Satu hari sebelum pindah.
Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.
Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.
“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.
“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.
Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan itu. Kakak perempuannya menjadi bulan-bulanan hayalannya. Ia sungguh menginginkan hal itu. Apalagi saat sedih melanda. Mengutuk perasaannya.
“Ya Allah...” keluhnya.
Vania beranjak dari duduk. Mengeluh pada Tuhan tentang kerinduan yang tak mungkin berujung. Baginya, kakak perempuannya adalah hati yang tak dapat ia sentuh. Hati yang tak dapat ia raih. Entah ada apa dengan dirinya.
Shubuh menjelma nyanyian. Menumpukkan rasa pada puncak malam. Vania tertegun dalam kesedirian itu. Satu hari lagi ia kan pergi meninggalkan semuanya. Meninggalkan kenangan terindahnya. Reno dan teman yang lainnya.
“Aldy..” Aldy sekejap membayang. Mata gadis itu kembali menitikkan rasa sedihnya. Mengingat hal yang harus ia lupakan.
Tangannya segera meraih ponsel. Memeriksa pesan masuk pada benda tersebut. Lima belas pesan belum dibaca.
“Van,” pesan dari Aldy.
“Van..” pesan dari Reno.
“Apa salah jika kita melanjutkan hubungan kita?” pesan dari Aldy.
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,”
“Van,” Reno mengirimi pesan sebanyak itu.
“Aldy.. semua terserah kamu. Bagaimanapun baiknya, aku ikut saja. Apa yang menurut kamu baik.” Balas Vania. Tak sedikitpun ia hiraukan pesan dari Reno.
“Udah bangun?” balas Aldy.
“Udah.”
“Disana jam berapa?” Aldy bertanya.
“Jam 04.12.”
“Oh, disini jam 05.12.”
“Kapan kita bisa bertemu?” tanya Vania yang semakin rindu.
“Bulan depan?”
“Lama sekali?”
“Sayang, ongkos dadri luar negeri itu mahal, loh.”
“Iyakah? Kenapa enggak tinggal di Bandung saja?”
“Aku kan masih harus sekolah.”
“Aku akan menunggumu.”
“Belum shalat?”
“Belum. Ini baru bengun.”
“Ya sudah, lebih baik, kamu shalat dulu.”
“Siap, suamiku..”
“Hehehe.”
Vania sedikit berseri. Menikmati bunga yang mekar dalam dadanya. Menikmati detak jantung yang tak dapat ia hentikan debarnya. Langkah bangganya mengantar tubuhnya ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Hingga wajahnya terbasuh dengan kesejukan itu. Telinganya terpijat dengan jemarinya. Kakinya terbersihkan dengan kejernihan airnya.Adzan shubuh berkumandang. Alunannya mendayu-dayu. Membuat sepasang telinga merasa lebih tenang lagi. Vania mendirikan kewajibannya. Melantunkan do’a di setiap gerakannya.
“Tuhan, Aldy kembali lagi. Menemani hati ini, tapi entah di suatu hari nanti. Apakah aku akan bertahan dengan rasa yang kumiliki ini.. aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku sungguh mencintainya. Berikanlah hamba jalan untuk menjadi jodohnya.” Vania mencurahkan isi hatinya pada Yang Maha Cinta.
Jam di dinding menunjukkan pukul 05.21. Vania terlarut dalam do’a-doa’a lain yang ia panjatkan. Setelah itu i abergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pergi ke sekolah, belajar, da bertemu teman-teman, juga bertemu dengan Reno.
“Van..” Reno menyapa Vania yang baru datang ke sekolah.
“Iya?” Vania menjawab sambil menyimpan tas di kursinya.
“Ke kantin, yuk?” ajak Reno.
“Enggak. Kamu aja. Aku enggak lapar.” Tolak Vania dengan raut datarnya.
“Kamu kenapa? Beberapa hari ini aneh sekali.” Reno berlalu meninggalkan kelas. Vania mengikutinya dari belakang.
“Kenapa ikut?” Reno menoleh ke arah Vania.
“Aku mau buang sampah keluar.” Jawab Vania.
“Kenapa gak mau ikut aku?” Reno kembali bertanya.
“Harus?” Vania mengernyitkan dahi.
“Yuk, ke kantin?” Reno mengajaknya kembali.
Vania tak mengatakan apapun. Ia hanya mengikuti langkah Reno yang segera menuju kantin. Mereka duduk berdampingan. Membiarkan siswa lain mengamati keduanya.
“Teh manis hangat satu, Bi!” Reno memesan minuman paginya.
“Neng Vanianya enggak?” Tanya Bibi kantin.
“Kamu mau minum apa?” Reno menoleh ke arah Vania.
“Aku enggak.” Jawab Vania.
“Kenapa?” Reno mengerutkan dahinya.
“Enggak apa-apa.” Jawab Vania.
“Enggak usah katanya, Bi.” Ucap Reno pada bibi kantin.
“Oke, boss..” bibi kantin mengangkat jempolnya.
Angin menunjuk pagi dengan teduh. Sejuk menghampiri mentari yang belum menghangat. Suara semesta masih belum mereda. Lalu lalang kendaraan karyawan masih mengganggu pagi. Inginnya, pagi itu masih mengelilingi Reno dan Vania. Namun bagi keduanya, waktu tetap berjalan begitu saja.
“Van..” Reno memegang tangan Vania.
“Kenapa?” Vania mulai menatap. Reno menajamkan tatapannya.
“Apa salahku?” tanya Reno dengan sungguh.
“Maksudmu?” Vania kembali bertanya dengan heran.
“Kesalahan apa yang sudah aku perbuat sama kamu?” tanya Reno.
Saat bersitatap. Saling bertanya tentang apa yang tidak mereka pahami. Lastri datang menghampiri keduanya.
“Ren, tugas udah? Nyontek, dong!” ucap Lastri sambil duduk di depan mereka.
Vania menghela nafas dengan berat. Mencoba bertahan dalam suasana canggung itu. Vania ingin segera mengakhiri suasana tersebut. Namun apa daya, ia tak dapat melakukan apa-apa.
“Udah, tapi aku juga nyontek dari Vania.” Reno mengelak.
Vania menoleh ke arah Reno dengan tatapan ajamnya. Reno menatapnya dengan hangat. Mengubah kecanggungan itu menjadi beralih pada gadis yang baru saja datang menghampiri mereka. Vania tak mengerti. Mengapa Reno berkata hal yang tidak benar. Mengatakan dirinya mencontek tugas yang Vania kerjakan.
“Hmmmm... ya sudah, gak apa-apa.. tapi tetap belum boleh mencontek?” tanya Lastri.
“Kalau kamu mau, kamu bisa minta ijin ke pemiliknya.” Reno menyentuh punggung Vania.
Vania terlihat risih. Begitupun Lastri, ia tak hanya risih. Namun, ia merasakan hal yang lebih dari itu. Cemburu. Ia sungguh cemburu dengan apa yang sedang Reno lakukan. Tiada yang bisa Lastri lakukan untuk meredam api cemburunya. Ia berbalik. Meninggalkan keduanya. Hatinya teriris. Ada sedikit air mata yang hampir menetes, tapi segera ia tepis. Sakit. Ia sungguh sakit. Langkahnya mengetuk lantai dengan ketukan amarahnya. Tak mampu untuk bersabar. Mengetuk lantai dengan perlahan. Hatinya sedang terbakar. Sulit untuk ia padamkan.
Reno menatap Vania dengan senyumannya. Sedang Vania menatap kepergian Lastri dengan rasa tidak enak pada Lastri. Kakinya tak diam. Terus memikirkan Lastri.
“Sudah.. jangan dipikirkan.. itu hanya masalah kecil.” Reno menenangkan Vania dengan mengusap-usap punggung tangannya.
“Lastri suka sama kamu?” tanya Vania dengan wajah gelisahnya.
“Kelihatannya?” Reno mengangkat bahunya.
“Ini, tehnya.” Bibi kantin memberikan Reno secangkir teh manis yang masih mengepul.
“Terimakasih, Bi.” Ucap Reno dengan senyum dan tatapan nakalnya.
Waktu berlalu. Membawa mereka ke ruang kelasnya. Kegaduhan pagi mereka lewati. Belajar menjadi waktu yang paling mereka tunggu. Meski mereka termasuk siswa yang nakal.
Masih satu hari lagi untuk pindah.Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani
Senja Di Ujung Kerinduan.Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya
Senja menemani hati yang tak dapat dipahami. Vania tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Handuk masih terkalung di lehernya. Air masih menetes dari rambutnya. Tubuhnya masih segar. Wangi sabun mandi masih menempel di tubuhnya. Membuat dirinya sendiri merasa tenang saat mencium aromanya.“Apa saja yang perlu dibawa?” tanya ayah Vania.Vania menoleh. Menatap wajah ayahnya dan nafasnya sedikit tersengal. Vania menarik nafas dalam-dalam.“Ada apa?” sang ayah kembali bertanya.“Gak apa-apa, Pa.” Jawab Vania.“Yang mana?” tanya ayahnya lagi.“Yang itu, sama yang warna cokelat, dan tas yang sedang.” Tunjuk Vania sambil menunjuk tas yang menumpuk di depannya.“Ih, banyak bener.” Kata ayahnya.“Emang kenapa?” Vania mengernyitkan dahi.“Emang itu apa saja isinya?” tanya sang ayah.“Itu isinya buku, baju, dan berkas.” J
Vania menatap lagit dengan tenang. Di sana, wajah tampan itu tersenyum. Menyerupai sabit rembulan. Membiarkan bintang berkerlip seperti mata hijau sang kekasih. Bebatuan menjadi tempat yang tak ia takuti saat ia duduk di bawah angkasa yang gelap. Ia terdiam dalam keheningan itu.“Bulan.. andai kau ini bibirnya. Aku sulit menyentuhmu.” Ucap Vania sambil memeluk kedua lututnya.“Vania...” seseorang memanggilnya dari belakang.Vania menoleh ke arah tersebut. Benar saja. Aldy. Lelaki itu menghampiri Vania dan ikut duduk di sampingnya. Vania terpana melihat kekasihnya berbaju putih, celana putih, dan sepatu putih. Semua serba putih. Seperti malaikat yang nampak di hadapannya.“Al..” ucap Vania.“Mmmh..” Aldy hanya menoleh ke arahnya dan kembali menatap langit.“Kenapa kamu di sini?” tanya Vania.“Enggak boleh?” Aldy bertanya balik.“Enggak, lah..&rdq
Vania mengetuk jalan gang kecil menuju rumah David. Ia menyusuri jalan setapak sepanjang 20 meter dari tempat motor Fadil terparkir. Hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. “Yakinkah aku akan tinggal di sini?” gumamnya dalam hati. Vania tak berhenti melihat-lihat bangunan pondok itu. Dilihatnya ada panggung pentas santri dan santriah. Ada kobong yang megah. Ada pula masjid yang indah. Di tengah-tengahnya terdapat beberapa kolam ikan. Beberapa santri sedang memancing di sana. Beberapa santriah sedang membersihkan piring di pinggirannnya. “Hei..” sapa istri David. “Tante..” Vania mencium punggung tangannya. “Sini.. sini..” ajak istri David. “Terimakasih tante..” Vania menudukkan kepalanya seraya tersenyum. “Jam berapa dari sana?” tanya istri David. “Jam 7-an lebih kalau gak salah, tante. Aku lupa. Hehehe.” Vania nyengir. “Ya sudah, sini makan dulu..” ajak istri David. Suara ponsel Istri David berbunyi. Dering
Hari kedua di tempat baru membuat Vania merasakan sesuatu yang tak harus ia rasakan lagi. Seseorang berjalan di depannya.“Punten, Teh..” ucapnya.“Oh, mangga, A.” Jawab Vania. Vania tak berhenti menatap lelaki yang membungkukkan tubuhnya.“Kak Vania kenapa melihat Sidik seperti itu?” tanya Riri, anaknya David.“Emhh.. enggak.” Ucap Vania sambil bengong melihat pundak lelaki yang baru saja berlalu di hadapannya.Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Vania. Ia tersenyum. Memicingkan matanya. Vania hanya bengong melihatnya.“Kak,” kata Riri.Vania menoleh ke arah Riri.“Bapak kapan datangnya, ya?” tanya Riri.“Enggak tahu. Kamu tanya aja sendiri ke mama kamu.” Ucap Vania sambil berlalu meninggalkan sepupunya itu.“Kak Vania.. tunggu..” teriak Riri.Riri berlalri mengejar gadis itu. Rambutnya terlihat acak-acakan dan
