Fani mengurung diri dalam kamar, semua pintu di dalam rumah dikunci, Fani menggigil ketakutan. Wajah bengis Munos kala menyiksanya di ranjang, wajah Munos saat mendorongnya hingga jatuh berguling, semua hadir lagi di kepalanya. Fani menangis tersedu dan tak ada seorang pun menenangkannya, Tiyan suaminya masih di lokasi proyek, tempat di mana Munos juga berada. Fani melupakan suatu hal, nama Munos adalah Munos Karim."Kenapa kamu harus hadir lagi di hidup aku, malah begitu dekat, kenapa ya Allah? " isaknya, hingga waktu menjelang sore.Tiyan beberapa kali menelepon Fani, namun ia abaikan. Melihat ponselnya berdering pun, Fani takut, Munoslah yang menghubungi, jadi dia tak ingin melihatnya. Tiyan sangat khawatir, tepat pukul lima sore, Tiyan langsung pamit pulang pada Munos dan juga Pakde Warmo.Tuk!Tuk!"Sayaaang, buka pintunya!"Tak ada jawaban dari dalam rumah.Tuk!Tuk!Mata Tiyan menyapu sekitar teras, ada sepatu sandal yang dipakai Fani saat ke proyek tadi. Itu menandakan bahwa F
I love u, Fani.I love you too husbandSetiap kalimat yang terujar dari mulut Fani dan suaminya, serta pacuan nafas keduanya, semua itu terekam di dalam ingatan Munos. "Cukup! kamu akan segera kembali menjadi milikku Fani, dengan cara apapun!" geram Munos dalam hati lalu meninggalkan rumah Fani dengan perasaan terbakar cemburu.Pagi pun menyambut mereka dengan udara yang cukup dingin, Fani susah payah membuka matanya, mereka kesiangan sholat shubuh karena baru tidur pukul setengah tiga pagi. "Sayaaang..." Fani membangunkan Tiyan."Eehhmm, udah shubuh ya De? "tanya Tiyan malas-malasan tanpa membuka mata."Sarapan aja udah telat, Yang," ucap Fani sambil terkekeh."Astagfirulloh." Tiyan lompat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi.Pukul setengah sepuluh Fani sudah duduk di meja makan menyiapkan roti bakar yang baru saja dibuatnya untuk sarapan suaminya. Tiyan makan dengan cepat, dia sudah sangat terlambat untuk ke proyek."Hati-hati sayang, ingat pesan Ade ya, jangan terlalu deka
Di sinilah Fani dan Tiyan sekarang, di dalam pesawat kelas bisnis dari Malang menuju Jakarta. Tiyan dan Fani yang belum pernah naik pesawat sama sekali, merasa sedikit aneh, namun mereka menyembunyikan kekhawatirannya. Munos yang duduk di kursi penumpang samping mereka memperhatikannya dengan senyum kecil."Ade masih takut?" bisik Tiyan pada Fani."Ndak Mas, Ade sudah ga papa, cuma ade ga suka tatapan Munos yang tajam seperti itu!" Fani sekilas melirik Munos tatapan mereka beradu. Fani membuang pandangan kepada suaminya."Yah, cuma mandang tak apa De, mungkin Pak Munos masih ada rasa sama ade,"ucap Tiyan menggoda."Ih, ogah amit-amit, kalau ga karena mama Sundari sakit, ade juga ga mau ke Jakarta Mas, terlalu banyak luka di Jakarta," sahut Fani sendu. "Ya sudah masih ada waktu setengah jam lagi sebelum sampai De, sebaiknya kita istirahat," ucap Tiyan sambil mengusap kepala Fani dari balik khimarnya. Tak semenit pun terlewat dari pandangan Munos, bagaimana cara Tiyan begitu manis mem
"Ya Allah, ternyata benar ini kamu Nak, wanginya sama, wangi minyak kayu putih. Terimakasih ya Allah, di sisa usiaku yang tak lama lagi, Engkau kembalikan menantuku," isak Bu Sundari, air matanya deras mengalir, pelukannya begitu erat kepada Fani. Pak Karim yang menyaksikan ikut meneteskan air mata, begitu juga Munos dan Tiyan, mereka terharu. Begitu besar kerinduan dan cinta Bu Sundari kepada Fani, wanita yang pernah menjadi menantunya. Bu Sundari merenggangkan pelukannya, menatap Fani dengan seksama, menyentuh lembut pipi Fani. "Ya Allah cantiknya menantuku," puji Bu Sundari menatap Fani dengan berbinar. Khimar yang dipakai Fani sangat pas di wajahnya.Fani tersenyum lalu menunduk malu, pandangannya beralih kepada Pak Karim. "Pa," panggil Fani, lalu menghampiri Pak Karim dan mencium punggung tangannya. Pak Karim balas mengusap lembut kepala Fani."Itu siapa?" tanya Bu Sundari tiba-tiba, saat melihat Tiyan berdiri di samping Munos."Itu..mmm..suami Fani, Ma," ucap Fani ragu, takut
Bau obat-obatan dan disinfektan begitu menyengat, menyadarkan Fani dari pingsannya. Tampak Munos sedang duduk di kursi samping ranjang Fani, sambil menutup mata. Tampak luka dipelipisnya yang dibalut perban dan sedikit lebam biru di tulang pipinya.Fani menatap sekeliling dengan tatapan layu."Pak," panggilnya lirih."Pak," panggilnya lagi, membuat Munos terbangun dari tidurnya."Eh..kamu sudah sadar, Fan? Alhamdulillah," ucap Munos lega."Mana suami saya?" "Mmmhh...masih di ICU. " "Saya mau ke sana!" "Kamu masih lemah, Fan." "Tidak, bawa aku ke sana!" Fani mencoba duduk dan menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang."Sssssttt..." Fani merintih memegang perutnya."Hati-hati, Fan!" Munos mencoba memegang lengan Fani."Lepas! Saya bisa sendiri," ucap Fani ketus sambil menepis tangan Munos. Dengan tertatih sambil memegang perut, Fani mencoba meraih pegangan pintu ruang perawatan."Ssstt..aaahhh." Fani berjongkok menahan nyeri pada perutnya.Munos dengan sigap menghampiri dan membant
"Pak, sa...ya..ti..tiip..anak dan..." Tiyan menarik nafas."Istri...s-saya..ngi..mere..ka..to..long," ucap Tiyan terbata. Munos meneteskan air mata iba. "Saya berjanji, Mas," ucap Munos pelan, karena ia juga menahan air mata."Maas....ya Allah...ya Allah..Mas.. Dokteerr!" jerit Fani histeris sambil memanggil dokter, saat nafas suaminya semakin terengah-engah."Aku...men..cintaiimuu..De..saa..ngaatt...." Air mata Tiyan menetes, nafasnya semakin sesak.Dokter datang memeriksa mencoba segala cara."Asyhadu allaa..ilaa..ha illallah..wa asyhadu annaa muhammadarrasulullah. "Ttiiiiiiit!"Innaalillahi wa inaa ilaihii rooji'un. "Ucap dokter dan perawat."Tidak!Ya Allah.....ya Allah...Mas, jangan tinggalkan aku Mas!" Fani menjerit histeris, Munos berusaha menenangkan dengan merangkulnya, namun tenaga Fani begitu kuat, dada Munos dipukuli oleh Fani."Ini semua gara-gara kamu! Kamu pembunuh! Kamu pembunuh! Aku benci kamu! Pergiiiiiii!" "Faaan...tenang!" Munos masih merangkul Fani walaupun Fani
Lima Bulan KemudianPerut Fani sudah tampak membuncit di usia kehamilan menginjak lima bulan. Senyum selalu terkembang di bibirnya takkala berbicara atau sekedar mengusap perutnya. Sore ini, Fani tengah duduk di depan mesin jahitnya, fokus mengerjakan sesuatu."Permisi, paket!" suara seorang pria di depan pintu rumahnya.Fani membuka pintu lebar, tampak sang kurir pengantar membawa kotak yang cukup besar yang terbungkus kertas kado yang lucu.Dari : Oma Sundari JakartaFani tersenyum saat tahu siapa pengirim semua barang-barang itu. Sejak meninggalnya Tiyan, Bu Sundari dan Pak Karim rutin mengirimkan barang apa saja kepada Fani, mereka juga rutin menelepon dan juga video call menanyakan kabar Fani dan kandungannya.Setelah mengucapkan terimakasih, Fani masuk dan penasaran segera membuka kotak besar tersebut."Apa itu, Nduk?" tanya si mbok ikut duduk bersama Fani di karpet depan ruang tv."Dari Bu Sundari, Mbok," sahut Fani dengan senyuman. Ibu Tiyan kini tinggal bersama Fani, menemani
"Ya Allah, ya nggak, Fan." Munos mengusap dadanya kaget mendengar sindiran Fani barusan. Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya, Fani membungkam mulutnya, begitu juga dengan Munos, ia tidak ingin salah bicara lagi yang bisa mengakibatkan Fani marah."Bapak ga ke kantor?" tanya Fani berbasa-basi saat kini mereka tengah dalam perjalanan.Kota Malang memang tak semacet Jakarta atau Bandung, Fani masih dapat menikmati pemandangan sepanjang perjalanan."Tidak, hari ini saya sengaja libur, paling nanti sore ke proyek, ada perlu dengan Pakde Warmo."Fani mengangguk, tak ada percakapan lagi."Apakah dia sudah mulai bergerak?" tanya Munos menatap perut Fani yang membuncit."Sudah.""Mm...apa saya boleh merasakan gerakannya?" tanya Munos pelan."Tidak!"Bahu Munos melorot, baiklah Fani memang belum bisa benar-benar berdamai dengan dirinya. Bisa seperti ini saja sudah luar biasa sudah alhamdulillah.Beep!Beep!Ponsel Munos berdering.[Hallo Assalamualaikum, Mah][Iya sudah tadi malam, ini sekara