Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya.
“Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu.Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala.“Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan.“Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras.“Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti.Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya.“Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal.Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya.“Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalkannya.Kusuma berjalan menuju meja makan. Yeona dan Erlangga tampak gugup setelah melihat Kusuma datang kembali.Kusuma duduk dengan menatap wajah Yeona yang kini memerah seperti ketakutan.“Er! Kamu yakin nggak mau ikut Mama ke Singapura?” tanya Kusuma.“Enggak, Ma, di sini saja,” sahutnya mantap.Hamdan mengangguk-anggukkan kepala, “Pernikahan kalian akan di laksanakan dua bulan yang akan datang,”Seperti petir yang menyambar ubun-ubun. Ucapan yang di lontarkan membuat kekacauan di hati dan pikiran Yeona. Yeona memandang Erlangga dengan rasa marah, tidak di bayangkan semuanya akan berjalan seperti ini. Yeona merasa bersalah dengan Haneul, kedekatannya dengan Haneul sudah melebihi batas teman.Yeona tahu kalau Haneul menyukainya, begitu juga dengan Yeona. Tapi Yeona sadar akan usia yang menghalang, Yeona delapan tahun lebih tua dari Haneul. Maka setiap pergerakan dan ucapan Haneul yang menyinggung perasaan, secepatnya di tepis Yeona.“Pa, ta-tapi itu terlalu cepat, Pa,” ucap Erlangga terbata.“Erlangga, ingat usia kamu yang sudah berumur itu. Mau menunggu apa lagi coba? Pacar kamu sudah baik, cantik, sopan, kalian sudah sama-sama berumur,” sergah Hamdan.Kusuma masih terdiam mengingat ucapan Haneul tadi. Apa yang akan terjadi jika Hamdan meneliti lebih dalam tentang hubungan mereka?“Ya sudah, ini sudah malam. Antar Yeona pulang. Kasihan dia jika sampai larut di sini,” ujar Kusuma dengan nada datar.“Ma, mereka baru datang loh,” timpal Hamdan memandang itrinya.Perasaan Yeona semakin tidak enak. Dia menundukkan kepala dengan raut wajah penuh sesal karna tidak memikirkan masak-masak duduk permasalahan yang akan terjadi.Erlangga beranjak dari duduknya, dia memegang tangan Yeona.“Ma, Pa, aku pamit!” Erlangga meninggalkan meja makan sambil menggandeng tangan Yeona dengan wajah datar.* * *“Lepas!” Yeona menepis tangan Erlangga saat berada di depan rumah.“Kamu kenapa?” tanya Erlangga kekeh.Yeona mendekap tangan di depan dada, dia memandang sebuah mobil BMW yang terparkir di dekatnya.“Kamu bertanya aku kenapa? Er, dengar! Aku tadi tanya, apa ini berkelanjutan? Enggak, jawabmu. Sekarang nyatanya apa? Kita harus menikah, Er!” ucap Yeona kesal dengan tangan ke bawah.“Ye, kita kan juga bisa pura-pura menikah,” sahut Erlangga berharap.“Astagaaa ...” Yeona berkacak pinggang tangan sebelah kanan, dan tangan sebelah kirinya memegang kening.Angin malam yang semilir itu sudah tidak terasa dingin lagi oleh Yeona karna hati dan pikirannya sekarang sedang panas.Yeona belum siap untuk menikah, masih terbayang ketika dia di buat kecewa oleh Dareen, mantan suaminya.Yeona kesal, dia berjalan dengan cepat ke arah mobil. Dia masuk ke dalam mobil menutup pintunya dengan kuat.Erlangga berjalan memutar ke arah pengemudi, dia masuk sambil sesekali menatap Yeona.Erlangga tidak bisa memaksa Yeona untuk menyetujui pernikahan itu, tapi Erlangga tidak tahu dengan jalan apa dia bisa keluar dari masalahnya.“Ye, dengar! Kamu jangan takut, aku gak bakal apa-apakan kamu walaupun kita sudah menikah,” ucap Erlangga berharap.“Kamu gak tahu dengan apa yang aku rasakan, Er!” sahut Yeona kesal.Yeona memandang ke depan. Dia mengambil sebuah tisu dari dalam tasnya lalu mengusap-usap wajah. Dia membasahi tisu dengan air mawar yang selalu ada di dalam tasnya.Erlangga memperhatikan sambil mengemudi, dia tersenyum sambil menggelengkan kepala.Entah kenapa saat ini hati dan perasaannya nyaman saat berada di dekat Yeona walaupun Yeona bertingkah aneh di hadapannya.“Kamu tetap cantik tanpa make-up itu,” ucap Erlangga sambil tersenyum.Yeona sekilas memandangnya, tangan yang mengusap wajahnya seketika berhenti.Erlangga tidak tahu menahu soal kedekatan Yeona dan Haneul, adiknya. Kini Erlangga berharap penuh pada Yeona untuk menjadi istri pura-puranya.* * *Sesampainya di rumah, Yeona turun di depan rumah, Erlangga ikut turun dan berdiri tepat di hadapan Yeona.“Ye, aku mohon, batu aku,” ucap Erlangga lirih.Wajah memelasnya membuat hati Yeona trenyuh. Dia sadar dengan kekecewaan Haneul tadi, kini dia merasa kasihan melihat Erlangga yang selalu memohon pertolongan padanya. Kini Yeona merasakan dilema.Yeona menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, melainkan pusing tujuh keliling.“Iya, nanti aku pikirkan lagi,” ucap Yeona memandang Erlangga dengan kedua tangannya memegang tas branded miliknya.“Aku harap, jawabannya sesuai dengan keinginanku,” ucap Erlangga lirih sambil menganggukkan kepala dan berlalu.Yeona menyaksikan mobil BMW itu meninggalkan halaman rumahnya, suara mobil terdengar sangat kecil.Yeona mengambil gawai miliknya di dalam tas, dia mencari nama satpam yang menjaga Asih di rumah sakit.“Halo, Bu,” sapa orang dari seberang.“Ang, bagaimana kondisi Bu Asih?” tanya Yeona dengan nada datar.“Sudah siuman, Bu, sudah membaik,” jawabnya.“Ya, sudah, saya ke sana sekarang,” ucap Yeona sambil mengakhiri panggilan.Yeona melangkah ke arah mobilnya, mengambil kunci serep yang ada di dalam tasnya.Saat Yeona sudah masuk ke dalam mobil, dia teringat dengan Emilio, putranya.Yeona mencari nama Mis Erina lalu memanggilnya.“Halo, Bu,” sapa Mis Erina dari seberang.“Mis, bagaimana keadaan Emil?” tanyanya sambil menyandarkan kepalanya di sandaran kursi mobil.“Baik, Bu, sekarang dia sudah tidur,” sahut Mis Erina dengan suara lembut.“Mas, tolong kasih Emil pengertian kalau dia terbangun nanti. Saya mau menjenguk teman yang sedang sakit di rumah sakit Puri Husada,” ucap Yeona dengan suara lirih.“Iya, Bu,” sahut Mis Erina.Panggilan berakhir.Yeona mengemudi dengan sesekali menguap karna rasa kantuk kini telah tiba. Sesekali Yeona melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.Yeona memerintahkan Anggara untuk menyusulnya di lantai bawah.Tidak lama Anggara sampai di mana mobilnya terparkir.“Mari, Bu,” ujar Anggara sambil menundukkan kepala.“Apa yang di tanyakan Asih Pertama kali?” tanya Yeona menatap Anggara sambil mendekap kedua tangannya di dada.“Saya di mana?” sahut Anggara menjelaskan.Yeona menganggukkan kepala lalu memandang ke depan.“Bu, apa ibu menantu dari majikannya dulu? Maaf kalau saya sudah lancang, Bu,” ucap Anggara sedikit gugup.“Halo, selamat pagi, Bu,” sapa Yeona gugup. “Pagi, Ye, saya hari ini tidak ke kantor. Kamu tunda jika ada pertemuan hari ini, juga rekap semua berkas yang ada di meja kami, ya. Tadi saya sudah suruh staf untuk meletakkan di meja kamu, ada kan?” “Mh-ad-ada, Bu,” sahut Yeona terbata-bata. Dia terpaksa berbohong bahwa dia sudah ada di kantor untuk menyelamatkan dirinya pagi ini. * * * Di perjalanan dia merasa ada yang aneh di area mulut. Dia memicingkan mata saat teringat bahwa dia belum menggosok gigi. “Bu, kelihatannya Den Emil akrab, ya, dengan Mas Han,” ucap Erina memandang bos wanitanya. Yeona hanya mengangguk mengingat dia belum menggosok gigi. “Bu, itu gedungnya mau di buat swalayan, loh, ibu temannya, Den Emil yang bilang kemarin,” ucap Erina sambil tersenyum dan sekilas memandang ke arah gedung bertingkat 4. Yeona mengangguk lagi tanpa berkata. Erina merasa bersalah, dia diam sambil memperhatikan Nyonyanya diam saja seperti ada masalah. Yeona menurunkan Erina di sekolah
Wajah Yeona terlihat panik. Sudah lama dia bersikap semaunya sendiri tanpa harus memandang orang lain. “Ya, jangan panik gitulah,” Erlangga tertawa lepas melihat mimik wajah Yeona yang menggemaskan. “Ak-aku, panik bangeeet,” ucap Yeona merengek. Tak sadar dia meraih tangan Erlangga sebalah kanan. Seketika bibir Erlangga mengerut, dia menatap mata Yeona, sepertinya dia sudah merasakan sesuatu. “Jangan takut, ada aku. Lagian orang tuaku juga gak galak-galak amat kok,” ucap Erlangga memegang erat tangan Yeona. Seketika Yeona tersadar bahwa dia sudah memegang tangan Erlangga, Yeona melepaskan tangannya, dia melirik sana sini dan menyibakkan rambut ke belakang telinga untuk mengalihkan rasa gugupnya. Tangan Yeona memegang hendle pintu mobil, tangan Erlangga memegang lengannya. “Naik mobilku saja,” ujar Erlangga menatap mobil BMW X5 berwarna hitam miliknya di bagian sudut tempat parkir. “Terus, mobilku bagaimana?” tanya Yeona melirik mobilnya. “Sini kuncinya, nanti biar orangku yang
Pekerja salon menatapnya dengan kening mengerut. Dia heran kenapa Yeona terkejut sampai seperti itu. Menghentikan kuas kecantikan yang masih merias di area wajah Yeona. “Maksudnya?” Tanya pekerja salon menatap heran. “Dia itu teman, bukan suami ataupun pacar,” sahut Yeona kesal sambil cemberut. “Alah, jaman sekarang memang gitu. Bukan-bukan akhirnya jadian,” ucap pekerja salon tersenyum sambil memainkan alis. “Ih, apaan,” sahut Yeona meringis. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tersenyum. Yeona menatap cermin yang ada di hadapannya sambil sedikit membelok kanan dan kiri untuk melihat penampilannya. “Mbak, kalau kamu bisa jadian sama dia lumayan loh, ganteng, putih, tinggi, wajah oval, berjenggot tipis, ah perfek lah. Kalau Mbak gak mau, kasihkan saya saja, Mbak,” ucap pekerja salon sambil meringis. “Ih barang kali, ya, kasihkan,” sahut Yeona sambil tertawa lepas. Yeona berdiri di hadapan Erlangga yang masih tertidur lelap. Karyawan salon berdiri tepat di samping Yeona. Y
Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya. “Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu. Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala. “Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan. “Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras. “Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti. Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya. “Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal. Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya. “Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalka
Yeona menatap Anggara, wanita itu hanya tersenyum tipis dan berlalu meninggalkan lelaki itu begitu saja. Anggara mengikuti langkah sang majikan dari belakang.Dari pintu yang terbuka sedikit, Yeona menatap wajah wanita paruh baya yang sedang melamun menatap jendela ruangan.Tok!Tok!Yeona mengetuk pintu sambil melangkah masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum memandang Asih yang kini sedang terpasang selang infus di lengan kanannya. Dia duduk di kursi plastik tepat di samping pasien."Bik, apa kabar?" Tanya Yeona yang sebelumnya dia mendehem."Ba-baik, Non," jawabnya terbata. Wanita paruh baya itu menatap Yeona dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa sangat bersalah ketika ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu.Hening ..."Non, maafkan bibik, ya? Bibik benar-benar menyesal.""Sudahlah, Bik, jangan dulu di bahas. Sekarang fokus saja di kesehatan bibik, ya," ucap Yeona sambil tersenyum.Buliran bening keluar dari sudut mata wanita paruh baya yang kini terbaring lemah."Non, dulu waktu ke
