Share

Rahim Subur?

Penulis: HaluMutu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Terdengar salam dari seberang, dari suaranya aku tidak asing. Bukan berarti hapal, tetapi aku pernah mendengar pemilik suara itu.

"Afwan, apa benar ini dengan Alfaqir?"

"Iya, saya orang itu. Saya hanya mau mengatakan itu uang satu milyar adalah hak kamu. Dan bukan hanya itu, masih banyak lagi yang akan saya berikan sesuai wasiat seseorang."

"Seseorang? Siapa, ya?"

"Maaf, menurut wasiatnya, saya tidak bisa memberitahu sekarang."

"Oh, baik, terima kasih."

Kututup sambungan telepon untuk menghitung jumlah uang, apa benar nominalnya sesuai dengan yang dikatakan.

"Allahu akbar, ini benar." Mataku tak henti-hentinya berkaca-kaca.

Aku jadi teringat perihal konsultasi masalah rahimku. Apa ada masalah sehingga setelah tiga tahun menikah aku tak kunjung memiliki anak. Sejak dulu aku tidak punya uang untuk konsul ke dokter, sementara ibu mertuaku selalu mencegatku jika aku hendak mengatakan itu pada Mas Agha.

Flashback on

"Mas, aku ingin kita-"

"Sudah, Mutia. Jangan banyak maunya, sudah tahu suami hanya pulang sebentar, eh malah bilang minta ini itu. Belum cukup uang yang dia berikan?" cetus ibu mertuaku sembari berkacak pinggang.

Mas Agha tidak pernah membelaku, dia diam dan memilih masuk ke dalam kamar. Saat aku hendak menyusulnya, ibu selalu saja mengalihkan hal itu agar aku sibuk.

"Mas, aku ingin kita bicara sebentar."

"Mutia, aku besok harus berangkat kerja pagi-pagi lagi. Aku ingin istirahat."

Beberapa kali Mas Agha seperti itu, aku tidak banyak protes karena aku harus sadar diri, aku belum bisa memberikan apa yang dia inginkan.

"Kenapa kita tidak periksa ke dokter, Mas?"

Tidak ada jawaban, aku lihat ternyata Mas Agha sudah terlelap. Baiklah, mungkin besok.

"Haus banget, ya. Duh gerah rasanya."

Aku keluar untuk mengambil segelas air sekaligus mencari udara segar. Setidaknya dapur lebih luas dari kamarku.

"Gimana rasanya jadi wanita mandul? Huft, gak tau dah, nasib nasib. Anakku menikah dengan wanita tidak tau diuntung, sudah sadar dirinya mandul, dari yatim piatu, ke sini kayak-kayak cuma numpang dan mencari belas kasihan."

'Dulu aku sudah menjelaskan bahwa aku hanyalah anak yatim piatu, tetapi ibu mertuaku mengira ayah dan ibuku adalah orang kaya.'

Kala itu, tepat setelah akad, ibuku langsung berya harta warisan papa. Selaku pengantin baru, masih lugu dan malu, aku hanya bisa menunduk.

"Kamu punya harta warisan berapa milyar uang, berapa hektar tanah, berapa aset perusahaan?" tanya ibu mertuaku dengan sangat ketus. Salah satu khasnya adalah dengan berkacak pinggang.

"Buk, kok?" Mas Agha mencoba membuat ibunya mengerti, aku tahu dari gelagatnya ia tidak suka ibunya bertanya seperti itu padaku.

"Loh, Gha. Kamu sudah tanyakan belum? Ini penting, saat kalian sudah menikah, hartanya juga jadi milik kita dong. Gimana sih?"

Saat itu ibu mertua masih menyajikan makanan, minuman dan sebagainya. Sikapnya masih bisa dibilang hangat. Akan tetapi semua itu tidak bertahan lama.

"Maaf, Buk. Saya yatim piatu yang tidak pernah tahu asal usul keluarga saya. Jadi, saya tidak memiliki harta warisan apa-apa," ujarku memberanikan diri berkata jujur dan apa adanya.

