*Pantas saja jika Agha memilih menikah lagi di sana. Jika istrinya saja tidak bisa memberikan dia anak.
*Betul, Jengsay. Biarkan saja Agha menikah lagi, dia pasti akan segera memiliki keturunan.*Apalagi istrinya yang sekarang modis, molek, tidak seperti si ono yang tidak tahu selera suami.*Hus, awas ononya, kan bisa berabe kite.Aku menggeleng melihat isi komentar berbalas di story adik iparku. Aku tahu, salah satu pemilik akun itu adalah ibu mertuaku. Itupun aku tidak tahu hp siapa yang dipakai, bisa saja ponselku sebab sebelum itu ibu mertuaku tidak memiliki ponsel pribadi."Sebentar, Mas Agha sudah menikah lagi?"Tersebab penasaran, aku menscroll status Widya pasti aku akan menemukan sesuatu. Dan ternyata benar, itu Mas Agha dia sedang bergandengan tangan dengan mempelai wanita."Ah, mungkin saja dia adalah temannya. Mana mungkin Mas Agha akan berbuat seperti itu."Berbagai sangkaan positif aku pasang sedemikian rupa, kuhapus dengan segera jika itu menyangkut kemungkinan pengkhianatan suamiku padaku.Aku meletakkan ponselku saat mendengar suara pintu diketuk. Ada tamu? Tidak mungkin, mungkin saja orang mau tanya alamat atau lainnya."Apa benar dengan Mbak Mutia Zahira?" tanya laki-laki yang mengenakan baju ala tukang pos."Iya benar dengan saya sendiri.""Ini ada surat untuk mbak, silakan tanda tangan di sini."Surat? Dari siapa. Aku tak banyak tanya, langsung kuikuti arahan pengirim surat tersebut.Kubuka perlahan setelah meneliti siapa pengirimnya, tampaknya ini bukan sembarang surat."Surat cerai? Mas Agha?"Lututku seketika luruh ke lantai, apa ini jawaban yang pantas aku terima setelah kesetiaan dan pengabdianku padanya. Aku menerima semua perlakuan ibunya, aku terima semuanya. Nyatanya saat ini, aku yang dibuang?Bergegas kubuka secarik kertas yang lain, tertera tulisan tangan Mas Agha. Ya, aku tahu betul itu adalah tulisan tangan Mas Agha.'Maaf, Mutia. Mungkin aku tidak sopan sudah mengirimkan ini untukmu. Aku sudah berusaha menghubungimu melalui media sosialmu yang mana saja, tetapi tidak bisa. Sekali lagi maaf, Mutia. Aku sampaikan ini lewat secarik kertas, sejatinya aku tak kuasa membayangkan kesedihanmu apalagi harus melihat derai air matamu.''Bagaimana lagi, aku juga tidak mau mengecewakan ibuku terus menerus. Dia telah lama menginginkan cucu, sementara kita berdua tau, kamu tidak bisa memberikan itu semua.Maka dengan ini, aku ingin kita tidak ada hubungan apapun lagi. Kudengar juga dari ibu, kamu akhir-akhir ini sering menggunakan uang yang kuberikan untuk foya-foya.Aku tidak sanggup lagi untuk berkata apa. Kita berjalan masing-masing saja. Semoga tidak pernah ada dendam di antara kita. Sekali lagi, maafkan aku, Mutia.'Bisa-bisanya Mas Agha menuliskan tulisan panjang itu, drama apa itu? Apa dia yakin dirinya akan punya anak dengan orang lain selagi dirinya yang justru bermasalah."Kenapa Mas Agha tidak datang dulu, pulang menemuiku dan mengatasi semuanya bersama.""Ibu mertuaku, kenapa dia tega perlakukan aku seperti ini. Setidaknya, jika dia malu punya menantu seperti diriku dia tidak akan pernah mendzalimi anak yatim piatu.""Akankah nasibku semalang ini? Tidak pernah kubayangkan, lelaki yang kupilih adalah lelaki yang masih dalam kendali orang tuanya."Kuhempaskan kertas di tangan ke sembarang arah, akan kucoba ikhlaskan semuanya. Jika ini takdirku, maka kuyakun Tuhan akan memberiku jalan untuk tetap tegar dan kuat."Bukan aku yang mandul, Mas. Tapi kamu yang bermasalah. Kita lihat saja nanti, bagaimana reaksimu jika kamu tahu kenyataannya. Menikah dengan siapapun, kamu tetap tidak akan memiliki keturunan. Kecuali aku mendapat pengkhianatan dan dibohongi sebelumnya."Tidak ada gunanya menyesal, tidak ada gunanya berontak. Yang kubutuhkan saat ini adalah ketegaran dan pembuktian. Wanita malang ini tidak pantas dibuang dan dihinakan.Kusimpan rapih kertas yang tadi kubuang, siapa tahu aku akan membutuhkannya lagi di lain waktu."Mas Agha, mantan ibu bertua, dan mantan adik ipar. Kita lihat saja, siapa yang akan meroket, yang dihina atau yang menghina?"Aku yakin aku dilahirkan oleh orangtua yang tegar dan kuat, aku hanya butuh lebih berusaha untuk membuktikan pada dunia. Anak yatim piatu ini akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak lemah dan pantang menyerah."Aku akan menggunakan uang ini untuk modal usahaku. Ya, uang ini akan benar-benar kugunakan sebaik-baiknya. Alfaqir bilang, dia akan menjelaskan semua pada waktunya. Dia bilang ini adalah hakku, lantas apa yang membuatku ragu?"[Uangnya akan saya pakai untuk membuka bisnis, semoga berkah.]Kukirimkan pesan pada kontak bernama Alfaqir. Setelah lima menit, kuterima balasannya.[Silakan, barakallah. Semua uang itu milikmu.]"Mas Agha, semoga kamu hidup bahagia. Dan tidak pernah menyesal di kemudian hari. Namun, jika pada masanya kamu ingin kembali, jangan salahkan aku jika kutak bisa lagi membuka hati sekalipun kamu kembali dengan seorang diri."Bersambung...Dor dor dor"Mutia, keluar kamu. Mutia," seseorang memekik dari luar seiring pintu yang terus digedor. "Iya sebentar." Aku sibuk merapikan pakaianku, dan memutar gagang pintu dengan tangan yang lain. "Ibuk?" Wanita paruh baya itu menatapku tajam dengan tangan berkacak pinggang. Ia menerobos masuk ke dalam walau tanpa aku persilakan. Aku hanya bisa mengelus dada. "Mutia, ingat, ya. Kamu masih punya hutang sama saya," ujarnya. Aku mengernyitkan dahi, selama aku hidup dan menikah dengan Mas Agha, belum pernah tahu bagaimana rasanya berhutang. Minimal aku menahan perut jika lapar sedang melanda. "Utang apa, Buk?" "Gini, ya. Sekarang kan semua BBM naik nih. Dan kamu, sekarang sudah bukan istri Agha lagi, jadi semua fasilitas yang pernah kamu pakai selama di rumah saya, saya minta. Sini bayar.""Oh iya lupa, kamu kan miskin. Mana ada kamu punya uang. Dan lagi, kamu hidup sebatang kara. Saudara mana yang mau belas kasihan buat ngebantuin
"Maaf, Mbak. Bulu matanya hampir copot, awas jatuh nanti bisa hilang. Eman-eman, mahal kan." Wajahnya memerah, dan kini gantian Mas Agha yang memandanginya. Mungkin ia perlu korektor sepertiku sehingga bisa tampil lebih elegan lagi. Berhias si boleh menurutku, tapi bukannya dandanan itu terlalu menor. Aku tertawa di balik wajah yang berusaha kutata sedemikian santai. "E-em. Mas Agha mau ngomong apa?" tanyaku pada satu-satunya laki-laki yang pernah kuputuskan padanya hati ini akan berlabuh. Melihat dia akan sedikit ragu, aku menoleh ke arah wanita di sampingnya. Aku mengangguk paham, lalu pamit untuk berlalu. "Mutia, kamu mau ke mana?" Aku menghentikan langkahku, untuk apa dia bertanya. Apa masih ada urusan, masih penting kah diriku baginya saat ini. Dengan tetap memperhatikan tatakrama berbicara, aku menoleh untuk menjawab. "Mau nganterin ini ke panti asuhan, Mas." "Kenapa gak pakai mobil aja?
"Ibrahim itu siapa, Buk?" "Dia salah satu aktivis dakwah di desa sebelah, dia sering ke sini untuk menyumbang dan sesekali mengecek keadaan anak-anak di sini." Aku mengangguk pelan, masih ada ternyata laki-laki yang berhati mulia. Adakah mertua baik yang tersisa untukku? Kurasa tidak ada, atau mungkin ini adalah bagianku. "O iya, gimana rumah tangga kamu sama Agha?" DegHatiku bercampur aduk, aku harus jawab bagaimana. Susah sekali untuk menjabarkannya. Ditinggal saat diri ini sangat-sangat menyayanginya. Dalam kesetiaan, kesetiaan yang dibalas sembilu."Sudah tidak ada, Buk. Menikah dengannya hanya menjadikan saya harus mencicipi pahitnya masa iddah."Wajah Bu Hanik berusaha, seakan ia merasa tak enak. "Maafkan ibu ya, Nak. Ibuk tidak tahu jika ternyata perangai laki-laki itu seperti itu. Dulu ibu yakin dia akan membahagiakanmu," lirih Bu Hanik sembari meremas tanganku. Aku mengulas senyum, tidak masalah.
"Bingkisan apa lagi ini?" Aku mengleng kotak dengan sampul warna ungu di tangan, siapa sebenarnya yang sangat suka mengirimkan kotak-kotak misterius ini. Aku boleh membukanya? Semoga saja bukan orang iseng sehingga mengisi kotak ini dengan ular atau sebagainya. "Tidak, tidak ada desis." Pikiranku traveling, tidak mungkin ini uang lagi. Uang yang kemarin itu sudah terlalu banyak. "Eh, Mutia. Kebetulan sekali. Dari kemarin itu banyak banget yang nyariin kamu. Nanyain alamat kamu. Mutia Zahira. Jadi saya tunjukkan alamat rumah ini. Tidak apa-apa, kan?" seru Bu Kontrakan. Akhirnya kejanggalan ini terjawab, pantas saja. Tetapi, jika pak pos mungkin bisa saja bertanya ke rumah lama, lalu kebetulan bertemu bu kontrakan ini. Namun, jika manmer? "Temen saya juga pernah nanyain kamu. Kata sih mantan ibu mertua kamu, ya?" Ah, seakan ingin sekali kutepuk kening ini. Dunia bak selebar daun kelor saja. Ke mana pun aku pergi, ad
Sore ini kurasa cuaca cukup mendukung untuk merefresh hati, aku ingin keluar mencari refensi berjualan dan tempat strategis dalam proses berjalannya nanti. Di tengah asiknya berjalan kaki, kutemui semua ruko dengan ukuran sedang bertuliskan dijual. Di bawahnya juga tertera nomor untuk dihubungi, kurasa itu nomor pemiliknya. "Oh, kebetulan sekali ya, Pak. Bisa-bisa. Baik."Tak lama berselang, aku melihat ada seorang laki-laki yang datang dan membuka ruko tersebut. Pantas sekali, sebab saat aku hubungi tadi beliau langsung merespon dan mengatakan bahwa sedang berada di sekitar sini. Setelah saling berucap dan menjawab salam, aku memperkenalkan diri bahwa aku yang berminat pada ruko tersebut. Tempatnya strategis menurutku untuk berjualan makanan. Ya, aku ingin berjualan menu-menu makanan. Jika bisa, kuusahakan mengusung beberapa makanan khas yang pernah diajarkan saat di panti dulu. Setelah terjadi tawar menawar, ruko itu dijua
Pagi-pagi sekali, Al-Faqir sudah menelpon saat aku sibuk mempersiapkan apa saja yang hendak kubeli untuk persiapan hari esok membuka jualanku di hari pertama. "Baik, saya akan segera ke sana."Aku semakin dirundung rasa penasaran apa yang akan ia sampaikan, bagaimana juga dia memiliki rahasia-rahasia itu semua. Tanpa berpikir lama, aku akan menyelesaikan semua urusan penjualan nanti saja. Bisa dipikir sambil berjalan. Sesampainya di ruko, betapa terkejutnya aku ternyata ruko sudah rapih, bersih, bahkan ada benner besar bertuliskan "Welcom Bu Mutia Zahira" Siapa yang telah menyiapkan ini, aku jadi terharu dengan semuanya. Kuusap perlahan bekas air mataku, aku memang secengeng ini. "Ehem."Deheman itu, sepertinya aku mengenalnya. Aku menoleh, dan ternyata berdiri seorang berbadan tegap berambut ikal, dan bermata teduh. "Saya Ibrahim," serunya memperkenalkan diri. Aku sontak menurunkan pandangan, la
Saat tiba masanya, waktu yang kutunggu setelah menyiapkan beberapa hari. Tanpa disengaja sebelumnya, waktu potong pita untuk pembukaan pertama kali ruko-ku jatuh pada hari jumat. Ini benar-benar kebetulan yang insyaAllah akan membawa kebarakahan. Aamiin. Aku lekas mengabari orang-orang yang berada di jalanan, dari anak-anak hingga orang-orang lansia yang terlantar. Tak lupa pula kukabari ibu panti untuk mengajak anak-anak turut bergabung. Kupinta tiga pegawaiku untuk menyiapkan banyak makanan sebagai acara pembukaan warung makan ini sekaligus tasyakuran. "Apa ini tidak terlalu akan menghabiskan uang banyak, Buk? Sementara ibu Mutia kan baru mulai, orang jalanan itu tidak sedikit, Buk. Sekali mereka mendengar, pasti akan berduyun-duyun mendatangi tempat ini." Aku mengulas senyum, aku cukup paham arah pembicaraan pegawaiku, mereka mencemaskanku, tetapi aku yakin ini tidak akan pernah merugikanku, melainkan juga sebaliknya. "Tidak apa-a
"Kenapa bengong, dari tadi saya perhatikan kamu ngelamun. Ada apa?" tanya Ibrahim dengan nada menyelidik. Entah kenapa aku jadi merasa lebih nyaman jika panggil dia Al-Faqir. "Apa? Kamu perhatiin aku?" "Enggak, gak sengaja aja beberapa berpapas pandang, bengooong aja.""Hei, Al-Faqir. Kamu ini sebenernya siapa sih. Tiba-tiba nongol.""Ya, saya manusia. Seperti yang kamu dan orang-orang lihat.""Iya, tapi maksud aku tuh. Kenapa bisa gitu kamu mendapat amanah mengenai uang dan wasiat-wasiat itu, sebenernya orang itu siapa. Siapa yang sudah ngasih uang itu sama aku?" "Yang jelas, sekarang kamu harus bisa menggunakan itu dengan baik, kamu gunakan kesempatan ini."Pria di hadapanku sedang asik makan, ia berhenti mengunyah bahkan menyendok makanan di mangkuk setiap kali menjawab atau bertanya padaku. "Buk, terima kasih, ya," ucap tamu undangan bergantian. Mereka bersalaman, lalu pulang. Alhamdulillah, ak
"Tolong buka ikatan ini, aku mau salat. Aku belum salat," pintaku iba. Satu orang berbadan kekar dan tatapan tajam menyorot ke arahku. "Diam! Jangan pikir kami bodoh sehingga bisa kamu kibuli. Bos kami sebentar lagi datang, maka tugas kami akan selesai. Jadi jangan persulit tugas kami, paham?!" Aku tercekat, bagaimana ini. Aku harus berusaha tenang, mungkin saja Ibrahim sedang merencanakan kejutan yang berbeda. "Ibrahim, cepet dateng." "Siap, bos," seru seseorang dari luar. Betapa terperanjatnya aku saat ternyata yang masuk bukan Ibrahim, tapi justru Mas Agha. Mau apa lagi dia menciptakan kekacauan ini. "Lepas ikatannya," perintah Mas Agha disusul dengan salah satu pria berbaju hitam mendekat ke arahku. Aku menghembuskan napas lega saat terlepas dari belenggu tadi. Mas Agha benar-benar kekurangan pekerjaan tampaknya. Dengan satu isyarat pria-pria itu keluar meninggalkan kami. Kini tinggal aku juga Mas Agha. "Mas, apa sih mau kamu sampe tega berbuat seperti ini." "Tenang, Muti
"Mmm ... ya, aku mau," ujarku setelah menghela napas panjang. Siapa sangka, bahwa Ibrahim akan mengatakan ini sehingga dia membawaku pergi. Menurutku, sudah cukup kupertimbangkan. Ini salah satu solusi terbaik, tuk hindari Mas Agha dan keluarganya. Baru aku tahu sekarang ini, dan agaknya hanya terjadi padaku. Setelah Mas Agha meninggalkanku, lalu dia mengejarku. Wajah Ibrahim berubah semringah, tampak sekali sebuah isyarat bahwa dia sangat senang dengan jawabanku. Dengan membaca bismillah, insyaAllah aku tak akan salah langkah. Semoga semua ini menjadi wasilah aku dapat mengambil hikmah dan berpijak lebih gagah. "Terima kasih, Mutia. Jawaban itu yang sangat aku inginkan." Sungging senyum Ibrahim menambah keteduhan wajahnya, entah apa alasannya sehingga dia bersedia menungguku selama ini. Jika dilihat dari parasnya, dia melakukan ini bukan karena tidak laku. Namun, entah apa yang telah terjadi. Krukk, krukkMendadak hening. Taman yang ramai pun seakan menjadi senyap. Ibrahim mena
"Mutia, papa pengen melihat kalian itu segera menikah. Jadi kapan kira-kira kalian mau urus semuanya?" DeghAku jadi kikuk wajahku memanas. Dalam lubuk hatiku, aku sudah merasa sangat siap. Dipertimbangkan lagi, daripada Mas Agha dan keluarganya selalu saja meneror aku. Terlebih Karin. Padahal sudah sangat jelas bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Mas Agha. "Mutia," seru papa Ibrahim. Aku menoleh ke arah Ibrahim yang justru melempar senyum padaku. "Ka-kalau Mutia, terserah Ibrahim saja, Pa." "Tuh kan, Him. Jawaban Mutia sudah kayak gitu kok, kenapa kamu masih minta papa buat nanya sama Mutia. Sebenernya ini semua tergantung kamu, kamu mau bergerak cepat apa enggak.""Betul, A Im harus bergerak cepat, gimana kalau nanti malah terlambat dan Mutia keburu diambil orang. Hayo, kehilangan lagi." Mama Ibrahim juga menyeru seraya menggoda putranya. Ibrahim tak henti-hentinya mengulas senyum sedari tadi, cukup aneh menurutku. "Ibrahim pasti akan secepatnya nikahin Mutia,
"Gimana sih kamu, Karin. Kok, Mutia baik-baik aja. Katanya kamu kirim makanan itu buat Mutia." "Karin juga gak tau, Buk. Ya mana kita tau coba kalau ternyata yang makan bukan si Mutia. Mantan istri Mas Agha yang masih dikejar-kejar terus itu. Iiih sebel." Aku menggeleng, tidak sengaja saat aku hendak mencari minuman, aku melihat ManMer dan Karin sedang berbincang di kursi rumah sakit. Bisa-bisanya mereka berniat mencelakai aku. "Oke, kita lihat siapa nanti yang akan menang." Aku berdehem berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Tepat sekali mereka duduk di sebelah tempat pembelian minuman. "Duh, cuaca di sini lagi panas nih. Pengen yang adem-adem," ironiku pada mereka, sejatinya aku kesal kenapa setega itu dan senekad itu. Padahah, semua bisa dibicarakan dengan cara baik-baik. ManMer berdiri, lalu disusul dengan Karin. "Ngapain kamu di sini?" Aku menyeringai. "Seharusnya Mutia yang tanya, kenapa Ibu sama Karin ada di sini? Oh, jangan-jangan makanan itu, kalian yang
"Bolehkah jika Mutia minta ijin bicara sama Ibrahim sebentar, Ma?" "Oh, boleh dong. Boleh banget kan ya, Pa." "Iya, pastinya." Aku pun mengajak Ibrahim ke pelataran belangak rumah. Tempat di mana menurutku hanya ada ketenangan, gemericik air jatuh ke kolam. Pemandangan langit turut membersamai. "Ini maksudnya apa, Him?" Ibrahim berdehem dengan posisi wajah mendongak, kedua tangannya ia lipat di dada. "Jika kamu tidak berkenan, jawab saja apa adanya. Aku akan terima semua jawabanmu." "Kalau kamu sendiri gimana? Apa kamu terima?""Aku rasa, kamu sudah tahu jawabannya." "Apa?" Ibrahim menoleh ke arahku, ia menatapku dengan sangat serius. Hingga, aku pun reflek salah tingkah. "Kamu tanya? Saat aku sudah beberapa kali menyatakan perasaanku dan kamu masih bertanya apa? Baiklah, dengan ini aku sudah memahami dan mendapatkan jawabanmu." Apakah pria itu juga bisa marah? Dia mendadak membalikkan badan, lalu meninggalkanku sendiri? "Him, argh."Aku mendengus pelan, dia benar-benar ke
"Terima kasih, Him. Gak mau mampir dulu?" "Enggak, Mutia. Kebetulan aku sudah ditunggu mami." Aku terperangah, orang tua Ibrahim sudah pulang? Kenapa dari tadi dia tidak cerita. "Oh, jadi aku gak penting sudah, ya. Sampai-sampai gak cerita nih." "Cerita apa?" "Sudah lah, apa kata kamu." Sungguh menjengkelkan saat Ibrahim langsung aja main ngacir tanpa berusaha memahami maksud pembicaraanku. "Dasar cowok!" Aku membalikkan badan, merasakan tubuh yang mulai menunjukkan protesnya. Ya, lelah. Aku letih, ditambah pikiran mengenai Mas Agha yang mendadak seperti anak ABG baru mulai mencintai seseorang saja. "Lucu, dulu aku dia buang dan sekarang dia kejar habis-habisan." Aku menggeleng sembari mendengus pelan. "Permisi, atas nama ibu Mutia?" seruan yang berasal dari arah belakang. Aku pun menoleh. Telah berdiri seorang kurir dengan seragam G*abnya. Aku mengangkat sebelah alisku, siapa yang pesan makanan. "Iya, Mas. Saya sendiri." "Ini, Mbak. Ada kiriman untuk Mbak dan sudah diba
"Mutia, kamu gak mau gubris aku sama sekali? Ha?" ketus Mas Agha. Aku pun mendongak, lalu berhenti mengunyah. Ibrahim terkekeh, lalu melanjutkan makan kembali. "Ya ... siapa suruh Mas Agha gak mau pesen makanan juga. Coba aja Mas Agha tadi ikut makan. Atau, mau Mutia pesenin?" Saat aku hendak berdiri, Mas Agha mencekal lenganku. "Gak usah, Mutia. Cukup kamu di sini, anggap aku ada." Aku mendengus pelan, kuseka tangan Mas Agha. "Maaf, Mas. Kita bukan mahram." "Apa gak bisa jika kita menjadikan di antara kita boleh saling mendekat? Bahkan hingga jarak itu tidak ada. Aku ingin kita seperti dulu, Mutia. Aku sangat mencintaimu." Kalimat Mas Agha seperti hambar terdengar telinga. Terlebih untuk hatiku. "Tidak kah kita rujuk kembali, Mutia?" Mas Agha menggeser kursi yang tadi ia duduki, lalu membungkuk di hadapanku. "Mas, ngapain sih?" Aku berusaha melarang dan menyarankan Mas Agha untuk tidak melakukan itu. "Mas, plis jangan gini." "Tidak, Mutia. Aku mohon, tolong terima aku lagi.
"Kenapa kamu ada di sini, Mas? Kamu ikutin aku, ya?" sergahku saat melihat Mas Agha dengan santainya memindah kursi ke meja kami. Awalnya, hanya ada dua kursi untuk aku dan Ibrahim saja, akhirnya sekarang pun kami bertiga. Terlihat sorot mata Ibrahim yang tidak menyukai ini. Aku mendengus pelan. "Mas, jawab."Mas Agha justru membalikkan badannya ke arahku, aku mengernyitkan dahi saat mendapati hampir terkikis habis jarak di antara kami. "Salahkah jika aku ingin mengejar kembali cintaku? Hahaha, ya cinta setelah cinta. Apa sudah istilahnya, CLBK, cinta lama bersemi kembali." Tak lama berselang, Ibrahim berdiri. Aku khawatir dia akan marah. Namun, ternyata tidak. Dia justru memindahkan kursi yang tengah kududuki. Kuat juga nyalinya. Saat ini, tak bisa dipungkiri jarak pun kembali terbentuk di antara kami, khususnya aku dan Mas Agha. "Maaf, Agha. Jika kiranya kamu tak memiliki kepentingan pada Mutia, tolong pergi dari tempat ini. Aku ingin berbicara hal penting dengannya," pinta Ibr
Aku sudah lelah untuk bertanya, biar saja Ibrahim mau membawaku ke mana. Pasrah saja. Aku memilih untuk menatap ke arah luar jendela. Baru kusadari semakin ke sini, pemandangannya semakin indah, sejuk, dan menyiratkan ketentraman. "MasyaAllah, sungguh indah pemandangan ini. Nikmat yang mana lagi yang aku dustakan." Aku pun melupakan pemikiran buruk mengenai pria di hadapanku yang tengah sibuk mengemudi. Memang sih, sikapnya berubah yang membuat pikiranku jadi traveling. Tetumbuhan hijau, gunung-gunung menjulang, langit yang sangat biru. Jalan beraspal, tak terlalu rikuh dengan kemacetan. Jalan hendak ke mana sih ini? Kenapa asing banget. Gimana gak asing, dulu hanya diam di panti, setelah menikah dikekang mertua. Dijual mertua dan ipar dengan diceritakan ke mana-mana. Bodohnya aku, aku selama ini hanya diam saja. Kepalaku jadi terputar pada masa lalu yang menyesakkan dada. "Huh, menantuku memang tak ada gunanya. Coba saja dulu aku menikahkan putraku dengan anakmu, Jeng," seru m