Aku cemas menunggu hasil pemeriksaan dari dokter tentang keadaan Arumi.
Tak lama dokter keluar, mempersilahkan aku masuk ke ruangan untuk memberi keterangan. Aku mengikuti dokter berhijab itu dari belakang, kemudian duduk dihadapan mejanya di kursi yang telah disediakan."Bagaimana keadaan istri saya, dok?""Istri Bapak tidak apa-apa, Pak." aku lega mendengar jawaban dokter. Hatiku seketika lapang."Tapi, Bapak harus menjaga istrinya dari kelelahan dan stres, Pak. Karena kandungan istri bapak termasuk kandungan yang lemah. Sehingga lelah dan stres bisa membuat istrinya bapak seperti ini. Tekanan darahnya juga sangat rendah, Pak."Aku terkejut. Mendengar penjelasan dokter barusan, rasa salah dengar."Istri sa-ya hamil, Dokter. Alhamdulillah ya Allah, Alhamdulillah," syukurku tak henti-hentinya akhirnya setahun menikah anak yang kami tunggu-tunggu ada di rahim istri tersayangku. Haru menyelimuti hati ini."Lo bapak gak tahu, 6 minggu usia kandungannya, Pak.""Beneran enggak tahu, Dok. Istri saya memang sudah telat datang bulan, tapi itu dia anggap biasa karena dia memang termasuk wanita yang haidnya kurang lancar. Dari gadis dulu pun dia biasa dalam satu bulan tidak datang bulan. Jadi walau telat dia tak cek apa-apa.""Ok, saya resepkan vitamin ya, Pak. Jangan lupa suruh ibu minum teratur dan yang lebih penting jaga fisik dan pikirannya agar tidak terlalu lelah dan tidak stres karena terlalu banyak pikiran. Kalau tidak kejadian seperti tadi bisa terulang lagi bahkan bisa berakibat fatal untuk janinnya." Dokter menjelaskan sambil menulis resep."Iya, Dok. Insyaallah akan saya jaga istri saya sebaik mungkin, sudah setahun ini kami menanti momongan, Dokter. Alhamdulillah Allah segera mengijabah doa kami." Saking senangnya sampai panjang lebar ku ceritakan tentang penantian dan harapan kami untuk memiliki anak."Iya, Pak. Alhamdulillah saya turut bahagia mendengarnya," jawab bu dokter sambil tersenyum.Ketika ku lihat Arumi yang masih terbaring di ranjang pemeriksaan sangat bahagia bahkan dia sampai menangis haru.Aku segera memberitahu ibu, yang sedari tadi menunggu di luar ruangan. Terlihat ibu sangat senang karena beliau akan menjadi seorang nenek. 'Huhh!' ibu terlihat membuang nafas lewat mulut mungkin saking leganya dan nampak sekali di mata beliau ada bahagia yang sangat mendengar Arumi baik-baik saja.'Alhamdulillah' pikirku. Semoga ini jadi jalan ibu menyayangi Arumi seperti anaknya sendiri dan tidak meributkan hal kecil lagi.Aku pun segera menelepon mertuaku dan terdengar jelas riang dan syukur mereka mereka di ujung sana menerima kabar baik itu."Alhamdulillah Nak, Alhamdulillah ... Pa, kita akan segera akan jadi kakek dan nenek," ucap mama mertuaku pada papa.Aku juga tak lupa menghubungi Andini--adikku-- yang sedang kuliah diluar kota. Dia juga sangat senang karena sebentar lagi dapat keponakan, tetapi aku masih penasaran apa hanya karena kandungannya lemah, Arumi sampai pingsan. Kenapa kebetulan sekali dengan ibu ke ruang tamu. Lagipula ibu terlihat sangat cemas dan sangat bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya.Di dalam mobil dalam perjalanan menuju rumah, sesekali Arumi memegang tengkuknya."Kenapa sayang?" Tanyaku sambil terus memegang setir."Gak kenapa-napa ... mungkin cuma efek darah rendah.""Iya, kata Bu Dokter tadi pun kamu darahnya rendah banget, Sayang."Tengkuknya masih terasa berat ya, tangan kiriku mencoba menjangkau tengkuk istriku hendak memegang, niatku memijit ringan, biar dia rileks. Namun, Arumi menarik kepalanya menjauh dariku. Sepertinya ada yang disembunyikan ditengkuknya. Nampak sekali dia menghindar."Aku gak apa-apa, Bang" ucapnya matanya sekilas melirik ibu dan wajah ibu nampak menegang.Aku yang tak sengaja melihat itu bertanya. "Ada apa, Bu. Kok, Ibu kayak tegang begitu.""Hmmm, gak pa-pa ibu cuman mengkhawatirkan Arumi." ucap ibu sambil mengalihkan pandangan beliau. Seperti tak mau bersitatap dengan mataku yang tak sengaja beradu pandang dengan beliau.'Ya ... Allah ampuni hamba-Mu ini yang berpikiran macam-macam pada ibu sendiri' aku pun beristighfar banyak-banyak.Salahkah aku dengan pikiranku? Ada apa ya? Apa ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku?Tak terasa sudah satu bulan berlalu. Kandungan Arumi memasuki usia dua bulan lebih. Dalam satu bulan ini aku merasa tenang ibu tak lagi mempermasalahkan hal-hal yang menurutku tak perlu dipermasalahkan dengan Arumi.Aku pun merasa sangat berdosa pada ibu, karena waktu itu sempat berpikir yang bukan-bukan tentang yang dilakukan beliau pada Arumi hingga membuat Arumi pingsan."Maafkan anakmu ini, ibuku tercinta," bisikku untuk diriku sendiri. Bahkan dalam satu bulan ini, ibu tak lagi seperti bulan kemarin pada Arumi. Namun, ternyata aku salah.***Setelah salat subuh aku pun mempersiapkan apa-apa yang akan di bawa ke kantor. "Bang, aku tidur lagi boleh ya, badanku rasa pegal-pegal."Iya tidur aja lagi. Kamu 'kan harus jaga fisik agar kandungan kamu baik-baik saja."Terus pagi ini, kamu sarapan pakai apa, bang?" "Ah, itu gampang tak perlu kamu pikirkan. Abang bisa sarapan pakai bingka yang kamu buat tadi malam sama Ibu, kalau mau sarapan lain Abang juga bisa buat sendiri, dek.""Gak a
Sebulan ini ibu banyak diam. Aku kira dirinya sudah berubah seperti dulu lagi pada Arumi. Namun, pagi ini rupanya kata-kata ibu makin dahsyat.Tak mau memperkeruh keadaan. Aku pun masuk ke ruang dalam. Ibu berlalu mengambil sapu dan mulai menyapu lantai dan ketika menyapu ruang dalam, sesaat beliau melewati kamar kami. Ketika di dekat pintu kamar kami, ibu terdiam. Ternyata memperhatikan sebuah kardus yang cukup besar di dekat lemari di dalam kamar.Kemudian ibu mendekatinya, memperhatikan dengan seksama isinya dan berteriak "Arumiii!! ini apaaa??" Ibu sepertinya sangat marah melihat isi kardus itu. Arumi sampai terperanjat mendengar teriakan ibu yang menggelegar dan segera berlari ke dalam.Seperti yang sudah kami duga, ibu musuh sekali sama paket. Pasti dikiranya Arumi belanja online lagi.Kardus itu adalah paket dari tante Erlita, aku dan istriku tadi malam hanya membuka isolasi dan tutup atas kardus paket untuk melihat isinya, memastikan isi paket aman dari barang atau mak
"Kenapa punya mantu gini-gini amat ya, keluarganya pun sama. Bukannya ngajarin biar mandiri. Ini malah kirim-kirim barang. Mau pamer punya banyak duit kali, ya. Huhh, dasar! lama-lama bikin darah tinggi, gini mah!" Ibu masih nyapu sambil ngomel.Aku berharap Arumi di dapur yang lagi melanjutkan cucian piring tidak mendengar ocehan ibu karena tertutup oleh suara air keran. "Ibu ini kenapa sih, Bu? Gak udah-udah. Arumi gak ada benernya di mata Ibu. Kenapa, sih? Ibu jadi berubah drastis sama Arumi semenjak kami tinggal di sini. 'Kan kami tinggal di sini atas permintaan Ibu juga.""Lo, kok, kamu nuduh Ibu yang bukan-bukan Raga!" "Bukan nuduh, tapi kenyataannya emang begitu, Bu.""Kenapa sampai ngomongin masalah tempat tinggal? Ibu memang nyuruh kalian tinggal di sini mumpung kamu dipindahtugaskan di daerah kita. Kamu tega membiarkan ibu tinggal di sini sendiri." Ya, ibu tinggal sendiri beberapa bulan sebelum aku mutasi ke kota ini. Andini si bungsu kuliah di luar kota. Sedangkan Arya
Part 7. Apa Hubungannya Dengan Diana? "Kenapa punya mantu gini-gini amat ya, keluarganya pun sama. Bukannya ngajarin biar mandiri. Ini malah kirim-kirim barang. Mau pamer punya banyak duit kali, ya. Huhh, dasar! lama-lama bikin darah tinggi, gini mah!" Ibu masih nyapu sambil ngomel.Aku berharap Arumi di dapur yang lagi melanjutkan cucian piring tidak mendengar ocehan ibu karena tertutup oleh suara air keran. "Ibu ini kenapa sih, Bu? Gak udah-udah. Arumi gak ada benernya di mata Ibu. Kenapa, sih? Ibu jadi berubah drastis sama Arumi semenjak kami tinggal di sini. 'Kan kami tinggal di sini atas permintaan Ibu juga.""Lo, kok, kamu nuduh Ibu yang bukan-bukan Raga!" "Bukan nuduh, tapi kenyataannya emang begitu, Bu.""Kenapa sampai ngomongin masalah tempat tinggal? Ibu memang nyuruh kalian tinggal di sini mumpung kamu dipindahtugaskan di daerah kita. Kamu tega membiarkan ibu tinggal di sini sendiri." Ya, ibu tinggal sendiri beberapa bulan sebelum aku mutasi ke kota ini. Andini si bung
Aku bekerja sampai tidak konsentrasi, karena kepikiran yang dikatakan Andini. Benar-benar harus cari tahu nanti, tetapi bagusnya enggak usah kasitahu istriku dulu, karena akan menambah beban pikirannya. Oya, Dia tadi mau ngomong sesuatu. Mau ngomong apa, ya? Sepertinya yang ingin ia katakan menyangkut dengan situasi rumah atau perasaannya. Aku tahu dirinya pasti tak enak dengan keadaan sekarang, ibu yang semakin kentara tak suka, omongan semakin tajam, diitambah Arumi dalam keadaan hamil yang pasti lebih sensitif dan kehamilannya juga lagi tak baik-baik saja.Cepat ku ketik pesan, [Sayang, kamu tadi pagi mau ngomong apa?]Tak lama masuk balasan.[Nanti aja, Yang. Nunggu kamu udah di rumah.]***Ketika aku pulang kerja, baru sampai halaman. Terlihat Arumi sedang sibuk menyapu. Peluhnya sampai bercucuran. Kerjaannya hampir rampung."Sayang, ngapain kamu kerja ekstra sampai keringatan gitu. Kamu'kan harus istirahat. Ingat kandunganmu!" Cukup terkejut aku melihat halaman yang sudah sa
Hari ini aku izin sama Arumi pulang telat. Soalnya aku tak bisa menunda lagi harus segera kuselidiki ada apa dengan Diana? hingga dia bisa nyangkut, masuk dalam pembicaraan ibu padaku. Sepertinya sudah sangat serius, jadi tak bisa aku sepelekan. Kalau ditunggu lama, nanti makin bahaya. Bisa jadi duri dalam pernikahanku. Bagus, sekarang Arumi tidak tahu kalau nama wanita lain ibu sebut padaku. Kalau lama-lama nanti bisa runyam. Ibu bisa saja lain kali keceplosan di depan Arumi menyebut nama itu. Padahal sama sekali aku tak tahu menahu alasan nama wanita itu hadir dalam ucapan ibu. Sebentar lagi jam kantor pulang. Segera kutelepon Arumi."Sayang, hari ini aku pulang telat, ya?" "Kenapa pulang telat?""Pak Bos memintaku bertemu klien ke kota sebelah, karena kliennya meminta meetingnya harus malam ini. Semoga tidak terlalu lama.""Oh, ya udah hati-hati, ya. Semoga cepat selesai dan tidak pulang larut malam," jawabnya di seberang sana.Maafkan suamimu ini Arumi harus berbohong padahal
Sudah hampir lima bulan Arumi dan Raga tinggal di rumah kelahirannya ini. Orang tua Arumi menelepon katanya mereka ingin datang mengunjungi dan menginap. Rindu sama si bungsu dan sekalian silaturahmi sama besan. Mendengar orang tua Arumi hendak datang. Bu Ningsih sibuk membuat kue. Pukul empat sore Pak Hendra dan Bu Sinta--orangtua Arumi-- sampai. Bu Ningsih menyambut dengan ramah."Ayo, Bu. Silahkan masuk." Sumringah senyum Bu Ningsih mempersilahkan. "Anggap saja rumah sendiri ya, Bu. Kitakan besan jadi rumah saya, ya rumah ibu juga. Raga simpan tas mama dan papamu ke dalam kamar," perintah Bu Ningsih pada Raga untuk menyimpan tas mertuanya ke kamar. Kamar yang sudah Bu Ningsih sediakan dan dibereskan dari kemaren. Mereka makan bersama sambil bercengkrama melepas rindu. Arumi dan Raga tak terkejut dengan sikap bu Ningsih. Ibunya Raga memang begitu di hadapan orangtua Arumi. Dulu pun sikap bu Ningsih juga begitu pada Arumi. Sebelum tinggal satu atap. Ketika masih tinggal beda k
Mamanya memijit-mijit betis anaknya sambil menguatkan. Nasehat untuk sabar pun meluncur. Ia tahu anaknya secara fisik sudah membaik namun hatinya masih lemah karena kehilangan. "Itulah Buk, Pak sudah berapa kali saya larang Arumi untuk bantu bersih-bersih dan dia juga sudah lama tak megang gagang sapu. Semejak hamil memang saya larang kerja walaupun hanya kerjaan ringan seperti menyapu, tetapi entah kenapa tanpa sepengetahuan saya siang itu dia malah bersih-bersih WC." terang bu Ningsih."Ooh, gitu bu. Sudahlah mungkin sudah takdir ini terjadi." Bu Ningsih mengambil bubur dan menyuapi Arumi. Arumi menolak disuapi. "Arumi kamu harus makan, biar keadaanmu cepat pulih." Bu Ningsih memaksa Arumi makan, menyuapnya penuh perhatian palsu."Iya, Sayang. Kamu harus mendengarkan omongan ibu mertuamu. Kamu harus kuat semoga Allah mengganti segera dan kamu segera hamil lagi, Sayang."Bu Ningsih juga menyodorkan Arumi teh hangat. Walaupun hati Arumi mulai dongkol dengan kepura-puraan Bu Ningsih