Aku merasa lega dan bebas saat melangkah meninggalkan ruang persidangan.Ketika aku mengantar Haikal pergi, tiba-tiba Harry muncul dan berlari ke arahku. Orang-orang yang berada di sekitar langsung mengadang untuk melindungiku.Beberapa orang menahan Harry agar tidak bertindak gegabah. Penampilan Harry pasrah dan acak-acakan. Dia menatap seolah sedang menyalahkanku. "Sayang ...."Aku jijik mendengar panggilan tersebut."Maya, jangan pergi! Lepaskan aku, jangan tahan aku! Maya, tolong berikan aku kesempatan bicara." Harry berusaha menepis tangan-tangan yang menahannya. Dia menatapku dengan memelas. "Maya, berikan aku kesempatan bicara. Walaupun sudah cerai, masih ada banyak hal yang perlu kita bicarakan. Sayang, aku mohon.""Berhenti memanggilku sayang, kamu nggak punya hak! Aku nggak merasa ada yang perlu dibicarakan lagi, pengadilan telah memutuskan semuanya." Aku melemparkan tatapan sinis."Nggak, Maya! Aku mohon! Kalian jangan menahanku! Lepaskan aku ...." Harry menatapku dengan cem
Harry tersentak mendengar ucapanku, dia menatapku hingga mematung. Aku dapat melihat keengganan dan kepasrahan yang tersirat di matanya."Maya, kalian sudah cerai! Kamu masih berani menggoda Harry di depan umum? Wanita nggak tahu malu!" Jasmine berlari ke samping Harry dan menarik tangannya.Aku menyeringai jijik, lalu berkata kepada Harry, "Aku ingatkan untuk terakhir kalinya. Kamu adalah pria yang tidak berbakti, tidak berguna, tidak setia, pengecut, menelantarkan istri dan anak. Tunggu saja karmamu! Pengadilan telah memutuskan perceraian, bangunlah dari mimpimu! Mulai sekarang jangan pernah menemuiku lagi."Setelah bicara, aku membalikkan badan dan pergi meninggalkannya. Ketika membalikkan badan, sekilas aku melihat mata Harry yang memerah dan berkaca-kaca.Aku berterima kasih kepada Haikal, lalu mengajak ibuku dan Fanny pulang. Dari kaca spion, aku melihat Harry yang berdiri mematung sambil menyaksikan mobilku melaju pergi.Kami singgah ke rumah sakit untuk menjemput ayahku pulang.
Pria ini bernama Oscar Tandra, dia adalah kakak kelasku semasa sekolah.Setahuku Oscar berada di luar negeri, aku sudah bertahun-tahun tidak mendengar kabarnya. Aku langsung memerintahkan asistenku, Shea, untuk menghubungi Oscar.Shea adalah karyawan lama. Meskipun pendidikannya tidak tinggi, dia memiliki daya ingat yang kuat dan cerdas, kinerjanya pun bagus. Aku mempertahankan Shea karena dia pernah bertengkar dengan Jasmine.Ketika kami bertemu, Oscar terlihat sangat tenang. Aku yakin, dia sudah mengetahui bahwa aku adalah pemilik Aurous Construction.Aku bertanya sambil tersenyum, "Kamu masih ingat aku?""Em." Oscar membalas senyumanku. "Aku tahu kamu adalah pemilik perusahaan ini.""Tapi perusahaanku hanyalah perusahaan kecil, nggak cocok untuk pendidikanmu yang tinggi." Aku tidak ingin memberikan janji kosong. "Gajinya pun mungkin nggak setinggi yang kamu harapkan.""Kalau kamu merasa kinerjaku bagus, kamu bisa memberikanku sedikit saham perusahaan. Yang penting kita berdua tidak
Selama menempuh perjalanan udara ke Kota Jola, aku menatap langit cerah dan awan putih yang membentang di luar. Entah kenapa, tiba-tiba wajah Taufan muncul di dalam benakku.Sejak sidang perceraian selesai, aku tidak pernah bertemu Taufan lagi. Dia tidak pernah menghubungiku lagi, sejujurnya aku agak kecewa. Namun aku juga menahan diri dan berusaha menjaga jarak darinya.Tidak disangka, Taufan panjang umur. Begitu pesawat mendarat, aku melihat sebuah panggilan tak terjawab saat menyalakan ponsel.Aku berpikir sebentar, lalu meneleponnya. Sesaat panggilan dijawab, dia langsung bertanya, "Di mana?""Baru mendarat di Kota Jola," jawabku."Sendiri?" tanya Taufan."Em.""Oh, hati-hati. Matikan teleponnya."Aku merasa cara bicara Taufan terdengar asing dan berjarak. Aku menggenggam erat ponselku, dia meneleponku hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak penting? Ketika aku mau menanyakan keberadaan dan tujuannya menghubungiku, dia sudah menutup panggilannya.Aku kesal dan menyimpan kembal
