Hampir semalaman Ramon tak bisa memejamkan matanya. Aneka harapan dan berjuta impian melayang pada Ganis dan juga Givani. Sampai dini hari ia pun tak bisa menahan diri lagi dan mengirim pesan pada Givani. "Kakakmu apa akan kembali pagi ini?" tulisnya. Sambil menunggu balasan Givani ia pergi ke kamar mandi. Ia tak bisa fokus pada apapun sekarang. Hasratnya begitu besar untuk pergi ke apartemen dan menemui Ganis. Begitu ia selesai mandi dengan hanya mengenakan handuk saja ia meraih ponselnya dan membaca balasan Givani. "Kakak akan berangkat sebentar lagi. Aku tidak marah lagi padanya. Kau tahu aku kemarin sangat senang bersamanya. Aku ingin bercerita banyak. Tapi ah entahlah. Aku nggak boleh terlalu dekat dengan paman. Aku harus mandi. Aku ikut ngantar kakak sama ibu di bandara," Ramon mendengus. Perasaannya campur-aduk. Bisa-bisanya ia tertipu. Ganis begitu pintar menyembunyikan semuanya. Teganya Ganis merahasiakan keberadaan darah dagingnya. Mau gimanapun ia berhak karena dia adala
"Aku sudah tahu semuanya Bi. Ganis adalah wanita yang selama ini aku cari. Yang diselamatkan Pak Dirman hampur 7 tahun lalu. Kita pernah bertemu saat aku mendatangi rumah pak Dirman. Anda masih ingat?" ucap Ramon dengan tatapan tajam. Tangan Bi Sunnah bergetar. Sungguh bagaimana ia bisa berbohong bila menghadapi pria beraura sekuat ini. Ia merasa serba salah. Ia menautkan kedua tangannya agar sedikit tenang. "Entahlah aku mungkin sudah lupa. Itu sudah lama sekali," seru Bi Sunnah menunduk. "Tadinya aku juga lupa. Tapi setelah Givani tadi malam mengirimkan foto kakaknya yang bernama Ganis aku jadi ingat dan mengaitkan semua kejadian. Givani adalah anakku. Bi Sunnah tak bisa menyembunykannya lagi dari aku," ucap Ramon mulai tak bisa menahan perasaannya. Bi Sunnah bisa melihat raut kesedihan di wajah pria itu. Bi Sunnah semakin merasa serba salah. Bagaimanapun pria di depannya itu punya hak untuk tahu kalau Givani memang darah dagingnya. "Bi aku mohon kenapa Ganis begitu tega kepada
Ganis mematut dirinya di depan kaca. Hari ini adalah hari pertamanya kerja di perusahaan KIMIA motors. Ia sudah memakai setelan barunya. Ia juga telah memulas wajahnya dengan make-up tipis dan menguncir rambutnya rapi ke belakang. Semua sudah sempurna. Waktunya berangkat. Ia menatap sekali lagi wajahnya dan ia merasa puas. Ia meraih tasnya dan tak lupa meraih ponselnya. Ada pesan masuk. Dari pria mesum itu lagi. Kenapa pria itu jadi terus mengiriminya pesan. Minta diblokir mungkin. Ia iseng membaca pesan pria itu. 'Hai Ganis manis udah cantik belum? mau kerja yang semangat ya,' Receh banget pikirnya. Pesannya juga hampir sama seperti tadi malam. Ia pun segera memblokir nomer pria itu. Sudah aman. Pria itu tak akan mengganggunya lagi dengan pesan tak penting. Ia segera keluar kamar dan bergegas menuju stasiun kereta api terdekat. Pagi itu seperti biasa semua orang sudah ramai untuk pergi bekerja. Tak pernah hatinya sesemangat ini. Ia menatap semua orang dengan penuh minat. Ia nyaris
"Tapi harus belajar merawat sendiri lho ya, jangan mengharapkan ibu saja," ucap Ganis akhirnya. Ia masih berusaha menepis ingatannya tenang Katy kucingnya dulu. Bukankah Katy itu nama yang umu untuk kucing. Bisa saja nama kucing itu cuma kebetulan sama dengan kucingnya. "Asyik. Aku punya kucing!! Bino. Ya aku beri nama kucing ini Bino. Gimana menurut kakak? bagus,kan?" seru Givani kegirangan sambil menciumi kucing itu. "Ya nama yang bagus. Ya sudah kalau begitu kakak sekarang mau istirahat. Sudah dulu ya," ujar Ganis mengakhiri Video callnya. Givani itu ada-ada aja kelakuannya. Givani menutup panggilan Videonya dengan senyuman cerah. Ia baru sadar ibunya yang tadinya berada di ruangan sudah tak ada."Ibu, aku dikasih ijin sama kak Ganis!!" teriaknya sambil berjalan menuju dapur. Ia melihat ibunya sedang membongkar belanjaan yang lumayan banyak. Hari ini mereka baru saja belanja bersama paman Gisel. Paman itu sangat baik sekali. Saat belanja tadi ia diperbolehkan mengambil sebanyak