Angin datang saat teduh sudah hilang. Hembusannya menelusup ke sela tangan. Ada sejuk yang dirasakan. Sungguh dalam kenikmatan. Vania menggeliat. Menatap gunung yang menjulang sendirian. Gunung yang jauh dari gunung manapun. Gunung yang hanya dikelilingi oleh bukit-bukit kecil di kakinya. Mentari mengintip dari pundak gunung. Memberi Vania kehangatan dalam tubuhnya.“Pagi..” sapa Sidik.“Pagi.” Jawab Vania.“Teh Raninya ada?” tanya Sidik.“Ada. Masuk aja.” Vania mempersilahkan Sidik masuk.“Emhh.. terimakasih, Teh.” Sidik mengangguk.“Sama-sama.” Jawab Vania.Vania kembali menatap gunung yang menjulang sendirian. Seakan disana ada dirinya sedang mendaki, menuju kemenangan. Kaki Vania berjingkat-jingkat seperti orang yang sedang melakukan pemanasan. Tangannya bertolak pinggang. Ia menghitung semua gerakannya dari satu sampai delapan dan terus mengulanginya. Ya. Ben
Vania menemukan hari dimana ia hanya bisa mengetuk mimpi dari pintu yang jauh. Vania tak menyesal tentang apa yang baru saja ia dapatkan. Tempat baru, kisah baru, dan rasa yang baru tentang kehidupan. Semua Vania nikmati dalam kesesakkan dadanya. Vania duduk di tengah-tengah majlis. Hatinya sedang merindukan sang ibu yang selalu membuatkan masakan untuknya di siang hari."Ma.. " Gumamnya dalam hati.Santriah lalu lalang di luar, ada yang bergegas mandi, ada yang membersihkan halaman majlis, ada yang mencuci piring, ada juga yang menuju warung untuk membeli makanan. Vania tak tergubris sedikitpun oleh ketuk kaki yang mungkin jika bagi orang lain, akan menjadi kekacauan. Hatinya dalam keteguhan rindu. Vania mulai meneteskan air mata di pipinya."Hei, kamu kenapa?" tanya seorang gadis berjilbab merah.Vania mengangkat kepalanya yang menunduk. Ia menghaous air matanya. Menatap mata gadis yang berbicara kepadanya
Tanganku menyentuh punggung besi pembatas jalan. Tatapanku berpaling pada bukit yang terlihat asri yang terhias sungai cantik yang mengalir di sana. Ku rasakan gemuruh itu lebih menusuk jantung yang dibuat berdegup sakit oleh seseorang yang kini mengikutiku dengan tangan menyentuh besi pembatas jalan. Tubuhnya yang bersandar, memandang tubuhku yang sedang menikmati sore bersama seseorang yang akan membuat hatiku lebih sakit lagi suatu saat nanti.“Kamu tidak cantik, tapi aku mencintaimu dengan hati yang tak dapat kau lihat. Aku tidak kaya, semua yang ku miliki adalah milik orang tuaku dan itu semua hanya titipan Tuhan.”Kemeja abu tua dengan kancing yang terbuka, menunjukkan kaos abu muda yang dikenakannya. Tangannya terlihat kedinginan, warna ungu yang terhias pada kulit merahnya terlihat mengganggunya. Dan dengan cepat ia memasukkan tangan ke saku celananya.Tampan sekali, tapi kamu bukan untukku.Hatiku berucap kata dengan rasa sa
“Aku pulang, ya?”Ia hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas dari tubuhku yang beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Ketika kaki melangkah lebih jauh dari mobil yang terparkir dan masih menyala itu, ku lihat mobil itu masih terdiam dengan sendirinya. Tak ada tanda-tanda segera pergi meninggalkanku yang kan berlalu meninggalkannya terlebih dahulu.Sore kan segera hilang, mobil yang ku harap segera pergi itu tak jua meninggalkanku. Aku mencoba kembali melangkahkan kaki untuk segera menghampirinya. Senyum yang terhias di bibirnya, menatapku yang kembali mendekat padanya. Kaca mobil yang terketuk membuat jari telinjuknya segera memencet tombol untuk membukakan kaca untukku.“Ada apa? Masih kangen sama aku?” Godanya dengan mata nakal yang berkedip bersama senyumannya.“Aku hanya penasaran. Kenapa kamu masih di sini?”Tanganku mencoba untuk menelusuri tombol hitam untuk ku buka kunci pintu mobil yang masih terdiam bersama pe
