'Bagaimana caraku agar bisa mendapatkan rambut Rey?' Nampak seorang wanita tengah berjalan menelusuri lorong rumah sakit. Pagi hari ini Lia memutuskan untuk kembali menjenguk Rey, yang mana padahal lelaki itu justru tak nyaman dengan keberadaannya.
Meskipun selalu diacuhkan dan diabaikan, nampaknya Lia tak peduli. Toh, nanti juga lelaki itu akan menerimanya dan mencintainya. Tapi tentu saja bukan murni karena cinta sesungguhnya, melainkan jalur instan dengan bantuan kakek dukun andalannya.Namun untuk mendapatkan Rey, ia harus bisa memenuhi satu syarat lagi. Dalam syarat guna-guna milik mbah dukun itu, dibutuhkan foto korban, nama lengkap, serta beberapa helai rambut korban yang ingin diguna-guna. "Bagaimana ini? apa aku ambil saat Rey tidur?" monolog Lia, ia tengah kebingungan.Tak lama, wanita bernama Lia itu telah sampai di depan pintu ruang inap Rey. Di ruangan ini, Rey menjalankan rawat inap untuk pemulihan kesehatannya pasca operasi. Saat hendak memeSeharian ini aku mondar mandir di koridor rumah sakit. Mencari sebuah cara untuk mendapatkan rambut Rey, untuk apa? tentu saja untuk memenuhi syarat guna-guna untuk mendapatkan hatinya.Tiba-tiba sebuah ide cemerlang muncul di otakku ketika melihat seorang suster yang melintas. "Ah, ya! jika aku tak bisa mendekati Rey, maka tinggal buat orang lain yang mendapatkannya, kan?" aku bermonolog sendiri, tentu dengan suara yang sangat pelan agar tak disangka gila."Sus!" panggilku kepada seorang suster perawat yang melewatiku."Iya? ada yang bisa saya bantu?" "Boleh saya meminta tolong sesuatu?" tanyaku, semoga suster perawat ini mau membantuku, tak masalah jika dia meminta bayaran padaku.Suster itu pun menjawab, "Tentu, apa itu?" "Bisakah Suster memotong beberapa helai rambut pasien di ruangan itu?" Aku pun menunjuk ruangan VIP bernomor 13 di sebrangku. Ruangan itulah yang tengah dihuni oleh Rey, calon suamiku.Tampak suste
"Apa, Mbah?" Lia mengernyitkan dahinya."Hoalah Nduk, budek juga kamu ini ternyata," ujar Mbah Jayeng, membuat Lia berdecak kesal."Ini, rambut ini sepertinya bukan rambut lelaki yang kamu incar," ucap Mbah Jayeng, ia pun juga menyodorkan helaian rambut yang tadi Lia berikan padanya."Lah? masa, sih? saya yakin itu rambut Rey kok, Mbah," tukas Lia dengan sangat yakin."Kalau gitu saya tanya, memangnya kamu yang ngambil rambutnya secara langsung?" tanya Mbah Jayeng.Deg!Kini Lia yang terdiam membatu, pasalnya memang bukan dia yang mengambil rambut itu secara langsung. Tapi ... agaknya ga mungkin kalau suster itu berani berbohong. 'Masa, sih? masa suster itu berani bohongin aku?' tanya Lia di dalam batinnya."Yah ... ya sudah, ritualnya sudah gagal. Kamu bisa coba pastikan lagi benar atau tidaknya, lalu datang lagi kemari. Karena kalau nama, foto, dan rambut korban tidak cocok, maka ritualnya akan sia-sia," ujar kakek-kak
Jeni tersenyum. "Halah ... ga usah bohong, deh! kamu pasti masih ada rasa 'kan sama Rey?" Lia menunduk, dan wanita itu pun tak menyangkal ucapan Jeni terhadapnya. namun, kini perasaannya tengah ketar-ketir. Lia takut jika Jeni berada di pihak Marya.'Apa aku harus guna-guna Mbak Jeni juga? bisa bahaya jika dia ....'Tiba-tiba Jeni merangkul Lia dengan sok akrab. "Aku dukung kok!" ucap wanita berambut pirang itu. Membuat Lia mendongakkan kepalanya. "Eh ... maksudnya?""Aku juga gak suka sama istri gundik Rey itu, aku berharap wanita berpendidikan dan yang berstatus sosial setara seperti kamu itu yang menjadi iparku," ucap Jeni."Mbak ... serius?" Lia hampir tak percaya, artinya seluruh keluarga Rey benar-benar membenci wanita kampungan itu tanpa terkecuali. Bukankah artinya, pintu untuk mendapatkan Rey semakin terbuka lebar untuk Lia?Jeni mengangguk dengan cepat. "Jadi benar kamu masih ada rasa untuk Rey?" Pertanyaan i
"A—ampun! to-long!" pekik Marya, kini ia tengah disekap oleh keluarga suaminya sendiri. Wasida, Jeni, Nara, dan juga Lia. Mereka semua bekerja sama untuk menyeret wanita malang itu masuk ke dalam gudang.Perlakuan aniaya mereka sudah bukan main-main lagi, bahkan tak segan Lia menggunakan cutter untuk melukai tangan dan wajah Marya. Mereka semua seperti sudah hilang akal dan tak peduli lagi dengan nyawa Marya."Hmmm ... akan aku rusak perlahan seluruh wajahmu sampai Rey akan jijik melihatmu nanti," ucap Lia dengan seringai."Semenjak wanita ini di rumahku, sudah tak ada lagi kedamaian di rumah ini. Agar tak kembali lagi ke rumah ini, apa kita bunuh saja menantu tak tahu diri ini?" sahut Wasida.Gila! mereka semua sudah gila. Marya sampai berkeringat dingin mendengar semua perkataan yang keluar dari mulut mereka semua. "Ampun! apa salahku, Bu?! aku ndak pernah menganggu ibu dan kalian semua!" ucap Marya, ia mencoba memberontak.Namun, percu
