“Tidak salah lagi, maksudnya. Ya, masihlah, Ye, masih jauh dari nyawa ini,” ceplos Haneul seenak jidat.
Yeona menghela nafas yang beberapa menit telah tertahan di dada. Yeona mendengus kesal lalu konsentrasi lagi menghadap ke depan.“Ye, sebenarnya perempuan tua ini siapa?” Tanya Haneul saat mobil berhenti di lampu merah.“Dia, pembantu di rumah suamiku dulu,” sahut Yeona sekilas memandang ke belakang.“Oh,” ucap Haneul singkat.Sejak belakangan ini jika Yeona berbicara tentang suami, nafas Haneul menjadi sesak. Dari situlah Haneul yakin kalau dia sudah kenal dengan cinta sesungguhnya.* * *Mobil Yeona terparkir tepat di teras ruang ICU, tim medis dengan cepat membawa hospital bad mengarah pada mobil Yeona.Yeona membuka pintu, Haneul mengangkat punggung Asih. Di bantu dengan dua tim medis, akhirnya Asih kini sudah terbaring di hospital bad. Asih di bawa tim medis untuk di rawat.“Han, Aku masuk dulu, ya, isi formulir dulu,” ucap Yeona memandang Haneul. Haneul mengangguk.Yeona masuk, dia tanda tangan di atas dua lembar kertas. Ada beberapa tempat yang harus dia tanda tangani guna bertanggung jawab atas pembayaran perawatan.Yeona menoleh ke samping, terlihat Asih masih di rawat. Ada perawat yang membersihkan luka, ada yang mengusap-usap sebuah kapas di punggung tangannya untuk memasang infus, ada juga yang mondar-mandir mencari sesuatu.“Terima kasih, Mbak,” ucap wanita muda di hadapannya sambil mengambil kertas formulir yang baru saja di tanda tangani oleh Yeona.“Sama-sama,” sahutnya.Yeona kembali ke luar, celingukan mencari Haneul di teras. Ternyata Haneul masih duduk bersama seorang satpam di pos dekat pintu gerbang.“Haaan,” teriak Yeona dengan kedua telapak tangan menutupi kedua sisi bibir.“Haaan,” teriaknya lagi. Yeona kesal karna Haneul tak kunjung dengar.Yeona menghubungi Didin, seorang keamanan yang ada di rumahnya. Didin di perintahkan untuk menjaga Asih di sini.“Balik gak, kamu?” ucap Yeona saat panggilannya beralih pada Haneul.“Balik, ih,” sahut Haneul kesal.Haneul berlari kecil menuju Yeona berdiri. Keduanya sama-sama masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan halaman rumah sakit.* * *Yeona berlari kecil menuju ke dalam kantor, karna dia tadi mengantar Asih ke rumah sakit dan balik lagi ke kafe mengantar Haneul, dia melampaui jam izin kerjanya.Bruk!“Aduh.” Yeona terjatuh, dia menabrak seseorang.“M-ma-“ ucapannya terhenti saat matanya sudah menatap sepasang mata seseorang yang ada di hadapannya.Dareen!Dareen kembali lagi ke Indonesia setelah tiga tahun lamanya dia tinggal di luar negeri, memegang sebuah perusahaan milik sang ayah.Yeona terperangah, dia merasa gugup saat tersadar bahwa yang di hadapannya sekarang ini adalah mantan suaminya.Yeona mendehem, menyelipkan poni panjangnya ke belakang telinga. Dengan santai Yeona berjalan menuju kantor.Dareen terpaku menatapnya. Kini Yeona menjadi jauh lebih cantik ketimbang saat Yeona menjadi istrinya dulu.* * *“Ye, persiapkan jadwal rapat dan dokumen penting lainnya untuk lusa,” ujar Queen Rania lewat telepon.“Baik, Bu,” sahutnya.Yeona masih saja salah tingkah setelah melihat Dareen tadi di depan kantor. Dia menyiapkan beberapa berkas di mejanya dengan pikiran melayang ke beberapa tahun silam.Yeona terus menepis jika rasa sakit dalam hatinya menyala. Jujur Yeona belum bisa membuka hati untuk yang lain hingga saat ini.Tok! Tok!Suara ketukan pintu.“Masuk!” sekilas Yeona menatap daun pintu terbuka.“Bu, di bawah ada yang menunggu,” ujar seorang satpam muda, Anggara.“Siapa? Laki-laki atau perempuan? Ada perlu apa?” sederet pertanyaan Yeona tanpa henti.“Saya tidak tahu pasti apa maksud dan tujuannya mencari ibu. Yang pasti dia laki-laki.”Degh ...Jantung Yeona berdetak kala mengingat Dareen. Matanya sayu kala dia mengingat luka yang di goreskan di dalam hatinya.“Suruh dia masuk!” ujar Yeona.