“HATI INITELAH IA BAWA PERGIBERSAMAKESEMUASenyum cemara dalam rumpun cerita yang melihatku begitu sendu. Ku lihat bibirnya begitu manis. Bagai perasan anggur yang tertuang dalam cawan emas.Aku terduduk di sebuah mobil yang baru saja membawaku bersuka ria melewati bukit-bukit senyuman. Membawa mata untuk menyaksikan keindahan yang Tuhan anugerahkan, hamparan awan yang menutupi kepingan kota. Lambai daun yang masih tersisa di pinggir jalan menemaniku yang semakin menyerah untuk bertahan. Rasa lelah yang tiba-tiba memeluk tak menghancurkan jalan yang tak jua membiarkan roda yang membawaku menyentuh punggungnya.“Aku ingin menikah. Tidak pacaran terus seperti ini.”Adrian tersentak mendengar apa yang aku katakan dengan raut yang dilihatnya begitu datar.“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?”“Aku ingin kamu lamar aku. Jangan banyak alasan untuk hal ini!”
Langkah kakiku ku lihat begitu bergetar ketika kesulitan datang menyelubunginya. Penantian yang sungguh membelenggu kakak perempuanku benar-benar tak dapat ia pupus dengan air mata yang dibiarkannya terjatuh begitu saja. Tanganku pun menikmati getar, bagai kekokohan sebuah tiang yang berdiri di atas tanah yang segera ambruk, menjatuhkan segala sesuatu yang ditopangnya.Menghela nafas sedalam samudera hindia untuk sekejap menghirup debu yang penuh dengan alunan kematian dan rasa sakit yang kan meresap pada tubuh yang kian menikmatinya. Di antara langit yang terjunjung senyum yang selalu terenyuh bersama kebahagiaan, dan di antara bumi yang terpijaki kedamaian ketika tertunduk, merasa tersakiti dengan kehancuran semesta. Terlihat celah membelah batuan kebahagiaan. Seperti sebuah jurang yang menyimpan berjuta kesengsaraan. Ada cinta yang terhirup, menghitamkan dada yang dibuat pulas ketika mimpi memeluk mata yang tertidur. Surya meng
Irama keyword terus berkerlik, mengetuk pintu tombol huruf demi huruf, hingga tersurat gagasan cantik penuh rima.Seketika tongkat penopang amarah runtuh. Purnama itu terluka. Diam-diam geram merenggut keteguhan jiwa yang siap merana. Angin sejuk terhirup sesaat, ketika sesuatu tengah memberatkan beban yang ku pikul dengan benak yang lemah, purnama yang selalu ku puisikan.Hati ini tak pernah tegar, seringkali sedih berpangku pada nyanyian sukma yang terus mengganggu akal, nalar, dan pikiran yang penuh dengan rimbunan daun-daun kebutaan.Terlarut dalam kerasnya tantangan hukum dunia yang penuh dengan kebiadaban, aku terkalahkan. Aku tak mengerti dengan semua tuntutan kehidupan yang sungguh membebani.Daun-daun bertanya pada tumpukan kerinduan yang terdengar hampa.Aku milik siapa?Ombak yang membuat semua kegaduhan di hamparan samudera, tak menjawab apapun untuk lambaian nyiur yang tak bersuara.Aku butuh seseorang yan
Ku saksikan senja di tengah kota. Terduduk lesu dalam kelajuan roda di sore yang buta. Suara kendaraan tak lagi ku perhatikan, hanya rambu-rambu jalan yang ku jadikan sebagai tempat ku bertukar cerita, cerita yang begitu menyakitkan.Masih dalam detik kehilangan senja yang sungguh melelahkan. Menyambut kesedihan yang mengundang. Jingga menyalami langit yang menceritakan masalah tentang lepasnya penantian. Kecemasan tenggelam dalam kelam, hingga tiada rasa percaya, bahwa roda akan berputar, dan cahaya terang akan dating bersama rembulan yang menemani malam di tengah rumpun keramaian.Gerutu yang berkecamuk membakar suara kota. Gemuruhnya lenyap ditelan kepedihan. Lelahku siap menjemput malam. Hanya Jangkrik yang berderik di atas pohon yang berdiri di atas kekokohan trotoar. Tiang-tiang tak menghentikan kekacauan. Kehancuran seolah membunuh dan hatiku tiada hentinya mengeluh.Dalam kegelisahan yang mengutuk. Aku hanya diam, menyesali apa yang sudah terjadi.