"Ayo, kemari Rey. Ibu tahu, kamu sangat mencintai kantor dan aset-aset mahal milikmu, dan juga rumah ini." Wasida membentangkan kedua tangannya, ia yakin jika Rey akan lebih memilihnya dibandingkan dengan Marya.Rey ada sosok pekerja keras, perusahaan tempat ia memimpin saat ini adalah warisan peninggalan ayahnya. Jika boleh dikata, Rey sangat mencintai perusahaan itu. Segenap hati ia menjalankan perusahaan yang dulunya hampir di ujung kebangkrutan itu, sampai akhirnya kini telah menjadi perusahaan industri terbesar di kota ini.Kini ia harus memilih, antara perusahaan yang ia banggakan dan cintai itu, atau Marya sang istri tercinta. Sungguh berat pilihannya kali ini, tak ada satu pun yang sanggup ia relakan.Bukan karena Rey takut hidup miskin, tapi perusahaan itu adalah amanat dari ayahnya yang harus ia jaga. Ayahnya hanya percaya pada Rey untuk mengelola perusahaan itu, Rey pun ingin mengemban amanat dari ayahnya sebaik mungkin. Sementara Marya? wanita
"Astagfirullah, cepat kamu temui Ibuk, Mas!" seru Marya ketika mendengar jika ibu mertuanya masuk rumah sakit. Pun juga Rey yang panik, ia segera bersiap untuk pergi menuju rumah sakit.Meski perlakuan Wasida sangat keterlaluan, tapi bagi Rey dan Marya seorang ibu tetaplah seorang ibu untuk anak-anaknya. Mau seburuk-buruknya seorang ibu, tidak akan ada istilah mantan ibu dan mantan anak, kan?"Dek, ayo! kamu juga ikut Mas ke rumah sakit," ucap Rey. Namun tampak Marya menggeleng lemas. Wajahnya kini muram."Kamu saja, Mas. Justru kalo aku ikut, yang ada kondisi Ibuk semakin memburuk," cicit Marya. Marya tahu jika ia nekad untuk menemui ibu mertuanya, pasti hanyalah akan semakin merusak suasana di sana.Mendengar itu, Rey malah kembali duduk di kursinya. "Loh? kenapa Mas Rey malah duduk?! cepat Mas pergi jenguk Ibuk!" protes Marya."Untuk apa? aku tak mau meninggalkan istriku seorang diri di sini," ujar Rey. Lelaki itu melipat tangannya di
Rey masih terdiam, lelaki itu belum menjawab pertanyaan dari Wasida. "Gimana? kamu mau, kan? pulanglah ke rumah, Rey," tanya Wasida lagi, ia benar-benar tidak ingin kehilangan Rey.Jujur saja, yang dapat memajukan perusahaan keluarga Prawijaya dengan baik itu hanyalah Rey seorang. Kakak kedua Rey yang bernama Zain dulu pernah memegang perusahaan itu, namun justru malah membuat perusahaan berada di ujung tanduk kebangkrutan."Rey ...." lirih Wasida, ia memegang telapak tangan putra bungsunya itu dengan penuh kasih. Rey sebenarnya kasihan dan merasa iba pada wanita yang telah mengandung dan membesarkannya ini, tapi ...."Maaf, Buk. Aku tidak akan kembali lagi ke rumah." Akhirnya Rey membuka suara, namun ucapannya bagai petir untuk Wasida. "Ke—kenapa?!" tanya Wasida dengan nada tinggi, kini ia seperti tengah protes dengan jawaban sang putra.Rey tersenyum. 'Karena aku sudah tahu rencana busuk kamu, ibu.' Rey menjawab Wasida, namun di dalam
Beberapa hari ini, Rey berjuang mencari kerja ke beberapa perusahaan yang sesuai dengan kemampuan yang ia punya. Anehnya, Rey selalu mendapatkan penolakan.Padahal ia mengajukan lamaran kerja di perusahaan-perusahaan yang sudah mengenal siapa dirinya dan bagaimana kemampuannya. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumussalam." Marya menyambut kepulangan sang suami dengan segelas teh hangat di tangannya. Nampak jelas raut wajah lelah dan lesu dari Rey, membuat Marya pun bertanya-tanya."Kenapa, Mas? kok lesu gitu mukanya?" Marya duduk di samping sang suami dan memijat lengan Rey dengan telaten."Mas ketolak lagi," keluh Rey, ia menyenderkan kepalanya di bahu Marya. Bersandar dengan orang yang kita cintai di saat sedang terpuruk memanglah menenangkan."Ndak papa, Mas. Belum rezekinya berarti," ucap Marya memberi pengertian kepada Rey, ia mengelus pundak Rey. "Yang terpenting jangan sampai nyerah berusaha," imbuh Marya lagi."Tapi sepertinya ada yang aneh, Dek." "Aneh? aneh gimana?" Marya menamp