Tiga hari sebelum pindah
Langit semakin terik. Tertatap dari surga, sepasang mata cokelat yang meratapi kehidupannya. Baju-baju telah dirapikannya. Rumah telah selesai ditatanya. Beberapa hari lagi, ia harus meninggalkan tempat yang sedang dalam kenyamanannya. Sabtu itu Vania isi dengan ratapan hatinya. Entah pada siapa ia harus mengungkapkan perasaannya.
Hujan jatuh dalam bayangan. Rahasia teduhnya hanya Vania yang merasakan. Aldy menjadi bagian dari rintiknya. Vania mulai merindu. Reno tertepis bayangan itu. Bayangan yang mungkin menyakiti hatinya.
“Al.. semoga suatu hari nanti kita dipertemukan kembali dengan rasa yang sama, seperti rasa yang dulu kita satukan.” Ucap Vania sambil menatap tas yang berisi pakaian miliknya.
Air mata tertetes. Tak banyak. Hanya beberapa tetes saja. Namun gemuruh dalam dada seakan menjelaskan tentang kehancurannya. Aldy mungkin tak peduli lagi dengan Vania. Aldy mungkin pergi tanpa rasa ingin kembali lagi padanya. Hari ini Vania hampa. Benar-benar hampa.
“Kamu lagi apa?” pesan terbaca saat Vania membuka HP-nya.
“Aku lagi duduk.” Balas Vania.
“Duduk terus?” Reno membalas lagi.
“Harus berdiri, ya?” Vania menghela nafas dengan berat.
“Aku lagi kangen.”
“Sungguh?” Vania sedikit tersenyum.
Seperti biasa, jarak dan waktu selalu memisahkan Vania dengan orang terkasihnya. Percakapan antara ia dengan Reno terjeda dengan sendirinya. Reno tak membalas lagi pesan yang Vania kirim. Vania menyimpan kembali HP-nya di atas lemari.
Hujan tiba-tiba hilang dalam bayangannya. Rintiknya pun tak lagi ia rindukan. Seakan Reno telah menjadi penenag dalam hidupnya. Seakan Reno telah mengobati kehampaannya.
Daun melambai tenang. Pohon-pohon mengucapkan selamat datang pada gadis yang tengah membukakan jendela kamarnya. Angin berhembus menerbangkan rambut merahnya. Juga menembus keteduhan mata cokelatnya. Ada rasa lain saat ia mematung di jendela kamarnya. Namun entah, ia sendiri tak mengerti dengan perasaannya.
Getar HP terdengar lagi. Vania segera membuka pesan yang pasti dari Reno.
“Sungguh. Besok kamu ikut pelantikan PMR-kan?” Vania berdiri di sisi lemari saat membacanya.
“Yes, I am.” Balasnya.
“Kamu kenapa lagi?” Vania duduk setelah membuka pesan lagi.
“Enggak apa-apa.” Balas Vania.
“Jangan sedih terus, ya.” Pesan Reno pada Vania.
“Iya, enggak.” Vania mengiyakan.
“Kalau kamu sedih, berarti kamu enggak bahagia sama aku.” Vania memutar bola matanya dan menyunggingkan bibir.
“Bukan karena kamu, kok.” Balas Vania sambil menggerutu dalam hati bahwa Reno menyebalkan.
“Terus karena apa?” Balas Reno.
“Aku ingin tetap disini. Sama kamu.” Vania mencoba untuk gombal.
“Aku pasti menemuimu nanti setelah kamu pindah. Mungkin seminggu sekali.” Reno semamkin serius.
“Aku tidak yakin dengan itu.”
Vania menyimpan kembali HP-nya. Ia kembali menata tetntengan tas yang akan dibawanya beberapa hari lagi. Mengecek kembali barang bawaannya. Satu per satu tasnya ia buka kembali. Berharap tiada yang tertinggal. Pakaian, buku, berkas, dan peralatan yang mungkin ia butuhkan di tempat baru.
Tempat baru yang akan ia singgahi berupa kota kecil yang dikenal dengan kota santri. Vania akan tinggal di pesantren pamannya, adik dari ibunya. Disana Vania akan menimba ilmu sesuai dengan harapan kedua orang tuanya.
Enam bulan yang lalu, sebelum Vania masuk SMA. Hidupnya lebih rumit. Kedua orang tuanya tak menerima pilihan Vania untuk bersekolah di sekolah favorit. Kendalanya, biaya. Ya, dari dulu, Vania selalu disengketakan dengan biaya, biaya, dan biaya.
Kini, Vania membiarkan hal itu terjadi. Ia merasa Tuhan tak kan membiarkan dirinya jauh dari pendidikan. Apapun caranya, Vania harus berdo’a sesering mungkin untuk kehidupannya dan kekluarganya. Sebagai anak pertama, pikirnya, tegar adalah baggian dari kewajibannya. Vania mulai memahami keadaan keluarganya sendiri.
Di sisi lain, tiada yang mengerti dengan keadaan Vania. Semua serba salah dengan Vania. Banyak yang tidak menyukai Vania. Jelas. Vania buruk rupa, hitam, kucel, bau, dan sombong.
Matanya kembali melirik HP-nya. Dilihatnya pesan datang lagi dari Reno.
“Percayalah.” Reno mengiriminya pesan lagi, menyambung percakapan sebelumnya.
“Akan kucoba.” Balas Vania.
“Harus.” Tegas Reno dalam pesannya.
“Hmm..”
“Aku mencintaimu.” Reno mulai menggoda.
“Pret!” bantah Vania.
“Hahahaha.. iya becanda.”
“Hmmm..”
“Apa ah?”
“Enggak.”
“Yakin enggak?”
“Yakin.”
“Nanti nyesel, loh.”
“Enggak mungkin, ah.”
“Mungkin, ah.”
“Sok tahu, deh.”
“Daripada sok tempe.”
“Mending sok buah.”
“Apaan tuh?”
“Sop buah.”
“Ah kurang nyambung.”
“Nyambung ah, dikit.”
“Enggak, ah.”
“Ih, ngeyel, deh.”
“Suka-suka Abang.”
“Abang apa? Abang Ojek?”
“Abang Reno.”
“Abang Reyot.”
“Kakek-kakek, dong?”
“Bukan.”
“Apa lagi tuh?”
“Nenek-nenek.”
“Issh sembarangan.”
Pesan mereka tiada jeda lagi. Vania mulai merasa bosan dengan teman terbaiknya itu. Ia menyimpan kembali HP-nya. Duduk. Dan membaca buku pelajaran untuk ulangan umum di minggu depan.
Ada dilema dalam dirinya. Apakah Vania akan mengikuti ulangan umum? Atau tidak mengikutinya dengan pindah. Ah, harapannya menggantung dalam kelabu yang mengkabut di sana. Di angkasa.
“Sudah lengkap semuanya? Jangan banyak barang yang dibawa! Nanti repot di jalan.” Ucap ibunya dan duduk di ranjang.
Jendela menyambut angin yang berhembus ke arahnya. Teduh menembus punggung ibunya. Nyaman. Ibunya sungguh nyaman.
“Sudah.” Jawab Vania tanpa menoleh ke arah ibunya.
“Sana bereskan yang lain! Mama capek!” Vania hanya menoleh dan mengerutkan dahi saat mendengar apa yang ibunya ucapkan.
“Ma, Vania juga capek! Mama saja!” Vania menaikkan volume bicaranya.
“Astaghfirullah, sama orang tua kasar banget! Durhaka kamu!” bentak sang ibu membuat Vania terdiam bersama bukunya.
Ada sesal sekaligus sedih dalam dada Vania. Namun, apa lagi yang harus ia lakukan? Ini sudah terjadi padanya. Ia telah salah berucap pada ibunya sendiri. Seringkali, masalah kecil itu tumbuh diantara Vania dan kedua orang tuanya. Salah ucap selalu menjadi acuan permasalahan yang cukup sulit terselesaikan oleh mereka.
Kaki Vania mulai merebah ke permukaan meja. Membiarkan bukunya teraniaya kedua kakinya. Tangannya merentang. Ia mulai merasakan pusing yang luar biasa. Dari dulu masalahnya darah rendah, hipotensi.
Dunia terlihat pergi dari pandangannya. Kepalanya terasa sangat sakit. Pendengarannya tak lagi berfungsi. Semuanya gelap. Tangannya gemetar. Detak jantungnya berdegup tak karuan. Dirinya tak tahu sedang dimana dan dengan siapa. Iangatannyapun kabur.
Dunia tak peduli lagi padanya. Semuanya seakan membenci tubuh yang terkulai lemas di kursi belajarnya. Reno tak datang menolongnya, Aldy tak hadir menemani rasa sakitnya. Orang tuanya tak tahu apa yang terjadi padannya. Ia hanya berdua dengan Tuhan. Tuhan yang senantiasa menjaganya.
Hitam menjadi sosok teman baiknya saat menghadap Tuhan. Tiada amal baik yang ia rasa telah dilakukan semasa hidupnya. Dirinya terkurung dalam gulita yang penuh dengan nista. Dirinya sedang dikhianati semesta. Air mata mengalir perlahan, tapi bukan karena sedih yang ia rasakan. Melainkan karena tubuhnya tak mampu berdiri kembali. Hidupnya seakan lumpuh begitu saja.
“Bangun!” sosok lelaki membangunkan Vania.
Perlahan lelaki itu nampak di depan matanya. Tetapi pandangannya kabur lagi. Pelupuk kerinduannya mengatup kembali. Semua kembali gelap.
“Vania?” lelaki itu kembali memanggil namanya.
Vania mulai merasakan sentuhan tangan lembuut di pipinya. Tangan yang sungguh dingin. Vania kembali membuka mata perlahan. Menahan gejolak lain yang tumbuh dalam dadanya.
“Van..?” lelaki itu memanggil kembali.
“Aldy...” Vania memanggil nama Aldy dengan senyuman dan tubuh terkulainya.
Perlahan Aldy nampak di depan kedua mata Vania. Membuat Vania benar-benar yakin bahwa yang sedang ada di hadapannya adalah Aldy, kekasih hatinya. Aldy tersenyum saat mellihat kedua mata Vania terbuka sempurna. mereka saling bersitatap. Tanpa mereka sadari tangan Vania merangkul pinggang Aldy yang sedang membungkuk kemudian menegakkan kembali tubuhnya. Aldy megelus rambut Vania. Ada rasa haru diantara keduanya.
Tangan Vania terkulai kembali. Tubuhnya tersungkur bersujud di hadapan Aldy. Mencium lantai yang tak jauh dari kaki Aldy. Bibir dan hidung Vania mulai mengucurkan darah segar. Wajahnya terbentur lantai. Ia kembali sadar saat Aldy tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Dan gelap itu datang lagi.
Vania terlelap dalam ketidaksadarannya. Tiada satupun orang memasuki kamarnya. Ia tersungkur di lantai kamarnya.
Selama dua jam ia seperti itu. Tiada angin yang membangunkannya. Kesadaran terbangun dengan sendirinya. Ia membuka matanya perlahan dan mendapati wajahnya penuh dengan darah kering.
Dua hari sebelum pindahAir mata jatuh membasahi pelipis Vania. Badannya sedikit menggigil. Ia mengingat kejadian kemarin, saat ia mendapati tubuhnya sendiri tersungkur ke lantai. Hatinya mengkaji dunia yang dirasa semakin kejam padanya. Ponselnya tergeletak di bawah ranjang, Vania segera meraihnya. Ada pesan yang belum terbaca. Reno atau Aldy. Pikirnya berlari pada kedua lelaki yang terhubung pada kehidupan yang sedang ia jalani.Mata Vania berantusia membaca huruf demi huruf yang ia lihat di kolom pesan dalam ponselnya.“Hari ini sesuai dengan jadwal, kalian harus sudah ada di sekolah pukul 08.00 WIB, tanpa terkecuali!” Ketua PMR mengirimi Vania pesan.“Hmm.. kukira Reno atau Aldy..” gumamnya dengan pelan. Vania menyimpan kembali ponselnya.Gema adzan berkumandang. Pertanda fajar telah melengkung di angkasa. Keheningan dalam gubahan paling syahdu. Vania sedikit merasa tenang dengan suasana di shubuh
Masih di hari yang sama. Vania menunaikan maghrib yang mencerminkan gubahan ketenangan. Langit yang menyala sempurna kembali menggelap. Menjadikan rindu tak terkurung ego mentari. Rembulan perlahan menyala dengan tenang. Hari yang telah terlewati terhapus air wudhu yang membersihkan wajah gadis itu. Dering ponsel menghiasi malam itu. Menganugerahkan rindu pada kesyahduan kelam. Vania tak menghiaraukannya. Ia bersikeras mencintai do’a-do’a yang dipanjatkannya. Ia tahu cara mengeluh pada Tuhan, ia pun paham bahwa cara mewujudkan keinginannya adalah bergantung pada Tuhan. Bukan pada manusia.“Ya Allah, hamba tahu. Dosa hamba kebih tinggi dari gunung yang paling menjulang di bumi ini. namun, hamba percaya pada-Mu, penguasa semesta tak kan pernah membiarkan hamba-Nya bersedih. Kuatkanlah hamba, Ya Allah..” ungkap Vania pada Sang Khaliq. menenggadahkan kepalanya dengan mata yang sendu. Menari dalam tangisan
Satu hari sebelum pindah.Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan
Masih satu hari lagi untuk pindah.Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani
Senja Di Ujung Kerinduan.Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya
Senja menemani hati yang tak dapat dipahami. Vania tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Handuk masih terkalung di lehernya. Air masih menetes dari rambutnya. Tubuhnya masih segar. Wangi sabun mandi masih menempel di tubuhnya. Membuat dirinya sendiri merasa tenang saat mencium aromanya.“Apa saja yang perlu dibawa?” tanya ayah Vania.Vania menoleh. Menatap wajah ayahnya dan nafasnya sedikit tersengal. Vania menarik nafas dalam-dalam.“Ada apa?” sang ayah kembali bertanya.“Gak apa-apa, Pa.” Jawab Vania.“Yang mana?” tanya ayahnya lagi.“Yang itu, sama yang warna cokelat, dan tas yang sedang.” Tunjuk Vania sambil menunjuk tas yang menumpuk di depannya.“Ih, banyak bener.” Kata ayahnya.“Emang kenapa?” Vania mengernyitkan dahi.“Emang itu apa saja isinya?” tanya sang ayah.“Itu isinya buku, baju, dan berkas.” J
Vania menatap lagit dengan tenang. Di sana, wajah tampan itu tersenyum. Menyerupai sabit rembulan. Membiarkan bintang berkerlip seperti mata hijau sang kekasih. Bebatuan menjadi tempat yang tak ia takuti saat ia duduk di bawah angkasa yang gelap. Ia terdiam dalam keheningan itu.“Bulan.. andai kau ini bibirnya. Aku sulit menyentuhmu.” Ucap Vania sambil memeluk kedua lututnya.“Vania...” seseorang memanggilnya dari belakang.Vania menoleh ke arah tersebut. Benar saja. Aldy. Lelaki itu menghampiri Vania dan ikut duduk di sampingnya. Vania terpana melihat kekasihnya berbaju putih, celana putih, dan sepatu putih. Semua serba putih. Seperti malaikat yang nampak di hadapannya.“Al..” ucap Vania.“Mmmh..” Aldy hanya menoleh ke arahnya dan kembali menatap langit.“Kenapa kamu di sini?” tanya Vania.“Enggak boleh?” Aldy bertanya balik.“Enggak, lah..&rdq
Vania mengetuk jalan gang kecil menuju rumah David. Ia menyusuri jalan setapak sepanjang 20 meter dari tempat motor Fadil terparkir. Hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. “Yakinkah aku akan tinggal di sini?” gumamnya dalam hati. Vania tak berhenti melihat-lihat bangunan pondok itu. Dilihatnya ada panggung pentas santri dan santriah. Ada kobong yang megah. Ada pula masjid yang indah. Di tengah-tengahnya terdapat beberapa kolam ikan. Beberapa santri sedang memancing di sana. Beberapa santriah sedang membersihkan piring di pinggirannnya. “Hei..” sapa istri David. “Tante..” Vania mencium punggung tangannya. “Sini.. sini..” ajak istri David. “Terimakasih tante..” Vania menudukkan kepalanya seraya tersenyum. “Jam berapa dari sana?” tanya istri David. “Jam 7-an lebih kalau gak salah, tante. Aku lupa. Hehehe.” Vania nyengir. “Ya sudah, sini makan dulu..” ajak istri David. Suara ponsel Istri David berbunyi. Dering
Tanganku menyentuh punggung besi pembatas jalan. Tatapanku berpaling pada bukit yang terlihat asri yang terhias sungai cantik yang mengalir di sana. Ku rasakan gemuruh itu lebih menusuk jantung yang dibuat berdegup sakit oleh seseorang yang kini mengikutiku dengan tangan menyentuh besi pembatas jalan. Tubuhnya yang bersandar, memandang tubuhku yang sedang menikmati sore bersama seseorang yang akan membuat hatiku lebih sakit lagi suatu saat nanti.“Kamu tidak cantik, tapi aku mencintaimu dengan hati yang tak dapat kau lihat. Aku tidak kaya, semua yang ku miliki adalah milik orang tuaku dan itu semua hanya titipan Tuhan.”Kemeja abu tua dengan kancing yang terbuka, menunjukkan kaos abu muda yang dikenakannya. Tangannya terlihat kedinginan, warna ungu yang terhias pada kulit merahnya terlihat mengganggunya. Dan dengan cepat ia memasukkan tangan ke saku celananya.Tampan sekali, tapi kamu bukan untukku.Hatiku berucap kata dengan rasa sa
“Aku pulang, ya?”Ia hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas dari tubuhku yang beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Ketika kaki melangkah lebih jauh dari mobil yang terparkir dan masih menyala itu, ku lihat mobil itu masih terdiam dengan sendirinya. Tak ada tanda-tanda segera pergi meninggalkanku yang kan berlalu meninggalkannya terlebih dahulu.Sore kan segera hilang, mobil yang ku harap segera pergi itu tak jua meninggalkanku. Aku mencoba kembali melangkahkan kaki untuk segera menghampirinya. Senyum yang terhias di bibirnya, menatapku yang kembali mendekat padanya. Kaca mobil yang terketuk membuat jari telinjuknya segera memencet tombol untuk membukakan kaca untukku.“Ada apa? Masih kangen sama aku?” Godanya dengan mata nakal yang berkedip bersama senyumannya.“Aku hanya penasaran. Kenapa kamu masih di sini?”Tanganku mencoba untuk menelusuri tombol hitam untuk ku buka kunci pintu mobil yang masih terdiam bersama pe
“HATI INITELAH IA BAWA PERGIBERSAMAKESEMUASenyum cemara dalam rumpun cerita yang melihatku begitu sendu. Ku lihat bibirnya begitu manis. Bagai perasan anggur yang tertuang dalam cawan emas.Aku terduduk di sebuah mobil yang baru saja membawaku bersuka ria melewati bukit-bukit senyuman. Membawa mata untuk menyaksikan keindahan yang Tuhan anugerahkan, hamparan awan yang menutupi kepingan kota. Lambai daun yang masih tersisa di pinggir jalan menemaniku yang semakin menyerah untuk bertahan. Rasa lelah yang tiba-tiba memeluk tak menghancurkan jalan yang tak jua membiarkan roda yang membawaku menyentuh punggungnya.“Aku ingin menikah. Tidak pacaran terus seperti ini.”Adrian tersentak mendengar apa yang aku katakan dengan raut yang dilihatnya begitu datar.“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?”“Aku ingin kamu lamar aku. Jangan banyak alasan untuk hal ini!”
Langkah kakiku ku lihat begitu bergetar ketika kesulitan datang menyelubunginya. Penantian yang sungguh membelenggu kakak perempuanku benar-benar tak dapat ia pupus dengan air mata yang dibiarkannya terjatuh begitu saja. Tanganku pun menikmati getar, bagai kekokohan sebuah tiang yang berdiri di atas tanah yang segera ambruk, menjatuhkan segala sesuatu yang ditopangnya.Menghela nafas sedalam samudera hindia untuk sekejap menghirup debu yang penuh dengan alunan kematian dan rasa sakit yang kan meresap pada tubuh yang kian menikmatinya. Di antara langit yang terjunjung senyum yang selalu terenyuh bersama kebahagiaan, dan di antara bumi yang terpijaki kedamaian ketika tertunduk, merasa tersakiti dengan kehancuran semesta. Terlihat celah membelah batuan kebahagiaan. Seperti sebuah jurang yang menyimpan berjuta kesengsaraan. Ada cinta yang terhirup, menghitamkan dada yang dibuat pulas ketika mimpi memeluk mata yang tertidur. Surya meng
Irama keyword terus berkerlik, mengetuk pintu tombol huruf demi huruf, hingga tersurat gagasan cantik penuh rima.Seketika tongkat penopang amarah runtuh. Purnama itu terluka. Diam-diam geram merenggut keteguhan jiwa yang siap merana. Angin sejuk terhirup sesaat, ketika sesuatu tengah memberatkan beban yang ku pikul dengan benak yang lemah, purnama yang selalu ku puisikan.Hati ini tak pernah tegar, seringkali sedih berpangku pada nyanyian sukma yang terus mengganggu akal, nalar, dan pikiran yang penuh dengan rimbunan daun-daun kebutaan.Terlarut dalam kerasnya tantangan hukum dunia yang penuh dengan kebiadaban, aku terkalahkan. Aku tak mengerti dengan semua tuntutan kehidupan yang sungguh membebani.Daun-daun bertanya pada tumpukan kerinduan yang terdengar hampa.Aku milik siapa?Ombak yang membuat semua kegaduhan di hamparan samudera, tak menjawab apapun untuk lambaian nyiur yang tak bersuara.Aku butuh seseorang yan
Ku saksikan senja di tengah kota. Terduduk lesu dalam kelajuan roda di sore yang buta. Suara kendaraan tak lagi ku perhatikan, hanya rambu-rambu jalan yang ku jadikan sebagai tempat ku bertukar cerita, cerita yang begitu menyakitkan.Masih dalam detik kehilangan senja yang sungguh melelahkan. Menyambut kesedihan yang mengundang. Jingga menyalami langit yang menceritakan masalah tentang lepasnya penantian. Kecemasan tenggelam dalam kelam, hingga tiada rasa percaya, bahwa roda akan berputar, dan cahaya terang akan dating bersama rembulan yang menemani malam di tengah rumpun keramaian.Gerutu yang berkecamuk membakar suara kota. Gemuruhnya lenyap ditelan kepedihan. Lelahku siap menjemput malam. Hanya Jangkrik yang berderik di atas pohon yang berdiri di atas kekokohan trotoar. Tiang-tiang tak menghentikan kekacauan. Kehancuran seolah membunuh dan hatiku tiada hentinya mengeluh.Dalam kegelisahan yang mengutuk. Aku hanya diam, menyesali apa yang sudah terjadi.
Ku ceritakan kisahku dalam sebuah buku harian.Bagaimana rasanya memiliki seorang kakak perempuan?Hatiku bertanya pada suara yang kerap tak terdengar. Sukma. Teriakanku mulai meninggi, menaiki rimbun pepohonan yang hijau. Daun-daun merunduk, membungkuk sampai tertimbun tanah.Tersurat dalam buku harian.Purnama yang sedang dalam tulisan.Terdengar membosankan, kidung sederhana selalu diperuntukkan pada sosok kakak perempuan. Padahal jalinan kami hanya sebatas sepupu.Sepupu.Tertunduk lesu saat menyadari hubunganku hanya sebatas sepupu. Rasa sayang ini terbilang normal, namun lebih dari sekedar sepupu. Lebih tinggi dari itu. Kakak kandung. Yaa, kakak perempuan. Aku ingin rembulan yang ku maksud bisa ku miliki dengan rasa bahagia yang kan ku beri untuknya dan rasa bahagia yang ingin ku dapat darinya.Amora.Gadis cantik bermata tiongkok itu terlahir dari rahim seorang wanita mulia dengan perawakan gemuk, berkulit putih,
Terlihat di atas sana, dalam jendela kamar kos, sebuah wajah cantik seorang perempuan cantik yang mengenakan kemeja pink penuh dengan bunga. Senyumnya meyambut kedatangan kami. Tangan kiri yang memegang daun jendela, dengan kepala terselubungi sejadah yang hanya dipegang dengan tangan kanan untuk menutupi mahkotanya.“Hai, tunggu!!”Sapanya dengan senyum yang ramah dan segera berlalu meninggalkan jendela yang ia genggam.Ketukan kaki yang memijaki satu persatu anak tangga yang terbuat dari sebuah kayu terdengar begitu terburu-buru. Pintu hitam yang ku nantikan terbukanya, dengan segera Linda membukakannya untuk kami. Aku segera berlalu, meraih anak tangga yang akan mengantarku menuju kamar kos Linda di atas. Sebab tempat yang kami masuki merupakan tempat menyimpan kendraan roda dua bagi penghuni kos.Kakak perempuanku terdengar menyapa Linda dengan senyuman manis. Begitupun Linda, terlihat menyapa dan mencium punggung tangan Kakak pe
Seseorang telah membuat hatiku bahagia, merasakan kasih sayang seorang biadadari yang ku jadikan sebagai kakak perempuan dan aku menemukannya dalam rimbun daun dan nyanyian-nyanyian yang menghanyutkan.Amora (Cucu Susilawati).Hatiku terampas dari sepi yang benar-benar sukar untuk ku jelasakan, tanpa jelmaan malaikat yang ingin ku sebut sebagai kakak perempuan. Memang, itu bukan kerinduan. Harapan adalah nama yang lebih pantas untuk menyebut sebuah keinginan. Garis yang tergambar sebagai batas lintas pergaulan membuatku terpaku dalam permainan sebuah renungan.Memperhatikan mulut insan bicara di depanku lebih ku nikmati daripada harus ku getarkan tenggorokan kering untuk mengeluarkan suara di depan manusia yang belum ku tahu siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya. Mendengar langkah orang-orang yang datang ke rumah ku rasa lebih sempurna dibanding harus menyapa dan senyum ramah di depan pemilik suara kaki itu. Menguping pembicaraan adalah kecukupan yang