Share

Fifth

Author: Sarahyo
last update Last Updated: 2021-08-02 03:54:21

Lima hari sebelum pindah

Dasi memanjang sempurna dari kerah baju Reno. Rambutnya diusap ke belakang. Parfum mewangi dalam kamarnya. Bajunya tak ia masukkan ke dalam celana. Digendongnya tas berwarna biru tua. Dan me nginjakkan kaki di tepi teras.

“Reno berangkat dulu, Ma.” Reno mengecup punggung mamanya.

“Sarapan dulu, Ren!” kata mama Reno.

“Enggak, Ma, nanti saja di sekolah.” Jawab Reno dengan senyumannya.

“Ya sudah, hati-hati!”

“Iya, Ma..”

Langkah Reno semakin menjauh dari rumahnya. Hingga ia menemukan angkot yang terparkir di pinggir jalan raya.

“Aku udah berangkat.” Reno mengirimi Vania pesan.

Lampu kamar Vania masih menyala. Wajahnya yang semrawut bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri hingga ia telah mengenakan seragam sekolahnya. Tangannya meraih HP-nya. Dan mendapati pesan dari Reno.

“Aku juga baru mau berangkat.” Balas Vania.

“Oke.” Tak lama, balasan dari Reno terbaca.

Cakrawala menjemput pertemuan mereka. Sejak pertama, memang ini yang Vania inginkan. Senyum terlihat dari bibir Vania. Reno menunjukkan rasa bahagianya. Sela jari mereka saling menyatu. Membentuk satu genggaman. Mata mereka saling menatap. Dan senyum. Langkah keduanya saling melengkapi.

“Ciiieeee.. ada yang lagi kasmaran, nih..” sambut Lisda yang sedang berdiri di depan kelas.

Keduanya kemudian saling melepas genggaman. Tak ingin orang lain tahu tentang hubungan mereka.

“Oke, Van. Aku ke toilet dulu, ya?”

“Iya, Ren.”

Langkah Vania terlihat ragu memasuki ruang kelas. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda di sana. Suasananya lain.

Good morning, Van.” Sapa Rsya dengan senyuman paginya.

“Pagi, Ras.” Jawab Vania sambil menyimpan tas di bangkunya.

“Kamu sakit apa kemarin?” tanya Rasya sambil memutar-mutar pensl kesayangannya.

“Enggak tahu, Ras. Kemarin badan aku panas banget.” Jawab Vania sambil mengusap-usap dahinya.

“Oh. Kecapean kali, kamu kan abis pulang kumpulan PMR ya kemarin?”

“Iya, kali. Tapi enggak lama-lama amat tuh kumpulan. Enggak capek juga.”

“Hahaha... pengen kawin kali, Lu.” Sambar Riri yang baru datang dan duduk di samping Vania.

“Ya kali.” Vania memutar bola matanya.

“Gimana? Udah enakan, Van?” tanya Riri.

“Lumayan, lah.”

Di ujung kelas, Lastri terlihat murung. Ada sesuatu yang terjadi dalam hatinya. Ada kecemasan pula di wajahnya.

“Las..” Sapa Reno.

“Iya, Ren?” Lastri cukup gugup.

Reno hanya senyum dan berlalu meninggalkannya. Reno duduk di bangkunya sambil menatap mata Vania. Riri dan Rasya merasa ada sesuatu yang berbeda di antara mereka.

“Ada apa nih? Mencurigakan banget.” Riri bolak-balik menatap mata Vania dan Reno.

“Kayak enggak ngerti orang kasmaran aja.” Timpal Rasya sambil memukul jari Riri pakai pensilnya.

“Isssh.. sakit, Ras.” Riri mencubit tangan Rasya.

Sorry.. sorry..”

Jam dinding menunjukkan waktu yang dirasa semakin lambat. Vania merasa terlalu lama untuk berada dalam kelas. Ia ingin segera ke markas anak PMR (UKS).

Siang itu, pukul tiga belas, Vania bergegas menuju ruang UKS. Sebagai anak PMR, ia selalu mengecek kelengkapan ruang tersebut. Mulai dari kebersihan hingga peralatan yang memadai. Tak lupa juga ia selalu menciptakan pelayanan terbaik bagi semua pihak sekolah.

“Kotak P3K masih aman, De?” tanya Aldo, ketua PMR di sekolah itu.

“Sejak kapan Kakak di sini?” tanya Vania sambil mengecek kotak P3K.

“Kakak baru saja dari perpustakaan. Kebetulan lihat kamu kesini.”

“Ini, obat merah sudah mau habis. Pembalut luka juga tinggal sedikit.” Vania menunjukkan obat merah dan pembalut luka yang tersimpan di kotak tersebut.

“Rivanol masih ada?” Aldi mendekati Vania.

“Masih setengahnya, Kak. Apa lebih baik kita beli lagi untuk cadangan?” Vania duduk di kursi. Menyimpan kotak P3K dalam pangkuannya.

“Coba kamu minta Reno untuk belikan!”

Hati Vania merasa tersentak mendengar nama itu. Ia hanya bengong melihat Aldo yang tak berhenti menggulung kain pembalut luka.

“Iya, Kak.”

“Kamu pacaran sama Reno?” tanya Aldo.

“Nngg... Enggak. Kenapa emang?”

“Cocok sih.”

“Ah, Kakak ini..” ucap Vania sambil menyimpan kotak P3K di tempat semula.

Dari luar sana, ketuk kaki terdengar merdu. Seseorang mendekati ruang UKS, dan semakin mendekat. Pintu ruangan kini terbuka lebar. Berdiri di sana si pria bermata hijau.

“Ren?” sapa Aldo.

“Kak..” Reno menjabat tangan sang senior.

“Nanti pulang dari sekolah, kamu beli kekurangan kotak P3K, ya?” ucap Aldo sambil beranjak mengambil kotak P3K.

“Apa saja, Kak?” tanya Reno sambil melepas jaketnya.

“Rivanol dua, obat merah dua, pembalut luka, kasa pembalut, kapas juga tambahin aja.” Kata Aldo sambil mengecek satu per satu.

“Siap, Kak.” Ucap Reno sambil menatap Vania yang tak berhenti menunduk.

“Nanti kita undang teman-teman yang lainnya untuk besok apel pagi. Coba kalian berdua sebar ke semua member! Ada yang ingin saya sampaikan besok.” Ucap Aldo sambil menyimpan kembali kotak P3K.

“Siap, Pak Ketua!” ucap Reno.

“Saya pulang duluan, ya. Kalian hati-hati di sini! Takut baper.” Goda Aldo dalam pamitnya.

Vania langsung mengangkat kepalanya. Matanya terbelalak menatap Aldo dan tertawa dengan sedikit rasa malu.

“Kakak, ih.” Vania nyengir.

“Ya udah, saya pamit.” Ucap Aldo sambil menjabat tangan kedua juniornya.

Angin berhembus. Menerpa jendela yang tertutup tirai putih dan menerbangkannya. Cahaya mengintip dari luar. Menggerakkan pintu yang terbuka setengahnya. Terdengar di luar sana suara-suara orang yang sedang berkumpul di lapangan olahraga. Rupanya anak pramuka sedang mengadakan meeting terik.

Vania hanya diam menatap tandu yang tergeletak di dekat meja kesehatan. Sedang Reno hanya menyilangkan tangannya di dada dan memperhatikan Vania.

“Ke kantin, yuk?” ajak Reno.

“Beli apa?” Vania menoleh.

“Minuman?”

“Minuman apa?” Vania memicingkan matanya.

“Kamu maunya apa?”

“Cokelat dingin sepertinya enak?” Vania nyengir.

“Yakin?”

“Iya.”

“Ya sudah, yuk?” Reno berdiri mengulurkan tangannya pada Vania.

“Kamu saja, aku nunggu disini.”

“Kok?”

“Aku malu diliatin orang-orang.”

“Oh, oke!” Reno melangkahkan kakinya untuk pergi dari ruangan tersebut.

Angin masih berhembus menerpa jendela dan pintu. Suara di luar masih terdengar riuh. Vania merasa kurang baik untuk menyaksikan derita para pemburu terik mentari hari ini. ia hanya diam dalam ruang UKS sambil menunggu Reno membawakannya satu cup minuman cokelat dingin kesukaannya.

Lelaki itu kembali lagi dengan cepat. Di tangannya sudah ada minuman pesanan Vania dan memberikannya pada Vania.

“Waaah, terimakasih Kakak Ganteng.” Ucap Vania sambil tersenyum dan menyeruput cokelat dinginnya.

“Sama-sama.” Ucap Reno sambil memutar bola matanya.

“Kita nyari perlengkapan UKS, yuk?” ajak Reno.

“Kemana?” Vania menatap mata Reno.

“Ke hatimu.” Reno mulai menggoda.

“Ih, dasar.” Vania menyunggingkan bibir atasnya.

“Apa?” Reno mengangkat kedua alisnya.

“Enggak.” Vania memutar bola matanya.

“Mmmmhh..” Reno mengembangkan hidungnya.

“Kenapa?” Dahi Vania mengerut.

“Enggak apa-apa.” Reno mengangkat bahunya.

“Yakin?” Vania mendekatkan tubuhnya pada Reno.

“Ya, yakini aja.” Reno melakukan hal yang sama dengan Vania.

“Ih.” Vania menjauhkan tubuhnya.

“Takut, ya?” Reno menggoda lagi.

Tawa kecil diantara keduanya mengisi ruang UKS. Pukul 15.00 tepatnya, mereka berkelana mencari barang yang harus mereka beli. Jalanan menjadi cerita terbaik untuk dua sejoli yang sedang dirundung kasmaran. Debu tak mereka pedulikan. Waktu tak mereka perhitungkan. Rasa lelah tak mereka ributkan. Semua terkalahkan rasa bahagia yang mereka miliki. Dunia serasa menjadi milik mereka berdua. Seperti yang selalu guru mereka katakan bahwa orang lain hanya penghuni yang mengontrak di bumi ini.

Related chapters

  • Mencarimu dalam Bimbang   Sixth

    Empat hari sebelum pindah.Sepatu mengkilat rapi membalut kaki Vania. Dasi dan seragamnya menghiasi pagi itu. Parfum yang baru Reno berikan kemarin disemprotkannya. Sempurna. Cermin yang berdiri di depannya seakan mengatakan hal baik tentang tubuuh Vania yang mulai terlihat lebih baik dari sebelumnya. Saat Vania masih bersama Aldy. Ya, Aldy kembali menghantui pikirannya. Namun, dengan cepat ia menghapus bayangan kelam itu. Vania kembali tersenyum dengan memandang dirinya sendiri yang sedang bergaya dalam cermin itu.“Vania berangkat, Ma.” Teriak Vania.Tiada jawaban dari mamanya. Vania tak menghiraukannya. Vania berlalu dengan hati yang penuh bunga. Jalanan menjadi lebih menarik perhatiannya daripada rumah. Vania semakin berseri.“Udah berangkat belum?” Vania mengirimi Reno pesan.“Aku sudah di UKS. Kamu dimana?”“Aku masih di jalan. Jemput dong, pinjam

    Last Updated : 2021-08-03
  • Mencarimu dalam Bimbang   Seventh

    Tiga hari sebelum pindahLangit semakin terik. Tertatap dari surga, sepasang mata cokelat yang meratapi kehidupannya. Baju-baju telah dirapikannya. Rumah telah selesai ditatanya. Beberapa hari lagi, ia harus meninggalkan tempat yang sedang dalam kenyamanannya. Sabtu itu Vania isi dengan ratapan hatinya. Entah pada siapa ia harus mengungkapkan perasaannya.Hujan jatuh dalam bayangan. Rahasia teduhnya hanya Vania yang merasakan. Aldy menjadi bagian dari rintiknya. Vania mulai merindu. Reno tertepis bayangan itu. Bayangan yang mungkin menyakiti hatinya.“Al.. semoga suatu hari nanti kita dipertemukan kembali dengan rasa yang sama, seperti rasa yang dulu kita satukan.” Ucap Vania sambil menatap tas yang berisi pakaian miliknya.Air mata tertetes. Tak banyak. Hanya beberapa tetes saja. Namun gemuruh dalam dada seakan menjelaskan tentang kehancurannya. Aldy mungkin tak peduli lagi dengan Vania. A

    Last Updated : 2021-08-03
  • Mencarimu dalam Bimbang   Eighth

    Dua hari sebelum pindahAir mata jatuh membasahi pelipis Vania. Badannya sedikit menggigil. Ia mengingat kejadian kemarin, saat ia mendapati tubuhnya sendiri tersungkur ke lantai. Hatinya mengkaji dunia yang dirasa semakin kejam padanya. Ponselnya tergeletak di bawah ranjang, Vania segera meraihnya. Ada pesan yang belum terbaca. Reno atau Aldy. Pikirnya berlari pada kedua lelaki yang terhubung pada kehidupan yang sedang ia jalani.Mata Vania berantusia membaca huruf demi huruf yang ia lihat di kolom pesan dalam ponselnya.“Hari ini sesuai dengan jadwal, kalian harus sudah ada di sekolah pukul 08.00 WIB, tanpa terkecuali!” Ketua PMR mengirimi Vania pesan.“Hmm.. kukira Reno atau Aldy..” gumamnya dengan pelan. Vania menyimpan kembali ponselnya.Gema adzan berkumandang. Pertanda fajar telah melengkung di angkasa. Keheningan dalam gubahan paling syahdu. Vania sedikit merasa tenang dengan suasana di shubuh

    Last Updated : 2021-08-04
  • Mencarimu dalam Bimbang   Nineth

    Masih di hari yang sama. Vania menunaikan maghrib yang mencerminkan gubahan ketenangan. Langit yang menyala sempurna kembali menggelap. Menjadikan rindu tak terkurung ego mentari. Rembulan perlahan menyala dengan tenang. Hari yang telah terlewati terhapus air wudhu yang membersihkan wajah gadis itu. Dering ponsel menghiasi malam itu. Menganugerahkan rindu pada kesyahduan kelam. Vania tak menghiaraukannya. Ia bersikeras mencintai do’a-do’a yang dipanjatkannya. Ia tahu cara mengeluh pada Tuhan, ia pun paham bahwa cara mewujudkan keinginannya adalah bergantung pada Tuhan. Bukan pada manusia.“Ya Allah, hamba tahu. Dosa hamba kebih tinggi dari gunung yang paling menjulang di bumi ini. namun, hamba percaya pada-Mu, penguasa semesta tak kan pernah membiarkan hamba-Nya bersedih. Kuatkanlah hamba, Ya Allah..” ungkap Vania pada Sang Khaliq. menenggadahkan kepalanya dengan mata yang sendu. Menari dalam tangisan

    Last Updated : 2021-08-05
  • Mencarimu dalam Bimbang   Tenth

    Satu hari sebelum pindah.Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan

    Last Updated : 2021-08-06
  • Mencarimu dalam Bimbang   Eleventh

    Masih satu hari lagi untuk pindah.Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani

    Last Updated : 2021-08-07
  • Mencarimu dalam Bimbang   Twelveth

    Senja Di Ujung Kerinduan.Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya

    Last Updated : 2021-08-08
  • Mencarimu dalam Bimbang   Thirteenth

    Senja menemani hati yang tak dapat dipahami. Vania tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Handuk masih terkalung di lehernya. Air masih menetes dari rambutnya. Tubuhnya masih segar. Wangi sabun mandi masih menempel di tubuhnya. Membuat dirinya sendiri merasa tenang saat mencium aromanya.“Apa saja yang perlu dibawa?” tanya ayah Vania.Vania menoleh. Menatap wajah ayahnya dan nafasnya sedikit tersengal. Vania menarik nafas dalam-dalam.“Ada apa?” sang ayah kembali bertanya.“Gak apa-apa, Pa.” Jawab Vania.“Yang mana?” tanya ayahnya lagi.“Yang itu, sama yang warna cokelat, dan tas yang sedang.” Tunjuk Vania sambil menunjuk tas yang menumpuk di depannya.“Ih, banyak bener.” Kata ayahnya.“Emang kenapa?” Vania mengernyitkan dahi.“Emang itu apa saja isinya?” tanya sang ayah.“Itu isinya buku, baju, dan berkas.” J

    Last Updated : 2021-08-09

Latest chapter

  • Mencarimu dalam Bimbang   Entah

    Tanganku menyentuh punggung besi pembatas jalan. Tatapanku berpaling pada bukit yang terlihat asri yang terhias sungai cantik yang mengalir di sana. Ku rasakan gemuruh itu lebih menusuk jantung yang dibuat berdegup sakit oleh seseorang yang kini mengikutiku dengan tangan menyentuh besi pembatas jalan. Tubuhnya yang bersandar, memandang tubuhku yang sedang menikmati sore bersama seseorang yang akan membuat hatiku lebih sakit lagi suatu saat nanti.“Kamu tidak cantik, tapi aku mencintaimu dengan hati yang tak dapat kau lihat. Aku tidak kaya, semua yang ku miliki adalah milik orang tuaku dan itu semua hanya titipan Tuhan.”Kemeja abu tua dengan kancing yang terbuka, menunjukkan kaos abu muda yang dikenakannya. Tangannya terlihat kedinginan, warna ungu yang terhias pada kulit merahnya terlihat mengganggunya. Dan dengan cepat ia memasukkan tangan ke saku celananya.Tampan sekali, tapi kamu bukan untukku.Hatiku berucap kata dengan rasa sa

  • Mencarimu dalam Bimbang   Ke kampus

    “Aku pulang, ya?”Ia hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas dari tubuhku yang beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Ketika kaki melangkah lebih jauh dari mobil yang terparkir dan masih menyala itu, ku lihat mobil itu masih terdiam dengan sendirinya. Tak ada tanda-tanda segera pergi meninggalkanku yang kan berlalu meninggalkannya terlebih dahulu.Sore kan segera hilang, mobil yang ku harap segera pergi itu tak jua meninggalkanku. Aku mencoba kembali melangkahkan kaki untuk segera menghampirinya. Senyum yang terhias di bibirnya, menatapku yang kembali mendekat padanya. Kaca mobil yang terketuk membuat jari telinjuknya segera memencet tombol untuk membukakan kaca untukku.“Ada apa? Masih kangen sama aku?” Godanya dengan mata nakal yang berkedip bersama senyumannya.“Aku hanya penasaran. Kenapa kamu masih di sini?”Tanganku mencoba untuk menelusuri tombol hitam untuk ku buka kunci pintu mobil yang masih terdiam bersama pe

  • Mencarimu dalam Bimbang   Jembatan

    “HATI INITELAH IA BAWA PERGIBERSAMAKESEMUASenyum cemara dalam rumpun cerita yang melihatku begitu sendu. Ku lihat bibirnya begitu manis. Bagai perasan anggur yang tertuang dalam cawan emas.Aku terduduk di sebuah mobil yang baru saja membawaku bersuka ria melewati bukit-bukit senyuman. Membawa mata untuk menyaksikan keindahan yang Tuhan anugerahkan, hamparan awan yang menutupi kepingan kota. Lambai daun yang masih tersisa di pinggir jalan menemaniku yang semakin menyerah untuk bertahan. Rasa lelah yang tiba-tiba memeluk tak menghancurkan jalan yang tak jua membiarkan roda yang membawaku menyentuh punggungnya.“Aku ingin menikah. Tidak pacaran terus seperti ini.”Adrian tersentak mendengar apa yang aku katakan dengan raut yang dilihatnya begitu datar.“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?”“Aku ingin kamu lamar aku. Jangan banyak alasan untuk hal ini!”

  • Mencarimu dalam Bimbang   Salam

    Langkah kakiku ku lihat begitu bergetar ketika kesulitan datang menyelubunginya. Penantian yang sungguh membelenggu kakak perempuanku benar-benar tak dapat ia pupus dengan air mata yang dibiarkannya terjatuh begitu saja. Tanganku pun menikmati getar, bagai kekokohan sebuah tiang yang berdiri di atas tanah yang segera ambruk, menjatuhkan segala sesuatu yang ditopangnya.Menghela nafas sedalam samudera hindia untuk sekejap menghirup debu yang penuh dengan alunan kematian dan rasa sakit yang kan meresap pada tubuh yang kian menikmatinya. Di antara langit yang terjunjung senyum yang selalu terenyuh bersama kebahagiaan, dan di antara bumi yang terpijaki kedamaian ketika tertunduk, merasa tersakiti dengan kehancuran semesta. Terlihat celah membelah batuan kebahagiaan. Seperti sebuah jurang yang menyimpan berjuta kesengsaraan. Ada cinta yang terhirup, menghitamkan dada yang dibuat pulas ketika mimpi memeluk mata yang tertidur. Surya meng

  • Mencarimu dalam Bimbang   Puisi

    Irama keyword terus berkerlik, mengetuk pintu tombol huruf demi huruf, hingga tersurat gagasan cantik penuh rima.Seketika tongkat penopang amarah runtuh. Purnama itu terluka. Diam-diam geram merenggut keteguhan jiwa yang siap merana. Angin sejuk terhirup sesaat, ketika sesuatu tengah memberatkan beban yang ku pikul dengan benak yang lemah, purnama yang selalu ku puisikan.Hati ini tak pernah tegar, seringkali sedih berpangku pada nyanyian sukma yang terus mengganggu akal, nalar, dan pikiran yang penuh dengan rimbunan daun-daun kebutaan.Terlarut dalam kerasnya tantangan hukum dunia yang penuh dengan kebiadaban, aku terkalahkan. Aku tak mengerti dengan semua tuntutan kehidupan yang sungguh membebani.Daun-daun bertanya pada tumpukan kerinduan yang terdengar hampa.Aku milik siapa?Ombak yang membuat semua kegaduhan di hamparan samudera, tak menjawab apapun untuk lambaian nyiur yang tak bersuara.Aku butuh seseorang yan

  • Mencarimu dalam Bimbang   Kakak

    Ku saksikan senja di tengah kota. Terduduk lesu dalam kelajuan roda di sore yang buta. Suara kendaraan tak lagi ku perhatikan, hanya rambu-rambu jalan yang ku jadikan sebagai tempat ku bertukar cerita, cerita yang begitu menyakitkan.Masih dalam detik kehilangan senja yang sungguh melelahkan. Menyambut kesedihan yang mengundang. Jingga menyalami langit yang menceritakan masalah tentang lepasnya penantian. Kecemasan tenggelam dalam kelam, hingga tiada rasa percaya, bahwa roda akan berputar, dan cahaya terang akan dating bersama rembulan yang menemani malam di tengah rumpun keramaian.Gerutu yang berkecamuk membakar suara kota. Gemuruhnya lenyap ditelan kepedihan. Lelahku siap menjemput malam. Hanya Jangkrik yang berderik di atas pohon yang berdiri di atas kekokohan trotoar. Tiang-tiang tak menghentikan kekacauan. Kehancuran seolah membunuh dan hatiku tiada hentinya mengeluh.Dalam kegelisahan yang mengutuk. Aku hanya diam, menyesali apa yang sudah terjadi.

  • Mencarimu dalam Bimbang   Dalam rindu

    Ku ceritakan kisahku dalam sebuah buku harian.Bagaimana rasanya memiliki seorang kakak perempuan?Hatiku bertanya pada suara yang kerap tak terdengar. Sukma. Teriakanku mulai meninggi, menaiki rimbun pepohonan yang hijau. Daun-daun merunduk, membungkuk sampai tertimbun tanah.Tersurat dalam buku harian.Purnama yang sedang dalam tulisan.Terdengar membosankan, kidung sederhana selalu diperuntukkan pada sosok kakak perempuan. Padahal jalinan kami hanya sebatas sepupu.Sepupu.Tertunduk lesu saat menyadari hubunganku hanya sebatas sepupu. Rasa sayang ini terbilang normal, namun lebih dari sekedar sepupu. Lebih tinggi dari itu. Kakak kandung. Yaa, kakak perempuan. Aku ingin rembulan yang ku maksud bisa ku miliki dengan rasa bahagia yang kan ku beri untuknya dan rasa bahagia yang ingin ku dapat darinya.Amora.Gadis cantik bermata tiongkok itu terlahir dari rahim seorang wanita mulia dengan perawakan gemuk, berkulit putih,

  • Mencarimu dalam Bimbang   Kosan

    Terlihat di atas sana, dalam jendela kamar kos, sebuah wajah cantik seorang perempuan cantik yang mengenakan kemeja pink penuh dengan bunga. Senyumnya meyambut kedatangan kami. Tangan kiri yang memegang daun jendela, dengan kepala terselubungi sejadah yang hanya dipegang dengan tangan kanan untuk menutupi mahkotanya.“Hai, tunggu!!”Sapanya dengan senyum yang ramah dan segera berlalu meninggalkan jendela yang ia genggam.Ketukan kaki yang memijaki satu persatu anak tangga yang terbuat dari sebuah kayu terdengar begitu terburu-buru. Pintu hitam yang ku nantikan terbukanya, dengan segera Linda membukakannya untuk kami. Aku segera berlalu, meraih anak tangga yang akan mengantarku menuju kamar kos Linda di atas. Sebab tempat yang kami masuki merupakan tempat menyimpan kendraan roda dua bagi penghuni kos.Kakak perempuanku terdengar menyapa Linda dengan senyuman manis. Begitupun Linda, terlihat menyapa dan mencium punggung tangan Kakak pe

  • Mencarimu dalam Bimbang   Kau dalam puisi

    Seseorang telah membuat hatiku bahagia, merasakan kasih sayang seorang biadadari yang ku jadikan sebagai kakak perempuan dan aku menemukannya dalam rimbun daun dan nyanyian-nyanyian yang menghanyutkan.Amora (Cucu Susilawati).Hatiku terampas dari sepi yang benar-benar sukar untuk ku jelasakan, tanpa jelmaan malaikat yang ingin ku sebut sebagai kakak perempuan. Memang, itu bukan kerinduan. Harapan adalah nama yang lebih pantas untuk menyebut sebuah keinginan. Garis yang tergambar sebagai batas lintas pergaulan membuatku terpaku dalam permainan sebuah renungan.Memperhatikan mulut insan bicara di depanku lebih ku nikmati daripada harus ku getarkan tenggorokan kering untuk mengeluarkan suara di depan manusia yang belum ku tahu siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya. Mendengar langkah orang-orang yang datang ke rumah ku rasa lebih sempurna dibanding harus menyapa dan senyum ramah di depan pemilik suara kaki itu. Menguping pembicaraan adalah kecukupan yang

DMCA.com Protection Status