Pemotretan akhirnya usai berbarengan dengan Nadhif yang tiba kembali ke butik untuk menjemput Nadina. Keduanya langsung berpamitan untuk pulang. “Bagaimana hari pertamamu, Nadina? Apa semuanya sesuai harapan?” tanya Nadhif. “Iya! Semua sesuai harapan dan bahkan lebih baik dibanding yang Nadina pikirkan. Intinya semuanya sempurna!” pekik Nadina bahagia. Nadhif sejenak tersenyum sembari melirik Nadina yang juga tampak amat bahagia itu. “Bagaimana dengan Mas Nadhif? Apakah ada kejadian di pondok? Atau sesuatu lainnya?” “Ada. Baru saja saya mengantarmu dan turun dari mobil, saya datang ke kamar dan mencarimu seperti orang bodoh. Itu terjadi terus menerus hingga Umi menemui saya dan bilanh jika kamu sedang berada di butik.” Tawa Nadina memenuhi mobil. Nadina bahkan sempat beberapa kali memukul pundak Nadhif menyadari betapa lucu suaminya itu. Mendengar tawa yang tulus keluar dari mulut sang istri, Nadhif pun balik tertawa. “Nadina bisa membayangkan bagaimana suara Mas Nadhif yang te
“Nadina, bangun, Nadina!” bisik Nadhif sembari sedikit mengelus rambut yang menutup wajah istrinya itu.“Nadina, sebentar lagi subuh, ayo bangun!” imbuhnya lagi saat tak melihat istrinya berusaha bangun dari rasa kantuknya itu.“Kenapa dia susah bangun kali ini? Biasanya alarm saja sudah bisa membangunkannya?” gumam Nadhif lalu meraih gelas minuman yang ada di nakas sebelah ranjangnya.Sambil menuangkan sedikit air itu ke telapak tangannya, Nadhif mengucapkan basmalah. Kini ia memercikkan air itu berulang kali ke wajah Nadina.“Mas, jangan!” teriak Nadina lalu langsung membuka matanya lebar-lebar. Nadhif yang terkejut atas apa yang terjadi pada Nadina segera mengembalikan gelas ke atas nakas dan memegang kedua bahu Nadina sambil memandangnya cemas.“Nadina, ada apa?” tanya Nadhif.Tak ada balasan yang keluar dari mulut Nadina, namun sejak mata mereka saling bertemu pandang, Nadina langsung memeluk Nadhif erat.“Nadina mimpi buruk. Tolong peluk Nadina sebentar saja,” ujar Nadina masih
Nadhif menghentikan langkahnya kembali meskipun tampak membalik tubuhnya lagi. Sementara itu, Putri Azalea tampak menyusulnya dan mendekatinya. Nadhif segera memundurkan dirinya dan membuat Putri Azalea merasa sedikit asing. “Apakah Abi dan Umi ada di dalem? Bolehkah Aza menemui mereka?” “Silakan saja, Aza! Sepertinya mereka ada di dalem saat ini.” Nadhif benar-benar mencoba menjaga jaraknya. Setiap kali pemuda itu melihat atau mendengar Azalea berbicara, ingatannya selalu memutar apa yang dua santriwati itu katakan mengenai Putri Azalea dan perasaan wanita itu kepadanya. “Bolehkah mengantar Aza ke sana, Gus? Aza sedikit canggung karena lama tak datang kemari! Gus tenang saja, ini tidak akan menimbulkan fitnah!” pekik Aza. “Lebih baik urus kedatanganmu dulu, Aza. Baru setelahnya kamu bisa datang menemui Abi dan Umi di dalem. Lagi pula barang-barangmu itu belum menemukan tempat yang pas bukan? Datanglah saja nanti, kamu tidak perlu terlalu asing.” “Maafkan saya, Aza! Ada keperluan
“Waalaikumsalam,” jawab Azalea sedikit lirih. Wajahnya benar-benar tak bisa bohong. Ia benar-benar terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat itu.“Wanita itu? Bukankah ia yang kutemui di kantor umum tadi? Mengapa Gus Nadhif berani menyentuh tangannya? Apakah ia saudara Gus?” tanya Azalea dalam hatinya.Nadhif dan Nadina tampak semakin dekat hingga keduanya berhenti di tengah ruangan itu bersama Ali, Aminah, juga Azalea.“Putri Azalea, ada yang ingin saya kenalkan kepadamu,” ujar Nadhif lalu tangannya tampak merangkul mesra Nadina dan sedikit mengelusnya.Tampang Azalea semakin kebingungan, kerutan pada dahi, mata yang menyipit jelas menunjukkan kebingungannya saat itu.“Nadina Hafisa Rahmi, istri saya, Aza!” pekik Nadhif.Bagaikan tersabar petir di siang bolong, Putri Azalea membulatkan matanya. Ia benar-benar tak menyangka pengakuan itu keluar dari mulut pemuda yang selama ini menjadi pemilik hatinya itu.“I–istri?” lirih Azalea tampak kaku.“Ayo duduk dulu, lebih baik berbinc
Nadina menurunkan teh itu di meja tepat di hadapan Ali, Aminah, Azalea, juga suaminya, Nadhif. “Mengapa hanya empat cangkir, Nadina? Ke mana milikmu?” tanya Aminah mendongakkan wajahnya memandang sang menantu. “Ehm, Nadina hendak pamit umi. Ada sesuatu yang harus Nadina kerjakan di kantor umum. Kalian lanjutkan saja bersama, Mas Nadhif juga akan tetap di sini kok! Iya ‘kan, Mas?” Nadina menoleh ke arah Nadhif. Dengan jelas Nadhif mengerutkan keningnya, pemuda itu mulai menelisik tatapan sang istri padanya. “Apa?” lirih Nadhif tanpa bersuara. “Mas di sini saja dulu menemani Abi dan Umi, Nadina pamit ke kantor umum dulu, ada pekerjaan yang belum Nadina selesaikan semalam,” tutur Nadina sambil sebentar memundurkan dirinya. “Assalamualaikum!” pekik Nadina lalu berbalik meninggalkan sang suami juga dengan keluarganya dan Azalea yang masih berada di sana. “Apa-apaan ini Nadina? Kenapa tiba-tiba kamu pergi seperti ini?” batin Nadhif sembari memandang ke arah kepergian Nadina. Pembicar
Nadhif mengerutkan dahinya lalu Nadina menunjukkan map yang berisi surat tersebut.“Kita bisa mengganti tanggalnya, Nadina! Tidak harus tanggal itu bukan? Atau kita minta jadwal lain pada Meydina untuk pemotretanmu!” tutur Nadhif cepat.“Tidak bisa, Mas! Abi sendiri yang memilih tanggal ini untuk acara itu, sementara Nadina tidak bisa langsung mengajukan perubahan jadwal. Nadina baru di sana, Mas. Akan sangat tidak profesional nanti,” tutur Nadina.Tangan Nadhif perlahan menyentuh punggung tangan sang istri lalu mengelusnya sebentar sembari menatap mata Nadina dalam-dalam.“Kalau begitu biarkan pemuda lain yang menjadi pembawa acaranya,” ujar Nadhif.“Mas Nadhif tidak boleh egois seperti itu! Ayolah, Mas. Ini hanya satu hari saja! Biasanya Mas Nadhif juga menjadi pembawa acara tanpa Nadina bukan?” ujar Nadina sambil tersenyum dan membalas mengelus tangan sang suami.“Tapi itu sebelum saya memilikimu, Nadina. Sekarang saya telah memiliki kamu. Semestinya kamu yang menemani saya, atau s
Nadina kini saling berpandangan dengan Sadewa saat keduanya menunduk agar tak terlihat pada kaca mobil depan oleh orang yang berada di luar mobil. “Siapa yang datang, Nadina?” bisik Sadewa. “Santriwati yang ada di pondok. Nadina takut dia melihat Nadina di sini dan mengadu pada Mas Nadhif. Tolong bersembunyi dulu,” ujar Nadina. “Bagaimana jika aku membawamu pergi dari sini? Dia tak akan curiga nanti,” ujar Sadewa. “Jangan! Nadina tak bisa meninggalkan pondok lebih jauh dari pada ini. Akan panjang urusannya jika sampai Mas Nadhif tahu nanti! Biarkan wanita itu pergi dulu,” tutur Nadina sambil berusaha mengintip. Sementara Nadina memantau luar melalu kaca depan dengan sedikit mendongakkan kepalanya, Sadewa malah asik mengamati wajah Nadina. “Kenapa saya baru menyadari kecantikan wajahmu, Nadina? Andai saya bisa bertemu denganmu sebelum dirimu menjadi milik pemuda lain, pasti tidak akan sesulit ini. Tapi aku janji akan mengeluarkanmu dari tempat yang tak kau sukai ini, Nadina!” bat
Nadhif berdiri di dekat pintu dengan segenggam balon berwarna biru bercampur merah muda bening yang tampak estetik digenggamnya. Wajah Nadina jelas menunjukkan ia amat terkejut atas apa yang ia lihat. Kebohongan yang ia buat untuk menutupi kesalahannya kini semakin membuatnya merasa bersalah. Nadhif berjalan ke arahnya dengan senyuman tulus di wajahnya, pemuda itu menyodorkan segenggam balon itu kepada Nadina. “Jangan mengejarnya di jalan lagi, ya! Saya bawakan untukmu!” tutur Nadhif sambil menatap Nadina dalam tanpa kedipan. “Mas? Mas tidak perlu seperti ini,” lirih Nadina terdengar gemetar. Nadhif segera duduk di sebelah Nadina dan mengelus punggung tangan sang istri sembari meletakkan balon itu di sebelahnya. “Selama keinginanmu bisa saya penuhi, saya janji akan saya penuhi sebaik mungkin, Nadina. Jangan ragu untuk memintanya kepada suamimu. Itu akan menjadi sebagian usaha saya untuk memuliakanmu sebagai seorang istri yang saya cintai,” tutur Nadhif. Tak ada yang Nadina bisa
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan