Ganis mengucek matanya. Akh pasti hanya halusinasi pikirannya saja. Ia terlalu lelah hari ini hingga melihat seorang pria yang tanpa sengaja terbidik kamera menjadi mirip Ramon. Padahal sudah hampir 4 tahun lebih sejak terakhir ia bertemu dengan pria itu. Ia masih saja sedikit ketakutan kalau-kalau pria itu akan muncul dalam kehidupannya lagi. Ia ingin mengubur semua tentang pria itu. Tak bisa ia pungkiri fakta Givani yang makin besar lebih mirip Ramon membuatnya jadi teringat pria itu lagi. Ada baiknya sebenarnya kalau ia terus saja berjauhan dengan Givani. Bi Sunnah telah menjadi ibu yang baik buat putrinya. Yang perlu ia lakukan hanyalah mencukupi semua kebutuhannya. Semakin ia jauh dari Givani maka ia akan cepat melupakan Ramon.Hari demi hari berlalu. Ganis berusaha menjalani pelatihan dengan sungguh-sungguh. Setelah pelatihan ia pun mengikuti tes yang diselenggarakan oleh KIMIA motors. Dengan harapan besar Ganis pun mengerjakan tes itu dengan semangat. Akan ada jeda selama semi
Ganis tiba di apartemen saat malam hari ketika Givani telah tidur. Bi Sunnah membukakan pintu dengan sedikit terkejut."Kukira besok atau sore kau baru akan tiba," kata Bi Sunnah langsung memeluk Ganis penuh kerinduan. Ganis membalas pelukan Bi Sunnah dengan hangat. Ganis langsung mencari-cari keberadaan Givani begitu ia masuk ruangan."Givani sudah tidur di kamarnya," kata bi Sunnah. Ganis langsung berjalan menuju kamar. Tampak Givani tidur lelap dengan memeluk gulingnya. "Apa perlu aku bangunkan?" "Tiidak udah Bi. Biarkan dia istirahat," kata Ganis tak mau menganggu tidur putrinya yang begitu pulasnya.Ganis kemudian duduk sambil meletakkan bungkusan berisi oleh-oleh. Ia pun membukanya dan memberikan sebuah bungkusan pada Bi Sunnah. Ada 2 bungkusan di sana. Satunya untuk Givani.Bi Sunnah langsung membuka bungkusannya. Ganis berharap Bi Sunnah menyukainya. Ia begitu sangat berterima kasih pada wanita yang telah melakukan hal yang melebihi ibu sendiri baginya. Berkat Bi Sunnah pu
Hari itu setelah puas berbelanja semua barang yang diinginkan Givani, Ganis mengajak Givani menonton film di bioskop. Kebetulan lagi musim liburan sekolah, jadi banyak film keluarga yang sedang tayang. Sebuah film keluarga yang sangat mengharukan. Ganis baru tahu ternyata peerasaan Givani begitu peka. Givani menangis melihat ketika adegan itu berlangsung."Nah sekarang ayo kita makan saja. Kau pasti sudah lapar. Jangan terlalu larut. Itukan hanya film sayang," kata Ganis ketika akhirnya film itupun selesai. Mereka pun keluar dari gedung bioskop."Tapi kasihan sekali pinguin itu yang harus menerima kenyataan kalau ibunya ternyata bukan ibu kandungnya," ujar Givani masih terbawa sedih. Ganis sedikit berpikir. Ini persis dengan kehidupan Givani. Ia yakin jika ia berterus terang pasti hati Givani akan sedih. Tapi gimanapun ia bertekad kalau hari ini ia harus bisa mengatakan semuanya pada putrinya dan menjelaskannya.Hati Givani kembali ceria setelah mereka menghabiskan satu menu burger
Ganis mencari nomer pria yang perlahan telah dekat dengan putrinya itu. Ia pun segera menghubunginya. Lama tak diangkat. Hampir saja ia akan menghentikan panggilan tapi panggilannya pun masuk."Ya Nona ada apa?" jawab pria yang tak lain adalah Ramon. Ramon saat itu baru saja pulang dari kantornya. Ia sedang santai dengan Kato dan Katy yang sedang bermain di sekitarnya. "Maaf paman dermawan aku ingin memperingatkanmu tentang Givani," kata Ganis langsung pada intinya."Ya kenapa dengan Givani?""Apa maksud anda mengajaknya Givani ke apartemen anda seorang diri tanpa yang lain?" tanya Ganis menginterogasi."Givani penasaran dengan tempat tinggalku dan aku mengajaknya. Apa yang salah Nona Ganis?" tanya Ramon sedikit geli dengan nada serius dari kakak Givani yang bernama Ganis itu."Bukankah ini berlebihan. Aku tidak tahu kalau ada niat buruk yang tersembunyi di balik kebaikan anda. Apa motif anda sebenarnya?" desak Ganis.Ramon mencoba memilih perkataan."Motifku tidak ada. Aku dan Givan
Hampir semalaman Ramon tak bisa memejamkan matanya. Aneka harapan dan berjuta impian melayang pada Ganis dan juga Givani. Sampai dini hari ia pun tak bisa menahan diri lagi dan mengirim pesan pada Givani. "Kakakmu apa akan kembali pagi ini?" tulisnya. Sambil menunggu balasan Givani ia pergi ke kamar mandi. Ia tak bisa fokus pada apapun sekarang. Hasratnya begitu besar untuk pergi ke apartemen dan menemui Ganis. Begitu ia selesai mandi dengan hanya mengenakan handuk saja ia meraih ponselnya dan membaca balasan Givani. "Kakak akan berangkat sebentar lagi. Aku tidak marah lagi padanya. Kau tahu aku kemarin sangat senang bersamanya. Aku ingin bercerita banyak. Tapi ah entahlah. Aku nggak boleh terlalu dekat dengan paman. Aku harus mandi. Aku ikut ngantar kakak sama ibu di bandara," Ramon mendengus. Perasaannya campur-aduk. Bisa-bisanya ia tertipu. Ganis begitu pintar menyembunyikan semuanya. Teganya Ganis merahasiakan keberadaan darah dagingnya. Mau gimanapun ia berhak karena dia adala
"Aku sudah tahu semuanya Bi. Ganis adalah wanita yang selama ini aku cari. Yang diselamatkan Pak Dirman hampur 7 tahun lalu. Kita pernah bertemu saat aku mendatangi rumah pak Dirman. Anda masih ingat?" ucap Ramon dengan tatapan tajam. Tangan Bi Sunnah bergetar. Sungguh bagaimana ia bisa berbohong bila menghadapi pria beraura sekuat ini. Ia merasa serba salah. Ia menautkan kedua tangannya agar sedikit tenang. "Entahlah aku mungkin sudah lupa. Itu sudah lama sekali," seru Bi Sunnah menunduk. "Tadinya aku juga lupa. Tapi setelah Givani tadi malam mengirimkan foto kakaknya yang bernama Ganis aku jadi ingat dan mengaitkan semua kejadian. Givani adalah anakku. Bi Sunnah tak bisa menyembunykannya lagi dari aku," ucap Ramon mulai tak bisa menahan perasaannya. Bi Sunnah bisa melihat raut kesedihan di wajah pria itu. Bi Sunnah semakin merasa serba salah. Bagaimanapun pria di depannya itu punya hak untuk tahu kalau Givani memang darah dagingnya. "Bi aku mohon kenapa Ganis begitu tega kepada
Ganis mematut dirinya di depan kaca. Hari ini adalah hari pertamanya kerja di perusahaan KIMIA motors. Ia sudah memakai setelan barunya. Ia juga telah memulas wajahnya dengan make-up tipis dan menguncir rambutnya rapi ke belakang. Semua sudah sempurna. Waktunya berangkat. Ia menatap sekali lagi wajahnya dan ia merasa puas. Ia meraih tasnya dan tak lupa meraih ponselnya. Ada pesan masuk. Dari pria mesum itu lagi. Kenapa pria itu jadi terus mengiriminya pesan. Minta diblokir mungkin. Ia iseng membaca pesan pria itu. 'Hai Ganis manis udah cantik belum? mau kerja yang semangat ya,' Receh banget pikirnya. Pesannya juga hampir sama seperti tadi malam. Ia pun segera memblokir nomer pria itu. Sudah aman. Pria itu tak akan mengganggunya lagi dengan pesan tak penting. Ia segera keluar kamar dan bergegas menuju stasiun kereta api terdekat. Pagi itu seperti biasa semua orang sudah ramai untuk pergi bekerja. Tak pernah hatinya sesemangat ini. Ia menatap semua orang dengan penuh minat. Ia nyaris
"Tapi harus belajar merawat sendiri lho ya, jangan mengharapkan ibu saja," ucap Ganis akhirnya. Ia masih berusaha menepis ingatannya tenang Katy kucingnya dulu. Bukankah Katy itu nama yang umu untuk kucing. Bisa saja nama kucing itu cuma kebetulan sama dengan kucingnya. "Asyik. Aku punya kucing!! Bino. Ya aku beri nama kucing ini Bino. Gimana menurut kakak? bagus,kan?" seru Givani kegirangan sambil menciumi kucing itu. "Ya nama yang bagus. Ya sudah kalau begitu kakak sekarang mau istirahat. Sudah dulu ya," ujar Ganis mengakhiri Video callnya. Givani itu ada-ada aja kelakuannya. Givani menutup panggilan Videonya dengan senyuman cerah. Ia baru sadar ibunya yang tadinya berada di ruangan sudah tak ada."Ibu, aku dikasih ijin sama kak Ganis!!" teriaknya sambil berjalan menuju dapur. Ia melihat ibunya sedang membongkar belanjaan yang lumayan banyak. Hari ini mereka baru saja belanja bersama paman Gisel. Paman itu sangat baik sekali. Saat belanja tadi ia diperbolehkan mengambil sebanyak
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l