Mereka berdiri tertegun di depan pintu rumah saat hari telah gelap, dan tak ada seorang pun berada di luar. Ketukan pintu yang dilakukan beberapa kali, menggiring seseorang berjalan membukakan pintu untuk mereka berdua.
Wajah yang muncul sangat datar, menatap penuh selidik sambil menyedekapkan kedua tangan.
"Apa hasil yang kamu bawa pulang?" Sosok itu bertanya sinis. Membuat kedua orang yang baru datang berpandangan sejenak, lalu serentak menundukkan wajah.
"Kenapa diam? Kamu gagal, kan?" Dengan entengnya bu moko bertanya demikian. Seperti kompetisi itu bisa dengan mudah di rebut kejuaraanya.
"Maaf, Buk. Saya masih belum bisa memberikan yang terbaik," Jawaban cakt akhirnya.
"Sudah ku duga. Kamu itu orangnya bodoh, sok-sokan mau ikut seleksi segala!" Selorohnya sambil berkacak pinggang.
"Ada apa sih, Buk? Sudah malam begini kok ribut-ribut?" Tiba-tiba Pak Moko muncul dari dalam rumah. Mendadak Cakra
"Kemana suamimu?" Sang Ibu tiba-tiba masuk tanpa permisi, membuat Mega terkejut bukan main. Mata garang itu langsung tertuju pada sosok yang masih tertidur pulas di balik selimut."Bangunkan dia!" Perintahnya pada Mega yang kemudian membelalak sambil menggeleng cepat. Tentu saja ia tak berani mengganggu tidur sang suami, yang jelas-jelas terlalu kelelahan itu."Cepat, bangunkan dia, Mega!""Tapi, Buk .... ""Nggak ada tapi-tapian. Cepat, bangunkan dia, atau aku siram dia pake air bekas cucian!""Tidak perlu, Ibuk."Keduanya menoleh serentak. Begitupun sang ibu yang baru saja usai dari teriakan melengking di pagi hari ini."Ibuk tidak perlu memerintah dengan berteriak seperti itu pada Mega. Kasihan dia, buk. Ibuk paham kan, bagaimana kondisinya selama ini?" Cakra berkata dengan tenang. Sambil beranjak dari atas ranjang, mendekati mereka berdua yang kebingungan. Sejak kapan ia bangun? Mungkin itu ya
Cakra terkesiap ketika mendengar gawainya berdering. Nama pak Hendra terpampang di layar lima inchi itu, hatinya sempat berdebar sebelum menjawab telepon darinya."Iya, Pak?""Pak Cakra, besok anda bisa ke sekolah, kan? Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Terkait dengan beberapa kali kali anda tidak masuk tanpa ijin," Suara dari seberang ujung telepon membuatnya tersentak. Baru menyadari bahwa ia tak masuk hari ini, tanpa ada pemberitahuan sama sekali pada pihak sekolah."Iya, Pak. Besok saya akan masuk, maaf jika hari ini saya tidak ijin dulu. Karena ada aktivitas mendadak yang tidak bisa ditinggalkan," Ia berkilah.Ketika sambungan telepon telah terputus, ia lemparkan gawai itu ke atas sofa hingga terpental beberapa kali. Mega yang melihatnya langsung berdiri, hendak mendekatinya meski ada rasa ragu. Ragu bila sikapnya kini malah akan memancing kemarahan suaminya."Mas?" Ia menyapa. Pertama kalinya memanggil C
Siang ini, Cakra pulang dari sekolah dengan keadaan hati gundah gulana. Setelah hampir setahun lamanya, sejak peringatan oleh pak Hendra waktu itu, kali ini ia benar-benar diberhentikan oleh pihak sekolah. Memang selama itu, ia tak bisa berubah lebih baik.Hampir tiap mingu Bu Moko menuntut Cakra dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Hingga ia terpaksa harus lagi-lagi membolos dari tanggung jawabnya di sekolah, sebagai seorang guru. Meskipun beberapa kali ia katakan, tetapi mertuanya yang menghiraukan sama sekali.Tak terasa, perjalanan menuju rumah telah tiba. Pada siang menjelang sore ini, setelah memarkir kendaraan bututnya di garasi, ia duduk lunglai di depan pintu. Ragu, untuk segera masuk rumah. Bagaimana menjelaskan semuanya pada Mega? Itulah yang ia risaukan saat ini."Mas?" Ia menoleh, tiba-tiba orang yang ada dalam pikiran berada di ambang pintu."Mega?" Suaranya gugup, ekor matanya mengikuti langkah sang is
Kalimat tajam yang diucapkan oleh Bima itu rasanya tetap membekas dalam ingatan Cakra, hingga ia berada di kamar bersama istrinya saat ini. Wajahnya kini mengarah pada jendela kaca dengan pandangan hampa, hingga lamunannya terpecah karena ada notifikasi pesan dari gawai di tangan.[Pak Cakra. Ada rekrutmen CPNS lagi tahun ini, ikut lagi ya, pak?] pesan dari Bu Nur, beserta file PDF terkirim di bawahnya.Cakra menghembuskan nafas kasar, hingga Mega yang berada di pinggir ranjang menatap penuh tanya ke arahnya. Sebenarnya, ini yang ia tunggu. Ada kesempatan lagi untuk ikut berkompetisi, tetapi entah mengapa kali ini semangatnya kurang membaik. Tak seperti tahun lalu.[Saya pikirkan dulu, Bu,] hanya itu balasan yang ia kirimkan untuk Bu Nur, melalui aplikasi hijau dari gawainya. Semenjak bukan lagi menjadi bagian dari keluarga besar SMP itu, hanya Bu Nur lah satu-satunya rekan guru yang masih bersikap baik seperti sebelumnya.
Seperti rencana sebelumnya, hari ini Cakra hendak pergi ke rumah Bu Nur bersama Mega. Guru wanita itu rumahnya di sekitaran alun-alun. Karena hari minggu, mereka bisa berangkat lebih pagi. Tentunya, setelah Cakra usai dari pekerjaan di rumah. Akhir-akhir ini, pekerjaan jadi lebih ringan karena Mega mulai mau membantu. Tak seperti dulu, yang hanya berdiam diri di dalam kamarnya. Jika ditanya, jawabannya aneh-aneh, bahkan hingga kini pun Cakra masih belum tau, apa alasan sesungguhnya.Ia memarkir motor bututnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Terlihat rapi dari depan, pagar kecilnya tak mewah, tetapi indah. Rumah itu nampak sepi karena pintunya tertutup rapat. Ketukan pintu yang beberapa kali ia lakukan pun tak ada Jawaban."Kosong, Mas?" Sapa Mega yang mendahului duduk di kursi kayu berukir unik, Cakra hanya mengangkat kedua bahunya.Ia menyusul sang istri duduk lalu membuka gawai, bermaksud untuk menelepon bu Nur.&nb
Jam lima pagi, ia sudah bersiap untuk segera berangkat ke Madiun. Pelaksanaan seleksi tahun ini di adakan di kota itu. Dengan bermodal motor butut dan uang dua ratus ribu rupiah, hari ini Cakra akan kembali bersaing dengan ribuan pendaftar. Ia lipat kemeja putih yang tak baru lagi, warnanya pun telah kekuningan.Dimasukkan kemeja itu dalam tas ranselnya, besarta peralatan dan persyaratan mengikuti tes nanti siang. Mega datang dari balik pintu, mungkin dari luar kamar. Karena tangannya membawa kotak bekal untuk suaminya.Sengaja Cakra yang meminta untuk dibuatkan bekal makan siang. Uang pas-pasan, membuatnya tak berani makan siang di rumah makan saat di sana nanti."Sudah siap, Mas?" Mega menyerahkan kotak bekalnya, sambil meneliti perlengkapan yang akan di bawa suaminya itu."Sudah, kok. Doakan suamimu ini, ya. Biar bisa lolos, dan hidup kita akan lebih mudah dari ini," Menyahut Cakra dengan memasukkan kotaknya ke dal
Ketika duduk di sebuah ruangan, yang ia yakini sebagai ruang pimpinan rumah makan besar ini, Pak Tejo datang dengan membawa beberapa dokumen tebal."Apa ini, Pak?" Tanya Cakra, ketika Pak Tejo menyodorkan sebuah map seperti sertifikat, bertuliskan Cakra Adi Sanjaya. Ia mengernyit, karena itu adalah namanya."Ini semua adalah dokumen pribadi milik Mas Cakra.""Maksudnya?" Mata elang itu melebar, menatap penuh tanya. Ke arah Pak Tejo, dan dokumen yang tergeletak di atas meja itu secara bergantian. Namun, bukannya segera menjawab. Pak Tejo malah senyam-senyum saja tetap santai."Begini, Mas Cakra. Saya adalah kepercayaan almarhum tuan Sanjaya, Mas tau, kan? Siapa tuan Sanjaya itu?" Cakra berfikir sejenak. Nama itu adalah nama Ayahnya, Ayah yang telah meninggalkannya sejak masih bayi.Ia hanya pernah melihat mendiang Ayahnya dari sebuah foto. Ia pun juga tahu, bahwa Ayahnya adalah seorang pembisnis handal yang dise
Tiba di dalam kamarnya, ia langsung merebahkan badan di sebelah mega yang sudah terlelap. Tak lama ia pun ikut terlelap, bersama heningnya malam. Hingga suara-suara teriakan seperti biasa membangunkannya dari tidur pulas."Bangun, kamu. Dasar menantu miskin, pemalas!"Ia tergeragap, ekor matanya tertuju pada sosok yang masih berbaring di sebelahnya. Nafas bergerak teratur itu, menandakan bahwa Mega masih asyik dengan mimpi indahnya. Pandangnya beralih pada jam dinding, telah menunjukkan angka empat."Masih jam segini, kenapa sudah ada orang teriak-teriak?" Gerutunya sambil bangkit dari tengah ranjang. Berjalan terantuk menuju pintu, memastikan bahwa suara tadi hanya ada di dalam mimpinya."Heh!" Mendadak, mata yang masih berat dan dikucek itu terbuka lebar, ketika ada suara bentakan dari depan wajah."Iya, buk. Pagi-pagi begini kenapa teriak-teriak? Saya masih ngantuk ini," Ucapnya Malas-malasan.&nb
"Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d
"Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in
"Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o
Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den
Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej
Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b
Sebenarnya, cakra tak kaget dengan nilai rumah itu. Yang hendak ia berikan justru lebih besar, sebuah mobil terbaru dengan harga dua milyar. Hanya saja saat ini barang mewah itu belum bisa datang. Ia hanya bisa menghela nafas berat. "Bagaimana, pak cakra yan terhormat?" Itu suara Prahara, memicing dengan senyuman menyeringai. Bersamaan dengan itu, ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Salah seorang keluar membawa beberapa Map dan memberikan pada cakra. Ia tersenyum lega. "Ini dari saya, pak." Ia mengulurkan sebuah struk pembelian. Pak moko menerimanya dengan ragu, netra setengah abad itu berkerut, mengamati tulisan nominal tak biasa di kertas itu. Bima yang ada di belakang mertuanya itu pun penasaran, ia ikut melongok, ingin melihat tulisan apa yang diberikan cakra tadi. Keduanya menoleh bersamaan, lantas Bima mengedikkan bahunya. Tak lama, pria yang lebih muda itu meraih kertas dari tangan sang mertua. Mungkin ingin memastikan kebenarannya. Mungkin ia mengira salah lihat, hi
[Dimana kamu? Mau menghindar, ya?] pesan yang membuat rasa kantuknya menghilang seketika. Berubah menjadi amarah luar biasa. Beberapa orang mungkin mengetahui perubahan itu, karena saling melihat ke arahnya dengan mata menyipit. [Aku masih ada rapat di sekolah] balasnya. Lalu mencari nomor pak Tejo, dan mengetik pesan untuknya. [Kirim mobilnya sekarang juga, Pak] tak lama, pesan terbalas. [Mas. Mobil yang mas cakra pesan baru saja meluncur dari pusat. Kemungkinan besok baru bisa sampai,] pesan dari pak Tejo, membuatnya membelalak seketika. Cakra menghembuskan nafas berat dan panjang, dengan tangan menyugar rambut. Kepalanya frustasi, tatapan matanya menyapu ke sembarang arah. Pada rekan-rekan guru yang mendadak menatap aneh ke arahnya. "Bagaimana, pak cakra?" Ia terhenyak mendengar suara pak waluyo barusan. Hampir saja tangannya menjatuhkan laptop menyala yang sejak tadi ada di depannya. Hanya saja berada di pinggir meja. "Eh, e, iya, pak?" Cakra tergagap, kembali mengundang tan
Ketika hendak keluar, betapa kagetnya cakra. Di kamar sebelah ada Bima, hampir saja berpapasan jika ia tak segera kembali masuk ke dalam. Ia berdiri di sana, menunggu Bima menyelesaikan aktivitasnya. Tok tok tok! "Siapa di dalam? Kayaknya tadi sudah keluar, kok masuk lagi?" Suara seseorang dari luar pintu membuat cakra kaget, haruskah ia keluar sekarang dan bertemu dengan Bima? "Siapa di dalam?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini terpaksa ia membuka pintu perlahan-lahan. Memunculkan wajah dengan sangat pelan, benar-benar khawatir jika dirinya ketahuan saat ini juga. "Ada apa sih, Mas? Kayak habis ngelihat hantu aja," Celetuk seseorang membuat cakra terkejut. Kali ini tubuhnya telah berada di luar toilet. Ia bisa bernafas lega, karena toilet sebelah, pintunya telah terbuka lebar. Menandakan tak ada orang di dalam. Ia mengayunkan langkah dengan memasang mata awas, mengamati barisan kursi melingkar mengitari setiap meja. Banyak orang yang telah keluar, pak moko dan Bima pun juga