Asih—wanita paruh baya yang bekerja sebagai pembantu di rumah suaminya dulu.
Karna penasaran secepatnya Yeona membalik badan untuk melihatnya lagi. Tapi wanita itu sudah tidak terlihat.Yeona celingukan, dia berjalan sampai ke tepi jalan. Melihat kanan kiri tapi wanita itu tidak terlihat.Yeona kembali masuk ke kafe, untuk bertemu dengan Haneul.Yeona celingukan mencari Haneul, keduanya melambaikan tangan saat sama-sama melihat.Haneul—pria berambut ikal sebahu, dia memiliki karakter yang masa bodo, tidak peduli kata orang yang penting senang. Dia bar-bar, suka sembarangan dalam berpakaian. Dia tidak pernah memedulikan penampilan karna yang dia cari adalah kenyamanan.Dengan luesnya Yeona berjalan, semua mata tertuju padanya. Termasuk Haneul, sahabatnya.“Hei, sudah lama, ya?” tanya Yeona sambil duduk di kursi.“Belum, baru juga kok,” sahut Haneul sambil mengangkat tangan saat pelayan kafe memandangnya.Pelayan kafe mendatangi meja mereka dengan membawa sebuah buku dan pulpen.“Pesan apa, Mas, Mbak?” tanya pelayan kafe.“Jus jeruk dua sama pasta dua,” ucap Haneul memandang pelayan kafe yang bernama Rahayu di area bajunya sebelah kanan.Jus jeruk dan pasta sudah pilihan tepat jika mereka berada di kafe. Keduanya menyukai jenis makan dan minuman yang sama.Haneul memandang Yeona saat Yeona tengah sibuk mengambil sesuatu di dalam tas branded miliknya.“Ye, kenapa kamu mencari nisan atas nama Dareen? Terus tadi aku lihat, Emilio duduk merangkul nisan itu. Ada apa, Ye?” tanya Haneul penasaran.Yeona tersenyum memandangnya, dia meletakkan sebuah gawai di meja dekat vas bunga.“Emilio, mencari Papanya, ya, biasalah kalau di sekolah pertama-tama memperkenalkan diri, dan menyebutkan nama kedua orang tuanya. Sedangkan Emilio belum pernah dengar ataupun bertemu, maka aku kenalkan dia sama Papanya yang sudah di dalam tanah,” ucap Yeona.Haneul tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.Yeona dan Haneul berteman sejak Yeona bekerja pertama kali menjadi seorang office girl di sebuah perusahaan milik, Queen Rania.Saat Yeona bekerja, ada salah satu pegawai kantor membuat kesalahan dan Yeona membantunya, di situ dia kepergok Queen Rania, dan ternyata kemampuan Yeona lebih tinggi ketimbang pegawainya yang sudah bertahun-tahun.Alhasil kedudukan mereka di tukar, pekerja yang sekarang menjadi office girl, selalu iri dengan Yeona. Tapi dia tidak bisa ambil tindakan karna kemampuan Yeona selalu di puji oleh Queen Rania.“Ye, andai Emilio ingin seorang ayah ada di sampingnya, kamu akan mencari Dareen, atau mencarikan Papa baru untuknya?” tanya Haneul memandang Yeona.Yeona mendehem untuk menetralkan rasa sesak di tenggorokannya. Dia memegang gawainya sambil sesekali memandang seorang pelayan berjalan ke arah mejanya.“Silakan di nikmati, Mas, Mbak,” ujar pegawai sambil meletakkan dua gelas minuman dan dua piring makanan di atas meja.“Iya, terima kasih, ya,” ucap Yeona sambil mengaduk minuman menggunakan pipet.Yeona selalu saja begitu, dia selalu mengabaikan pertanyaan yang menyangkut laki-laki.Yeona pernah depresi ketika dia bertengkar hebat dengan suaminya beberapa tahun silam.“Han, aku duluan, ya, ada pekerjaan yang harus di kerjakan. Aku tadi permisi sebentar karna Emilio menangis histeris di sekolah. Aku di hubungi pihak sekolah, dan untungnya Queen Rania mau memberiku izin untuk keluar di jam kerja. Aku duluan, ya,” ucap Yeona, sambil sekilas menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.Yeona mengambil dan mencantolkan tas branded miliknya di pundak sebelah kanan. Yeona beranjak dan berlalu.Haneul tidak bisa berkata apa-apa, padahal dia sudah mengerti hal itu akan terjadi. Tapi dalam hatinya dia berniat untuk bertanya sekali lagi.[Ye, maaf,] Haneul memandang tubuh bagian belakang Yeona, sambil mengirim pesan.* **Tangan Yeona berhenti bergerak saat dia melihat seseorang yang mirip sekali dengan Bik Asih.Yeona menghampiri wanita itu di seberang jalan sedang duduk menyantap sepotong roti dengan karung besar di sampingnya.“Bik Asih,” panggil Yeona dengan suara lembut.Wanita itu perlahan mendongak. Rotinya berhenti di depan mulut yang menganga, kepalanya sedikit mendongak, pandangannya ke atas menatap Yeona.“N-non Yeona?” ucapnya. Air matanya langsung saja terjun dari sudut matanya. Asih menurunkan tangannya ke pangkuannya dengan membalik badan.“Bik Asih, pandang saya,” ucap Yeona.Bik Asih sosok orang yang judes pada Yeona saat dia mengabdi kepada keluarga Dareen. Asih selalu mengompori sang majikan untuk memarahi Yeona. Asih adalah orang ke tiga sebelum mertua dan suaminya yang mendorong Yeona untuk keluar dari sana.Yeona merasa iba dengan kondisi Asih yang berantakan seperti sekarang ini.Di sisi lain, Haneul celingukan mencari Yeona karna dia melihat mobil Yeona masih terparkir di sana. Haneul dengan mengenakan baju kaos oblong berwarna hijau tua, celana jeans, serta sepatu loreng, membuatnya terlihat sangat tampan saat itu.Haneul celingukan sambil nyengir karna terpapar sinar matahari, dia juga sesekali menolak pinggang karna kesal Yeona tidak kunjung terlihat.Haneul duduk di sebuah pohon beringin yang ada di sudut halaman kafe, untuk menunggu Yeona.* * *“Bi, kenapa bibi ada di sini? Kenapa bibi bisa jadi seperti ini?” tanya Yeona memandang rasa penuh kasih.Yeona—seorang wanita bertanggung jawab, disiplin, berintegrasi, dan optimisDia selalu yakin dengan apa yang dia lakukan, karna dia selalu berpikir di depan, selalu bertanya dalam hati pada dirinya sendiri sebelum bertindak.“E-enggak apa-apa, Non,” sahut Asih sambil duduk membelakangi Yeona.“”Bi, coba bibi pandang aku,” ucap Yeona. Yeona ikut duduk di tepi pembatas jalan dengan kedua kaki yang sedikit meringkuk, menempel ke pembatas jalan.Jika di ingat kelakuan Asih pada Yeona saat dia tinggal bersama sang suami, ingin rasanya saat ini Yeona menjambak, menampar, bahkan menendang Asih. Karna memang dia dalang dari semua ini.Dia menyingkirkan Yeona untuk memasukkan kemenakannya ke dalam rumah itu sebagai istri baru Tuan mudanya.Banyak kendaraan berlalu lalang, membuat pendengaran Yeona terganggu. Dia menyipitkan mata seolah enggan mendengar suara bising di telinganya.“Ya sudah, Bi, ini alamat rumahku. Kalau bibi berkenan, datanglah ke rumahku,” ujarnya sambil meletakkan sebuah kertas nama milik Yeona di pembatas jalan.Asih membalik badan dan memandang Yeona dari kejauhan, matanya berkaca-kaca saat melihat wanita tangguh itu meninggalkannya.Dia sangat menyesal telah menyingkirkan orang baik untuk memberi sela orang jahat masuk ke dalam rumah majikannya.Dia di buang ketika kemenakannya sudah berstatus sebagai Nyonya baru di rumah majikannya.Kertas dengan atas nama Yeona, terbang terhempas angin. Secepatnya Asih mengejarnya karna tidak mau kehilangan alamat mantan Nyonya mudanya.Dia berlari ke arah tengah-tengah jalan.Gubrak!Yeona membalik badan, Haneul mencari sumber suara. Seorang wanita paruh baya tergeletak di tengah-tengah jalan, tepat di depan sebuah mobil Avanza berwarna silver.“Bi Asih!” sentak Yeona terkejut.Dia berlari ke arah di mana, Bi Asih tergeletak dengan berlumuran darah. Mata Haneul menangkap adegan itu, secepatnya Haneul menyusul di mana Bi Asih dan Yeona berada.* * *“Pak, tolong angkatkan ke mobil saya, Pak! Saya kenal dengan orang itu,” perintah Yeona pada pengemudi yang baru saja keluar dari dalam mobil.“Mbak! Di kasih tahu itu orang, jangan seenaknya saja berlari di tengah-tengah jalan,” ucap lelaki itu dengan mata melotot.“Ya, jangan ngegas gitulah, Pak,” timpal Haneul yang baru saja sampai.Lelaki itu mendengus kesal melihat gaya bicara Haneul yang menantang, dia mengangkat bagian punggung, Asih, sedangkan Haneul ikut membopong bagian kaki.Yeona berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu mobil. Pria itu terlihat meringis keberatan.Pria itu memasukkan Asih di bagian jok belakang, Haneul masuk dari pintu lainnya, memegang pundak Asih lalu membaringkan Asih di sana.“Han, jaga dia, ya!” ujar Yeona gugup karna melihat darah yang terus mengalir di bagian pelipis mata Asih.“Mobilku,” sahut Haneul.Tanpa menjawab secepatnya Yeona menutup pintu dengan keras.Walaupun Haneul kesal dengan Yeona, dia tetap mau membantu. Walaupun Yeona kesal dengan Haneul, dia tetap meminta bantuan pada Haneul saat dia butuh.Begitulah persahabatan yang mereka jalani selama ini. Haneul tidak pernah berhasil dengan pengungkapan perasaannya pada Yeona karna Yeona selalu menghindar.Dengan lihai Yeona menyetir mobil, jalan menuju rumah sakit Puri Husada. Rumah sakit itu berjarak berkisar lima belas menit dari tempat kejadian.“Han, Bi Asih masih bernafas, ‘kan?” tanya Yeona sekilas menoleh ke belakang.“Tidak.”“Tidak salah lagi, maksudnya. Ya, masihlah, Ye, masih jauh dari nyawa ini,” ceplos Haneul seenak jidat. Yeona menghela nafas yang beberapa menit telah tertahan di dada. Yeona mendengus kesal lalu konsentrasi lagi menghadap ke depan. “Ye, sebenarnya perempuan tua ini siapa?” Tanya Haneul saat mobil berhenti di lampu merah. “Dia, pembantu di rumah suamiku dulu,” sahut Yeona sekilas memandang ke belakang. “Oh,” ucap Haneul singkat. Sejak belakangan ini jika Yeona berbicara tentang suami, nafas Haneul menjadi sesak. Dari situlah Haneul yakin kalau dia sudah kenal dengan cinta sesungguhnya. * * * Mobil Yeona terparkir tepat di teras ruang ICU, tim medis dengan cepat membawa hospital bad mengarah pada mobil Yeona. Yeona membuka pintu, Haneul mengangkat punggung Asih. Di bantu dengan dua tim medis, akhirnya Asih kini sudah terbaring di hospital bad. Asih di bawa tim medis untuk di rawat. “Han, Aku masuk dulu, ya, isi formulir dulu,” ucap Yeona memandang Haneul. Haneul mengangguk. Ye
“Maaa, Mamaaa ...,” Suara Dareen terdengar sampai ke dalam kamar. Yeona semringah setelah mendengar suaminya pulang, dengan bahagia dia berlari ke arah pintu lalu membukanya. Seketika bibir Yeona mengerut setelah melihat Dareen menggandeng, Arshinta, sahabatnya. Yeona terpaku di depan pintu. Dareen dan Arshinta menatap Yeona. Arshinta malah memeluk lengan Dareen sebelah kiri. Arshinta—wanita tinggi semampai, berambut lurus nan panjang sepinggang, bodi yang melingkuk bagai gitar spanyol, membuat Dareen tergoda. “Apa maksud kalian?” Sentak Yeona lirih. “Aku hamil anak, Dareen, dan kami akan segera menikah,” sahut Arshinta tersenyum sinis menatap Yeona. Yeona terpaku menatap mereka, pandangannya kabur terganggu oleh air mata yang menggenang di kelopak mata. Tangan Arshinta beralih merangkul pinggang Dareen, dia memanjakan diri dengan menempelkan kepalanya ke pundak Dareen. Pemandangan itu membuat amarah Yeona menyala-nyala. “Dasar kamu pelakor!” sentak Yeona berjalan cepat menuju
Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya. “Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu. Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala. “Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan. “Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras. “Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti. Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya. “Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal. Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya. “Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalka
“Halo, selamat pagi, Bu,” sapa Yeona gugup. “Pagi, Ye, saya hari ini tidak ke kantor. Kamu tunda jika ada pertemuan hari ini, juga rekap semua berkas yang ada di meja kami, ya. Tadi saya sudah suruh staf untuk meletakkan di meja kamu, ada kan?” “Mh-ad-ada, Bu,” sahut Yeona terbata-bata. Dia terpaksa berbohong bahwa dia sudah ada di kantor untuk menyelamatkan dirinya pagi ini. * * * Di perjalanan dia merasa ada yang aneh di area mulut. Dia memicingkan mata saat teringat bahwa dia belum menggosok gigi. “Bu, kelihatannya Den Emil akrab, ya, dengan Mas Han,” ucap Erina memandang bos wanitanya. Yeona hanya mengangguk mengingat dia belum menggosok gigi. “Bu, itu gedungnya mau di buat swalayan, loh, ibu temannya, Den Emil yang bilang kemarin,” ucap Erina sambil tersenyum dan sekilas memandang ke arah gedung bertingkat 4. Yeona mengangguk lagi tanpa berkata. Erina merasa bersalah, dia diam sambil memperhatikan Nyonyanya diam saja seperti ada masalah. Yeona menurunkan Erina di sekolah
Wajah Yeona terlihat panik. Sudah lama dia bersikap semaunya sendiri tanpa harus memandang orang lain. “Ya, jangan panik gitulah,” Erlangga tertawa lepas melihat mimik wajah Yeona yang menggemaskan. “Ak-aku, panik bangeeet,” ucap Yeona merengek. Tak sadar dia meraih tangan Erlangga sebalah kanan. Seketika bibir Erlangga mengerut, dia menatap mata Yeona, sepertinya dia sudah merasakan sesuatu. “Jangan takut, ada aku. Lagian orang tuaku juga gak galak-galak amat kok,” ucap Erlangga memegang erat tangan Yeona. Seketika Yeona tersadar bahwa dia sudah memegang tangan Erlangga, Yeona melepaskan tangannya, dia melirik sana sini dan menyibakkan rambut ke belakang telinga untuk mengalihkan rasa gugupnya. Tangan Yeona memegang hendle pintu mobil, tangan Erlangga memegang lengannya. “Naik mobilku saja,” ujar Erlangga menatap mobil BMW X5 berwarna hitam miliknya di bagian sudut tempat parkir. “Terus, mobilku bagaimana?” tanya Yeona melirik mobilnya. “Sini kuncinya, nanti biar orangku yang
Pekerja salon menatapnya dengan kening mengerut. Dia heran kenapa Yeona terkejut sampai seperti itu. Menghentikan kuas kecantikan yang masih merias di area wajah Yeona. “Maksudnya?” Tanya pekerja salon menatap heran. “Dia itu teman, bukan suami ataupun pacar,” sahut Yeona kesal sambil cemberut. “Alah, jaman sekarang memang gitu. Bukan-bukan akhirnya jadian,” ucap pekerja salon tersenyum sambil memainkan alis. “Ih, apaan,” sahut Yeona meringis. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tersenyum. Yeona menatap cermin yang ada di hadapannya sambil sedikit membelok kanan dan kiri untuk melihat penampilannya. “Mbak, kalau kamu bisa jadian sama dia lumayan loh, ganteng, putih, tinggi, wajah oval, berjenggot tipis, ah perfek lah. Kalau Mbak gak mau, kasihkan saya saja, Mbak,” ucap pekerja salon sambil meringis. “Ih barang kali, ya, kasihkan,” sahut Yeona sambil tertawa lepas. Yeona berdiri di hadapan Erlangga yang masih tertidur lelap. Karyawan salon berdiri tepat di samping Yeona. Y
Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya. “Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu. Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala. “Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan. “Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras. “Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti. Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya. “Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal. Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya. “Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalka
Yeona menatap Anggara, wanita itu hanya tersenyum tipis dan berlalu meninggalkan lelaki itu begitu saja. Anggara mengikuti langkah sang majikan dari belakang.Dari pintu yang terbuka sedikit, Yeona menatap wajah wanita paruh baya yang sedang melamun menatap jendela ruangan.Tok!Tok!Yeona mengetuk pintu sambil melangkah masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum memandang Asih yang kini sedang terpasang selang infus di lengan kanannya. Dia duduk di kursi plastik tepat di samping pasien."Bik, apa kabar?" Tanya Yeona yang sebelumnya dia mendehem."Ba-baik, Non," jawabnya terbata. Wanita paruh baya itu menatap Yeona dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa sangat bersalah ketika ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu.Hening ..."Non, maafkan bibik, ya? Bibik benar-benar menyesal.""Sudahlah, Bik, jangan dulu di bahas. Sekarang fokus saja di kesehatan bibik, ya," ucap Yeona sambil tersenyum.Buliran bening keluar dari sudut mata wanita paruh baya yang kini terbaring lemah."Non, dulu waktu ke
"Sayang, dengarkan mama. Papa kamu dulu meninggal karena kecelakaan waktu kamu belum lahir.""Jadi, papa belum lihat Emil?"Yeona menggelengkan kepala sambil tersenyum memandang putranya. Wanita itu memegang tangan mungil putranya lalu berkata, "Sayang, kalau papa barunya, Om Haneul, mau?""Enggak mau," sahut Emilio tegas sambil memandang mamanya."Kenapa?""Om Han, itu sudah jadi teman untuk Emil, Ma. Masa' mau di jadikan ayah sih?""Memangnya kenapa?""Ma, kalau mama menikah dengan Om ganteng, mau?" Tanya Emilio mendongak ke atas menatap mamanya."Om ganteng? Siapa?" "Ada deh, besok Emil kenalkan dengan om ganteng ke mama. Oke?"Emilio berdiri di ranjang, bocah itu memeluk ibunya dengan erat. Wajah semringah tergambar di wajahnya ketika melihat sang mama menganggukkan kepala.Emilio mengambil sebuah bantal berwarna putih lalu dia merebahkan kepalanya di sana.Dreett ...Dreett ...Yeona mengambil gawai ysng bergetar di meja rias lalu menjawab panggilan."Halo, Han? Ada apa?""Aku m
"Baik, Nona," jawab Haneul dengan tangan kanan mendekap di dada dan badan membungkuk.Dengan gemulai, Yeona mengambil tas branded yang ada di sudut meja. Wanita itu beranjak lalu mendekati pemuda yang kini tengah memandangnya.Tangan Yeona di sambut oleh Haneul, mereka berjalan bergandengan bak pasangan yang sangat romantis.* * *Lampu remang-remang dan musik klasik yang di putar pegawai kafe membuat suasana menjadi romantis.Banyak meja kosong, namun, yang di pilih Yeona, meja yang berada di sudut ruangan. Meja bulat yang berisi empat kursi berhadapan, Yeona dan Haneul duduk di satu sisi berhadapan.Tidak lama mereka duduk, seorang waiters menghampiri meja meraka. "Selamat malam, Mas, Tante, mau pesan apa?" Tanya seorang wanita yang berdiri dengan tangan memegang buku berukuran kecil bersiap untuk mencatat."Yeo, kamu pesan apa?""Pasta, sama kopi. Aku sudah lama enggak minum kopi, kangen," ucap Yeona sambil tersenyum.Waiters mencatat apa yang di pesan oleh Yeona, wanita itu menata
Teriak Yeona. Di balik pintu, ada Erina yang berdiri dengan wajah panik. Wanita itu berdiri dengan menggerak-gerakkan kaki untuk menetralkan rasa paniknya. Jari jemarinya saling meremas, matanya sesekali terpejam.Hening ...Yeona beranjak dari ranjang, wanita itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah mendengar keheningan, Mis Erina kembali ke kamar bersama raden kecilnya.Yeona berdiri di bawah shower yang mengucurkan air. Di bawah shower yang menayala, wanita itu mendongak ke atas memejamkan mata dengan kedua telapak tangan mengusap pangkal kepala sampai ke tengkuk leher.Yeona membiarkan kucuran air membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Dia mencoba membuang jauh-jauh masa lalu yang kelam, wanita itu kini tak bisa lagi egois untuk sendiri mengingat putranya yang kini sudah mulai besar dan menginginkan seorang ayah."Tuhan, tolong ajarkan aku untuk mencintai," ucapnya lirih. Percikan air yang masuk ke dalam mulut terasa hambar sehingga dia merapatkan kedua bibi
Selangkah demi selangkah Erlangga mendekati Yeona dan Haneul yang kini tengah berdiri mengmandangnya. Matahari mulai terbenam hingga wajah Erlangga tidak tampak dengan jelas.Erlangga tersenyum dengan kedua tangan yang di masukkan kantong celana levis kanan dan kiri, senyum renyah di lemparkan pada mereka berdua seolah dia tak mendengar apa-apa."Hei, di sini juga? Aku mau ambil sesuatu milikku di rumah itu," ucap Erlangga sekilas memandang rumah mungil yang ada di belakangnya.Haneul diam dengan memasang wajah datar, sedangkan Yeona terlihat senyum semringah."Er, kamu sering ke sini?" Tanya Yeona tak mengerti kenapa bisa kebetulan mereka berjumpa di sini. "Enggak, sesekali saja. Eh, ada berita bagus untukmu, Yeo.""Apa itu, Er?""Kamu akan terbebas dari tugasmu, aku akan pergi keluar negri untuk menerima tawaran Papa menikahi gadis pilihannya."Yeona tersenyum getir, wanita itu tak bisa berkata apa-apa. Yang ada dalam dirinya adalah minder saat Erlangga mengucapkan kata gadis. Seda
Yeona menatap Anggara, wanita itu hanya tersenyum tipis dan berlalu meninggalkan lelaki itu begitu saja. Anggara mengikuti langkah sang majikan dari belakang.Dari pintu yang terbuka sedikit, Yeona menatap wajah wanita paruh baya yang sedang melamun menatap jendela ruangan.Tok!Tok!Yeona mengetuk pintu sambil melangkah masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum memandang Asih yang kini sedang terpasang selang infus di lengan kanannya. Dia duduk di kursi plastik tepat di samping pasien."Bik, apa kabar?" Tanya Yeona yang sebelumnya dia mendehem."Ba-baik, Non," jawabnya terbata. Wanita paruh baya itu menatap Yeona dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa sangat bersalah ketika ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu.Hening ..."Non, maafkan bibik, ya? Bibik benar-benar menyesal.""Sudahlah, Bik, jangan dulu di bahas. Sekarang fokus saja di kesehatan bibik, ya," ucap Yeona sambil tersenyum.Buliran bening keluar dari sudut mata wanita paruh baya yang kini terbaring lemah."Non, dulu waktu ke
Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya. “Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu. Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala. “Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan. “Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras. “Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti. Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya. “Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal. Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya. “Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalka
Pekerja salon menatapnya dengan kening mengerut. Dia heran kenapa Yeona terkejut sampai seperti itu. Menghentikan kuas kecantikan yang masih merias di area wajah Yeona. “Maksudnya?” Tanya pekerja salon menatap heran. “Dia itu teman, bukan suami ataupun pacar,” sahut Yeona kesal sambil cemberut. “Alah, jaman sekarang memang gitu. Bukan-bukan akhirnya jadian,” ucap pekerja salon tersenyum sambil memainkan alis. “Ih, apaan,” sahut Yeona meringis. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tersenyum. Yeona menatap cermin yang ada di hadapannya sambil sedikit membelok kanan dan kiri untuk melihat penampilannya. “Mbak, kalau kamu bisa jadian sama dia lumayan loh, ganteng, putih, tinggi, wajah oval, berjenggot tipis, ah perfek lah. Kalau Mbak gak mau, kasihkan saya saja, Mbak,” ucap pekerja salon sambil meringis. “Ih barang kali, ya, kasihkan,” sahut Yeona sambil tertawa lepas. Yeona berdiri di hadapan Erlangga yang masih tertidur lelap. Karyawan salon berdiri tepat di samping Yeona. Y
Wajah Yeona terlihat panik. Sudah lama dia bersikap semaunya sendiri tanpa harus memandang orang lain. “Ya, jangan panik gitulah,” Erlangga tertawa lepas melihat mimik wajah Yeona yang menggemaskan. “Ak-aku, panik bangeeet,” ucap Yeona merengek. Tak sadar dia meraih tangan Erlangga sebalah kanan. Seketika bibir Erlangga mengerut, dia menatap mata Yeona, sepertinya dia sudah merasakan sesuatu. “Jangan takut, ada aku. Lagian orang tuaku juga gak galak-galak amat kok,” ucap Erlangga memegang erat tangan Yeona. Seketika Yeona tersadar bahwa dia sudah memegang tangan Erlangga, Yeona melepaskan tangannya, dia melirik sana sini dan menyibakkan rambut ke belakang telinga untuk mengalihkan rasa gugupnya. Tangan Yeona memegang hendle pintu mobil, tangan Erlangga memegang lengannya. “Naik mobilku saja,” ujar Erlangga menatap mobil BMW X5 berwarna hitam miliknya di bagian sudut tempat parkir. “Terus, mobilku bagaimana?” tanya Yeona melirik mobilnya. “Sini kuncinya, nanti biar orangku yang
“Halo, selamat pagi, Bu,” sapa Yeona gugup. “Pagi, Ye, saya hari ini tidak ke kantor. Kamu tunda jika ada pertemuan hari ini, juga rekap semua berkas yang ada di meja kami, ya. Tadi saya sudah suruh staf untuk meletakkan di meja kamu, ada kan?” “Mh-ad-ada, Bu,” sahut Yeona terbata-bata. Dia terpaksa berbohong bahwa dia sudah ada di kantor untuk menyelamatkan dirinya pagi ini. * * * Di perjalanan dia merasa ada yang aneh di area mulut. Dia memicingkan mata saat teringat bahwa dia belum menggosok gigi. “Bu, kelihatannya Den Emil akrab, ya, dengan Mas Han,” ucap Erina memandang bos wanitanya. Yeona hanya mengangguk mengingat dia belum menggosok gigi. “Bu, itu gedungnya mau di buat swalayan, loh, ibu temannya, Den Emil yang bilang kemarin,” ucap Erina sambil tersenyum dan sekilas memandang ke arah gedung bertingkat 4. Yeona mengangguk lagi tanpa berkata. Erina merasa bersalah, dia diam sambil memperhatikan Nyonyanya diam saja seperti ada masalah. Yeona menurunkan Erina di sekolah