Keesokan harinya, ibu mertuaku langsung memiliki acara arisan ibu-ibu komplek, selaku menantu aku sadar untuk membantu ibu mertua menyiapkan segalanya.

"Nanti kamu tidak usah keluar, ya. Saya malu," ketus ibu.

"Malu kenapa, Bu?"

"Ya malu, semua teman-teman arisan saya sudah tahu kalau kamu itu kaya raya, punya warisan banyak walau yatim piatu. Eh, kenyataannya malah kayak gini."

"Apa ibuk sedang butuh uang?"

Aku mencoba tetap tenang.

"Halah, tidak usah sok peduli. Paling juga uang Agha, putraku. Tidak perlu, saya lebih berhak atas uang itu."

"Tidak, Buk. Mutia punya kalung peninggalan ibu. Jika ibu butuh, ibu boleh gadaikan kalung ini. Tapi Mutia mohon, jangan dijual."

"Sini." Ibu mertua langsung merampas kalung dari leherku.

"Buk, tapi Mutia mohon jangan dijual."

"Ingat, ya. Jangan pernah kamu katakan apa-apa pada Agha. Jika tidak, kamu akan saya buat menyesal sudah melakukan hal itu."

"Baik, Buk. Tapi Mutia mohon jangan dijual."

"Bawel."

"Tebus aja jika kamu sudah punya uang, tapi saya yakin kamu tidak akan pernah bisa menebusnya. Secara, uang dari mana. Ingat, ya. Semua uang yang diberi oleh Agha, kamu harus setor sama saya. Saya yang berhak atas hasil pencapaian anak saya."

Flashback off

Sakit rasanya jika mengenang semua itu, tetapi apalah daya. Aku sekarang harus bisa berusaha melupakannya. Jika Mas Agha pulang, aku akan berusaha mengajaknya untuk tinggal di rumah baru.

"Sekarang sebaiknya aku ke dokter."

Sesampainya di rumah sakit, aku menunggu antrean tidak terlalu lama. Setelah sampai di bagianku, aku masuk dan melakukan pemeriksaan.

"Rahim ibu baik-baik saja, saya lihat tidak ada gangguan apa-apa. Subur juga. Memiliki potensi kehamilan yang sangat tinggi."

"Apa? Subur? Jadi, selama ini aku tidak memiliki gangguan apapun. Apa mungkin Mas Agha yang ...."

Bersambung...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yanto Hasan
sangat bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Akan Dipakai

    *Pantas saja jika Agha memilih menikah lagi di sana. Jika istrinya saja tidak bisa memberikan dia anak.*Betul, Jengsay. Biarkan saja Agha menikah lagi, dia pasti akan segera memiliki keturunan. *Apalagi istrinya yang sekarang modis, molek, tidak seperti si ono yang tidak tahu selera suami. *Hus, awas ononya, kan bisa berabe kite. Aku menggeleng melihat isi komentar berbalas di story adik iparku. Aku tahu, salah satu pemilik akun itu adalah ibu mertuaku. Itupun aku tidak tahu hp siapa yang dipakai, bisa saja ponselku sebab sebelum itu ibu mertuaku tidak memiliki ponsel pribadi. "Sebentar, Mas Agha sudah menikah lagi?" Tersebab penasaran, aku menscroll status Widya pasti aku akan menemukan sesuatu. Dan ternyata benar, itu Mas Agha dia sedang bergandengan tangan dengan mempelai wanita. "Ah, mungkin saja dia adalah temannya. Mana mungkin Mas Agha akan berbuat seperti itu." Berbagai sangkaan positif aku pasan

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Bikin Malu Pelakor

    Dor dor dor"Mutia, keluar kamu. Mutia," seseorang memekik dari luar seiring pintu yang terus digedor. "Iya sebentar." Aku sibuk merapikan pakaianku, dan memutar gagang pintu dengan tangan yang lain. "Ibuk?" Wanita paruh baya itu menatapku tajam dengan tangan berkacak pinggang. Ia menerobos masuk ke dalam walau tanpa aku persilakan. Aku hanya bisa mengelus dada. "Mutia, ingat, ya. Kamu masih punya hutang sama saya," ujarnya. Aku mengernyitkan dahi, selama aku hidup dan menikah dengan Mas Agha, belum pernah tahu bagaimana rasanya berhutang. Minimal aku menahan perut jika lapar sedang melanda. "Utang apa, Buk?" "Gini, ya. Sekarang kan semua BBM naik nih. Dan kamu, sekarang sudah bukan istri Agha lagi, jadi semua fasilitas yang pernah kamu pakai selama di rumah saya, saya minta. Sini bayar.""Oh iya lupa, kamu kan miskin. Mana ada kamu punya uang. Dan lagi, kamu hidup sebatang kara. Saudara mana yang mau belas kasihan buat ngebantuin

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Pertolongan?

    "Maaf, Mbak. Bulu matanya hampir copot, awas jatuh nanti bisa hilang. Eman-eman, mahal kan." Wajahnya memerah, dan kini gantian Mas Agha yang memandanginya. Mungkin ia perlu korektor sepertiku sehingga bisa tampil lebih elegan lagi. Berhias si boleh menurutku, tapi bukannya dandanan itu terlalu menor. Aku tertawa di balik wajah yang berusaha kutata sedemikian santai. "E-em. Mas Agha mau ngomong apa?" tanyaku pada satu-satunya laki-laki yang pernah kuputuskan padanya hati ini akan berlabuh. Melihat dia akan sedikit ragu, aku menoleh ke arah wanita di sampingnya. Aku mengangguk paham, lalu pamit untuk berlalu. "Mutia, kamu mau ke mana?" Aku menghentikan langkahku, untuk apa dia bertanya. Apa masih ada urusan, masih penting kah diriku baginya saat ini. Dengan tetap memperhatikan tatakrama berbicara, aku menoleh untuk menjawab. "Mau nganterin ini ke panti asuhan, Mas." "Kenapa gak pakai mobil aja?

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   150 Juta?

    "Ibrahim itu siapa, Buk?" "Dia salah satu aktivis dakwah di desa sebelah, dia sering ke sini untuk menyumbang dan sesekali mengecek keadaan anak-anak di sini." Aku mengangguk pelan, masih ada ternyata laki-laki yang berhati mulia. Adakah mertua baik yang tersisa untukku? Kurasa tidak ada, atau mungkin ini adalah bagianku. "O iya, gimana rumah tangga kamu sama Agha?" DegHatiku bercampur aduk, aku harus jawab bagaimana. Susah sekali untuk menjabarkannya. Ditinggal saat diri ini sangat-sangat menyayanginya. Dalam kesetiaan, kesetiaan yang dibalas sembilu."Sudah tidak ada, Buk. Menikah dengannya hanya menjadikan saya harus mencicipi pahitnya masa iddah."Wajah Bu Hanik berusaha, seakan ia merasa tak enak. "Maafkan ibu ya, Nak. Ibuk tidak tahu jika ternyata perangai laki-laki itu seperti itu. Dulu ibu yakin dia akan membahagiakanmu," lirih Bu Hanik sembari meremas tanganku. Aku mengulas senyum, tidak masalah.

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Bingkisan Apa Lagi?

    "Bingkisan apa lagi ini?" Aku mengleng kotak dengan sampul warna ungu di tangan, siapa sebenarnya yang sangat suka mengirimkan kotak-kotak misterius ini. Aku boleh membukanya? Semoga saja bukan orang iseng sehingga mengisi kotak ini dengan ular atau sebagainya. "Tidak, tidak ada desis." Pikiranku traveling, tidak mungkin ini uang lagi. Uang yang kemarin itu sudah terlalu banyak. "Eh, Mutia. Kebetulan sekali. Dari kemarin itu banyak banget yang nyariin kamu. Nanyain alamat kamu. Mutia Zahira. Jadi saya tunjukkan alamat rumah ini. Tidak apa-apa, kan?" seru Bu Kontrakan. Akhirnya kejanggalan ini terjawab, pantas saja. Tetapi, jika pak pos mungkin bisa saja bertanya ke rumah lama, lalu kebetulan bertemu bu kontrakan ini. Namun, jika manmer? "Temen saya juga pernah nanyain kamu. Kata sih mantan ibu mertua kamu, ya?" Ah, seakan ingin sekali kutepuk kening ini. Dunia bak selebar daun kelor saja. Ke mana pun aku pergi, ad

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Berita Hangat

    Sore ini kurasa cuaca cukup mendukung untuk merefresh hati, aku ingin keluar mencari refensi berjualan dan tempat strategis dalam proses berjalannya nanti. Di tengah asiknya berjalan kaki, kutemui semua ruko dengan ukuran sedang bertuliskan dijual. Di bawahnya juga tertera nomor untuk dihubungi, kurasa itu nomor pemiliknya. "Oh, kebetulan sekali ya, Pak. Bisa-bisa. Baik."Tak lama berselang, aku melihat ada seorang laki-laki yang datang dan membuka ruko tersebut. Pantas sekali, sebab saat aku hubungi tadi beliau langsung merespon dan mengatakan bahwa sedang berada di sekitar sini. Setelah saling berucap dan menjawab salam, aku memperkenalkan diri bahwa aku yang berminat pada ruko tersebut. Tempatnya strategis menurutku untuk berjualan makanan. Ya, aku ingin berjualan menu-menu makanan. Jika bisa, kuusahakan mengusung beberapa makanan khas yang pernah diajarkan saat di panti dulu. Setelah terjadi tawar menawar, ruko itu dijua

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Rahasia?

    Pagi-pagi sekali, Al-Faqir sudah menelpon saat aku sibuk mempersiapkan apa saja yang hendak kubeli untuk persiapan hari esok membuka jualanku di hari pertama. "Baik, saya akan segera ke sana."Aku semakin dirundung rasa penasaran apa yang akan ia sampaikan, bagaimana juga dia memiliki rahasia-rahasia itu semua. Tanpa berpikir lama, aku akan menyelesaikan semua urusan penjualan nanti saja. Bisa dipikir sambil berjalan. Sesampainya di ruko, betapa terkejutnya aku ternyata ruko sudah rapih, bersih, bahkan ada benner besar bertuliskan "Welcom Bu Mutia Zahira" Siapa yang telah menyiapkan ini, aku jadi terharu dengan semuanya. Kuusap perlahan bekas air mataku, aku memang secengeng ini. "Ehem."Deheman itu, sepertinya aku mengenalnya. Aku menoleh, dan ternyata berdiri seorang berbadan tegap berambut ikal, dan bermata teduh. "Saya Ibrahim," serunya memperkenalkan diri. Aku sontak menurunkan pandangan, la

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Bos Tajir?

    Saat tiba masanya, waktu yang kutunggu setelah menyiapkan beberapa hari. Tanpa disengaja sebelumnya, waktu potong pita untuk pembukaan pertama kali ruko-ku jatuh pada hari jumat. Ini benar-benar kebetulan yang insyaAllah akan membawa kebarakahan. Aamiin. Aku lekas mengabari orang-orang yang berada di jalanan, dari anak-anak hingga orang-orang lansia yang terlantar. Tak lupa pula kukabari ibu panti untuk mengajak anak-anak turut bergabung. Kupinta tiga pegawaiku untuk menyiapkan banyak makanan sebagai acara pembukaan warung makan ini sekaligus tasyakuran. "Apa ini tidak terlalu akan menghabiskan uang banyak, Buk? Sementara ibu Mutia kan baru mulai, orang jalanan itu tidak sedikit, Buk. Sekali mereka mendengar, pasti akan berduyun-duyun mendatangi tempat ini." Aku mengulas senyum, aku cukup paham arah pembicaraan pegawaiku, mereka mencemaskanku, tetapi aku yakin ini tidak akan pernah merugikanku, melainkan juga sebaliknya. "Tidak apa-a

Bab terbaru

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Ciuman?

    "Tolong buka ikatan ini, aku mau salat. Aku belum salat," pintaku iba. Satu orang berbadan kekar dan tatapan tajam menyorot ke arahku. "Diam! Jangan pikir kami bodoh sehingga bisa kamu kibuli. Bos kami sebentar lagi datang, maka tugas kami akan selesai. Jadi jangan persulit tugas kami, paham?!" Aku tercekat, bagaimana ini. Aku harus berusaha tenang, mungkin saja Ibrahim sedang merencanakan kejutan yang berbeda. "Ibrahim, cepet dateng." "Siap, bos," seru seseorang dari luar. Betapa terperanjatnya aku saat ternyata yang masuk bukan Ibrahim, tapi justru Mas Agha. Mau apa lagi dia menciptakan kekacauan ini. "Lepas ikatannya," perintah Mas Agha disusul dengan salah satu pria berbaju hitam mendekat ke arahku. Aku menghembuskan napas lega saat terlepas dari belenggu tadi. Mas Agha benar-benar kekurangan pekerjaan tampaknya. Dengan satu isyarat pria-pria itu keluar meninggalkan kami. Kini tinggal aku juga Mas Agha. "Mas, apa sih mau kamu sampe tega berbuat seperti ini." "Tenang, Muti

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Pria Bertopeng

    "Mmm ... ya, aku mau," ujarku setelah menghela napas panjang. Siapa sangka, bahwa Ibrahim akan mengatakan ini sehingga dia membawaku pergi. Menurutku, sudah cukup kupertimbangkan. Ini salah satu solusi terbaik, tuk hindari Mas Agha dan keluarganya. Baru aku tahu sekarang ini, dan agaknya hanya terjadi padaku. Setelah Mas Agha meninggalkanku, lalu dia mengejarku. Wajah Ibrahim berubah semringah, tampak sekali sebuah isyarat bahwa dia sangat senang dengan jawabanku. Dengan membaca bismillah, insyaAllah aku tak akan salah langkah. Semoga semua ini menjadi wasilah aku dapat mengambil hikmah dan berpijak lebih gagah. "Terima kasih, Mutia. Jawaban itu yang sangat aku inginkan." Sungging senyum Ibrahim menambah keteduhan wajahnya, entah apa alasannya sehingga dia bersedia menungguku selama ini. Jika dilihat dari parasnya, dia melakukan ini bukan karena tidak laku. Namun, entah apa yang telah terjadi. Krukk, krukkMendadak hening. Taman yang ramai pun seakan menjadi senyap. Ibrahim mena

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Nikah? Jawab Sekarang?

    "Mutia, papa pengen melihat kalian itu segera menikah. Jadi kapan kira-kira kalian mau urus semuanya?" DeghAku jadi kikuk wajahku memanas. Dalam lubuk hatiku, aku sudah merasa sangat siap. Dipertimbangkan lagi, daripada Mas Agha dan keluarganya selalu saja meneror aku. Terlebih Karin. Padahal sudah sangat jelas bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Mas Agha. "Mutia," seru papa Ibrahim. Aku menoleh ke arah Ibrahim yang justru melempar senyum padaku. "Ka-kalau Mutia, terserah Ibrahim saja, Pa." "Tuh kan, Him. Jawaban Mutia sudah kayak gitu kok, kenapa kamu masih minta papa buat nanya sama Mutia. Sebenernya ini semua tergantung kamu, kamu mau bergerak cepat apa enggak.""Betul, A Im harus bergerak cepat, gimana kalau nanti malah terlambat dan Mutia keburu diambil orang. Hayo, kehilangan lagi." Mama Ibrahim juga menyeru seraya menggoda putranya. Ibrahim tak henti-hentinya mengulas senyum sedari tadi, cukup aneh menurutku. "Ibrahim pasti akan secepatnya nikahin Mutia,

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Peristiwa Manis

    "Gimana sih kamu, Karin. Kok, Mutia baik-baik aja. Katanya kamu kirim makanan itu buat Mutia." "Karin juga gak tau, Buk. Ya mana kita tau coba kalau ternyata yang makan bukan si Mutia. Mantan istri Mas Agha yang masih dikejar-kejar terus itu. Iiih sebel." Aku menggeleng, tidak sengaja saat aku hendak mencari minuman, aku melihat ManMer dan Karin sedang berbincang di kursi rumah sakit. Bisa-bisanya mereka berniat mencelakai aku. "Oke, kita lihat siapa nanti yang akan menang." Aku berdehem berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Tepat sekali mereka duduk di sebelah tempat pembelian minuman. "Duh, cuaca di sini lagi panas nih. Pengen yang adem-adem," ironiku pada mereka, sejatinya aku kesal kenapa setega itu dan senekad itu. Padahah, semua bisa dibicarakan dengan cara baik-baik. ManMer berdiri, lalu disusul dengan Karin. "Ngapain kamu di sini?" Aku menyeringai. "Seharusnya Mutia yang tanya, kenapa Ibu sama Karin ada di sini? Oh, jangan-jangan makanan itu, kalian yang

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Racun

    "Bolehkah jika Mutia minta ijin bicara sama Ibrahim sebentar, Ma?" "Oh, boleh dong. Boleh banget kan ya, Pa." "Iya, pastinya." Aku pun mengajak Ibrahim ke pelataran belangak rumah. Tempat di mana menurutku hanya ada ketenangan, gemericik air jatuh ke kolam. Pemandangan langit turut membersamai. "Ini maksudnya apa, Him?" Ibrahim berdehem dengan posisi wajah mendongak, kedua tangannya ia lipat di dada. "Jika kamu tidak berkenan, jawab saja apa adanya. Aku akan terima semua jawabanmu." "Kalau kamu sendiri gimana? Apa kamu terima?""Aku rasa, kamu sudah tahu jawabannya." "Apa?" Ibrahim menoleh ke arahku, ia menatapku dengan sangat serius. Hingga, aku pun reflek salah tingkah. "Kamu tanya? Saat aku sudah beberapa kali menyatakan perasaanku dan kamu masih bertanya apa? Baiklah, dengan ini aku sudah memahami dan mendapatkan jawabanmu." Apakah pria itu juga bisa marah? Dia mendadak membalikkan badan, lalu meninggalkanku sendiri? "Him, argh."Aku mendengus pelan, dia benar-benar ke

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Inikah Bisikan Jodoh?

    "Terima kasih, Him. Gak mau mampir dulu?" "Enggak, Mutia. Kebetulan aku sudah ditunggu mami." Aku terperangah, orang tua Ibrahim sudah pulang? Kenapa dari tadi dia tidak cerita. "Oh, jadi aku gak penting sudah, ya. Sampai-sampai gak cerita nih." "Cerita apa?" "Sudah lah, apa kata kamu." Sungguh menjengkelkan saat Ibrahim langsung aja main ngacir tanpa berusaha memahami maksud pembicaraanku. "Dasar cowok!" Aku membalikkan badan, merasakan tubuh yang mulai menunjukkan protesnya. Ya, lelah. Aku letih, ditambah pikiran mengenai Mas Agha yang mendadak seperti anak ABG baru mulai mencintai seseorang saja. "Lucu, dulu aku dia buang dan sekarang dia kejar habis-habisan." Aku menggeleng sembari mendengus pelan. "Permisi, atas nama ibu Mutia?" seruan yang berasal dari arah belakang. Aku pun menoleh. Telah berdiri seorang kurir dengan seragam G*abnya. Aku mengangkat sebelah alisku, siapa yang pesan makanan. "Iya, Mas. Saya sendiri." "Ini, Mbak. Ada kiriman untuk Mbak dan sudah diba

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Paksaan Mantan?

    "Mutia, kamu gak mau gubris aku sama sekali? Ha?" ketus Mas Agha. Aku pun mendongak, lalu berhenti mengunyah. Ibrahim terkekeh, lalu melanjutkan makan kembali. "Ya ... siapa suruh Mas Agha gak mau pesen makanan juga. Coba aja Mas Agha tadi ikut makan. Atau, mau Mutia pesenin?" Saat aku hendak berdiri, Mas Agha mencekal lenganku. "Gak usah, Mutia. Cukup kamu di sini, anggap aku ada." Aku mendengus pelan, kuseka tangan Mas Agha. "Maaf, Mas. Kita bukan mahram." "Apa gak bisa jika kita menjadikan di antara kita boleh saling mendekat? Bahkan hingga jarak itu tidak ada. Aku ingin kita seperti dulu, Mutia. Aku sangat mencintaimu." Kalimat Mas Agha seperti hambar terdengar telinga. Terlebih untuk hatiku. "Tidak kah kita rujuk kembali, Mutia?" Mas Agha menggeser kursi yang tadi ia duduki, lalu membungkuk di hadapanku. "Mas, ngapain sih?" Aku berusaha melarang dan menyarankan Mas Agha untuk tidak melakukan itu. "Mas, plis jangan gini." "Tidak, Mutia. Aku mohon, tolong terima aku lagi.

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Pergi!

    "Kenapa kamu ada di sini, Mas? Kamu ikutin aku, ya?" sergahku saat melihat Mas Agha dengan santainya memindah kursi ke meja kami. Awalnya, hanya ada dua kursi untuk aku dan Ibrahim saja, akhirnya sekarang pun kami bertiga. Terlihat sorot mata Ibrahim yang tidak menyukai ini. Aku mendengus pelan. "Mas, jawab."Mas Agha justru membalikkan badannya ke arahku, aku mengernyitkan dahi saat mendapati hampir terkikis habis jarak di antara kami. "Salahkah jika aku ingin mengejar kembali cintaku? Hahaha, ya cinta setelah cinta. Apa sudah istilahnya, CLBK, cinta lama bersemi kembali." Tak lama berselang, Ibrahim berdiri. Aku khawatir dia akan marah. Namun, ternyata tidak. Dia justru memindahkan kursi yang tengah kududuki. Kuat juga nyalinya. Saat ini, tak bisa dipungkiri jarak pun kembali terbentuk di antara kami, khususnya aku dan Mas Agha. "Maaf, Agha. Jika kiranya kamu tak memiliki kepentingan pada Mutia, tolong pergi dari tempat ini. Aku ingin berbicara hal penting dengannya," pinta Ibr

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Kencan

    Aku sudah lelah untuk bertanya, biar saja Ibrahim mau membawaku ke mana. Pasrah saja. Aku memilih untuk menatap ke arah luar jendela. Baru kusadari semakin ke sini, pemandangannya semakin indah, sejuk, dan menyiratkan ketentraman. "MasyaAllah, sungguh indah pemandangan ini. Nikmat yang mana lagi yang aku dustakan." Aku pun melupakan pemikiran buruk mengenai pria di hadapanku yang tengah sibuk mengemudi. Memang sih, sikapnya berubah yang membuat pikiranku jadi traveling. Tetumbuhan hijau, gunung-gunung menjulang, langit yang sangat biru. Jalan beraspal, tak terlalu rikuh dengan kemacetan. Jalan hendak ke mana sih ini? Kenapa asing banget. Gimana gak asing, dulu hanya diam di panti, setelah menikah dikekang mertua. Dijual mertua dan ipar dengan diceritakan ke mana-mana. Bodohnya aku, aku selama ini hanya diam saja. Kepalaku jadi terputar pada masa lalu yang menyesakkan dada. "Huh, menantuku memang tak ada gunanya. Coba saja dulu aku menikahkan putraku dengan anakmu, Jeng," seru m

DMCA.com Protection Status