Ku ceritakan kisahku dalam sebuah buku harian.Bagaimana rasanya memiliki seorang kakak perempuan?Hatiku bertanya pada suara yang kerap tak terdengar. Sukma. Teriakanku mulai meninggi, menaiki rimbun pepohonan yang hijau. Daun-daun merunduk, membungkuk sampai tertimbun tanah.Tersurat dalam buku harian.Purnama yang sedang dalam tulisan.Terdengar membosankan, kidung sederhana selalu diperuntukkan pada sosok kakak perempuan. Padahal jalinan kami hanya sebatas sepupu.Sepupu.Tertunduk lesu saat menyadari hubunganku hanya sebatas sepupu. Rasa sayang ini terbilang normal, namun lebih dari sekedar sepupu. Lebih tinggi dari itu. Kakak kandung. Yaa, kakak perempuan. Aku ingin rembulan yang ku maksud bisa ku miliki dengan rasa bahagia yang kan ku beri untuknya dan rasa bahagia yang ingin ku dapat darinya.Amora.Gadis cantik bermata tiongkok itu terlahir dari rahim seorang wanita mulia dengan perawakan gemuk, berkulit putih,
Terlihat di atas sana, dalam jendela kamar kos, sebuah wajah cantik seorang perempuan cantik yang mengenakan kemeja pink penuh dengan bunga. Senyumnya meyambut kedatangan kami. Tangan kiri yang memegang daun jendela, dengan kepala terselubungi sejadah yang hanya dipegang dengan tangan kanan untuk menutupi mahkotanya.“Hai, tunggu!!”Sapanya dengan senyum yang ramah dan segera berlalu meninggalkan jendela yang ia genggam.Ketukan kaki yang memijaki satu persatu anak tangga yang terbuat dari sebuah kayu terdengar begitu terburu-buru. Pintu hitam yang ku nantikan terbukanya, dengan segera Linda membukakannya untuk kami. Aku segera berlalu, meraih anak tangga yang akan mengantarku menuju kamar kos Linda di atas. Sebab tempat yang kami masuki merupakan tempat menyimpan kendraan roda dua bagi penghuni kos.Kakak perempuanku terdengar menyapa Linda dengan senyuman manis. Begitupun Linda, terlihat menyapa dan mencium punggung tangan Kakak pe
Seseorang telah membuat hatiku bahagia, merasakan kasih sayang seorang biadadari yang ku jadikan sebagai kakak perempuan dan aku menemukannya dalam rimbun daun dan nyanyian-nyanyian yang menghanyutkan.Amora (Cucu Susilawati).Hatiku terampas dari sepi yang benar-benar sukar untuk ku jelasakan, tanpa jelmaan malaikat yang ingin ku sebut sebagai kakak perempuan. Memang, itu bukan kerinduan. Harapan adalah nama yang lebih pantas untuk menyebut sebuah keinginan. Garis yang tergambar sebagai batas lintas pergaulan membuatku terpaku dalam permainan sebuah renungan.Memperhatikan mulut insan bicara di depanku lebih ku nikmati daripada harus ku getarkan tenggorokan kering untuk mengeluarkan suara di depan manusia yang belum ku tahu siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya. Mendengar langkah orang-orang yang datang ke rumah ku rasa lebih sempurna dibanding harus menyapa dan senyum ramah di depan pemilik suara kaki itu. Menguping pembicaraan adalah kecukupan yang