"Maaf Pak, Givani tiba-tiba demam. Suhu badannya tinggi sekali. Dia nggak mau minum obat. Katanya ia sangat merindukan anda. Dan ingin anda segera pulang," ujar bi Sunnah dengan nada penuh kecemasan. Ramon langsung terdiam beberapa saat. Hampir seminggu memang ia tak menelpon Ganis. Sejak ia tahu Ganis ada di Spanyol ia berangkat ke Spanyol dengan tergesa-gesa. Apalagi dengan semua persiapannya untuk bertemu Ganis dan juga kunjungannya ke makam ayahnya.. "Sambungkan aku padanya," ucap Ramon.Bi Sunnah segera menempelkan ponsel itu ke telinga Givani."Vani dari Paman Gisel," seru bi Sunnah. Givani berusaha membuka matanya yang berat. "Paman kapan balik? katanya perginya tak lama!" ujar Givani lemah. Hati Ramon. terasa diremas mendengar ucapan Givani itu. Beginilah rasanya saat buah hati kita sakit."Ya sayang. Aku akan segera balik. Kebetulan urusan Paman sudah mau selesai. Tunggu 2 hari lagi ya. Givani mau minum obat dulu ya. Givani mau kan menunggu sedikit lagi? Givani anak yang s
Ganis segera menghubungi bi Sunnah setelah sarapan. "Bi apa benar Givani sakit?" tanya Ganis cemas."Dari kemarin ia demam. Dokter sudah memeriksanya. Kalau demamnya masih berlanjut akan tes darah," terang bi Sunnah yang baru saja menyuapi Ganis bubur hangat dan meminumkan obat."Bi Sunnah kenapa bibi mengkhianati kepercayaanku? apa salahku pada bibi? kita sudah saling mengenal lebih tujuh tahun. Tega sekali bibi melukai hatiku," ucap Ganis begitu kecewa. Bi Sunnah kini mulai paham apa yang terjadi. Pasti Ganis telah tahu kalau paman Gisel adalah Ramon. "Semua ini aku lakukan demi kebaikan kalian berdua. Givani cepat atau lambat akan tahu kebenarannya. Apa salahnya dengan Ramon. Dia sudah ingin memperbaiki hubungan kalian. Kenapa kau selalu menolak dan menghindarinya. Hadapi kenyataan Nis. Ramon berhak atas putrinya. Jangan menanggung beban sendirian. Givani berhak mendapatkan yang terbaik," jelas bi Sunnah menjelaskan alasannya. "Aku sudah berusaha memberikan yang terbaik. Aku ba
Ramon melangkah mendekati Ganis. "Nis kita perlu bicara. Tolong ini soal Givani," tukas Ramon dengan mata sendu. Tak pernah Ganis melihat Ramon sesedih itu. Kenyataannya Ramon telah begitu dekatnya dengan Givani. Itu membuatnya sangat risau."Jangan pedulikan dia Nis. Masuklah biar aku yang menghadapinya," tukas Shawn langsung membuka pintu dan mendorong Ganis masuk. "Hei anak muda aku tak ada urusan denganmu. Jadi tolong jangan mempersulit keadaan," sahut Ramon menatap tajam Shawn."Aku berurusan denganmu karena Ganis sekarang adalah calon istriku. Aku berkewajiban melindungi calon istriku," tegas Shawn menatap Ramon dingin."Kau yakin Ganis memang bersedia menikah denganmu. Kau yakin Ganis mencintaimu bukan sebagai pelarian dariku," ejek Ramon sinis.Shawn menjadi tidak sabar. "Ayo kita bicara secara laki-laki," ajak Shawn memberi isyarat untuk mengikutinya. Ramon pun tak gentar dan segera mengikuti Shawn.Mereka duduk berhadapan di suatu tempat minum. "Nah sekarang kita perjela
Sore itu rencana Ramon untuk menculik Ganis segera dilakukan. Ia tak punya waktu lagi. Malam ini adalah acara Sir Ferguson mengadakan pesta. Tinggal malam ini ia akan ada di Spanyol. Ia ingin cepat-cepat kembali ke Indonesia mengingat kondisi Givani saat ini. Baginya keadaan Givani di atas segala-galanya. Sepulang kerja Ganis sudah berharap Shawn menjemputnya menggunakan motornya. Pekerjaannya hari ini sudah cukup melelahkan. Sebagai pegawai magang dan juga pemula ia harus banyak belajar dan merekam semuanya dalam pikirannya. Saat ia keluar dari Sirkuit tak ada motor dan senyum Shawn menyambutnya seperti biasanya. Ia melihat jam di ponselnya. Ia akan mencoba menelponnya tapi seseorang telah meraih tubuhnya dan menggendongnya dengan paksa. Ganis berusaha berontak tapi kekuatannya kalah dibanding seorang pria besar berbadan tegap yang langsung mendorongnya masuk ke dalam mobil."Ramon?" teriak Ganis begitu mendapati pria itu telah duduk di sampingnya. Ganis buru-buru berbalik dan membu
