"Ibrahim itu siapa, Buk?"
"Dia salah satu aktivis dakwah di desa sebelah, dia sering ke sini untuk menyumbang dan sesekali mengecek keadaan anak-anak di sini."Aku mengangguk pelan, masih ada ternyata laki-laki yang berhati mulia. Adakah mertua baik yang tersisa untukku? Kurasa tidak ada, atau mungkin ini adalah bagianku."O iya, gimana rumah tangga kamu sama Agha?"DegHatiku bercampur aduk, aku harus jawab bagaimana. Susah sekali untuk menjabarkannya. Ditinggal saat diri ini sangat-sangat menyayanginya. Dalam kesetiaan, kesetiaan yang dibalas sembilu."Sudah tidak ada, Buk. Menikah dengannya hanya menjadikan saya harus mencicipi pahitnya masa iddah."Wajah Bu Hanik berusaha, seakan ia merasa tak enak."Maafkan ibu ya, Nak. Ibuk tidak tahu jika ternyata perangai laki-laki itu seperti itu. Dulu ibu yakin dia akan membahagiakanmu," lirih Bu Hanik sembari meremas tanganku. Aku mengulas senyum, tidak masalah. Semua sudah terjadi, semua ini bukan kesalahan siapa-siapa."Ini semua sudah manjadi bagian takdir, Buk. Tidak ada yang perlu kita sesali.""O iya, Nak. Ibu menyimpan sesuatu milikmu. Dulu, saat kamu menikah, ibu lupa memberikannya.""Apa, Buk?"Bu Hanik beringsut meninggalkanku, aku yang tengah sendirian merasa tidak nyaman jika berdiam saja tanpa melakukan apa-apa.*Pura-pura baik, tapi nyatanya tidak bisa mempertahankan biduk rumah tangga. Untuk apa ke panti asuhan jika kiranya keluarganya berantakan.Status adik iparku yang sangat menyesakkan hati. Menyesal sekali diriku ini harus membuka aplikasi ini, jelas sekali ke mana arah kalimat yang mereka umpankan ini.*Eh, jeng. Siapa nih yang kamu omongin? Pasti mantan menantumu, ya?*Emang dia punya uang pergi ke panti?*Ke panti kan tidak perlu uang, Jeng. Orang-orangnya memiliki selera rendah semua, jadi cukup bawa kacang rebus aja udah seneng gak ketulungan.*Ups, lupa, Jeng. Dia kan juga dari panti asuhan, ya?*Iya, Jeng. Nyesel sudah menikahkan mereka, karena ..... kita lanjut inbox aja ya, Jengsay.Semakin geram kudibuatnya, betapa orang yang seperti ini harus segera dibungkam. Entah apa yang menarik dari pembahasan itu sehingga mengundang puluhan komentar. Semua rata-rata dari teman arisan mantan ibu mertuaku.*Jeng, Agha sudah tidak punya perasaan lagi kan sama dia?*Hahaha, gimana mau ada perasaan, kalau sudah diurus rapi-rapi oleh jengchue ini, iya enggak, Jeng?*Yang sekarang tuh 180 derajat beda banget, kemarin aja, saya dibelikan emas batangan. Katanya buat disimpan jika sewaktu-waktu butuh bisa dijual.*Wah wah wah, hoki banget, Jeng. Baru aja kehilangan mantu, langsung diganti mantu yang tajir melintir.*Gimana nggak tajir, Jeng. Usaha bokapnya di mana-mana. Kalau si M sih, gak ada apa-apanya. Paling taunya kasur, dapur, sumur. Wkwkwk.Entah aku tidak memahami sebagian kalimat komentar mereka, yang jelas aku akan membuktikan bahwa aku tidak sehina seperti yang mereka sangka.'Aku akan segera sukses, kan kubuat kalian tahu kekuatan wanita yang sebenarnya. Aku diam bukan berarti kalah dengan celoteh tidak berguna ini. Entah berapa jam yang mereka luangkan hanya untuk mengupas dan mengorek aib orang lain.'"Nak Mutia, ini. Ini adalah wasiat yang pernah diberikan oleh orangtuamu. Ayah dan ibumu. Mereka berpesan agar memberikan padaku jika sudah masuk usia menikah, tapi ibu lupa. Ibuk minta maaf, ya."Aku menggeleng, lalu mengelus pundak Bu Hanik. Wajar jika beliau lupa, yang beliau urus bukan hanya aku saja.Setelah kurasa cukup menikmati nostalgia ini, aku pun pamit pulang. Hari ini cukup melelahkan. Bertemu Mas Agha dengan wanitanya, membaca komentar-komentar tak bermutu akibat ulah mantan mertua.Tak lama berselang, aku sampai rumah. Kuempaskan tubuh ke sofa. Tidak ada yang lebih berharga dari semua ini kecuali syukur yang harus ditingkatkan lagi.Tok tok tokAku bangkit dengan tubuh yang masih merasakan penat, siapa yang sudah bertamu terik-terik begini."Iya sebentar."Saat kuputar gagang pintu, tangan kanan seseorang yang muncul menengadah tepat di hadapanku. Astaghfirullah, apa ini hantu?"Mana?"Aku mengernyitkah dahi setelah menghembuskan napas lega. Ternyata mantan ibu mertua yang katanya baik hati dan tidak sombong."Silakan masuk dulu, Buk.""Tidak usah, saya rasa tidak perlu kelamaan menunggu. Saya butuh uang seratus juga itu. Saya minta kamu cari uang itu sekarang. Cari pinjaman atau apa gitu," cetusnya. Ia menolak kutawari air dan segala macamnya."Di rumah saya malah sekarang jauh lebih banyak makanan mewah, saya punya menantu tajir melintir, jadi tidak butuh semua suguhan orang rendahan seperti kamu. Sini cepetak uangnya.""Baik, Buk. Tunggu sebentar di sini."Saat aku kembali dari dalam kamar, ternyata mantan ibu mertuaku sudah duduk di kursi ruang tamu. Ternyata tidak tahan penat pula rupanya.Sengaja sekali aku berlama-lama di dalam kamar, aku masih belum percaya dengan banyaknya uang yang kusimpan saat ini. Bungkusan cokelat yang kuterima cukup besar dan berat. Entah Hamba Allah yang mana lagi yang berbaik hati memberikan ini semua."Eh, di luar terik ya, Buk?""Sudah jangan banyak protes.""Mau Mutia ambilkan minum?""Tidak usah. Sudah jangan banyak omong, saya keburu mau ajak menantu saya belanja. Buruan!"Kuletakkan beberapa bendel uang yang sudah kuhitung sebelumnya, dan dengan sangat sengaja aku bawa uangnya lebih. Sehingga menjadi 150 juta."Ini, Buk. Silakan dihitung dulu."Mata tajam manmer (mantan mertua) ini menatapku tidak suka."Gimana, Buk? Pas kan?""Lebih, apa maksudnya ini?""Lebihnya itu buat bayar bunganya, itung-itung bonus karena sudah iba memberi saya tumpangan selama ini.""Halah, baru punya uang segini aja sudah sombong. Jangan-jangan hasil pesugihan. Sudah lah, saya pergi. Yang terpenting, saya tidak ada urusan lagi sama kamu.""Baik, Buk. W*'alaikumussalam," sindirku saat manmer pergi tanpa mengucap salam.Beliau menoleh, dan menatap tajam ke arahku sejenak lalu pergi."Nyata adanya mertua yang seperti itu. Astaghfirullah."Mendengar kalimat ujaran ibu, ingin mengajak menantunya belanja. Saat aku di posisi menantu tersebut, jangankan belanja, dikasih makan saja dengan tenang saja rasanya merupaka dambaan yang harus dirindu-rindukan. Terlebih setiap Mas Agha pergi kerja."Danaukan lah hati hamba-Mu ini, ya Rabb."Dadaku masih sakit, mungkin semua ini akibat sebab hati ini masih terlalu sempit.Tok tok tokSuara pintu diketuk lagi saat baru setelah lima menit aku menutupnya. "Iya, sebentar."Apa mungkin itu manmer yang kembali lagi? Ada-ada saja dalam hidup ini. Kurasa setelah pergi dari rumah itu akan menjadi tenang, tentram, dan damai. Ternyata tidak."Semoga tidak ada lagi stok mertua yang sepertinya, sehingga tidak ada Mutia Mutia lain yang harus merasakan penderitaanku ini."Bersambung..."Bingkisan apa lagi ini?" Aku mengleng kotak dengan sampul warna ungu di tangan, siapa sebenarnya yang sangat suka mengirimkan kotak-kotak misterius ini. Aku boleh membukanya? Semoga saja bukan orang iseng sehingga mengisi kotak ini dengan ular atau sebagainya. "Tidak, tidak ada desis." Pikiranku traveling, tidak mungkin ini uang lagi. Uang yang kemarin itu sudah terlalu banyak. "Eh, Mutia. Kebetulan sekali. Dari kemarin itu banyak banget yang nyariin kamu. Nanyain alamat kamu. Mutia Zahira. Jadi saya tunjukkan alamat rumah ini. Tidak apa-apa, kan?" seru Bu Kontrakan. Akhirnya kejanggalan ini terjawab, pantas saja. Tetapi, jika pak pos mungkin bisa saja bertanya ke rumah lama, lalu kebetulan bertemu bu kontrakan ini. Namun, jika manmer? "Temen saya juga pernah nanyain kamu. Kata sih mantan ibu mertua kamu, ya?" Ah, seakan ingin sekali kutepuk kening ini. Dunia bak selebar daun kelor saja. Ke mana pun aku pergi, ad
Sore ini kurasa cuaca cukup mendukung untuk merefresh hati, aku ingin keluar mencari refensi berjualan dan tempat strategis dalam proses berjalannya nanti. Di tengah asiknya berjalan kaki, kutemui semua ruko dengan ukuran sedang bertuliskan dijual. Di bawahnya juga tertera nomor untuk dihubungi, kurasa itu nomor pemiliknya. "Oh, kebetulan sekali ya, Pak. Bisa-bisa. Baik."Tak lama berselang, aku melihat ada seorang laki-laki yang datang dan membuka ruko tersebut. Pantas sekali, sebab saat aku hubungi tadi beliau langsung merespon dan mengatakan bahwa sedang berada di sekitar sini. Setelah saling berucap dan menjawab salam, aku memperkenalkan diri bahwa aku yang berminat pada ruko tersebut. Tempatnya strategis menurutku untuk berjualan makanan. Ya, aku ingin berjualan menu-menu makanan. Jika bisa, kuusahakan mengusung beberapa makanan khas yang pernah diajarkan saat di panti dulu. Setelah terjadi tawar menawar, ruko itu dijua
Pagi-pagi sekali, Al-Faqir sudah menelpon saat aku sibuk mempersiapkan apa saja yang hendak kubeli untuk persiapan hari esok membuka jualanku di hari pertama. "Baik, saya akan segera ke sana."Aku semakin dirundung rasa penasaran apa yang akan ia sampaikan, bagaimana juga dia memiliki rahasia-rahasia itu semua. Tanpa berpikir lama, aku akan menyelesaikan semua urusan penjualan nanti saja. Bisa dipikir sambil berjalan. Sesampainya di ruko, betapa terkejutnya aku ternyata ruko sudah rapih, bersih, bahkan ada benner besar bertuliskan "Welcom Bu Mutia Zahira" Siapa yang telah menyiapkan ini, aku jadi terharu dengan semuanya. Kuusap perlahan bekas air mataku, aku memang secengeng ini. "Ehem."Deheman itu, sepertinya aku mengenalnya. Aku menoleh, dan ternyata berdiri seorang berbadan tegap berambut ikal, dan bermata teduh. "Saya Ibrahim," serunya memperkenalkan diri. Aku sontak menurunkan pandangan, la
Saat tiba masanya, waktu yang kutunggu setelah menyiapkan beberapa hari. Tanpa disengaja sebelumnya, waktu potong pita untuk pembukaan pertama kali ruko-ku jatuh pada hari jumat. Ini benar-benar kebetulan yang insyaAllah akan membawa kebarakahan. Aamiin. Aku lekas mengabari orang-orang yang berada di jalanan, dari anak-anak hingga orang-orang lansia yang terlantar. Tak lupa pula kukabari ibu panti untuk mengajak anak-anak turut bergabung. Kupinta tiga pegawaiku untuk menyiapkan banyak makanan sebagai acara pembukaan warung makan ini sekaligus tasyakuran. "Apa ini tidak terlalu akan menghabiskan uang banyak, Buk? Sementara ibu Mutia kan baru mulai, orang jalanan itu tidak sedikit, Buk. Sekali mereka mendengar, pasti akan berduyun-duyun mendatangi tempat ini." Aku mengulas senyum, aku cukup paham arah pembicaraan pegawaiku, mereka mencemaskanku, tetapi aku yakin ini tidak akan pernah merugikanku, melainkan juga sebaliknya. "Tidak apa-a
"Kenapa bengong, dari tadi saya perhatikan kamu ngelamun. Ada apa?" tanya Ibrahim dengan nada menyelidik. Entah kenapa aku jadi merasa lebih nyaman jika panggil dia Al-Faqir. "Apa? Kamu perhatiin aku?" "Enggak, gak sengaja aja beberapa berpapas pandang, bengooong aja.""Hei, Al-Faqir. Kamu ini sebenernya siapa sih. Tiba-tiba nongol.""Ya, saya manusia. Seperti yang kamu dan orang-orang lihat.""Iya, tapi maksud aku tuh. Kenapa bisa gitu kamu mendapat amanah mengenai uang dan wasiat-wasiat itu, sebenernya orang itu siapa. Siapa yang sudah ngasih uang itu sama aku?" "Yang jelas, sekarang kamu harus bisa menggunakan itu dengan baik, kamu gunakan kesempatan ini."Pria di hadapanku sedang asik makan, ia berhenti mengunyah bahkan menyendok makanan di mangkuk setiap kali menjawab atau bertanya padaku. "Buk, terima kasih, ya," ucap tamu undangan bergantian. Mereka bersalaman, lalu pulang. Alhamdulillah, ak
Setelah dari panti, waktu sudah menjelang senja. Kami sengaja berlama-lama di sana karena ada satu anak yang tidak mau ditinggal Ibrahim, dia menangis dan terus menempel di pangkuannya. "Betapa Ibrahim ini sangat penyayang, lihat saja ia seperti magnet yang mana besi-besi akan langsung menempel saat didekatinya," lirihku, sembari menyaksikan Ibrahim yang bermain riang dengan anak-anak panti, sesekali ia bercanda dan sesekali ia bercerita. "Bang Ibrahim, sering-sering ke sini, ya. Kami suka cerita-ceritanya."Pria itu mengulas senyum, maka dijadikannya sebuah bujukan agar dirinya bisa pamit pulang. Pandai juga rupanya mencari moment. "Nah, kalau pengen Bang Ibrahim sering ke sini, sekarang kalian harus bolehin abang pulang dulu, gimana?" Tampak anak berusia sekitar enam tahun itu kebingungan memutar bola manatanya mungkin tengah memahami maksud dari yang Ibrahim katakan. Tak lama berselang, ia berdiri dan mengiyakan kepergian kami.
Saat semua orang sibuk saling papas untuk berangkat bekerja, ada yang menggantung tas di pundaknya, ada pula yang memanggul karung yang entah apa isi di dalamnya. Aku turut bersama mereka hendak menyiapkan jualanku di hari pertama setelah kemarin resmi dibuka. "Bismillah, insyaAllah berkah."Sebuah mobil tiba di depan rumah, baru tadi malam aku memimpikan menaiki mobil seperti itu. Ada yang bilang, menaiki mobil itu adalah mimpi yang buruk, tetapi aku jadikan saja itu sebuah harapan, siapa tahu segera menjadi kenyataan. "Ibrahim," seruku saat keluar seorang pria berbadan semampai dengan kemeja biru. "Ini mobil, untuk kamu. Silakan kamu pakai."Aku mengernyitkan dahi, lama kelamaan orang ini agaknya suka sekali memberiku kejutan sehingga aku tidak percaya jika ini adalah wasiat ayah. "Tidak, aku tidak akan menerima apa-apa lagi sebelum aku benar-benar membaca surat wasiat itu.""Siang nanti, akan aku berikan."
Pov AghaAku berdiri mematung terngiang-ngiang kalimat yang baru saja diucapkan mantan istriku dengan sangat sinis. Baru kali ini dia berkata kasar bahkan berani membentakku. Kurapatkan telapak tangan di dada, ini bukan hal biasa. 'Aku tidak akan pernah memaafkanmu seumur hidupku' Apa yang telah kulakukan, apa aku salah jika aku memilih meninggalkannya setelah semua yang dia perlakukan pada orangtuaku. Dia bahkan telah menghabiskan semua uang yang kukirimkan hanya untuk berfoya-foya, sementara saat aku datang ia bahkan enggan untuk berdandan. "Mutia, kenapa kamu harus melakukan hal ini padaku setelah aku memilihmu."Kupilin alis, dan duduk di kursi bekas Mutia tadi. "Siapa laki-laki yang telah bersamanya, apa benar dia selingkuhannya? Seharunya cukup aku, cukup aku yang melakukan hal ini padanya, dia yang telah berlaku buruk padaku. Seharusnya dia menyesal dan berusaha meminta maaf." "Mas Agha, ke mana sih, kok pind
"Tolong buka ikatan ini, aku mau salat. Aku belum salat," pintaku iba. Satu orang berbadan kekar dan tatapan tajam menyorot ke arahku. "Diam! Jangan pikir kami bodoh sehingga bisa kamu kibuli. Bos kami sebentar lagi datang, maka tugas kami akan selesai. Jadi jangan persulit tugas kami, paham?!" Aku tercekat, bagaimana ini. Aku harus berusaha tenang, mungkin saja Ibrahim sedang merencanakan kejutan yang berbeda. "Ibrahim, cepet dateng." "Siap, bos," seru seseorang dari luar. Betapa terperanjatnya aku saat ternyata yang masuk bukan Ibrahim, tapi justru Mas Agha. Mau apa lagi dia menciptakan kekacauan ini. "Lepas ikatannya," perintah Mas Agha disusul dengan salah satu pria berbaju hitam mendekat ke arahku. Aku menghembuskan napas lega saat terlepas dari belenggu tadi. Mas Agha benar-benar kekurangan pekerjaan tampaknya. Dengan satu isyarat pria-pria itu keluar meninggalkan kami. Kini tinggal aku juga Mas Agha. "Mas, apa sih mau kamu sampe tega berbuat seperti ini." "Tenang, Muti
"Mmm ... ya, aku mau," ujarku setelah menghela napas panjang. Siapa sangka, bahwa Ibrahim akan mengatakan ini sehingga dia membawaku pergi. Menurutku, sudah cukup kupertimbangkan. Ini salah satu solusi terbaik, tuk hindari Mas Agha dan keluarganya. Baru aku tahu sekarang ini, dan agaknya hanya terjadi padaku. Setelah Mas Agha meninggalkanku, lalu dia mengejarku. Wajah Ibrahim berubah semringah, tampak sekali sebuah isyarat bahwa dia sangat senang dengan jawabanku. Dengan membaca bismillah, insyaAllah aku tak akan salah langkah. Semoga semua ini menjadi wasilah aku dapat mengambil hikmah dan berpijak lebih gagah. "Terima kasih, Mutia. Jawaban itu yang sangat aku inginkan." Sungging senyum Ibrahim menambah keteduhan wajahnya, entah apa alasannya sehingga dia bersedia menungguku selama ini. Jika dilihat dari parasnya, dia melakukan ini bukan karena tidak laku. Namun, entah apa yang telah terjadi. Krukk, krukkMendadak hening. Taman yang ramai pun seakan menjadi senyap. Ibrahim mena
"Mutia, papa pengen melihat kalian itu segera menikah. Jadi kapan kira-kira kalian mau urus semuanya?" DeghAku jadi kikuk wajahku memanas. Dalam lubuk hatiku, aku sudah merasa sangat siap. Dipertimbangkan lagi, daripada Mas Agha dan keluarganya selalu saja meneror aku. Terlebih Karin. Padahal sudah sangat jelas bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Mas Agha. "Mutia," seru papa Ibrahim. Aku menoleh ke arah Ibrahim yang justru melempar senyum padaku. "Ka-kalau Mutia, terserah Ibrahim saja, Pa." "Tuh kan, Him. Jawaban Mutia sudah kayak gitu kok, kenapa kamu masih minta papa buat nanya sama Mutia. Sebenernya ini semua tergantung kamu, kamu mau bergerak cepat apa enggak.""Betul, A Im harus bergerak cepat, gimana kalau nanti malah terlambat dan Mutia keburu diambil orang. Hayo, kehilangan lagi." Mama Ibrahim juga menyeru seraya menggoda putranya. Ibrahim tak henti-hentinya mengulas senyum sedari tadi, cukup aneh menurutku. "Ibrahim pasti akan secepatnya nikahin Mutia,
"Gimana sih kamu, Karin. Kok, Mutia baik-baik aja. Katanya kamu kirim makanan itu buat Mutia." "Karin juga gak tau, Buk. Ya mana kita tau coba kalau ternyata yang makan bukan si Mutia. Mantan istri Mas Agha yang masih dikejar-kejar terus itu. Iiih sebel." Aku menggeleng, tidak sengaja saat aku hendak mencari minuman, aku melihat ManMer dan Karin sedang berbincang di kursi rumah sakit. Bisa-bisanya mereka berniat mencelakai aku. "Oke, kita lihat siapa nanti yang akan menang." Aku berdehem berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Tepat sekali mereka duduk di sebelah tempat pembelian minuman. "Duh, cuaca di sini lagi panas nih. Pengen yang adem-adem," ironiku pada mereka, sejatinya aku kesal kenapa setega itu dan senekad itu. Padahah, semua bisa dibicarakan dengan cara baik-baik. ManMer berdiri, lalu disusul dengan Karin. "Ngapain kamu di sini?" Aku menyeringai. "Seharusnya Mutia yang tanya, kenapa Ibu sama Karin ada di sini? Oh, jangan-jangan makanan itu, kalian yang
"Bolehkah jika Mutia minta ijin bicara sama Ibrahim sebentar, Ma?" "Oh, boleh dong. Boleh banget kan ya, Pa." "Iya, pastinya." Aku pun mengajak Ibrahim ke pelataran belangak rumah. Tempat di mana menurutku hanya ada ketenangan, gemericik air jatuh ke kolam. Pemandangan langit turut membersamai. "Ini maksudnya apa, Him?" Ibrahim berdehem dengan posisi wajah mendongak, kedua tangannya ia lipat di dada. "Jika kamu tidak berkenan, jawab saja apa adanya. Aku akan terima semua jawabanmu." "Kalau kamu sendiri gimana? Apa kamu terima?""Aku rasa, kamu sudah tahu jawabannya." "Apa?" Ibrahim menoleh ke arahku, ia menatapku dengan sangat serius. Hingga, aku pun reflek salah tingkah. "Kamu tanya? Saat aku sudah beberapa kali menyatakan perasaanku dan kamu masih bertanya apa? Baiklah, dengan ini aku sudah memahami dan mendapatkan jawabanmu." Apakah pria itu juga bisa marah? Dia mendadak membalikkan badan, lalu meninggalkanku sendiri? "Him, argh."Aku mendengus pelan, dia benar-benar ke
"Terima kasih, Him. Gak mau mampir dulu?" "Enggak, Mutia. Kebetulan aku sudah ditunggu mami." Aku terperangah, orang tua Ibrahim sudah pulang? Kenapa dari tadi dia tidak cerita. "Oh, jadi aku gak penting sudah, ya. Sampai-sampai gak cerita nih." "Cerita apa?" "Sudah lah, apa kata kamu." Sungguh menjengkelkan saat Ibrahim langsung aja main ngacir tanpa berusaha memahami maksud pembicaraanku. "Dasar cowok!" Aku membalikkan badan, merasakan tubuh yang mulai menunjukkan protesnya. Ya, lelah. Aku letih, ditambah pikiran mengenai Mas Agha yang mendadak seperti anak ABG baru mulai mencintai seseorang saja. "Lucu, dulu aku dia buang dan sekarang dia kejar habis-habisan." Aku menggeleng sembari mendengus pelan. "Permisi, atas nama ibu Mutia?" seruan yang berasal dari arah belakang. Aku pun menoleh. Telah berdiri seorang kurir dengan seragam G*abnya. Aku mengangkat sebelah alisku, siapa yang pesan makanan. "Iya, Mas. Saya sendiri." "Ini, Mbak. Ada kiriman untuk Mbak dan sudah diba
"Mutia, kamu gak mau gubris aku sama sekali? Ha?" ketus Mas Agha. Aku pun mendongak, lalu berhenti mengunyah. Ibrahim terkekeh, lalu melanjutkan makan kembali. "Ya ... siapa suruh Mas Agha gak mau pesen makanan juga. Coba aja Mas Agha tadi ikut makan. Atau, mau Mutia pesenin?" Saat aku hendak berdiri, Mas Agha mencekal lenganku. "Gak usah, Mutia. Cukup kamu di sini, anggap aku ada." Aku mendengus pelan, kuseka tangan Mas Agha. "Maaf, Mas. Kita bukan mahram." "Apa gak bisa jika kita menjadikan di antara kita boleh saling mendekat? Bahkan hingga jarak itu tidak ada. Aku ingin kita seperti dulu, Mutia. Aku sangat mencintaimu." Kalimat Mas Agha seperti hambar terdengar telinga. Terlebih untuk hatiku. "Tidak kah kita rujuk kembali, Mutia?" Mas Agha menggeser kursi yang tadi ia duduki, lalu membungkuk di hadapanku. "Mas, ngapain sih?" Aku berusaha melarang dan menyarankan Mas Agha untuk tidak melakukan itu. "Mas, plis jangan gini." "Tidak, Mutia. Aku mohon, tolong terima aku lagi.
"Kenapa kamu ada di sini, Mas? Kamu ikutin aku, ya?" sergahku saat melihat Mas Agha dengan santainya memindah kursi ke meja kami. Awalnya, hanya ada dua kursi untuk aku dan Ibrahim saja, akhirnya sekarang pun kami bertiga. Terlihat sorot mata Ibrahim yang tidak menyukai ini. Aku mendengus pelan. "Mas, jawab."Mas Agha justru membalikkan badannya ke arahku, aku mengernyitkan dahi saat mendapati hampir terkikis habis jarak di antara kami. "Salahkah jika aku ingin mengejar kembali cintaku? Hahaha, ya cinta setelah cinta. Apa sudah istilahnya, CLBK, cinta lama bersemi kembali." Tak lama berselang, Ibrahim berdiri. Aku khawatir dia akan marah. Namun, ternyata tidak. Dia justru memindahkan kursi yang tengah kududuki. Kuat juga nyalinya. Saat ini, tak bisa dipungkiri jarak pun kembali terbentuk di antara kami, khususnya aku dan Mas Agha. "Maaf, Agha. Jika kiranya kamu tak memiliki kepentingan pada Mutia, tolong pergi dari tempat ini. Aku ingin berbicara hal penting dengannya," pinta Ibr
Aku sudah lelah untuk bertanya, biar saja Ibrahim mau membawaku ke mana. Pasrah saja. Aku memilih untuk menatap ke arah luar jendela. Baru kusadari semakin ke sini, pemandangannya semakin indah, sejuk, dan menyiratkan ketentraman. "MasyaAllah, sungguh indah pemandangan ini. Nikmat yang mana lagi yang aku dustakan." Aku pun melupakan pemikiran buruk mengenai pria di hadapanku yang tengah sibuk mengemudi. Memang sih, sikapnya berubah yang membuat pikiranku jadi traveling. Tetumbuhan hijau, gunung-gunung menjulang, langit yang sangat biru. Jalan beraspal, tak terlalu rikuh dengan kemacetan. Jalan hendak ke mana sih ini? Kenapa asing banget. Gimana gak asing, dulu hanya diam di panti, setelah menikah dikekang mertua. Dijual mertua dan ipar dengan diceritakan ke mana-mana. Bodohnya aku, aku selama ini hanya diam saja. Kepalaku jadi terputar pada masa lalu yang menyesakkan dada. "Huh, menantuku memang tak ada gunanya. Coba saja dulu aku menikahkan putraku dengan anakmu, Jeng," seru m