Sudah lebih dari sebulan. Nikil tidak pernah lagi pergi ke rumah sakit untuk bekerja. Pria itu tidak lagi bertugas sebagai Dokter di sana. Dan Amira baru menyadari hal itu. Saat sedang sarapan bersama. Amira bertanya pada Nikil. Tenang pekerjaan mereka berdua di rumah sakit. "Oh ya mas. Kapan kita ke rumah sakit lagi?" Tanyanya. Sekarang Amira sudah memanggil Nikil dengan sebutan mas. "Kamu sedang sakit? Apa yang kamu rasakan? Biar aku periksa." Nikil tidak menjawab pertanyaan Amira. Dia malah panik. Mengira wanita itu sedang sakit. "Tidak. Aku tidak sedang sakit. Tapi kamu kan seorang Dokter. Kamu bekerja di rumah sakit. Sepertinya sudah lama kita tidak bekerja." Amira menjelaskan maksud pertanyaannya. "Oh. Aku kira kamu sakit." Ucap Nikil. Kemudian pria itu melanjutkan menyuapkan makanan ke mulutnya. Amira merasa kesal karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban. Wanita itu kembali bertanya hal yang sama. "Mas." Panggil Amira. "Iya sayang. Ada apa?" Jawab Nikil.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Tanya Nikil. Amira tersadar dari lamunannya. Wanita itu juga baru sadar kalau dirinya sudah menatap wajah pria di hadapannya tanpa berkedip. "Terimakasih. Kamu sudah peduli denganku." Jawab Amira. "Aku akan selalu peduli padamu. Karena aku mencintaimu." Ucap Nikil membuat Amira tersenyum. Wanita itu yakin bahwa Nikil serius mencintai dirinya. "Jangan berbuat seperti tadi lagi! Aku takut. Takut kehilanganmu untuk kedua kalinya." Bisik Nikil di telinga Amira. Kemudian pria itu mencium leher jenjang wanita itu. Membuatnya merasa geli dan terpancing hasrat. "Jangan menciumiku di situ!" Amira menyuruh Nikil untuk menghentikan ciumannya. Dia takut kalau sampai dirinya terbawa hasrat kemudian melakukan hal yang belum seharusnya. "Kenapa? Kamu tidak suka?" Tanya Nikil. Amira menggeleng bukan karena tidak suka. Justru karena dia sangat menikmatinya dan merasakan ciuman yang selama ini dia rindukan. "Kenapa?" Tanya Nikil lagi. "Aku takut ki
Narendra melihat Amira berada di belakang Nikil. Wanita itu terlihat lebih cantik dari saat pertama kali bertemu waktu itu. Saat sedang hamil dulu. "Kamu?" Tanya Narendra pada Amira. Pria itu lupa dengan nama wanita itu. "Dia Humaira." Jawab Nikil. "Humaira? Bukankah dia asistenmu? Namanya A, Siapa sih aku lupa." Ucap Savitri. "Dia Amira Humaira. Mahasiswi tercantik di kampus tempat Nikil belajar." Ucap Nikil sambil melirik Amira. Amira bingung dengan apa yang di maksud oleh Nikil. Wanita itu tidak merasa dirinya masih sebagai mahasiswi. Dia sudah bekerja dan sudah menikah. Menjadi seorang ibu rumah tangga. "Oh. Jadi ini orangnya. Yang sudah membuat anakku pindah haluan." Ucap Savitri. Membuat Amira makin bingung dengan yang keluarga ini bicarakan. "Maksud tante apa ya?" Amira bertanya. Wanita itu penasaran dengan apa yang di ucapkan oleh Savitri. "Sudahlah ma! Biarkan Amira istirahat dulu. Ayok Mir! Silakan duduk!" Nikil mempersilakan pada Amira untuk duduk. Tapi wani
Ting tong. Bel pintu rumah berbunyi. Narendra dan Nikil sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Savitri dan Amira membantu Art nya memasak di dapur. "Bi. Tolong bukain pintu! Kayaknya ada tamu." Teriak Narendra sambil asik nonton TV. Begitupun juga Nikil. Dia tidak mau bangkit untuk membuka pintu. Karena tidak mau meninggalkan siaran berita tentang politik. Savitri yang mendengar teriakkan suaminya. Wanita itu melarang Mbok Asih. Art nya yang hendak keluar untuk membukakan pintu. Tapi dia malah menyuruh Amira. "Gak usah mbok! Lanjutin saja masaknya. Biar Amira saja yang membukakan pintu." Ucap Savitri pada Mbok Asih. "Iya nyonya." Jawab Mbok Asih. "Mira. Tolong kamu yang bukain pintu! Sekalian. Setelah itu kamu mandi ya! Biar ini semua mama sama Mbok Asih yang kelarin." Titah Savitri pada Amira. "Iya ma." Jawab Amira. Kemudian wanita itu keluar dari dapur dan menuju ke pintu depan. Saat pintu di buka. Seorang pria dan wanita berpenampilan mewah. Mereka berdua membawa
"mas. kita jalan-jalan yuk! Habis itu kita makan malam di restoran pinggir pantai. Gimana?" Ajak Amira pada suaminya. "Hmmm gimana ya. Oke deh." Jawab Amar suami Amira. Mereka berdua pergi jalan-jalan ke pantai. Sore hari tempat itu sangat ramai. Banyak para turis yang datang untuk melihat sunred. Setelah petang. Mereka berdua mampir ke restoran untuk makan malam. Amira sudah menyiapkan kado kecil untuk suaminya. Sebagai hadiah kejutan di hari jadi mereka. Saat menunggu makanan di sajikan. Amira dan Amar berfoto bersama. Mengabadikan momen berdua di restoran bintang lima. Tiba-tiba ponsel milik Amar berdering. Pria itu segera mengangkatnya. "Halo. Iya pak. Gimana?" Ucap Amar. "Ah sinyalnya jelek. Sebentar ya sayang. Mas keluar dulu nyari sinyal." Ucap Amar lagi. Pria itu pamit keluar untuk mencari sinyal. Karena di dalam sinyalnya tidak bagus. Amira mengizinkan suaminya keluar. Lagian cuma menerima telefon dari bosnya. Sampai makanan yang di pesan sudah datang. Amar ma
Seorang Dokter dan dua perawat. Mereka masuk ke ruang ICU dengan tergesa-gesa. Amira dan Alisa panik. Mereka takut kalau yang di tujunya itu ibu mereka. "Dokter apa yang terjadi? ada apa ini Dok?" Tanya Amira dengan panik. Farel juga datang sambil berlari. Pria itu langsung memeluk istrinya. Memberi kekuatan agar Alisa tidak cemas memikirkan ibunya di dalam ruangan itu. "Mas. Dokter itu. Mereka tidak sedang mengatasi ibu kan? Ibu baik-baik saja kan?" Ucap Alisa mengharap tidak terjadi sesuatu pada ibunya. "Kita berdoa saja. Semoga ibu kita cepat melewati masa kritisnya!" Jawab Farel "Mas. Apa Mas Farel bisa bantu menyembuhkan ibu?" Tanya Amira. Wanita itu mendadak seperti bodoh. Padahal dia tahu kalau kakak iparnya itu adalah seorang Dokter anak. Bukan Dokter spesialis. "Aku cuma Dokter anak. Aku tidak bisa berbuat apapun untuk itu." Jawab Farel. Amira kecewa. Wanita itu duduk di bangku depan ruangan itu. Dia duduk sendiri. Sedangkan Alisa masih terisak dalam pelukan s
Amira menceritakan tentang menghilangnya Amar. Suaminya itu pergi tak pernah kembali. Dia sudah menghilang bak di telan bumi. Karena itulah Amira minta untuk di carikan pekerjaan. Agar bisa punya penghasilan sendiri. Untuk bisa menyambung hidup. untuk bisa memghilangkan kesedihannya. "Tolong ya kak Lisa kan punya banyak teman. Kak Farel juga. Bantuin adik iparmu yang sedang kesusahan ini." Rayu Amira. "Kamu tidak perlu susah. Aku bisa bantu keuangan kamu. Nanti Lisa yang mengaturnya." Jawab Farel. "Tapi aku juga butuh kesibukan." Jawab Amira. Farel dan Alisa berjanji. Mereka akan membantu Amira untuk mencarikan pekerjaan. Mereka bertiga asik mengobrol hingga petang. Setelah merasa cukup lama bertamu di rumah adiknya. duo sejoli itu pamit pulang. Alisa juga berjanji. Dia akan datang lagi besok. Sebelum berangkat bekerja. Dia akan mampir dulu. Pukul tujuh pagi. Pintu rumah Amira sudah ada yang mengetuk. Ternyata benar. Alisa datang ke rumah sebelum berangkat kerja. "Kak
Siang ini. Amira pergi ke rumah sakit. Tempat dimana Farel bekerja. Wanita itu menemui kakak iparnya lebih dulu. Menuju ke ruangannya. Tok tok tok "Masuk!" Ucap Farel dari dalam ruangannya. "Kak Farel tadi yang minta aku datang ke sini?" Tanya Amira sambil masuk ke ruangan itu. "Iya. Silahkan duduk!" Titah Farel. Amira pun duduk di depan meja kerja Farel. Mereka berdua duduk saling berhadapan. Sambil menunggu kedatangan teman kerjanya. "Ada pekerjaan apa buatku kak?" Tanya Amira. "Kamu penginya kerja apa?" Farel balik bertanya. "Apa saja. Yang penting bisa kerja. Biar ada kegiatan dan punya penghasilan." Jawab Amira. Tak berapa lama. Orang yang di maksud oleh Farel pun datang. Dia masuk ruangan itu lalu duduk di bangku sebelah Amira. "Ini temanku yang sedang membutuhkan seorang asisten. Dia adalah Dokter Nikil Saputra." Farel memperkenalkan temannya pada Amira. "Kamu Dokter yang tadi kan?" Tanya Amira. "Ibu Amira kan?" Nikil balik bertanya. "Iya. Saya Amira.
Ting tong. Bel pintu rumah berbunyi. Narendra dan Nikil sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Savitri dan Amira membantu Art nya memasak di dapur. "Bi. Tolong bukain pintu! Kayaknya ada tamu." Teriak Narendra sambil asik nonton TV. Begitupun juga Nikil. Dia tidak mau bangkit untuk membuka pintu. Karena tidak mau meninggalkan siaran berita tentang politik. Savitri yang mendengar teriakkan suaminya. Wanita itu melarang Mbok Asih. Art nya yang hendak keluar untuk membukakan pintu. Tapi dia malah menyuruh Amira. "Gak usah mbok! Lanjutin saja masaknya. Biar Amira saja yang membukakan pintu." Ucap Savitri pada Mbok Asih. "Iya nyonya." Jawab Mbok Asih. "Mira. Tolong kamu yang bukain pintu! Sekalian. Setelah itu kamu mandi ya! Biar ini semua mama sama Mbok Asih yang kelarin." Titah Savitri pada Amira. "Iya ma." Jawab Amira. Kemudian wanita itu keluar dari dapur dan menuju ke pintu depan. Saat pintu di buka. Seorang pria dan wanita berpenampilan mewah. Mereka berdua membawa
Narendra melihat Amira berada di belakang Nikil. Wanita itu terlihat lebih cantik dari saat pertama kali bertemu waktu itu. Saat sedang hamil dulu. "Kamu?" Tanya Narendra pada Amira. Pria itu lupa dengan nama wanita itu. "Dia Humaira." Jawab Nikil. "Humaira? Bukankah dia asistenmu? Namanya A, Siapa sih aku lupa." Ucap Savitri. "Dia Amira Humaira. Mahasiswi tercantik di kampus tempat Nikil belajar." Ucap Nikil sambil melirik Amira. Amira bingung dengan apa yang di maksud oleh Nikil. Wanita itu tidak merasa dirinya masih sebagai mahasiswi. Dia sudah bekerja dan sudah menikah. Menjadi seorang ibu rumah tangga. "Oh. Jadi ini orangnya. Yang sudah membuat anakku pindah haluan." Ucap Savitri. Membuat Amira makin bingung dengan yang keluarga ini bicarakan. "Maksud tante apa ya?" Amira bertanya. Wanita itu penasaran dengan apa yang di ucapkan oleh Savitri. "Sudahlah ma! Biarkan Amira istirahat dulu. Ayok Mir! Silakan duduk!" Nikil mempersilakan pada Amira untuk duduk. Tapi wani
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Tanya Nikil. Amira tersadar dari lamunannya. Wanita itu juga baru sadar kalau dirinya sudah menatap wajah pria di hadapannya tanpa berkedip. "Terimakasih. Kamu sudah peduli denganku." Jawab Amira. "Aku akan selalu peduli padamu. Karena aku mencintaimu." Ucap Nikil membuat Amira tersenyum. Wanita itu yakin bahwa Nikil serius mencintai dirinya. "Jangan berbuat seperti tadi lagi! Aku takut. Takut kehilanganmu untuk kedua kalinya." Bisik Nikil di telinga Amira. Kemudian pria itu mencium leher jenjang wanita itu. Membuatnya merasa geli dan terpancing hasrat. "Jangan menciumiku di situ!" Amira menyuruh Nikil untuk menghentikan ciumannya. Dia takut kalau sampai dirinya terbawa hasrat kemudian melakukan hal yang belum seharusnya. "Kenapa? Kamu tidak suka?" Tanya Nikil. Amira menggeleng bukan karena tidak suka. Justru karena dia sangat menikmatinya dan merasakan ciuman yang selama ini dia rindukan. "Kenapa?" Tanya Nikil lagi. "Aku takut ki
Sudah lebih dari sebulan. Nikil tidak pernah lagi pergi ke rumah sakit untuk bekerja. Pria itu tidak lagi bertugas sebagai Dokter di sana. Dan Amira baru menyadari hal itu. Saat sedang sarapan bersama. Amira bertanya pada Nikil. Tenang pekerjaan mereka berdua di rumah sakit. "Oh ya mas. Kapan kita ke rumah sakit lagi?" Tanyanya. Sekarang Amira sudah memanggil Nikil dengan sebutan mas. "Kamu sedang sakit? Apa yang kamu rasakan? Biar aku periksa." Nikil tidak menjawab pertanyaan Amira. Dia malah panik. Mengira wanita itu sedang sakit. "Tidak. Aku tidak sedang sakit. Tapi kamu kan seorang Dokter. Kamu bekerja di rumah sakit. Sepertinya sudah lama kita tidak bekerja." Amira menjelaskan maksud pertanyaannya. "Oh. Aku kira kamu sakit." Ucap Nikil. Kemudian pria itu melanjutkan menyuapkan makanan ke mulutnya. Amira merasa kesal karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban. Wanita itu kembali bertanya hal yang sama. "Mas." Panggil Amira. "Iya sayang. Ada apa?" Jawab Nikil.
"Iwa. Apa nyonya belum bangun?" Tanya Nikil pada Iwa Kadek. "Sudah tuan. Tadi yang masak semua ini juga nyonya." Jawab Iwa Kadek. "Tuan di suruh makan duluan saja. Nanti nyonya akan makan sendiri katanya." Ucap Iwa Kadek lagi. "Sekarang nyonya ada di mana?" Tanya Nikil. "Ada di kamar. Tadi bilangnya mau istirahat sebentar." Jawab Iwa Kadek lagi. Nikil mengira kalau Amira sedang sakit. Pria itu tidak jadi makan. Tapi malah kembali ke kamarnya. Kemudian keluar lagi dengan membawa perlengkapan dokternya. Nikil mengetuk pintu kamar Amira dan memanggilnya. Berkali-kali dia memanggil. Tapi tidak ada suara sahutan dari dalam. Pria itu menjadi panik. Takut Amira kenapa-napa. "Mira. Mir. Buka pintunya Mir! Kamu baik-baik saja kan?" Teriak Nikil. Pria itu berusaha mendobrak pintunya. Tapi saat dia akan mendobrak. Amira membuka pintu itu dan akhirnya. Dia malah menabrak Amira. Lalu terdorong dan terjatuh. Nikil menindih tubuh Amira. Wanita itu meringis kesakitan. Karena tertimp
"Siapa yang datang Iwa?" Tanya Amira dan Nikil bersamaan. "Namanya Shella dan calon suaminya." Jawab Iwa Kadek. "Oh iya. Suruh mereka masuk!" Titah Amira. Nikil masuk ke kamarnya. Pria itu mau mandi dulu. Karena merasa badannya bau amis karena setelah mencuci udang tadi. Amira ke ruang tamu. Menyambut kedatangan temannya itu. Wanita itu terlihat sangat bahagia bertemu dengannya. "Shella. Apa kabar?" Ucap Amira sambil memeluknya. "Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?" Tanya Sella. "Seperti yang kamu lihat." Jawab Amira. "Kamu nampak lebih baik di banding saat terakhir kita bertemu." Ucap Sella. "Oh ya?" Ucap Amira. "Iya. Beneran." Jawab Shella. "Kenalin. Ini Nandito. Calon suamiku." Shella memperkenalkan calon suaminya pada Amira. Setelah saling berkenalan. Mereka duduk di sofa. Kemudian Nikil datang. Pria itu sudah mandi dan mengganti baju santai yang lain. "Ada tamu rupanya." Ucap Nikil. "Iya mas. Ini temanku namanya Shella. Dan ini Nandito. Calon suaminya."
"Sekarang kita ke tempat ikan. Aku mau belanja ikan juga." Ucap Amira. Lagi-lagi wanita itu menarik tangan Nikil. "Kan sudah beli daging." Protes Nikil. "Aku pengen masak yang banyak." Jawab Amira. Nikil menurut saja saat tangannya di tarik oleh wanita pujaan hatinya. Pria itu merasa senang. Tapi tetap berpura-pura tidak suka. "Ayo mas. Bayar lagi. Semua cuma seratus ribu." Ucap Amira lagi. "Seratus ribu? Ikan apa itu?" Tanya Nikil pura-pura tidak tahu. "Ini udang dan ini cumi. Aku tidak jadi beli ikan." Jawab Amira tanpa merasa bersalah. "Sekarang aku mau beli sayuran." Ucap Amira lagi. Wanita itu memberikan belanjaannya pada Nikil. Kemudian menuju ke tempat sayuran. Setelah semua belanjaannya di rasa cukup. Amira langsung meminta untuk pulang. Wanita itu sangat merasa puas. Dan mereka pun pulang ke rumah. Sampai di rumah. Amira meminta tolong pada Iwa Made untuk membawakan belanjaannya ke dalam. Sedangkan Nikil melenggang masuk ke dalam rumah tanpa membawa satu
Pagi ini mereka berdua sarapan pagi bersama seperti biasa. Tapi perasaan di antara keduanya tidak seperti biasanya. Mereka merasakan hal yang sama. Nikil merasa sangat bahagia. Karena Amira berubah menjadi perhatian dan memanggil dirinya dengan sebutan mas. Sedangkan Amira merasa lebih tenang hatinya. Karena tidak lagi terbebani oleh perasaannya pada Amar. Wanita itu sudah ikhlas untuk melepaskannya. "Tumben sekali kamu seperti ini? Ada angin apa yang membuat kamu jadi perhatian padaku?" Tanya Nikil. "Tidak juga. Aku tidak perhatian padamu. Aku melakukan hal yang seperti biasanya." Jawab Amira Nikil berfikir sejenak. Memang benar apa yang di katakan oleh wanita di depannya itu. Dia melakukan hal yang seperti biasanya. "Kamu memang melakukan hal yang sama. Tapi aku merasa ada yang berbeda denganmu." Ucap Nikil. "Itu cuma perasaanmu saja." Ucap Amira. "Mungkin juga sih. Tapi aku lebih suka kamu yang seperti ini." Ucap Nikil lagi. Setelah itu makan. Nikil duduk di teras
"Sepertinya saya tidak mungkin bisa membeli barang semahal itu. Maaf Pak Nicolas. Kami permisi dulu." Ucap Nikil menutupi sikap Amira yang mulai labil. "Oh iya silahkan!" Jawab Nicolas. Nikil merangungkul punggung Amira. Dan mengajaknya pulang. Mereka berdua berjalan menuju ke tempat parkir. Kemudian langsung masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil. Amira duduk sambil menangis. Wanita itu meratapi kesedihannya. Sakit rasanya saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bersama dengan seorang istri. Bahkan dia tidak mengenalinya bahwa wanita yang di hadapannya adalah istrinya sendiri. "Kalau kamu masih ingin menangis. Menangislah sepuasnya. Biar kamu bisa lebih baik." Ucap Nikil. Amira berhenti menangis. Wanita itu menatap pria di sampingnya dengan sinis. Dia sangat kesal mendengar ucapannya barusan. "Kenapa menatapku seperti itu? Apa aku salah? Kalau begitu aku minta maaf." Ucap Nikil lagi. "Kamu memang pria yang aneh. Pantas saja sampai sekarang belum punya istri." Jawab Ami