Rey masih terdiam, lelaki itu belum menjawab pertanyaan dari Wasida. "Gimana? kamu mau, kan? pulanglah ke rumah, Rey," tanya Wasida lagi, ia benar-benar tidak ingin kehilangan Rey.
Jujur saja, yang dapat memajukan perusahaan keluarga Prawijaya dengan baik itu hanyalah Rey seorang. Kakak kedua Rey yang bernama Zain dulu pernah memegang perusahaan itu, namun justru malah membuat perusahaan berada di ujung tanduk kebangkrutan."Rey ...." lirih Wasida, ia memegang telapak tangan putra bungsunya itu dengan penuh kasih. Rey sebenarnya kasihan dan merasa iba pada wanita yang telah mengandung dan membesarkannya ini, tapi ...."Maaf, Buk. Aku tidak akan kembali lagi ke rumah." Akhirnya Rey membuka suara, namun ucapannya bagai petir untuk Wasida."Ke—kenapa?!" tanya Wasida dengan nada tinggi, kini ia seperti tengah protes dengan jawaban sang putra.Rey tersenyum. 'Karena aku sudah tahu rencana busuk kamu, ibu.' Rey menjawab Wasida, namun di dalamBeberapa hari ini, Rey berjuang mencari kerja ke beberapa perusahaan yang sesuai dengan kemampuan yang ia punya. Anehnya, Rey selalu mendapatkan penolakan.Padahal ia mengajukan lamaran kerja di perusahaan-perusahaan yang sudah mengenal siapa dirinya dan bagaimana kemampuannya. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumussalam." Marya menyambut kepulangan sang suami dengan segelas teh hangat di tangannya. Nampak jelas raut wajah lelah dan lesu dari Rey, membuat Marya pun bertanya-tanya."Kenapa, Mas? kok lesu gitu mukanya?" Marya duduk di samping sang suami dan memijat lengan Rey dengan telaten."Mas ketolak lagi," keluh Rey, ia menyenderkan kepalanya di bahu Marya. Bersandar dengan orang yang kita cintai di saat sedang terpuruk memanglah menenangkan."Ndak papa, Mas. Belum rezekinya berarti," ucap Marya memberi pengertian kepada Rey, ia mengelus pundak Rey. "Yang terpenting jangan sampai nyerah berusaha," imbuh Marya lagi."Tapi sepertinya ada yang aneh, Dek." "Aneh? aneh gimana?" Marya menamp
"Bukan masalah seberapa besar bayarannya.""Lalu?!""Sihir tidak akan mempengaruhi jiwa manusia yang taat kepada Tuhannya, sayangnya kali ini musuhmu adalah seorang hamba yang taat kepada sang penciptanya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa jika sudah seperti ini," jelas Mbah Jayeng kepada Lia."Enggak! Ga mungkin! Pasti ada caranya untuk menghancurkan hubungan mereka!" pekik Lia dengan frustasi.Harapan dan impiannya seakan hancur ketika mendengar penjelasan Mbah Jayeng, padahal ia sudah mendambakan kebahagiaan bersama Rey ketika ia berhasil menyingkirkan Marya. Padahal ia sudah menantikan momen membahagiakan itu sejak lama. Memiliki jiwa dan raga Rey adalah keinginan terbesar dalam hidup Lia.****"Buka usaha?""Iya, Mas. Jika kamu ndak bisa mendapatkan pekerjaan di luar sana, kenapa ndak membuka peluang sendiri?""Tapi pasti butuh modal yang banyak, Dek. Sementara tabungan kita harus kita simpan sampai setidaknya kamu melahirkan nanti."Marya tersenyum simpul. "Yakin sama Allah, pasti
"Pak! Buk! Sini-sini, nasi uduk sama gorengan ini enak loh rasanya." Pak Akmal melambaikan tangannya, sontak saja orang-orang yang berada di sekitar tempat jualan Rey dan Marya langsung berdatangan karena penasaran."Kebetulan saya juga belum sarapan, nasi uduknya satu, ya." "Siap, Buk. Tunggu sebentar, ya."Hari pertama Marya berjualan benar-benar di luar ekspektasi, Marya pikir tidak akan seramai ini. Ternyata tempat ia berjualan memang begitu strategis, ditambah rasa makanan yang ia buat juga mendukung."Mas, tolong jualin gorengannya, ya." "I—iya, ini 5 ribu dapet berapa, Dek?" "Dapet 8 Mas." Marya dengan cekatan membuat pesanan demi pesanan, dari mulai nasi uduk dan lontong sayur. Sedangkan Rey yang bertugas untuk mengurusi pesanan gorengan tengah keteteran."Mas, jangan tahu semua dong isinya, dicampur," protes seorang ibu-ibu yang melihat Rey sedang memasukan gorengan ke dalam plastik, tapi yang Rey ambil sedari tadi hanya satu macam saja."Eh? maaf-maaf Mbak." Rey kembali me
"Kita harus buat Rey kembali lagi ke rumah ini, Ibu butuh dia untuk menjalankan perusahaan keluarga," ucap Wasida."Iya, tapi bagaimana caranya? Dia saja kudengar cukup sukses dengan usahanya bersama si wanita sialan itu, mana mau dia pulang ke rumah ini?" "Kita buat saja usahanya hancur, Mbak, Buk. Dengan begitu, Rey pasti akan menyerah dan datang kepada kalian," usul Lia memberikan sebuah ide."Hancur? Bagaimana caranya, Li? Apa kamu tahu?" Wasida masih bingung dengan usulan yang diberikan oleh Lia, bagaimana caranya membuat usaha Rey hancur? Sementara ia sendiri tidak bisa lagi membuat Rey percaya dengannya."Buat bisnis mereka bangkrut, apa pun caranya. Misalnya suruh orang fitnah usaha mereka, dan buat nama bisnis mereka jelek. Dengan begitu, semua orang pasti tidak mau lagi belanja di sana," jelas Lia."Nah! Itu sepertinya cara yang paling mudah, kita bisa bayar orang untuk melakukan hal itu," sahut Jeni, ia sangat setuju dengan us
"Ada apa ini ribut-ribut?!" tanya Rey dengan panik, pasalnya ia baru datang dari rumahnya bersama Andi untuk mengambil persediaan bahan-bahan. Tapi betapa terkejutnya mereka berdua ketika melihat ruko milik mereka telah dikerumuni oleh banyak massa."Marya! Ada apa?!" Rey lebih panik lagi ketika mendapati istrinya yang sudah menangis pilu di antara kerumunan itu."Ini loh, Mas. Ibu-ibu itu tiba-tiba datang, trus nuduh kalo gara-gara gorengan dan nasi uduk buatan kita itu mengandung racun atau apalah itu," jelas Ani."Racun? Racun apa?" tanya Rey dengan heran, ia sudah berjualan selama beberapa bulan, dan tidak pernah mendapati protes seperti itu dari para konsumennya."Halah, kalian semua itu jago sekali aktingnya. Liat nih, gara-gara makanan yang kalian jual itu, anak saya sampai masuk rumah sakit!""Bentar-bentar! Ibu-ibu ini memangnya punya bukti kalau semua itu karena makan makanan yang kami jual? Kalau tidak, kalian bisa saya tuntut atas hal pencemaran nama baik!" ucap Rey dengan
"Assalamualaikum.""Wa'alaikumussalam," sahut Rey dari dalam rumah, ia membuka pintu depan dengan terburu-buru."Kamu ternyata, Ndi. Sama Ani juga? Ayo masuk," ujar Rey, ia mempersilakan kedua orang itu untuk masuk ke dalam. Marya pun keluar dari kamarnya untuk menyambut Ani dan Andi."Iya, Pak. Ini sebenarnya cuma mau ngasih kunci ruko ke Pak Rey." Andi mengulurkan tangannya dan memberikan sebuah kunci kepada Rey. "Oh, iya. Terima kasih kalian sudah mau menutup rukonya," ucap Rey.Kini Marya datang dengan sebuah nampan yang terdapat dua gelas teh hangat di atasnya. "Minum tehnya dulu, ya.""Iya, makasih Mar. Kamu ndak kenapa-napa toh? Aku takut kamu kepikiran sama kejadian tadi," ucap Ani.Andi pun menyenggol bahu Ani. "Justru karena Mbak ungkit jadi inget, Mbak!" lirih Andi."Oh, iya juga, ya." Ani meringis ketika mendapati teguran dari Andi.Marya tersenyum simpul menanggapi hal itu. "Gapapa, An. Cuma heran aja, kok bisa ada yang fitnah sampai seperti itu," sahut Marya."Ada yang
"Semenjak kejadian kemarin, warung kita jadi sepi gini, Mar. Apa orang-orang pada terhasut sama fitnah ibu-ibu itu, ya?" tanya Ani menduga-duga.Marya menghembuskan napasnya dengan kasar. "Mungkin," sahut Marya dengan senyum getirnya.Pasalnya seminggu dari kejadian heboh waktu itu sudah berlalu, namun warung Marya nampak sepi pembeli. Seakan semua orang sudah tidak percaya lagi dengan makanan yang Marya jual.Bahkan hampir semua pesanan ketering dalam jumlah banyak pun dibatalkan secara sepihak oleh langganan Marya."Lebih baik kita tutup saja, An. Ini juga sudah sore dan mendung," celetuk Marya, kini ia berdiri dan mulai membereskan sedikit demi sedikit barang dagangannya."Loh? Gak buka sampe malem lagi, Mar?" Marya menggelengkan kepalanya. "Sepertinya ga perlu.""Masih utuh semua loh dagangan kita, mau dikemanakan?""Kita bungkus saja, kita bagi-bagi ke pondok pesantren yang dekat sini. Pasti semuanya akan
"Tapi kita buka setiap hari loh, Pak! Yah ... meski ga ada satu pun yang beli sih," ucap Rey.Mereka semua terdiam tak bergeming, sampai akhirnya Pak Bakri membuka suara. "Walah, saya ndak tahu kalo itu. Saya tiap hari lewat ruko sampean dari mulai pagi sampe sore, tutup terus kok," ujar Pak Bakri, ia semakin membuat Marya dan yang lainnya bingung."Eh ... ya sudah, saya mau ngarit dulu buat kambing-kambing saya, Assalamualaikum," timpal Pak Bakri lagi."Wa'alaikumussalam." Pak Bakri melangkah pergi meninggalkan Marya dan lainnya. Kini empat orang itu terheran-heran di dalam batinnya dengan ucapan Pak Bakri barusan."Ya sudah, kita pulang dulu. Mau magrib. Andi, anter Ani ke rumahnya, ya?" ucap Rey memecah lamunan Marya, Andi, dan juga Ani."Eh, iya Pak. Saya pamit duluan.""Ndi, bukannya ini masalah serius, ya? Jangan-jangan bener dugaanku, ada pedagang lain yang iri sama usaha Marya dan Rey," ujar Ani menerka-nerka."Kemungkinan besar sih, begitu," sahut Andi."Duh, ada aja cobaan s