannya. Apa salahnya dengan Ramon. Dia sudah ingin memperbaiki hubungan kalian. Kenapa kau selalu menolak dan menghindarinya. Hadapi kenyataan Nis. Ramon berhak atas putrinya. Jangan menanggung beban sendirian. Givani berhak mendapatkan yang terbaik," jelas bi Sunnah menjelaskan alasannya. "Aku sudah berusaha memberikan yang terbaik. Aku ba
Ramon melangkah mendekati Ganis. "Nis kita perlu bicara. Tolong ini soal Givani," tukas Ramon dengan mata sendu. Tak pernah Ganis melihat Ramon sesedih itu. Kenyataannya Ramon telah begitu dekatnya dengan Givani. Itu membuatnya sangat risau."Jangan pedulikan dia Nis. Masuklah biar aku yang menghadapinya," tukas Shawn langsung membuka pintu dan mendorong Ganis masuk. "Hei anak muda aku tak ada urusan denganmu. Jadi tolong jangan mempersulit keadaan," sahut Ramon menatap tajam Shawn."Aku berurusan denganmu karena Ganis sekarang adalah calon istriku. Aku berkewajiban melindungi calon istriku," tegas Shawn menatap Ramon dingin."Kau yakin Ganis memang bersedia menikah denganmu. Kau yakin Ganis mencintaimu bukan sebagai pelarian dariku," ejek Ramon sinis.Shawn menjadi tidak sabar. "Ayo kita bicara secara laki-laki," ajak Shawn memberi isyarat untuk mengikutinya. Ramon pun tak gentar dan segera mengikuti Shawn.Mereka duduk berhadapan di suatu tempat minum. "Nah sekarang kita perjela
Sore itu rencana Ramon untuk menculik Ganis segera dilakukan. Ia tak punya waktu lagi. Malam ini adalah acara Sir Ferguson mengadakan pesta. Tinggal malam ini ia akan ada di Spanyol. Ia ingin cepat-cepat kembali ke Indonesia mengingat kondisi Givani saat ini. Baginya keadaan Givani di atas segala-galanya. Sepulang kerja Ganis sudah berharap Shawn menjemputnya menggunakan motornya. Pekerjaannya hari ini sudah cukup melelahkan. Sebagai pegawai magang dan juga pemula ia harus banyak belajar dan merekam semuanya dalam pikirannya. Saat ia keluar dari Sirkuit tak ada motor dan senyum Shawn menyambutnya seperti biasanya. Ia melihat jam di ponselnya. Ia akan mencoba menelponnya tapi seseorang telah meraih tubuhnya dan menggendongnya dengan paksa. Ganis berusaha berontak tapi kekuatannya kalah dibanding seorang pria besar berbadan tegap yang langsung mendorongnya masuk ke dalam mobil."Ramon?" teriak Ganis begitu mendapati pria itu telah duduk di sampingnya. Ganis buru-buru berbalik dan membu
Malam itu Ramon membawa Ganis ke kediaman Sir Ferguso. Ramon datang dengan undangan khusus. Acara inti dari pesta belum di mulai ketika mobil limusin yang membawa mereka telah sampai di depan mansion megah nan mewah. Pestanya sendiri di gelar dengan konsep pesta kebun yang diselenggarakan di halaman luas belakang mansion. "Silahkan masuk Tuan!Tuan besar telah menunggu anda," sambut seorang pria berjas hitam membukakan pintu mobil sambil membungkukkan badan. "Terima kasih," ujar Ramon segera turun. Ia segera memutari mobil untuk membantu Ganis turun. Tangan Ramon segera terulur. Ganis tak menyukai perlakuan Ramon yang terlalu manis ini. Ia tak menyambut tangan Ramon dan turun sendiri. Ramon menjadi gemas. Ia langsung meraih tangan Ganis dan menggenggamnya dengan erat. Mata Ganis berputar sejenak. Ia tahu ia harus berpura - pura mesra. Sungguh ia sangat ingin ini semua segera berlalu.Mereka diantar menyusuri lorong mansion dan berhenti di sebuah ruangan besar dimana seorang pria deng