Malam itu Ramon membawa Ganis ke kediaman Sir Ferguso. Ramon datang dengan undangan khusus. Acara inti dari pesta belum di mulai ketika mobil limusin yang membawa mereka telah sampai di depan mansion megah nan mewah. Pestanya sendiri di gelar dengan konsep pesta kebun yang diselenggarakan di halaman luas belakang mansion. "Silahkan masuk Tuan!Tuan besar telah menunggu anda," sambut seorang pria berjas hitam membukakan pintu mobil sambil membungkukkan badan. "Terima kasih," ujar Ramon segera turun. Ia segera memutari mobil untuk membantu Ganis turun. Tangan Ramon segera terulur. Ganis tak menyukai perlakuan Ramon yang terlalu manis ini. Ia tak menyambut tangan Ramon dan turun sendiri. Ramon menjadi gemas. Ia langsung meraih tangan Ganis dan menggenggamnya dengan erat. Mata Ganis berputar sejenak. Ia tahu ia harus berpura - pura mesra. Sungguh ia sangat ingin ini semua segera berlalu.Mereka diantar menyusuri lorong mansion dan berhenti di sebuah ruangan besar dimana seorang pria deng
Para tamu bertepuk tangan dengan meriah begitu kedua mempelai selesai melakukan ciuman pertama mereka setelah sah menjadi suami istri. Ganis dan Ramon pun ikut bertepuk tangan."Pasangan yang sangat serasi. Ayo kita beri ucapan selamat," ajak Ramon bangkit berdiri. Ganis hanya mengernyit makin tak mengerti. Lantas apa arti ciuman Ramon pada mempelai wanita yang ia lihat beberapa jam yang lalu. Ganis pun mengikuti Ramon ikut antri dengan para tamu. Giliran mereka kini memberikan selamat. Ganis mengulurkan tangan pada pengantin baru itu. Saat ia menyalami sang pengantin wanita, wanita itu langsung tersenyum ramah."Maaf, kau pasti Ganis. Sungguh cantik. Selamat juga kau bisa memenangkan hati kak Ramon. Aku saja tidak bisa. Hmm aku tadi hanya minta ciuman perpisahan jadi jangan salah paham," ucap wanita itu menatap Ganis penuh arti. "Ehm iya tak apa-apa," ujar Ganis kini langsung paham meski masih tak bisa diterima akal. Sang mempelai pria rupanya cukup pengertian. Ia tak tampak cembu
"Hallo Givani, gimana udah enakan belum?" tanya Ganis saat melihat Givani bersandar di kepala ranjang. Ganis mengarahkan layar ponselnya pada Ramon. Ramon merapatkan tubuhnya pada Ganis agar wajahnya jelas pada layar ponsel. Givani tampak baru saja bangun. Matanya langsung melebar melihat untuk pertama kalinya ibu dan ayahnya duduk bersama dan menghubunginya. "Hallo sayang. Apa kami mengganggu tidurmu?" seru Ramon masih khawatir dengan kondisi Givani."Aku senang kalian bisa bersama," sahut Givani dengan mata berbinar."Maaf sayang. Ini bukan seperti yang kau pikirkan," tukas Ganis tak ingin Givani salah mengira tentang hubungannya dengan Ramon. Givani harus tahu sedari awal kalau dirinya tak mungkin akan kembali pada Ramon.Mata Givani langsung meredup."Ayah, cepatlah pulang! katanya hanya 2 hari ini," tagih Givani."Ya ayah akan langsung pulang. Besok siang ayah sudah ada di samping Givani. Ok?" kata Ramon cepat.Ganis terkesiap mendengar Givani telah memanggil Ramon ayah seolah s
Malam itu setelah melampiaskan amarahnya Ramon menghubungi Shawn. Shawn menerima panggilan Ramon dengan malas. Ia baru saja menemani Ganis sampai perempuan itu tertidur. Hari ini ia tak bisa menjemput Ganis seperti biasa. Semua karena ulah Ramon. Pria itu menyuruh orang untuk menahannya. Di tengah jalan ia dihadang beberapa pria. Terpaksa ia harus berkelahi dulu dengan mereka sehingga ia terlambat menjemput Ganis. Ramon selalu menggunakan cara-cara licik untuk bisa bersama Ganis."Ada apa lagi? kamu belum puas hah?" Segah Shawn menggertakkan giginya kesal."Ayo kita minum," ajak Ramon. Shawn ingin menolak tapi teringat kemungkinan Ramon adalah kakaknya ia pun akhirnya pergi. Ia telah melihat foto Marco dari ibunya. Ia tak menyangka ada orang lain yang ternyata sangat mirip dengannya. Shawn dan Ramon kini duduk bersebelahan di sebuah bar. Ramon telah menghabiskan sebotol minuman keras. Ia sudah mabuk saat Shawn tiba."Marco atau Shawn kau datang juga. Hmm ayo kita minum bersama sauda
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l