“Baik, Bu,” Anggara berlalu sambil meraih hendel pintu lalu menariknya sampai pintu tertutup.Yeona mencari kesibukan supaya dia tidak terlalu gugup jika bertemu dengan seseorang yang menunggunya tadi.Samar-samar terdengar suara langkahan kaki menuju ruangannya, secepatnya Yeona mengambil sebuah berkas dan melihat-lihat tulisannya seolah sedang membaca.Kreeekk...“Selamat sore, Bu,” ucap seseorang setelah membuka pintu.“Astagaaaa, kamu, Haneul! Bikin gugup saja.”Wajah Yeona merengut. Beberapa menit sudah Yeona merasakan sesak nafas, menunggu seorang laki-laki yang akan datang menemuinya. Ternyata malah Haneul sang perusuh.“Hayo, ada apa bisa gugup gitu?” tanya Haneul menggoda.“Gak ada,” sahutnya dengan pipi merah merona.Yeona tersenyum semringah saat Haneul duduk di kursi tepat di depan kursi Yeona.Haneul merasa Yeona bahagia atas kedatangannya. Haneul meletakkan sebuah ponsel di meja.“Eh, itu gawai aku, ya?” tanya Yeona.Dia mengambil lalu memencet tombol on-off di samping gawai.“Itulah, barang sendiri tertinggal pun tak sadar,” ucap Haneul.“Makasih, yaaaa,” ucap Yeona mencium layar gawai.“Dih, aku gitu yang di cium,” Haneul menggerutu.“Apa?” tanya Yeona tak mengerti.“Enggak, Aku pamit, ya,” ucap Haneul.Yeona menganggukkan kepala tapi tetap menatap layar gawai. Gawai yang kini ada di tangannya adalah gawai kenangan di saat dia menikah dengan Dareen.Kado itu di belikan Dareen setelah dua hari mereka menikah.Seketika Yeona mengingat, Emilio, secepatnya dia bereskan meja kerjanya dan langsung beranjak dari tempat duduk.“Bu!” sapa seorang wanita saat dia melintas menuju luar.“Iya,” sahutnya tersenyum.Yeona membatalkan pulang malam, tadinya dia berniat pulang malam akan ke rumah sahabatnya terlebih dahulu.Tapi kala mengingat Dareen sudah kembali ke Jakarta, Yeona mengurungkan niatnya. Memang saat ini Dareen tidak tahu tempat tinggal mereka, tapi perasaan Yeona jadi terasa tidak enak.* * *“Ma, sejak kapan Papa meninggal?” tanya Emilio mendongak menatap Yeona.Emilio kini ada di pelukan Yeona, mereka sedang bersantai duduk di depan televisi.“Lama, sejak kamu ada di dalam rahim, Mama,” ucap Yeona sambil mengelus kening putranya.“Jadi, Papa belum tahu Emil?” tanya Emilio polos.Yeona menghela nafas lalu menggelengkan kepala. Yeona duduk sambil membenahi rambutnya yang terurai.“Tuan kecil, kita tidur, yuk!” ajak Mis Erina tiba-tiba berdiri di dekat mereka.“Sebentar, ya, Mis,” ujar Emilio sekilas menatap Mis Erina.Wanita muda dengan mengenakan seragam putih itu, dengan sabar menunggu tuan kecilnya bercerita bersama Nyonya. Dia duduk bersimpuh dengan tangan yang menyandar di sofa.Matanya merah, tubuhnya terlihat lelah karna Mis Erina belum terbiasa bekerja. Dalam hidupnya ini kali pertama dia bekerja.“Ma, aku tidur dulu, ya,” ucap Emilio sambil mencium pipi kanan dan kiri Yeona. Yeona membalas ciumannya.“Nyonya, permisi,” ucap Mis Erina menganggukkan kepala menghadap Yeona.Yeona memandangnya sambil tersenyum dengan sedikit menganggukkan kepala.Yeona meraih gawainya di meja. Dia membuka aplikasi hijau berniat kirim pesan pada, Arsana, sahabatnya.[Ar, Dareen sudah pulang ke Jakarta.] Pesannya centang dua. Tidak lama kemudian berwarna biru.[Ha? Masa? Kapan kamu lihatnya?] Balas Arsana.[Tadi di kantor.]Arsana tidak membalas, tulisan online di bawah fotonya hilang.“Ada apa dengan Arsana?” batinnya.Yeona memandang jauh ke depan, rasa senangnya kini berubah seratus delapan puluh derajat setelah Yeona mengingat masa lalu.Masa di mana dia di khianati oleh sahabatnya, Arshinta. Dareen membawa Arshinta pulang ke rumah saat usia pernikahan mereka sudah menginjak tiga tahun.Waktu itu...“Maaa, Mamaaa ...,” Suara Dareen terdengar sampai ke dalam kamar. Yeona semringah setelah mendengar suaminya pulang, dengan bahagia dia berlari ke arah pintu lalu membukanya. Seketika bibir Yeona mengerut setelah melihat Dareen menggandeng, Arshinta, sahabatnya. Yeona terpaku di depan pintu. Dareen dan Arshinta menatap Yeona. Arshinta malah memeluk lengan Dareen sebelah kiri. Arshinta—wanita tinggi semampai, berambut lurus nan panjang sepinggang, bodi yang melingkuk bagai gitar spanyol, membuat Dareen tergoda. “Apa maksud kalian?” Sentak Yeona lirih. “Aku hamil anak, Dareen, dan kami akan segera menikah,” sahut Arshinta tersenyum sinis menatap Yeona. Yeona terpaku menatap mereka, pandangannya kabur terganggu oleh air mata yang menggenang di kelopak mata. Tangan Arshinta beralih merangkul pinggang Dareen, dia memanjakan diri dengan menempelkan kepalanya ke pundak Dareen. Pemandangan itu membuat amarah Yeona menyala-nyala. “Dasar kamu pelakor!” sentak Yeona berjalan cepat menuju
Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya. “Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu. Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala. “Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan. “Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras. “Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti. Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya. “Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal. Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya. “Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalka
“Halo, selamat pagi, Bu,” sapa Yeona gugup. “Pagi, Ye, saya hari ini tidak ke kantor. Kamu tunda jika ada pertemuan hari ini, juga rekap semua berkas yang ada di meja kami, ya. Tadi saya sudah suruh staf untuk meletakkan di meja kamu, ada kan?” “Mh-ad-ada, Bu,” sahut Yeona terbata-bata. Dia terpaksa berbohong bahwa dia sudah ada di kantor untuk menyelamatkan dirinya pagi ini. * * * Di perjalanan dia merasa ada yang aneh di area mulut. Dia memicingkan mata saat teringat bahwa dia belum menggosok gigi. “Bu, kelihatannya Den Emil akrab, ya, dengan Mas Han,” ucap Erina memandang bos wanitanya. Yeona hanya mengangguk mengingat dia belum menggosok gigi. “Bu, itu gedungnya mau di buat swalayan, loh, ibu temannya, Den Emil yang bilang kemarin,” ucap Erina sambil tersenyum dan sekilas memandang ke arah gedung bertingkat 4. Yeona mengangguk lagi tanpa berkata. Erina merasa bersalah, dia diam sambil memperhatikan Nyonyanya diam saja seperti ada masalah. Yeona menurunkan Erina di sekolah
Wajah Yeona terlihat panik. Sudah lama dia bersikap semaunya sendiri tanpa harus memandang orang lain. “Ya, jangan panik gitulah,” Erlangga tertawa lepas melihat mimik wajah Yeona yang menggemaskan. “Ak-aku, panik bangeeet,” ucap Yeona merengek. Tak sadar dia meraih tangan Erlangga sebalah kanan. Seketika bibir Erlangga mengerut, dia menatap mata Yeona, sepertinya dia sudah merasakan sesuatu. “Jangan takut, ada aku. Lagian orang tuaku juga gak galak-galak amat kok,” ucap Erlangga memegang erat tangan Yeona. Seketika Yeona tersadar bahwa dia sudah memegang tangan Erlangga, Yeona melepaskan tangannya, dia melirik sana sini dan menyibakkan rambut ke belakang telinga untuk mengalihkan rasa gugupnya. Tangan Yeona memegang hendle pintu mobil, tangan Erlangga memegang lengannya. “Naik mobilku saja,” ujar Erlangga menatap mobil BMW X5 berwarna hitam miliknya di bagian sudut tempat parkir. “Terus, mobilku bagaimana?” tanya Yeona melirik mobilnya. “Sini kuncinya, nanti biar orangku yang
Pekerja salon menatapnya dengan kening mengerut. Dia heran kenapa Yeona terkejut sampai seperti itu. Menghentikan kuas kecantikan yang masih merias di area wajah Yeona. “Maksudnya?” Tanya pekerja salon menatap heran. “Dia itu teman, bukan suami ataupun pacar,” sahut Yeona kesal sambil cemberut. “Alah, jaman sekarang memang gitu. Bukan-bukan akhirnya jadian,” ucap pekerja salon tersenyum sambil memainkan alis. “Ih, apaan,” sahut Yeona meringis. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tersenyum. Yeona menatap cermin yang ada di hadapannya sambil sedikit membelok kanan dan kiri untuk melihat penampilannya. “Mbak, kalau kamu bisa jadian sama dia lumayan loh, ganteng, putih, tinggi, wajah oval, berjenggot tipis, ah perfek lah. Kalau Mbak gak mau, kasihkan saya saja, Mbak,” ucap pekerja salon sambil meringis. “Ih barang kali, ya, kasihkan,” sahut Yeona sambil tertawa lepas. Yeona berdiri di hadapan Erlangga yang masih tertidur lelap. Karyawan salon berdiri tepat di samping Yeona. Y
Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya. “Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu. Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala. “Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan. “Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras. “Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti. Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya. “Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal. Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya. “Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalka
Yeona menatap Anggara, wanita itu hanya tersenyum tipis dan berlalu meninggalkan lelaki itu begitu saja. Anggara mengikuti langkah sang majikan dari belakang.Dari pintu yang terbuka sedikit, Yeona menatap wajah wanita paruh baya yang sedang melamun menatap jendela ruangan.Tok!Tok!Yeona mengetuk pintu sambil melangkah masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum memandang Asih yang kini sedang terpasang selang infus di lengan kanannya. Dia duduk di kursi plastik tepat di samping pasien."Bik, apa kabar?" Tanya Yeona yang sebelumnya dia mendehem."Ba-baik, Non," jawabnya terbata. Wanita paruh baya itu menatap Yeona dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa sangat bersalah ketika ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu.Hening ..."Non, maafkan bibik, ya? Bibik benar-benar menyesal.""Sudahlah, Bik, jangan dulu di bahas. Sekarang fokus saja di kesehatan bibik, ya," ucap Yeona sambil tersenyum.Buliran bening keluar dari sudut mata wanita paruh baya yang kini terbaring lemah."Non, dulu waktu ke
Selangkah demi selangkah Erlangga mendekati Yeona dan Haneul yang kini tengah berdiri mengmandangnya. Matahari mulai terbenam hingga wajah Erlangga tidak tampak dengan jelas.Erlangga tersenyum dengan kedua tangan yang di masukkan kantong celana levis kanan dan kiri, senyum renyah di lemparkan pada mereka berdua seolah dia tak mendengar apa-apa."Hei, di sini juga? Aku mau ambil sesuatu milikku di rumah itu," ucap Erlangga sekilas memandang rumah mungil yang ada di belakangnya.Haneul diam dengan memasang wajah datar, sedangkan Yeona terlihat senyum semringah."Er, kamu sering ke sini?" Tanya Yeona tak mengerti kenapa bisa kebetulan mereka berjumpa di sini. "Enggak, sesekali saja. Eh, ada berita bagus untukmu, Yeo.""Apa itu, Er?""Kamu akan terbebas dari tugasmu, aku akan pergi keluar negri untuk menerima tawaran Papa menikahi gadis pilihannya."Yeona tersenyum getir, wanita itu tak bisa berkata apa-apa. Yang ada dalam dirinya adalah minder saat Erlangga mengucapkan kata gadis. Seda
"Sayang, dengarkan mama. Papa kamu dulu meninggal karena kecelakaan waktu kamu belum lahir.""Jadi, papa belum lihat Emil?"Yeona menggelengkan kepala sambil tersenyum memandang putranya. Wanita itu memegang tangan mungil putranya lalu berkata, "Sayang, kalau papa barunya, Om Haneul, mau?""Enggak mau," sahut Emilio tegas sambil memandang mamanya."Kenapa?""Om Han, itu sudah jadi teman untuk Emil, Ma. Masa' mau di jadikan ayah sih?""Memangnya kenapa?""Ma, kalau mama menikah dengan Om ganteng, mau?" Tanya Emilio mendongak ke atas menatap mamanya."Om ganteng? Siapa?" "Ada deh, besok Emil kenalkan dengan om ganteng ke mama. Oke?"Emilio berdiri di ranjang, bocah itu memeluk ibunya dengan erat. Wajah semringah tergambar di wajahnya ketika melihat sang mama menganggukkan kepala.Emilio mengambil sebuah bantal berwarna putih lalu dia merebahkan kepalanya di sana.Dreett ...Dreett ...Yeona mengambil gawai ysng bergetar di meja rias lalu menjawab panggilan."Halo, Han? Ada apa?""Aku m
"Baik, Nona," jawab Haneul dengan tangan kanan mendekap di dada dan badan membungkuk.Dengan gemulai, Yeona mengambil tas branded yang ada di sudut meja. Wanita itu beranjak lalu mendekati pemuda yang kini tengah memandangnya.Tangan Yeona di sambut oleh Haneul, mereka berjalan bergandengan bak pasangan yang sangat romantis.* * *Lampu remang-remang dan musik klasik yang di putar pegawai kafe membuat suasana menjadi romantis.Banyak meja kosong, namun, yang di pilih Yeona, meja yang berada di sudut ruangan. Meja bulat yang berisi empat kursi berhadapan, Yeona dan Haneul duduk di satu sisi berhadapan.Tidak lama mereka duduk, seorang waiters menghampiri meja meraka. "Selamat malam, Mas, Tante, mau pesan apa?" Tanya seorang wanita yang berdiri dengan tangan memegang buku berukuran kecil bersiap untuk mencatat."Yeo, kamu pesan apa?""Pasta, sama kopi. Aku sudah lama enggak minum kopi, kangen," ucap Yeona sambil tersenyum.Waiters mencatat apa yang di pesan oleh Yeona, wanita itu menata
Teriak Yeona. Di balik pintu, ada Erina yang berdiri dengan wajah panik. Wanita itu berdiri dengan menggerak-gerakkan kaki untuk menetralkan rasa paniknya. Jari jemarinya saling meremas, matanya sesekali terpejam.Hening ...Yeona beranjak dari ranjang, wanita itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah mendengar keheningan, Mis Erina kembali ke kamar bersama raden kecilnya.Yeona berdiri di bawah shower yang mengucurkan air. Di bawah shower yang menayala, wanita itu mendongak ke atas memejamkan mata dengan kedua telapak tangan mengusap pangkal kepala sampai ke tengkuk leher.Yeona membiarkan kucuran air membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Dia mencoba membuang jauh-jauh masa lalu yang kelam, wanita itu kini tak bisa lagi egois untuk sendiri mengingat putranya yang kini sudah mulai besar dan menginginkan seorang ayah."Tuhan, tolong ajarkan aku untuk mencintai," ucapnya lirih. Percikan air yang masuk ke dalam mulut terasa hambar sehingga dia merapatkan kedua bibi
Selangkah demi selangkah Erlangga mendekati Yeona dan Haneul yang kini tengah berdiri mengmandangnya. Matahari mulai terbenam hingga wajah Erlangga tidak tampak dengan jelas.Erlangga tersenyum dengan kedua tangan yang di masukkan kantong celana levis kanan dan kiri, senyum renyah di lemparkan pada mereka berdua seolah dia tak mendengar apa-apa."Hei, di sini juga? Aku mau ambil sesuatu milikku di rumah itu," ucap Erlangga sekilas memandang rumah mungil yang ada di belakangnya.Haneul diam dengan memasang wajah datar, sedangkan Yeona terlihat senyum semringah."Er, kamu sering ke sini?" Tanya Yeona tak mengerti kenapa bisa kebetulan mereka berjumpa di sini. "Enggak, sesekali saja. Eh, ada berita bagus untukmu, Yeo.""Apa itu, Er?""Kamu akan terbebas dari tugasmu, aku akan pergi keluar negri untuk menerima tawaran Papa menikahi gadis pilihannya."Yeona tersenyum getir, wanita itu tak bisa berkata apa-apa. Yang ada dalam dirinya adalah minder saat Erlangga mengucapkan kata gadis. Seda
Yeona menatap Anggara, wanita itu hanya tersenyum tipis dan berlalu meninggalkan lelaki itu begitu saja. Anggara mengikuti langkah sang majikan dari belakang.Dari pintu yang terbuka sedikit, Yeona menatap wajah wanita paruh baya yang sedang melamun menatap jendela ruangan.Tok!Tok!Yeona mengetuk pintu sambil melangkah masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum memandang Asih yang kini sedang terpasang selang infus di lengan kanannya. Dia duduk di kursi plastik tepat di samping pasien."Bik, apa kabar?" Tanya Yeona yang sebelumnya dia mendehem."Ba-baik, Non," jawabnya terbata. Wanita paruh baya itu menatap Yeona dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa sangat bersalah ketika ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu.Hening ..."Non, maafkan bibik, ya? Bibik benar-benar menyesal.""Sudahlah, Bik, jangan dulu di bahas. Sekarang fokus saja di kesehatan bibik, ya," ucap Yeona sambil tersenyum.Buliran bening keluar dari sudut mata wanita paruh baya yang kini terbaring lemah."Non, dulu waktu ke
Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya. “Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu. Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala. “Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan. “Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras. “Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti. Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya. “Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal. Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya. “Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalka
Pekerja salon menatapnya dengan kening mengerut. Dia heran kenapa Yeona terkejut sampai seperti itu. Menghentikan kuas kecantikan yang masih merias di area wajah Yeona. “Maksudnya?” Tanya pekerja salon menatap heran. “Dia itu teman, bukan suami ataupun pacar,” sahut Yeona kesal sambil cemberut. “Alah, jaman sekarang memang gitu. Bukan-bukan akhirnya jadian,” ucap pekerja salon tersenyum sambil memainkan alis. “Ih, apaan,” sahut Yeona meringis. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tersenyum. Yeona menatap cermin yang ada di hadapannya sambil sedikit membelok kanan dan kiri untuk melihat penampilannya. “Mbak, kalau kamu bisa jadian sama dia lumayan loh, ganteng, putih, tinggi, wajah oval, berjenggot tipis, ah perfek lah. Kalau Mbak gak mau, kasihkan saya saja, Mbak,” ucap pekerja salon sambil meringis. “Ih barang kali, ya, kasihkan,” sahut Yeona sambil tertawa lepas. Yeona berdiri di hadapan Erlangga yang masih tertidur lelap. Karyawan salon berdiri tepat di samping Yeona. Y
Wajah Yeona terlihat panik. Sudah lama dia bersikap semaunya sendiri tanpa harus memandang orang lain. “Ya, jangan panik gitulah,” Erlangga tertawa lepas melihat mimik wajah Yeona yang menggemaskan. “Ak-aku, panik bangeeet,” ucap Yeona merengek. Tak sadar dia meraih tangan Erlangga sebalah kanan. Seketika bibir Erlangga mengerut, dia menatap mata Yeona, sepertinya dia sudah merasakan sesuatu. “Jangan takut, ada aku. Lagian orang tuaku juga gak galak-galak amat kok,” ucap Erlangga memegang erat tangan Yeona. Seketika Yeona tersadar bahwa dia sudah memegang tangan Erlangga, Yeona melepaskan tangannya, dia melirik sana sini dan menyibakkan rambut ke belakang telinga untuk mengalihkan rasa gugupnya. Tangan Yeona memegang hendle pintu mobil, tangan Erlangga memegang lengannya. “Naik mobilku saja,” ujar Erlangga menatap mobil BMW X5 berwarna hitam miliknya di bagian sudut tempat parkir. “Terus, mobilku bagaimana?” tanya Yeona melirik mobilnya. “Sini kuncinya, nanti biar orangku yang
“Halo, selamat pagi, Bu,” sapa Yeona gugup. “Pagi, Ye, saya hari ini tidak ke kantor. Kamu tunda jika ada pertemuan hari ini, juga rekap semua berkas yang ada di meja kami, ya. Tadi saya sudah suruh staf untuk meletakkan di meja kamu, ada kan?” “Mh-ad-ada, Bu,” sahut Yeona terbata-bata. Dia terpaksa berbohong bahwa dia sudah ada di kantor untuk menyelamatkan dirinya pagi ini. * * * Di perjalanan dia merasa ada yang aneh di area mulut. Dia memicingkan mata saat teringat bahwa dia belum menggosok gigi. “Bu, kelihatannya Den Emil akrab, ya, dengan Mas Han,” ucap Erina memandang bos wanitanya. Yeona hanya mengangguk mengingat dia belum menggosok gigi. “Bu, itu gedungnya mau di buat swalayan, loh, ibu temannya, Den Emil yang bilang kemarin,” ucap Erina sambil tersenyum dan sekilas memandang ke arah gedung bertingkat 4. Yeona mengangguk lagi tanpa berkata. Erina merasa bersalah, dia diam sambil memperhatikan Nyonyanya diam saja seperti ada masalah. Yeona menurunkan Erina di sekolah