Share

Eighth

Author: Sarahyo
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Dua hari sebelum pindah

Air mata jatuh membasahi pelipis Vania. Badannya sedikit menggigil. Ia mengingat kejadian kemarin, saat ia mendapati tubuhnya sendiri tersungkur ke lantai. Hatinya mengkaji dunia yang dirasa semakin kejam padanya. Ponselnya tergeletak di bawah ranjang, Vania segera meraihnya. Ada pesan yang belum terbaca. Reno atau Aldy. Pikirnya berlari pada kedua lelaki yang terhubung pada kehidupan yang sedang ia jalani.

Mata Vania berantusia membaca huruf demi huruf yang ia lihat di kolom pesan dalam ponselnya.

“Hari ini sesuai dengan jadwal, kalian harus sudah ada di sekolah pukul 08.00 WIB, tanpa terkecuali!” Ketua PMR mengirimi Vania pesan.

“Hmm.. kukira Reno atau Aldy..” gumamnya dengan pelan. Vania menyimpan kembali ponselnya.

Gema adzan berkumandang. Pertanda fajar telah melengkung di angkasa. Keheningan dalam gubahan paling syahdu. Vania sedikit  merasa tenang dengan suasana di shubuh itu. Kakinya mulai merebah. Tangannya terentang. Ia membuka selimut yang membalut tubuhnya perlahan. Tangannya mulai membuka tirai dan jendela kamarnya. Angin berhembus dengan tenang. Sejuknya membuat kedua mata Vania terasa teduh. Langit masih gelap, tapi ia harus bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Handuk terkalung di bahu. Matanya ia kucek. Lampu kamar ia matikan dan melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Air dingin memanjakan tubuhnya. Segar. Vania merasakan kesegaran yang Tuhan anugerahkan.

Usai mandi, ia bergegas ke kamar tidurnya. Tanpa menyalakan lampu, ia berganti pakaian dengan seragam PMR. Ada rasa bangga saat mengenakan seragam barunya. Ia akan menjadi anggota PMR ramu setelah dilantik oleh para senior. Lampu kembali ia nyalakan dan mulai mengenakan mukenanya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Tuhan.

Shalat telah selesai Vania dirikan. Ia terduduk sejenak dalam keheningan itu. Menatap tempat sujudnya dan mengingat seseorang yang dicintainya, Aldy. Tangannya mulai terangkat untuk memanjatkan permohonan pada Tuhan.

“Ya Allah, hamba sudah memperbincangkan lelaki itu sesering mungkin. Hamba begitu mencintainya, tapi ia tak kunjung kembali. Hingga hamba

Kakinya berdiri tegak. Mengenakan sepatu bertali plastik dengan warna yang berbeda. Merah dan biru. Syarat lain untuk mengikuti pelantikan tersebut, Vania mengenakan topi kerucut berwarna merah terbuat dari kertas karton yang dibelinya. Tak lupa ia membawa berbagai makanan ringan dalam tasnya.

Jalanan seakan membebaninya dengan rasa lain. Entah apa yang sedang Vania rasakan. Pohon tak lagi menjadi pohon. Dilihatnya seperti lambai selamat tinggal. Trotoar tak lagi menjadi trotoar. Dilihatnya seperti hamparan lumut yang akan selalu ia rindukan.

“Kenapa kamu terlambat?” tanya seorang senior dengan nada tegasnya.

“Saya tidak ada kendaraan, Kak. Saya jalan kaki dari Rumah.” Ucap Vania dengan kepala menunduk.

“Emmh. Pada jadwal sudah kita tentukan, bukan?”

“Iya, Kak, maaf.” Tunduk Vania pada seniornya.

“Sudahlah, Des, enggak perlu kamu perpanjang. Durasi, niiih.” Ucap senior lain pada Desi.

“Ga, dia udah salah, masih kamu bela?” Desi cemberut.

“Ayo, Van.” Ulur tangan Rangga pada Vania yang masih saja tertunduk.

Vania tak menerima ulur tangannya. Ia berlalu meninggalkan keduanya dengan tubuh yang sedikit membungkuk. Rangga hanya menatap punggung adik kelasnya itu dengan penuh belas kasih. Desi pergi dengan rasa cemburunya.

Reno sudah berada di tempat perkumpulan semua anggota. Vania mendapatinya sedang tertunduk di bangku paling belakang. Namun, Vania tak mencoba untuk mendekatinya. Vania hanya menatapnya dari jauh.

Handphone semua calon anggota ramu dikumpulkan. Begitu juga milik Vania dan Reno. Mereka tidak bisa berkomunikasi melalui HP-nya.

Angin tak memberitahu mereka tentang apapun. Ia sungguh menipu keduanya. Entah akan ada apa di suatu hari nanti jika mereka berdua berpisah di waktu tersebut.

Hanya ada senyum di bibir Reno. Namun entah mengapa Reno tak menunjukkan senyum yang biasa ia lempar pada gadis yang sedang dekat dengannya. Mata Reno hanya menatap Vania dari jauh. Tangannya tak dapat meraih gadis itu.

“Tuhan, dia tidak cantik. Tetapi, dia lucu sekali.” Gumam Reno dalam hati.

Mata Reno berpaling pada bibir lain yang berbicara di depan semua siswa yang sedang melaksanakan pelantikan PMR. Reno mulai memnyimak. Begitupun Vania yag duduk di kejauhan.

“Oke, semua harus kita lengkapi dengan keadilan. Siapapun yang tidak mengikuti pelantikan ini, mereka tidak bisa mengikuti pelantikan selanjutnya. Mengerti?” tegas salah seorang senior.

Semua pendengar saling mengangguk. Pertanda mereka paham tentang hal yang disampaikan.

“Reeen!!” teriak Vania dari jauh.

Reno tersenyum menatap gadis itu dan menghampirinya.

“Kenapa?” tanya Reno.

Vania bersandar pada dinding UKS. Tempat yang biasa dijadikan base camp oleh anak-anak PMR. Angin menemani keduanya. Suara manusia yang sedang berkerumun tak mengganggu kebersamaan mereka.

“Udah makan?” tanya Vania. Reno mengernyitkan dahinya dan mengangguk, pertanda bahwa ia mengiyakan.

“Kamu yakin?” Vania menyentuh pipi Reno.

Jantung mereka seakan berhenti. Waktu tak ikut berlalu. Lagu menjadi bagian dari suasana itu. Mengabaikan suara angin yang mendesah dari arah lain.

“Hhahhahahah...” Reno tertawa menunjukkan kerongkongannya yang gelap.

“Ishh.. kamu..” Vania mencubit pinggang Reno dan merasa malu sendiri.

“Lagian ngapain sih kamu, pegang-pegang pipi aku? Lebay, tahu!” ejek Reno pada gadis yang telah menyentuh pipinya.

“Yaa.. suka-suka aku-lah.” Vania memutar kedua bola matanya.

Detak jantung keduanya memudar. Perlahan mereka sedikit tenang dengan canda tawa yang mereka bawakan di tengah hari.

Terik mentari tak mengubah haluan. Keduanya tetap merasakan keteduhan. Seperti pagi yag telah berlalu meninggalkan keringat keduanya. Angin tak menampakkan amarahnya meski malaikat telah mencatat amal buruk yang sedang kedua sejoli itu nikmati.

Gelak tawa masih mengisi kekosongan siang. Menyamarkan suara lautan manusia yang berlalu lalang melewati keduangya. Menjauhkan ketuk sepatu yang semakin mendekat. Menjauhkan seruan yang seperti orang tercekik.

“Ren,” Vania menunduk, menghentikan tawanya. Ada raut sedih dalam pucuk kepalanya. Reno menghela nafas dengan berat. Merasa ada yang membebani gadis yang sedang ada di hadapannya.

“Masuk, yuk?” ajak Reno.

“Kemana?” Vania mengangkat kepalanya dan menatap mata Reno.

“Ke dalam-lah, masa keluar.” Reno menuntun tangan Vania.

Mereka berjalan pada ruang sepi yang tirainya menyelimuti jendela. Tetapi terkadang, tirai itu terbang, terdorong angin yang menguasainya. Mereka kemabli tenang dengan rasa teduh yang mereka sendiri ciptakan.

Vania duduk di ranjang pasien. Reno mencari kursi yang bisa diambilnya. Vania memperhatikan Reno sesaat.

“Tampan.” Gumamnya dalam hati.

Reno menghampiri Vania dan membawa kursi untuk ia duduki.

“Kamu kenapa?” tanya Reno sambil menduduki kursi yang baru saja ia letakkan.

“Aku mau pindah. Aku enggak tahu, apakah di tempat baru aku akan menemukan orang-orang seperti kamu, anak PMR, dan teman-teman lainnya?” Vania menunjukkan kesedihannya.

“Van,” Reno menghela nafas dengan berat. Mencoba terlihat kuat meski hati Reno merasa tersentu oleh seosok gadis yang sedang mecurahkan isi hatinya.

“Ren,” kedua mata Vania mulai mengkristal.

“Van, Tuhan itu Maha Adil. Kamu mungkin akan mendapat kebahagiaan yang lebih baik di tempat baru. Teman-teman di sana juga mungkin lebih baik dari kami. Kamu jangan dulu merendah. Kamu harus kuat.” Reno menggenggam tangan Vania. Hangat. Tangan Vania begitu hangat.

“Tapi Ren, rasanya berat.” Sudut mata Vania menitikkan kejernihannya. Reno mengusap-usap tangan Vania. Vania menangis tersedu.

Keduanya terlarut dalam kesedihan yang berbeda. Reno merasa berat dengan semua yang membebani Vania. Tetapi Vania, merasa berat untuk meninggalkan kisah sejatinya bersama sahabat dan sesosok yang tak dapat dimengerti sebagai siapakah lelaki itu.

Waktu istirahat berlalu. Menghentikan kebersamaan mereka. Keduanya keluar dari ruang UKS. Menikmati angin yang berhembus menerpa tubuh keduanya. Waktu berlanjut pada kewajiban mereka sebagai siswa yang harus dilantik sebagai anggota PMR hingga maghrib berkumandang di ujung gedung.

Semua kaki dengan hati yang riang tak berhenti mengetuk jalanan menuju rumah mereka. Pulang. Sudah waktunya mereka pulang. Berseri menikmati pangkat yang baru mereka dapatkan. Begitupun Reno dan Vania. Meski kelabu mengkabut di kedua bola mata mereka, ada rasa bangga atas pelantikan yang telah meleka lewati. Setidaknya, ada satu titik sebagai pengantar tidur untuk mereka.

Related chapters

  • Mencarimu dalam Bimbang   Nineth

    Masih di hari yang sama. Vania menunaikan maghrib yang mencerminkan gubahan ketenangan. Langit yang menyala sempurna kembali menggelap. Menjadikan rindu tak terkurung ego mentari. Rembulan perlahan menyala dengan tenang. Hari yang telah terlewati terhapus air wudhu yang membersihkan wajah gadis itu. Dering ponsel menghiasi malam itu. Menganugerahkan rindu pada kesyahduan kelam. Vania tak menghiaraukannya. Ia bersikeras mencintai do’a-do’a yang dipanjatkannya. Ia tahu cara mengeluh pada Tuhan, ia pun paham bahwa cara mewujudkan keinginannya adalah bergantung pada Tuhan. Bukan pada manusia.“Ya Allah, hamba tahu. Dosa hamba kebih tinggi dari gunung yang paling menjulang di bumi ini. namun, hamba percaya pada-Mu, penguasa semesta tak kan pernah membiarkan hamba-Nya bersedih. Kuatkanlah hamba, Ya Allah..” ungkap Vania pada Sang Khaliq. menenggadahkan kepalanya dengan mata yang sendu. Menari dalam tangisan

  • Mencarimu dalam Bimbang   Tenth

    Satu hari sebelum pindah.Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan

  • Mencarimu dalam Bimbang   Eleventh

    Masih satu hari lagi untuk pindah.Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani

  • Mencarimu dalam Bimbang   Twelveth

    Senja Di Ujung Kerinduan.Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya

  • Mencarimu dalam Bimbang   Thirteenth

    Senja menemani hati yang tak dapat dipahami. Vania tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Handuk masih terkalung di lehernya. Air masih menetes dari rambutnya. Tubuhnya masih segar. Wangi sabun mandi masih menempel di tubuhnya. Membuat dirinya sendiri merasa tenang saat mencium aromanya.“Apa saja yang perlu dibawa?” tanya ayah Vania.Vania menoleh. Menatap wajah ayahnya dan nafasnya sedikit tersengal. Vania menarik nafas dalam-dalam.“Ada apa?” sang ayah kembali bertanya.“Gak apa-apa, Pa.” Jawab Vania.“Yang mana?” tanya ayahnya lagi.“Yang itu, sama yang warna cokelat, dan tas yang sedang.” Tunjuk Vania sambil menunjuk tas yang menumpuk di depannya.“Ih, banyak bener.” Kata ayahnya.“Emang kenapa?” Vania mengernyitkan dahi.“Emang itu apa saja isinya?” tanya sang ayah.“Itu isinya buku, baju, dan berkas.” J

  • Mencarimu dalam Bimbang   The Fourteenth

    Vania menatap lagit dengan tenang. Di sana, wajah tampan itu tersenyum. Menyerupai sabit rembulan. Membiarkan bintang berkerlip seperti mata hijau sang kekasih. Bebatuan menjadi tempat yang tak ia takuti saat ia duduk di bawah angkasa yang gelap. Ia terdiam dalam keheningan itu.“Bulan.. andai kau ini bibirnya. Aku sulit menyentuhmu.” Ucap Vania sambil memeluk kedua lututnya.“Vania...” seseorang memanggilnya dari belakang.Vania menoleh ke arah tersebut. Benar saja. Aldy. Lelaki itu menghampiri Vania dan ikut duduk di sampingnya. Vania terpana melihat kekasihnya berbaju putih, celana putih, dan sepatu putih. Semua serba putih. Seperti malaikat yang nampak di hadapannya.“Al..” ucap Vania.“Mmmh..” Aldy hanya menoleh ke arahnya dan kembali menatap langit.“Kenapa kamu di sini?” tanya Vania.“Enggak boleh?” Aldy bertanya balik.“Enggak, lah..&rdq

  • Mencarimu dalam Bimbang   The Fifteenth

    Vania mengetuk jalan gang kecil menuju rumah David. Ia menyusuri jalan setapak sepanjang 20 meter dari tempat motor Fadil terparkir. Hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. “Yakinkah aku akan tinggal di sini?” gumamnya dalam hati. Vania tak berhenti melihat-lihat bangunan pondok itu. Dilihatnya ada panggung pentas santri dan santriah. Ada kobong yang megah. Ada pula masjid yang indah. Di tengah-tengahnya terdapat beberapa kolam ikan. Beberapa santri sedang memancing di sana. Beberapa santriah sedang membersihkan piring di pinggirannnya. “Hei..” sapa istri David. “Tante..” Vania mencium punggung tangannya. “Sini.. sini..” ajak istri David. “Terimakasih tante..” Vania menudukkan kepalanya seraya tersenyum. “Jam berapa dari sana?” tanya istri David. “Jam 7-an lebih kalau gak salah, tante. Aku lupa. Hehehe.” Vania nyengir. “Ya sudah, sini makan dulu..” ajak istri David. Suara ponsel Istri David berbunyi. Dering

  • Mencarimu dalam Bimbang   The Sixteenth

    Hari kedua di tempat baru membuat Vania merasakan sesuatu yang tak harus ia rasakan lagi. Seseorang berjalan di depannya.“Punten, Teh..” ucapnya.“Oh, mangga, A.” Jawab Vania. Vania tak berhenti menatap lelaki yang membungkukkan tubuhnya.“Kak Vania kenapa melihat Sidik seperti itu?” tanya Riri, anaknya David.“Emhh.. enggak.” Ucap Vania sambil bengong melihat pundak lelaki yang baru saja berlalu di hadapannya.Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Vania. Ia tersenyum. Memicingkan matanya. Vania hanya bengong melihatnya.“Kak,” kata Riri.Vania menoleh ke arah Riri.“Bapak kapan datangnya, ya?” tanya Riri.“Enggak tahu. Kamu tanya aja sendiri ke mama kamu.” Ucap Vania sambil berlalu meninggalkan sepupunya itu.“Kak Vania.. tunggu..” teriak Riri.Riri berlalri mengejar gadis itu. Rambutnya terlihat acak-acakan dan

Latest chapter

  • Mencarimu dalam Bimbang   Entah

    Tanganku menyentuh punggung besi pembatas jalan. Tatapanku berpaling pada bukit yang terlihat asri yang terhias sungai cantik yang mengalir di sana. Ku rasakan gemuruh itu lebih menusuk jantung yang dibuat berdegup sakit oleh seseorang yang kini mengikutiku dengan tangan menyentuh besi pembatas jalan. Tubuhnya yang bersandar, memandang tubuhku yang sedang menikmati sore bersama seseorang yang akan membuat hatiku lebih sakit lagi suatu saat nanti.“Kamu tidak cantik, tapi aku mencintaimu dengan hati yang tak dapat kau lihat. Aku tidak kaya, semua yang ku miliki adalah milik orang tuaku dan itu semua hanya titipan Tuhan.”Kemeja abu tua dengan kancing yang terbuka, menunjukkan kaos abu muda yang dikenakannya. Tangannya terlihat kedinginan, warna ungu yang terhias pada kulit merahnya terlihat mengganggunya. Dan dengan cepat ia memasukkan tangan ke saku celananya.Tampan sekali, tapi kamu bukan untukku.Hatiku berucap kata dengan rasa sa

  • Mencarimu dalam Bimbang   Ke kampus

    “Aku pulang, ya?”Ia hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas dari tubuhku yang beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Ketika kaki melangkah lebih jauh dari mobil yang terparkir dan masih menyala itu, ku lihat mobil itu masih terdiam dengan sendirinya. Tak ada tanda-tanda segera pergi meninggalkanku yang kan berlalu meninggalkannya terlebih dahulu.Sore kan segera hilang, mobil yang ku harap segera pergi itu tak jua meninggalkanku. Aku mencoba kembali melangkahkan kaki untuk segera menghampirinya. Senyum yang terhias di bibirnya, menatapku yang kembali mendekat padanya. Kaca mobil yang terketuk membuat jari telinjuknya segera memencet tombol untuk membukakan kaca untukku.“Ada apa? Masih kangen sama aku?” Godanya dengan mata nakal yang berkedip bersama senyumannya.“Aku hanya penasaran. Kenapa kamu masih di sini?”Tanganku mencoba untuk menelusuri tombol hitam untuk ku buka kunci pintu mobil yang masih terdiam bersama pe

  • Mencarimu dalam Bimbang   Jembatan

    “HATI INITELAH IA BAWA PERGIBERSAMAKESEMUASenyum cemara dalam rumpun cerita yang melihatku begitu sendu. Ku lihat bibirnya begitu manis. Bagai perasan anggur yang tertuang dalam cawan emas.Aku terduduk di sebuah mobil yang baru saja membawaku bersuka ria melewati bukit-bukit senyuman. Membawa mata untuk menyaksikan keindahan yang Tuhan anugerahkan, hamparan awan yang menutupi kepingan kota. Lambai daun yang masih tersisa di pinggir jalan menemaniku yang semakin menyerah untuk bertahan. Rasa lelah yang tiba-tiba memeluk tak menghancurkan jalan yang tak jua membiarkan roda yang membawaku menyentuh punggungnya.“Aku ingin menikah. Tidak pacaran terus seperti ini.”Adrian tersentak mendengar apa yang aku katakan dengan raut yang dilihatnya begitu datar.“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?”“Aku ingin kamu lamar aku. Jangan banyak alasan untuk hal ini!”

  • Mencarimu dalam Bimbang   Salam

    Langkah kakiku ku lihat begitu bergetar ketika kesulitan datang menyelubunginya. Penantian yang sungguh membelenggu kakak perempuanku benar-benar tak dapat ia pupus dengan air mata yang dibiarkannya terjatuh begitu saja. Tanganku pun menikmati getar, bagai kekokohan sebuah tiang yang berdiri di atas tanah yang segera ambruk, menjatuhkan segala sesuatu yang ditopangnya.Menghela nafas sedalam samudera hindia untuk sekejap menghirup debu yang penuh dengan alunan kematian dan rasa sakit yang kan meresap pada tubuh yang kian menikmatinya. Di antara langit yang terjunjung senyum yang selalu terenyuh bersama kebahagiaan, dan di antara bumi yang terpijaki kedamaian ketika tertunduk, merasa tersakiti dengan kehancuran semesta. Terlihat celah membelah batuan kebahagiaan. Seperti sebuah jurang yang menyimpan berjuta kesengsaraan. Ada cinta yang terhirup, menghitamkan dada yang dibuat pulas ketika mimpi memeluk mata yang tertidur. Surya meng

  • Mencarimu dalam Bimbang   Puisi

    Irama keyword terus berkerlik, mengetuk pintu tombol huruf demi huruf, hingga tersurat gagasan cantik penuh rima.Seketika tongkat penopang amarah runtuh. Purnama itu terluka. Diam-diam geram merenggut keteguhan jiwa yang siap merana. Angin sejuk terhirup sesaat, ketika sesuatu tengah memberatkan beban yang ku pikul dengan benak yang lemah, purnama yang selalu ku puisikan.Hati ini tak pernah tegar, seringkali sedih berpangku pada nyanyian sukma yang terus mengganggu akal, nalar, dan pikiran yang penuh dengan rimbunan daun-daun kebutaan.Terlarut dalam kerasnya tantangan hukum dunia yang penuh dengan kebiadaban, aku terkalahkan. Aku tak mengerti dengan semua tuntutan kehidupan yang sungguh membebani.Daun-daun bertanya pada tumpukan kerinduan yang terdengar hampa.Aku milik siapa?Ombak yang membuat semua kegaduhan di hamparan samudera, tak menjawab apapun untuk lambaian nyiur yang tak bersuara.Aku butuh seseorang yan

  • Mencarimu dalam Bimbang   Kakak

    Ku saksikan senja di tengah kota. Terduduk lesu dalam kelajuan roda di sore yang buta. Suara kendaraan tak lagi ku perhatikan, hanya rambu-rambu jalan yang ku jadikan sebagai tempat ku bertukar cerita, cerita yang begitu menyakitkan.Masih dalam detik kehilangan senja yang sungguh melelahkan. Menyambut kesedihan yang mengundang. Jingga menyalami langit yang menceritakan masalah tentang lepasnya penantian. Kecemasan tenggelam dalam kelam, hingga tiada rasa percaya, bahwa roda akan berputar, dan cahaya terang akan dating bersama rembulan yang menemani malam di tengah rumpun keramaian.Gerutu yang berkecamuk membakar suara kota. Gemuruhnya lenyap ditelan kepedihan. Lelahku siap menjemput malam. Hanya Jangkrik yang berderik di atas pohon yang berdiri di atas kekokohan trotoar. Tiang-tiang tak menghentikan kekacauan. Kehancuran seolah membunuh dan hatiku tiada hentinya mengeluh.Dalam kegelisahan yang mengutuk. Aku hanya diam, menyesali apa yang sudah terjadi.

  • Mencarimu dalam Bimbang   Dalam rindu

    Ku ceritakan kisahku dalam sebuah buku harian.Bagaimana rasanya memiliki seorang kakak perempuan?Hatiku bertanya pada suara yang kerap tak terdengar. Sukma. Teriakanku mulai meninggi, menaiki rimbun pepohonan yang hijau. Daun-daun merunduk, membungkuk sampai tertimbun tanah.Tersurat dalam buku harian.Purnama yang sedang dalam tulisan.Terdengar membosankan, kidung sederhana selalu diperuntukkan pada sosok kakak perempuan. Padahal jalinan kami hanya sebatas sepupu.Sepupu.Tertunduk lesu saat menyadari hubunganku hanya sebatas sepupu. Rasa sayang ini terbilang normal, namun lebih dari sekedar sepupu. Lebih tinggi dari itu. Kakak kandung. Yaa, kakak perempuan. Aku ingin rembulan yang ku maksud bisa ku miliki dengan rasa bahagia yang kan ku beri untuknya dan rasa bahagia yang ingin ku dapat darinya.Amora.Gadis cantik bermata tiongkok itu terlahir dari rahim seorang wanita mulia dengan perawakan gemuk, berkulit putih,

  • Mencarimu dalam Bimbang   Kosan

    Terlihat di atas sana, dalam jendela kamar kos, sebuah wajah cantik seorang perempuan cantik yang mengenakan kemeja pink penuh dengan bunga. Senyumnya meyambut kedatangan kami. Tangan kiri yang memegang daun jendela, dengan kepala terselubungi sejadah yang hanya dipegang dengan tangan kanan untuk menutupi mahkotanya.“Hai, tunggu!!”Sapanya dengan senyum yang ramah dan segera berlalu meninggalkan jendela yang ia genggam.Ketukan kaki yang memijaki satu persatu anak tangga yang terbuat dari sebuah kayu terdengar begitu terburu-buru. Pintu hitam yang ku nantikan terbukanya, dengan segera Linda membukakannya untuk kami. Aku segera berlalu, meraih anak tangga yang akan mengantarku menuju kamar kos Linda di atas. Sebab tempat yang kami masuki merupakan tempat menyimpan kendraan roda dua bagi penghuni kos.Kakak perempuanku terdengar menyapa Linda dengan senyuman manis. Begitupun Linda, terlihat menyapa dan mencium punggung tangan Kakak pe

  • Mencarimu dalam Bimbang   Kau dalam puisi

    Seseorang telah membuat hatiku bahagia, merasakan kasih sayang seorang biadadari yang ku jadikan sebagai kakak perempuan dan aku menemukannya dalam rimbun daun dan nyanyian-nyanyian yang menghanyutkan.Amora (Cucu Susilawati).Hatiku terampas dari sepi yang benar-benar sukar untuk ku jelasakan, tanpa jelmaan malaikat yang ingin ku sebut sebagai kakak perempuan. Memang, itu bukan kerinduan. Harapan adalah nama yang lebih pantas untuk menyebut sebuah keinginan. Garis yang tergambar sebagai batas lintas pergaulan membuatku terpaku dalam permainan sebuah renungan.Memperhatikan mulut insan bicara di depanku lebih ku nikmati daripada harus ku getarkan tenggorokan kering untuk mengeluarkan suara di depan manusia yang belum ku tahu siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya. Mendengar langkah orang-orang yang datang ke rumah ku rasa lebih sempurna dibanding harus menyapa dan senyum ramah di depan pemilik suara kaki itu. Menguping pembicaraan adalah kecukupan yang

DMCA.com Protection Status