Bi Sunnah langsung terbangun dari tidurnya mendengar pekikan Givani. Ramon yang saat itu tertidur di Sofa terlonjak kaget. Keduanya spontan berlari ke arah kamar Givani. Mereka saling tatap untuk beberapa saat melihat Givani yang sudah bangun dengan wajah ngeri."Katakan ini bukan mimpi, kan Bu?" teriak Givani langsung masuk ke dalam pelukan Bi Sunnah. Ia menyembunyikan mukanya ke dada wanita paruh baya itu. "Ada apa Vani? kenapa kau ketakutan? apa kau mimpi buruk?" tanya Ramon merasa aneh. Kenapa tidur di kamar impian malah mimpi buruk. Bi Sunnah langsung mengelus kepala dan punggung Givani untuk menenangkannya. "Kenapa kau meyembunyikan mukamu sayang?" seru Bi Sunnah tersenyum penuh kesabaran. "Ibu, aku takut. Aku masuk dunia barby. Aku tadi terbangun dalam kamar barby. Apa kamar barbynya sudah lenyap?" tanya Givani kini menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Ramon kini paham. Perlahan ia pun mendekati Givani dan berjongkok di depannya. Ia mengulurkan tangannya dan menco
"Sudah Givani. Makan yang benar. Jangan bicara aneh-aneh," ujar Bi Sunnah membuat Givani kembali konsentrasi pada makanannya. "Makan yang banyak Vani," ucap Ramon mengelus kepala Givani dengan sayang. Ramon juga sudah berusaha untuk mendekati Ganis. Meskipun usahanya tak digubris sama sekali. 2 nomer ponselnya malah diblokir. Ia mencoba mengirim pesan romantis pada Ganis dengan memakai jasa mesin pencarian. Bukannya membuat Ganis terkesan malah membuatnya tak suka. Ia akan berpikir lagi untuk bisa menjadi akrab dengannya. Ternyata PDKT itu lumayan sulit daripada menjalankan perusahaan. "Bi aku pergi dulu. Vani Paman mau keluar. Apa kau mau titip makanan atau apapun?" tanya Ramon sebelum pergi."Paman belikan aku permen karet. Aku mau belajar meniupnya dari mulutku," kata Givani yang masih penasaran. "Tidak boleh," ucap Ramon tegas. Bayangan permen karet itu tertelan oleh Givani langsung terlintas di pikirannya."Ayolah Paman," rengek Givani. Ramon menggeleng. Ia tak mau putri kesa
Ramon segera menghubungi orangnya yang ada di Jepang. "Awasi lebih ketat kedua orang itu!" perintah Ramon menahan perasaan cemburunya. Ia harus bersabar sedikit lagi. Sebenarnya ia sangat ingin terbang langsung ke Jepang dan langsung berterus terang pada Ganis. Tapi ia pikir ini bukan waktu yang tepat. Ia masih belum bisa meraih hati Ganis. Ia tak mau usahanya beberapa hari ini dengan penolakan menyakitkan ibu dari Givani itu. Saat pikirannya lagi galau memikirkan Ganis yang kini mulai berani bercumbu dengan pria lain ponselnya berdering. Ia langsung mengangkatnya. Dari rumah sakit yang memeriksa DNA Givani. "Pak Ramon hasil tesnya baru saja kami kirimkan secara resmi ke ponsel bapak. Dokumen cetaknya akan kami kirimkan segera," ujar kepala divisi lab rumah sakit. "Ya terima kasih Pak," kata Ramon menjadi tak sabar untuk melihat hasilnya. Meskipun ia bisa menduga hasilnya tapi tak urung jantungnya sedikit berdebar. Ia pun membuka dokumen yang baru masuk melalui ponselnya. Hasil
Ganis mencoba untuk rileks saat Minori mulai check in sebuah hotel. Hatinya masih ragu, tapi ia akan mencoba untuk menghadapinya. Minori tak henti-hentinya menatap Ganis dengan penuh minat. Belum pernah ia menginginkan wanita sebesar ini. Mereka kemudian berjalan menuju lift. Di dalam lift Minori meremas jemari Ganis. Ganis hanya tersenyum kecil sambil membenahi detak jantungnya yang tak karuan. "Jangan takut. Kurasa ini bukan pertama kali buatmu," ucap Minori mengelus punggung tangan Ganis. Ganis mengangguk meremas ujung gaunnya.Beberapa saat kemudian pintu lift pun terbuka. Minori segera mengajak Ganis menuju kamar yang ia sewa. Ganis tiba-tiba ragu. Apakah ini sudah benar untuknya. Tiba-tiba perkataan Ramon 7 tahun lalu terngiang dalam pikirannya."Nis jangan pernah ijinkan pria menyentuhmu jika tak ada kepastian pria itu akan menikahimu," Minori membuka pintu kamar dengan kunci yang dipegangnya. "Masuklah," kata Minori dengan lembut. Perlahan Ganis pun masuk. Ia merasa ia tak