Aku mengira diriku sedang berhalusinasi. Aku memijat kepalaku, lalu kembali berbaring. Di saat bersamaan, pintu kamarku kembali diketuk.Semua rasa kantukku sontak sirna, aku tidak sedang bermimpi. Aku menegakkan tubuhku, siapa yang mengetuk pintu kamarku? Aku agak ketakutan. "Siapa?""Aku," jawab orang tersebut.Aku tidak meragukan pendengaranku, apakah aku sedang mengigau?Dia lanjut berkata, "Buka pintu, ini aku."Aku melompat dari tempat tidur dan berlari ke depan pintu. Suara itu .... Aku mengintip melalui lubang intip di pintu, aku terkejut melihat sebuah sosok tinggi dan tampan yang berdiri di luar.Tanpa pikir panjang, aku buru-buru membuka pintu kamarku. Taufan yang kelelahan tampak berdiri tegap dan menatapku.Aku menatapnya hingga tercengang. Aku tidak berani berkedip, takutnya dia menghilang dari pandanganku. Semua ini terasa seperti mimpi, aku bertanya dengan suara gemetar, "Kok ... kamu ada di sini?"Aku sungguh ingin memeluknya, tetapi aku tidak berani.Dia tersenyum kec
Keesokan hari.Hari sudah siang saat kami bangun. Taufan memeluk erat tubuhku. Jika bukan karena Sandy menelepon, mungkin Taufan tidak akan melepaskanku.Taufan baru melepaskanku setelah aku mengatakan ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Apalagi nanti malam aku harus kembali ke Kota Reva.Taufan bangun dan menemaniku makan siang. Aku tidak menyukai hubungan tanpa status, aku tidak memahami arah perkembangan hubungan ini.Kami adalah dua orang dewasa menjalin hubungan khusus tanpa komitmen. Taufan tidak pernah menegaskan arah hubungan kami, aku tidak tahu bagaimana menyebut hubungan ini. Anehnya, aku tidak bisa menolak kehadiran Taufan, aku senang berada di sisinya.Meskipun tidak ada status dan kejelasan, aku nyaman bersama Taufan. Dia juga melakukan semuanya tanpa meminta persetujuanku, pria ini sangat arogan.Aku tidak berani menanyakan kejelasan hubungan ini, aku takut kecewa.Aku tiba di Kota Reva pada tengah malam. Saking capeknya, aku bahkan tidak sanggup mengucapkan sepatah k
Waktu yang kutunggu pun tiba. Taufan dan wanita itu bangkit berdiri. Sembari mengobrol, wanita itu merangkul lengan Taufan sambil melihat ke sekeliling restoran. Wanita itu memiliki wajah yang mungil. Tidak bisa dibilang sangat cantik, tetapi dia memiliki aura yang berkharisma.Taufan menatapku dengan datar. Wanita yang berada di sampingnya mengikuti arah mata Taufan, lalu menoleh ke arahku. Sesaat melihatku, wanita itu sontak tercengang. Raut wajahnya kelihatan agak aneh.Aku tidak salah lihat, wanita itu terlihat salah tingkah.Di saat aku termenung, Taufan mengajak wanita itu pergi. Sebelum menghilang dari pandanganku, wanita itu menoleh dan menatapku.Fanny sadar bahwa kehadiran Taufan dan wanita asing telah memengaruhi suasana hatiku. "Kita pindah tempat saja. Bagaimana kalau kita pergi minum? Tempat ini nggak seru."Aku menyetujui ide Fanny. Kebetulan aku juga ingin minum.Fanny membawaku ke Bar Arkon yang terletak di sebelah selatan kota. Sejujurnya aku tidak begitu menyukai tem
Aku berteriak ketakutan saat merasakan sebuah benda yang akan menghantam kepalaku. Namun anehnya aku tidak kesakitan, aku justru mendengar suara pecahan yang berderak.Aku tersadar sepenuhnya, lalu membalikkan badan untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat pria itu tersungkur di atas meja, sementara sebuah sosok tinggi dan tampan melindungiku dari belakang.Raut wajah Taufan terlihat sangat masam.Pria asing itu bangkit berdiri dan kembali menyerang Taufan. Aku berteriak ketakutan, sementara Taufan menghajar pria itu dengan santai.Keributan ini menarik perhatian banyak orang. Taufan menarik lenganku dan menyeretku meninggalkan bar ini. Fanny memungut tas kami, lalu buru-buru mengikuti dari belakang."Kamu makin pintar, beraninya minum-minum di tempat kayak gini?" Taufan membentakku.Kejadian barusan membuatku ketakutan. Sebelum aku mencerna semua yang terjadi, Taufan malah memarahiku. Aku terkejut melihat wajahnya yang mengerikan. Hem, semua pria sama saja!Tadi Taufan tidak bersik
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung