Waktu yang kutunggu pun tiba. Taufan dan wanita itu bangkit berdiri. Sembari mengobrol, wanita itu merangkul lengan Taufan sambil melihat ke sekeliling restoran. Wanita itu memiliki wajah yang mungil. Tidak bisa dibilang sangat cantik, tetapi dia memiliki aura yang berkharisma.Taufan menatapku dengan datar. Wanita yang berada di sampingnya mengikuti arah mata Taufan, lalu menoleh ke arahku. Sesaat melihatku, wanita itu sontak tercengang. Raut wajahnya kelihatan agak aneh.Aku tidak salah lihat, wanita itu terlihat salah tingkah.Di saat aku termenung, Taufan mengajak wanita itu pergi. Sebelum menghilang dari pandanganku, wanita itu menoleh dan menatapku.Fanny sadar bahwa kehadiran Taufan dan wanita asing telah memengaruhi suasana hatiku. "Kita pindah tempat saja. Bagaimana kalau kita pergi minum? Tempat ini nggak seru."Aku menyetujui ide Fanny. Kebetulan aku juga ingin minum.Fanny membawaku ke Bar Arkon yang terletak di sebelah selatan kota. Sejujurnya aku tidak begitu menyukai tem
Aku berteriak ketakutan saat merasakan sebuah benda yang akan menghantam kepalaku. Namun anehnya aku tidak kesakitan, aku justru mendengar suara pecahan yang berderak.Aku tersadar sepenuhnya, lalu membalikkan badan untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat pria itu tersungkur di atas meja, sementara sebuah sosok tinggi dan tampan melindungiku dari belakang.Raut wajah Taufan terlihat sangat masam.Pria asing itu bangkit berdiri dan kembali menyerang Taufan. Aku berteriak ketakutan, sementara Taufan menghajar pria itu dengan santai.Keributan ini menarik perhatian banyak orang. Taufan menarik lenganku dan menyeretku meninggalkan bar ini. Fanny memungut tas kami, lalu buru-buru mengikuti dari belakang."Kamu makin pintar, beraninya minum-minum di tempat kayak gini?" Taufan membentakku.Kejadian barusan membuatku ketakutan. Sebelum aku mencerna semua yang terjadi, Taufan malah memarahiku. Aku terkejut melihat wajahnya yang mengerikan. Hem, semua pria sama saja!Tadi Taufan tidak bersik
Ucapannya berhasil menarik perhatianku. Dia ingin menemaniku? Lalu siapa yang dia temani tadi?Aku tak bisa menahan tawaku, apa hakku mengatur-atur hidupnya? Ini baru yang kelihatan, aku tidak tahu apa yang terjadi saat tidak kelihatan."Kenapa tertawa?" Dia menatapku dengan kesal."Pak Taufan, berhenti bercanda. Aku nggak berani memintamu untuk menemaniku." Aku tertawa sinis. Aku memang tidak berani, lagi pula kami tidak memiliki hubungan apa-apa.Aku hanyalah seorang wanita beranak satu yang baru bercerai. Apa hakku bersaing dengan wanita cantik demi memperebutkan Taufan? Apalagi, Taufan belum tentu memilihku.Aku agak merasa agak rendah diri, aku merasa tidak pantas dicintai.Aku jelas mendambakan pelukan Taufan, tetapi hatiku remuk saat melihatnya bersama wanita lain. Perasaanku berkembang terlalu cepat. Aku baru mengakhiri pernikahanku, apakah aku mau melabuhkan cintaku kepada orang lain dalam waktu sesingkat ini? Aku merasa agak jahat."Kenapa tiba-tiba diam?" tanya Taufan meliha
Awalnya aku mengira masalah adik sepupu Taufan sudah berlalu. Tidak disangka, aku malah bertemu dengannya lagi secara tak terduga.Pada hari senin Oscar bergabung di perusahaanku. Kehadirannya memberikanku semangat baru. Aku senang memiliki rekan untuk berbagi tanggung jawab.Aku memercayai Oscar. Pada hari pertamanya, aku menjelaskan serangkaian proses pengembangan dan operasional perusahaan.Hari ini berlangsung dengan mulus. Meskipun sesekali bercanda, kami serius untuk mengembangkan perusahaan.Pada hari selasa aku pergi ke Bright Celestial untuk menghadiri rapat. aku tidak melihat keberadaan Taufan, malah adik sepupunya yang memimpin jalannya rapat. Dia tampil cantik dan memukai. Dia terlalu sering melirikku selama rapat berjalan. Aku merasa agak tidak leluasa.Setelah rapat selesai, aku mengajak Shea pergi meninggalkan ruang. Tiba-tiba seseorang memanggilku, "Bu Maya!"Aku berhenti, lalu menoleh ke belakang. Aku melihat adik sepupu Taufan yang berjalan menghampiriku sambil tersen
Aku menggelengkan kepala sesaat pikiran tersebut tersebit di otakku. Aku berusaha membujuk diri sendiri, 'Sudahlah, jangan terlalu kejam. Bagaimanapun kami pernah membina rumah tangga bersama, sekarang waktunya menjalani kehidupan masing-masing. Tidak perlu saling menyakiti.'Selama beberapa waktu ini memikirkan banyak hal. Sejak Oscar bergabung di perusahaan, aku lebih tenang dan bisa fokus melakukan hal yang lain. Perlahan-lahan aku mulai berdamai dengan masa lalu, aku mau fokus mengembangkan perusahaanku. Apalagi Harry adalah ayahnya Adele, aku tidak mau mempermasalahkan hal yang sudah berlalu.Aku berusaha meyakinkan diri sendiri, tetapi Harry malah makin melunjak. Masalah demi masalah datang silih berganti. Sebentar lagi konstruksi akan segera dilaksanakan, tetapi Harry sama sekali tidak memberikanku ruang untuk bernapas. Bagaimana aku bisa mengerjakan proyek ini? Dia mendesakku sampai tidak memiliki jalan.Oscar berhasil mendapatkan beberapa klien untuk mengatasi masalah yang men
Aku terkejut mendengarnya, aku tidak menyangka Luna mengajak Taufan."Tapi kayaknya Kak Taufan bakal terlambat, dia lagi di perjalanan pulang, baru dari Kota Linde. Kita nggak perlu menunggu dia. Ayo, kita makan duluan." Dia menjelaskan alasannya mengajak Taufan, "Ini juga mendadak, tadi Kak Taufan meneleponku untuk menanyakan aku mau makan apa. Aku bilang sudah terlanjur mengajakmu makan malam, terus dia malah mau ikut. Kamu nggak keberatan, 'kan?""Nggak." Aku menggelengkan kepala. Meskipun bibirku berkata tidak keberatan, sebenarnya aku merasa agak canggung. Hanya saja, aku tidak mungkin menolak kehadiran Taufan."Baguslah." Luna memberikan buku menu kepadaku. "Aku sudah pesan. Karena ini adalah pertama kalinya kita makan bersama, aku nggak tahu kamu suka makan apa. Jadi kamu pesan sendiri, ya!"Apakah aku salah menilai Luna? Aku merasa dia adalah wanita yang ramah. Hanya saja aku masih mengingat jelas ekspresinya yang dingin saat pertama kali bertemu. Dia memandang ke sekeliling de
Aku menatap Jasmine melalui cermin wastafel. "Kayak hantu, datang dan pergi tanpa diundang. Apa lagi yang kamu inginkan?""Hem! Maya, kamu benar-benar nggak tahu malu. Dia sudah punya pacar, kamu masih berusaha mendekatinya? Kamu nggak ngaca, ya? Memangnya janda sepertimu pantas bersanding sama bujangan?" Jasmine menyindirku."Memangnya kamu siapa sampai berhak menilai pantas atau nggak? Urus saja hidupmu sendiri!" Aku mengambil sehelai tisu, lalu membalikkan badan dan pergi meninggalkannya.Melihat aku yang mengacuhkannya, dia maju untuk mengadang jalanku. "Wanita jalang! Aku ingin lihat sampai kapan kamu bisa berlagak. Cepat atau lambat hidupmu bakal hancur."Luna datang di saat Jasmine baru selesai bicara. Begitu melihat pertikaian di dalam toilet, Luna bergegas merangkul lenganku. "Bu Maya, ada apa?"Luna menatap Jasmine dengan sinis.Jasmine mengamati Luna dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Senyumannya seakan memiliki motif tersembunyi. "Hati-hati sama wanita ini, dia mau mer
Aku kelelahan dan duduk di sofa. Aku menatap langit-langit sambil melamun. Kukira semuanya akan berjalan lancar setelah aku dan Harry bercerai. Ternyata aku salah ....Bukannya mendapatkan kedamaian, aku malah terjerumus ke dalam pusaran yang lebih besar. Walaupun sudah berusaha, aku masih belum bisa melepaskan diri dari masalah ini.Aku tidak tahu apa yang diinginkan Harry dan Keluarga Sinjaya. Masalahnya bukan hanya Harry, aku merasa ada sebuah kekuatan besar yang coba menekanku. Aku meragukan diri sendiri, apakah semua keputusanku benar?Aku senang perusahaan mendapatkan kontrak kerja sama, tetapi di sisi lain aku merasa terperangkap. Apa pun yang terjadi, aku harus terus melangkah maju. Sudah tidak ada kesempatan untuk berbalik.Ibuku mengetahui kepulanganku, tetapi dia tidak mendengar aku masuk ke dalam kamar. Ibuku keluar dari kamar untuk mengecek keadaanku, dia kasihan melihat aku yang duduk tak berdaya di atas sofa.Ibuku menghampiri dan duduk di sampingku. "Maya, kamu kelelaha
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung