Share

29. Di Luar Privasi

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Gelak tawa meletus di antara mereka. Nadina hanya bisa tersenyum pahit mengiringi tawa mereka. Dalam hatinya ia terus mengumpat dan berharap mereka tak akan menanyakan hal itu lagi.

Namun bukan sebuah keluarga jika melewatkan hal sedalam itu untuk dibahas dan dikomentari.

“Hei, jangan tertawa saja. Katakan! Bagaimana? Tidak mungkin kalian hanya berdiam diri selama sekian hari kalian telah bersama bukan?” imbuh lainnya.

“I– iya, Mas Nadhif melakukannya dengan baik!” sahut Nadian tampak amat canggung.

“Ahh, lihatlah! Dia bahkan memuji suaminya!” kekeh lainnya.

Wajah Nadina langsung berubah panik. Ia langsung merutuki jawabannya yang terdengar amat aneh dan mengerikan itu.

“Bu– bukan seperti itu! Maksud Nadina, Mas Nadhif ya! Ya Mas Nadhif telah memberikan semuanya dan bersikap amat baik. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan apapun!” sela Nadina berusaha memperbaiki ucapannya.

Namun seperti daun yang telah tertiup angin, tak akan bisa kembali dengan keadaan yang sama seperti sebelum
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   30. Perkara Pantas dan Tidak

    Nadina yang sedari tadi masih memandangi pecahan kaca pigora itu, akhirnya ia memindah pandangannya. Namun dirinya tercekat, jantungnya serasa berhenti berdetak, semua gerakannya membeku.“Mm– Mas Nadhif?” lirih Nadina memandang Nadhif yang hanya diam memandangnya getir lalu beralih pada seluruh kaca yang berserakan di lantai.Nadhif tak membalas, pemuda itu segera menutup pintu kamarnya lalu berjalan ke arah pigora pecah yang berada tepat di bawah kaki Nadina.“Apa yang terjadi padamu, Nadina? Mengapa harus menghancurkan foto kita berdua?” tanya Nadhif tanpa menatap Nadina.Perasaan Nadina campur aduk. Awalnya ia merasa puas bisa menghancurkan pigora foto itu, namun saat mendengar pertanyaan Nadhif itu jantungnya serasa hendak terlepas, hatinya serasa teriris-iris. Terlebih mata Nadhif yang tak dapat berbohong, terdapat kekecewaan besar yang tergambar pada mata pemuda itu.“Nadina, apa dengan menghancurkan foto kita pernikahan kita akan berakhir?” imbuh Nadhif kini menatap Nadina dal

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   31. Menjaganya

    “Nadina, saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu sekhawatir ini,” lirih Nadhif saat melihat wajah cemas Nadina menjadi raut utama di wajahnya. “Mas Nadhif seperti ini karena Nadina, Nadina minta maaf. Sebentar Nadina ambilkan obat merah!” pekik Nadina lalu bangkit dan berjalan hati-hati ke arah kotak P3K yang ada di dekat lemari. Nadina dengan segera mengobati luka Nadhif lalu membalutnya dengan penutup luka berwarna cokelat muda itu. “Terima kasih, Nadina! Maaf sudah merepotkanmu,” lirih Nadhif. “Jangan bilang seperti itu,” sahut Nadina. Singkat cerita, akhirnya usai mereka selesai membersihkan seluruh pecahan kaca itu, mereka kembali ke ruangan pertemuan itu bersama-sama. Nadhif masih memegang tangan Nadina sebagai bentuk penjagaannya untuk sang istri yang mungkin merasa kembali cemas. “Jangan berjauhan dengan saya, Nadina. Kita makan bersama, saya akan menjagamu.” Nadhif berbisik tanpa menoleh ke arah Nadina. Seluruh keluarga langsung memandang ke arah datangnya Nadhif dan Na

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   32. Kali Ini Benar Tulus

    Sore itu, usai melaksanakan sholat ashar di masjid besar pondok, Nadina dan Nadhif memutuskan untuk berkeliling area pondok bersama. Baru saja kaki mereka menapak keluar area masjid, para anak kecil langsung menghampiri Nadhif dan Nadina juga menyalami keduanya. Ada yang berbeda kali ini, jika pertama kali saat kedatangannya kemari disambut anak kecil ia sedikit kesal, kali ini Nadina lebih mampu menikmati kehangatan yang ada di sana. Ia benar menyapa para anak kecil itu dengan senyuman manis di wajahnya. “Gus sama Mbak Nadina mau ke mana?” tanya salah seorang anak kecil dengan hijab putih menutup kepalanya. “Hmm, ke mana, yah?” goda Nadina mencoel pipi si anak sambil melirik ke arah Nadhif yang tersenyum ke arahnya. “Haha, kakak lucu sekali! Masa tidak tahu hendak ke mana! Main ke rumah Alin aja, Mbak! Ibu Alin membuat es krim, lho! Enak sekali!!” pekik bocah berhijab putih bernama Alin itu. “Kedengarannya menarik,” tutur Nadina lalu menoleh ke arah Nadhif untuk bertanya apakah

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   33. Dengannya

    Mendengar celetukan yang mengusik pertemuan kedua mata antara Nadhif dan Nadina, sepasang suami istri itu pun segera bangkit dari dekapan. Nadina tampak malu saat sedikit menjauh dari sang suami, sementara Nadhif pun sedikit merasa canggung. “Yahh, adegan romantisnya sudah selesai!” celetuk orang itu lagi lalu berjalan ke arah Nadhif dan Nadina. “Ehm, Abi Ghafi!” pekik Nadhif lalu segera menyalami pria paruh baya yang seusia abinya sendiri itu. Sementara Nadhif segera menyalami pria bernama Ghafi itu, Nadina hanya terdiam dan mengerutkan dahinya. Setelah semua acara yang ia jalani, tak sekalipun ia melihat pria itu. Usai bersalaman, Nadhif menoleh ke arah belakang dan melihat raut kebingungan terpancar di wajah Nadina. Ia sedikit melambai untuk meminta Nadina menyusulnya. Nadina berjalan kecil lalu hanya sedikit membungkuk dan menunduk sebagai ganti salamnya. “Ini istri Nadhif, Abi! Nadina Hafisa Rahmi. Nama panggilannya Nadina!” pekik Nadhif dengan bangga menyebutkan perkenalan

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   34. Memberi Jarak

    Nadina langsung memundurkan tubuhnya dan menegakkan pandangannya saat melihat lengan kirinya telah bersinggungan dengan lengan tangan orang lain. Matanya terkejut saat melihat seseorang yang berdiri di hadapannya kini. Sontak saja ia menoleh ke arah Nadhif. Dilihatnya sang suami masih sibuk membayar pigora pilihan mereka, Nadina segera menarik tangan orang di hadapannya itu menjauh dari pandangan Nadhif. “Eh, Nadina? Ada apa?” “Mas Dewa kenapa ada di sini?” tanya Nadina sambil terus melirik ke arah Nadhif. Sangat jelas ia amat takut jika sang suami mengetahui ia berada di sana bersama Sadewa. “Aku sedang menemui klienku yang menawarkan jasa suvenir untuk pernikahan, Nadina. Kamu datang kemari dengan Nadhif?” tanya Sadewa. Nadina mengangguk cepat. “Tapi bisa tidak, Mas Dewa jangan berkeliaran dulu di sini sebelum aku dan Mas Nadhif pergi? Sebentar lagi kami akan pulang kok!” pekik Nadina. “Mengapa begitu? Ini pertemuan yang tidak disengaja, Nadina. Mengapa harus bersembunyi dari

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   35. Tawaran sang Pujaan

    “Iya, Sadewa mencarimu kemari. Ada yang perlu ia bicarakan juga katanya. Kamu tentu tidak apa jika menemuinya bukan?” tutur Nadhif. Nadina tak bisa membalas. Ia hanya berdiam diri sampai akhirnya Sadewa menyadari keberadaan keduanya dan langsung berdiri dari sofa. “Nadina, hai!” pekik Sadewa dari tempatnya, Nadina melirik ke arah Nadhif yang memberinya kode untuk menemui Sadewa. “Mas Nadhif tidak ikut ke sana? Bukankah Mas Nadhif bilang tidak baik membiarkan Nadina bicara berdua saja dengannya?” tutur Nadina. “Saya ada di sebelah jika memang kamu membutuhkan saya. Saya sudah bilang kepada umi jika ada seseorang yang hendak menemuimu. Kamu tidak perlu khawatir akan disalahkan karena hanya berbincang berdua dengannya.” Nadhif berucap dengan tatapan datar yang dirasa Nadina sangat berbeda dengan Nadhif yang ia kenal. Akhirnya Nadina berjalan menuju Sadewa lalu duduk di hadapan pria itu setelah melihat Nadhif meninggalkan ruangan itu. “Hai, Nadina! Apa kabar? Apakah aku mengganggu pa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   36. Menyembunyikannya

    “Mas Nadhif bilang, Mas Dewa hanya menunggu satu jam dengan berbincang bersama dengan mas. Tetapi rupanya lebih dari satu jam? Sebenarnya berapa jam dia sudah menunggu Nadina di sana tadi, Mas?” tanya Nadina vegitu mengunci pintu kamarnya rapat. “Saya tidak pasti melihat jam berapa kedatangannya, Nadina. Saya sedang berbicara kepada seorang santriwan di depan dalem saat dia datang. Jadi saya hanya memperkirakan kapan kedatangannya. Memangnya ada apa? Dia mengeluh tidak suka berbicara dengan saya?’ sahut Nadhif kini membuat Nadina mengalihkan wajahnya. Wanita itu mendesah cukup panjang seolah tak puas dengan jawaban yang diberikan suaminya itu. “Mas Dewa kemari untuk mencari Nadina bukan? Lantas, mengapa Mas Nadhif tidak langsung memanggilnya saja? Kasihan jika dia terlalu lama menunggu,” tutur Nadina kemudian. “Dia datang terlalu pagi untuk bertamu terlebih menemui istri seseorang. Lagi pula saya suamimu ‘kan, Nadina? Sebenarnya ia bisa menitipkan pesan itu kepada saya untukmu. Ta

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   37. Pasar dan Hiruk Pikuknya

    Nadina dan Aminah kini berjalan di antara deretan penjual sayur dan ikan yang bercampur. Seperti pasar tradisional yang masih kental dengan tawar menawar, pasar itu kini penuh kebisingan dialog antara sang penjual dengan sang penawar, belum lagi suara anak kecil yang menangis. Nadina sedikit memicingkan mata saat harus berjalan di antara lumpur. Semalam memang sebentar hujan hingga tanah di sana sedikit becek untuk dipijak. “Biasanya Nadina dengan Ibu pergi ke pasar mana?” tanya Aminah. Nadina sedikit meringis, sudah tergambar jika wanita itu jarang pergi ke pasar untuk menemani sang ibu. “Jujur saja Nadina jarang turut serta dengan Ibu, Umi. Selain setelah SMA Nadina langsung merantau untuk kuliah, Nadina juga langsung menikah setelah lulus,” tutur Nadina. “Ahhh, iya umi lupa! Baiklah, sekarang jadikan pasar ini sahabatmu, yah! Umi akan tunjukkan di mana kios tempat umi berbelanja biasanya!” tutur Aminah membuat Nadina merasa sangsi. “Bersahabat dengan pasar? Kumuh berlumpur be

Latest chapter

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   222. Trauma

    Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   221. Lembar Baru?

    Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   220. Keputusan Terbaik

    Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan

DMCA.com Protection Status