Selangkah demi selangkah Erlangga mendekati Yeona dan Haneul yang kini tengah berdiri mengmandangnya. Matahari mulai terbenam hingga wajah Erlangga tidak tampak dengan jelas.Erlangga tersenyum dengan kedua tangan yang di masukkan kantong celana levis kanan dan kiri, senyum renyah di lemparkan pada mereka berdua seolah dia tak mendengar apa-apa."Hei, di sini juga? Aku mau ambil sesuatu milikku di rumah itu," ucap Erlangga sekilas memandang rumah mungil yang ada di belakangnya.Haneul diam dengan memasang wajah datar, sedangkan Yeona terlihat senyum semringah."Er, kamu sering ke sini?" Tanya Yeona tak mengerti kenapa bisa kebetulan mereka berjumpa di sini. "Enggak, sesekali saja. Eh, ada berita bagus untukmu, Yeo.""Apa itu, Er?""Kamu akan terbebas dari tugasmu, aku akan pergi keluar negri untuk menerima tawaran Papa menikahi gadis pilihannya."Yeona tersenyum getir, wanita itu tak bisa berkata apa-apa. Yang ada dalam dirinya adalah minder saat Erlangga mengucapkan kata gadis. Seda
Teriak Yeona. Di balik pintu, ada Erina yang berdiri dengan wajah panik. Wanita itu berdiri dengan menggerak-gerakkan kaki untuk menetralkan rasa paniknya. Jari jemarinya saling meremas, matanya sesekali terpejam.Hening ...Yeona beranjak dari ranjang, wanita itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah mendengar keheningan, Mis Erina kembali ke kamar bersama raden kecilnya.Yeona berdiri di bawah shower yang mengucurkan air. Di bawah shower yang menayala, wanita itu mendongak ke atas memejamkan mata dengan kedua telapak tangan mengusap pangkal kepala sampai ke tengkuk leher.Yeona membiarkan kucuran air membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Dia mencoba membuang jauh-jauh masa lalu yang kelam, wanita itu kini tak bisa lagi egois untuk sendiri mengingat putranya yang kini sudah mulai besar dan menginginkan seorang ayah."Tuhan, tolong ajarkan aku untuk mencintai," ucapnya lirih. Percikan air yang masuk ke dalam mulut terasa hambar sehingga dia merapatkan kedua bibi
"Baik, Nona," jawab Haneul dengan tangan kanan mendekap di dada dan badan membungkuk.Dengan gemulai, Yeona mengambil tas branded yang ada di sudut meja. Wanita itu beranjak lalu mendekati pemuda yang kini tengah memandangnya.Tangan Yeona di sambut oleh Haneul, mereka berjalan bergandengan bak pasangan yang sangat romantis.* * *Lampu remang-remang dan musik klasik yang di putar pegawai kafe membuat suasana menjadi romantis.Banyak meja kosong, namun, yang di pilih Yeona, meja yang berada di sudut ruangan. Meja bulat yang berisi empat kursi berhadapan, Yeona dan Haneul duduk di satu sisi berhadapan.Tidak lama mereka duduk, seorang waiters menghampiri meja meraka. "Selamat malam, Mas, Tante, mau pesan apa?" Tanya seorang wanita yang berdiri dengan tangan memegang buku berukuran kecil bersiap untuk mencatat."Yeo, kamu pesan apa?""Pasta, sama kopi. Aku sudah lama enggak minum kopi, kangen," ucap Yeona sambil tersenyum.Waiters mencatat apa yang di pesan oleh Yeona, wanita itu menata
"Sayang, dengarkan mama. Papa kamu dulu meninggal karena kecelakaan waktu kamu belum lahir.""Jadi, papa belum lihat Emil?"Yeona menggelengkan kepala sambil tersenyum memandang putranya. Wanita itu memegang tangan mungil putranya lalu berkata, "Sayang, kalau papa barunya, Om Haneul, mau?""Enggak mau," sahut Emilio tegas sambil memandang mamanya."Kenapa?""Om Han, itu sudah jadi teman untuk Emil, Ma. Masa' mau di jadikan ayah sih?""Memangnya kenapa?""Ma, kalau mama menikah dengan Om ganteng, mau?" Tanya Emilio mendongak ke atas menatap mamanya."Om ganteng? Siapa?" "Ada deh, besok Emil kenalkan dengan om ganteng ke mama. Oke?"Emilio berdiri di ranjang, bocah itu memeluk ibunya dengan erat. Wajah semringah tergambar di wajahnya ketika melihat sang mama menganggukkan kepala.Emilio mengambil sebuah bantal berwarna putih lalu dia merebahkan kepalanya di sana.Dreett ...Dreett ...Yeona mengambil gawai ysng bergetar di meja rias lalu menjawab panggilan."Halo, Han? Ada apa?""Aku m
"Baik, Nona," jawab Haneul dengan tangan kanan mendekap di dada dan badan membungkuk.Dengan gemulai, Yeona mengambil tas branded yang ada di sudut meja. Wanita itu beranjak lalu mendekati pemuda yang kini tengah memandangnya.Tangan Yeona di sambut oleh Haneul, mereka berjalan bergandengan bak pasangan yang sangat romantis.* * *Lampu remang-remang dan musik klasik yang di putar pegawai kafe membuat suasana menjadi romantis.Banyak meja kosong, namun, yang di pilih Yeona, meja yang berada di sudut ruangan. Meja bulat yang berisi empat kursi berhadapan, Yeona dan Haneul duduk di satu sisi berhadapan.Tidak lama mereka duduk, seorang waiters menghampiri meja meraka. "Selamat malam, Mas, Tante, mau pesan apa?" Tanya seorang wanita yang berdiri dengan tangan memegang buku berukuran kecil bersiap untuk mencatat."Yeo, kamu pesan apa?""Pasta, sama kopi. Aku sudah lama enggak minum kopi, kangen," ucap Yeona sambil tersenyum.Waiters mencatat apa yang di pesan oleh Yeona, wanita itu menata
Teriak Yeona. Di balik pintu, ada Erina yang berdiri dengan wajah panik. Wanita itu berdiri dengan menggerak-gerakkan kaki untuk menetralkan rasa paniknya. Jari jemarinya saling meremas, matanya sesekali terpejam.Hening ...Yeona beranjak dari ranjang, wanita itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah mendengar keheningan, Mis Erina kembali ke kamar bersama raden kecilnya.Yeona berdiri di bawah shower yang mengucurkan air. Di bawah shower yang menayala, wanita itu mendongak ke atas memejamkan mata dengan kedua telapak tangan mengusap pangkal kepala sampai ke tengkuk leher.Yeona membiarkan kucuran air membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Dia mencoba membuang jauh-jauh masa lalu yang kelam, wanita itu kini tak bisa lagi egois untuk sendiri mengingat putranya yang kini sudah mulai besar dan menginginkan seorang ayah."Tuhan, tolong ajarkan aku untuk mencintai," ucapnya lirih. Percikan air yang masuk ke dalam mulut terasa hambar sehingga dia merapatkan kedua bibi
Selangkah demi selangkah Erlangga mendekati Yeona dan Haneul yang kini tengah berdiri mengmandangnya. Matahari mulai terbenam hingga wajah Erlangga tidak tampak dengan jelas.Erlangga tersenyum dengan kedua tangan yang di masukkan kantong celana levis kanan dan kiri, senyum renyah di lemparkan pada mereka berdua seolah dia tak mendengar apa-apa."Hei, di sini juga? Aku mau ambil sesuatu milikku di rumah itu," ucap Erlangga sekilas memandang rumah mungil yang ada di belakangnya.Haneul diam dengan memasang wajah datar, sedangkan Yeona terlihat senyum semringah."Er, kamu sering ke sini?" Tanya Yeona tak mengerti kenapa bisa kebetulan mereka berjumpa di sini. "Enggak, sesekali saja. Eh, ada berita bagus untukmu, Yeo.""Apa itu, Er?""Kamu akan terbebas dari tugasmu, aku akan pergi keluar negri untuk menerima tawaran Papa menikahi gadis pilihannya."Yeona tersenyum getir, wanita itu tak bisa berkata apa-apa. Yang ada dalam dirinya adalah minder saat Erlangga mengucapkan kata gadis. Seda
Yeona menatap Anggara, wanita itu hanya tersenyum tipis dan berlalu meninggalkan lelaki itu begitu saja. Anggara mengikuti langkah sang majikan dari belakang.Dari pintu yang terbuka sedikit, Yeona menatap wajah wanita paruh baya yang sedang melamun menatap jendela ruangan.Tok!Tok!Yeona mengetuk pintu sambil melangkah masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum memandang Asih yang kini sedang terpasang selang infus di lengan kanannya. Dia duduk di kursi plastik tepat di samping pasien."Bik, apa kabar?" Tanya Yeona yang sebelumnya dia mendehem."Ba-baik, Non," jawabnya terbata. Wanita paruh baya itu menatap Yeona dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa sangat bersalah ketika ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu.Hening ..."Non, maafkan bibik, ya? Bibik benar-benar menyesal.""Sudahlah, Bik, jangan dulu di bahas. Sekarang fokus saja di kesehatan bibik, ya," ucap Yeona sambil tersenyum.Buliran bening keluar dari sudut mata wanita paruh baya yang kini terbaring lemah."Non, dulu waktu ke
Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya. “Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu. Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala. “Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan. “Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras. “Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti. Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya. “Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal. Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya. “Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalka
Pekerja salon menatapnya dengan kening mengerut. Dia heran kenapa Yeona terkejut sampai seperti itu. Menghentikan kuas kecantikan yang masih merias di area wajah Yeona. “Maksudnya?” Tanya pekerja salon menatap heran. “Dia itu teman, bukan suami ataupun pacar,” sahut Yeona kesal sambil cemberut. “Alah, jaman sekarang memang gitu. Bukan-bukan akhirnya jadian,” ucap pekerja salon tersenyum sambil memainkan alis. “Ih, apaan,” sahut Yeona meringis. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tersenyum. Yeona menatap cermin yang ada di hadapannya sambil sedikit membelok kanan dan kiri untuk melihat penampilannya. “Mbak, kalau kamu bisa jadian sama dia lumayan loh, ganteng, putih, tinggi, wajah oval, berjenggot tipis, ah perfek lah. Kalau Mbak gak mau, kasihkan saya saja, Mbak,” ucap pekerja salon sambil meringis. “Ih barang kali, ya, kasihkan,” sahut Yeona sambil tertawa lepas. Yeona berdiri di hadapan Erlangga yang masih tertidur lelap. Karyawan salon berdiri tepat di samping Yeona. Y
Wajah Yeona terlihat panik. Sudah lama dia bersikap semaunya sendiri tanpa harus memandang orang lain. “Ya, jangan panik gitulah,” Erlangga tertawa lepas melihat mimik wajah Yeona yang menggemaskan. “Ak-aku, panik bangeeet,” ucap Yeona merengek. Tak sadar dia meraih tangan Erlangga sebalah kanan. Seketika bibir Erlangga mengerut, dia menatap mata Yeona, sepertinya dia sudah merasakan sesuatu. “Jangan takut, ada aku. Lagian orang tuaku juga gak galak-galak amat kok,” ucap Erlangga memegang erat tangan Yeona. Seketika Yeona tersadar bahwa dia sudah memegang tangan Erlangga, Yeona melepaskan tangannya, dia melirik sana sini dan menyibakkan rambut ke belakang telinga untuk mengalihkan rasa gugupnya. Tangan Yeona memegang hendle pintu mobil, tangan Erlangga memegang lengannya. “Naik mobilku saja,” ujar Erlangga menatap mobil BMW X5 berwarna hitam miliknya di bagian sudut tempat parkir. “Terus, mobilku bagaimana?” tanya Yeona melirik mobilnya. “Sini kuncinya, nanti biar orangku yang
“Halo, selamat pagi, Bu,” sapa Yeona gugup. “Pagi, Ye, saya hari ini tidak ke kantor. Kamu tunda jika ada pertemuan hari ini, juga rekap semua berkas yang ada di meja kami, ya. Tadi saya sudah suruh staf untuk meletakkan di meja kamu, ada kan?” “Mh-ad-ada, Bu,” sahut Yeona terbata-bata. Dia terpaksa berbohong bahwa dia sudah ada di kantor untuk menyelamatkan dirinya pagi ini. * * * Di perjalanan dia merasa ada yang aneh di area mulut. Dia memicingkan mata saat teringat bahwa dia belum menggosok gigi. “Bu, kelihatannya Den Emil akrab, ya, dengan Mas Han,” ucap Erina memandang bos wanitanya. Yeona hanya mengangguk mengingat dia belum menggosok gigi. “Bu, itu gedungnya mau di buat swalayan, loh, ibu temannya, Den Emil yang bilang kemarin,” ucap Erina sambil tersenyum dan sekilas memandang ke arah gedung bertingkat 4. Yeona mengangguk lagi tanpa berkata. Erina merasa bersalah, dia diam sambil memperhatikan Nyonyanya diam saja seperti ada masalah. Yeona menurunkan Erina di sekolah