Nayla telah menemukan tempat di mana yang mobilitasnya lebih rendah dan masyarakatnya sibuk dengan sendiri-sendiri. Nayla mengurus semua keperluan yang penting-penting saja. Asal nanti Nayla dan ibunya bisa hidup tenang tanpa ada gangguan. Dar mulai tiket, surat pindah, Nayla mengurusnya sendiri. Ia benar-benar tidak mau diketahui oleh siapa pun. Jadi Nayla memutuskan untuk melakukan semuanya sendiri. Niat Nayla adalah meninggalkan apa yang ada di kota ini tanpa terkecuali. Kira-kira tiga hari tela berlalu. Nayla sudah mengatur banyak berkas yang diperlukan untuk dirinya pindah. Nayla tidak dikunjungi oleh siapa pun. Entah itu Yogi atau ibu Zidane. Nayla selalu menolak ketika mereka mengirimkan pesan akan datang menjenguk. Nayla hanya menjawab kalau ibunya sedang perlu istirahat dan tidak bisa diganggu. Untungnya kedua orang itu percaya padanya. Kondisi ibunya saat ini sudah bisa dikatakan sembuh. Walaupun tidak sembuh total. Dokter memperingati Nayla untuk terus menj
Yogi terus menghubungi nomor Nayla berkali-kali. Sejak ia terakhir kali menelepon Nayla. Dia sudah tidak bisa lagi menghubungi Nayla. “Kenapa dia tidak bisa lagi dihubungi?” tanyanya. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Dari siang ia sudah mencoba menghubungi Nayla. Namun nomor telepon Nayla sudah tidak aktif. Yogi pun bergegas untuk menemui Nayla di rumah sakit. Sudah tiga hari ia menahan diri untuk tidak bertemu dengan Nayla. Ia membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Perasaannya mendadak tidak enak. Entah apa yang terjadi pada Nayla, yang jelas Yogi merasa ada yang tidak beres. Sampai di rumah sakit. Kakinya melangkah ke ruang rawat ibu Nayla. Ia berjalan cepat. Sudah tidak sabar bertemu dengan Nayla. Rindunya telah menggebu-gebu karena tiga hari tak melihat senyuman Nayla. Terakhir kali melihat Nayla, saat ia mengantar dia pulang menjenguk ayahnya. Yogi mengetuk pintu ruang rawat Maya. Namun tak kunjung dibuka. Seorang suster yang berjalan menghampiri Yogi.
Yogi menghubungi Annisa untuk bertanya kabar Nayla. [Sa, kamu tahu di mana Nayla?] Annisa yang sedang fokus pada layar monitor komputernya pun menoleh pada ponsel yang berbunyi. Nama Yogi tertera pada notifikasi. Annisa pun membuka pesan tersebut. Ia bingung dengan pesan yang Yogi kirimkan padanya. Ia saja sudah putus komunikasi sejak ia bertemu dengan Nayla saat ia menjenguk dan berakhir diusir. [Di rumah sakit ‘kan?] Annisa hanya tahu kalau Nayla masih berada di rumah sakit. [Nggak, Nay. Ibu Nayla sudah sembuh. Dia tadi pagi sudah meninggalkan rumah sakit dan rumahnya sudah dijual. Bukan Nayla lagi yang menempati rumahnya] Annisa terkejut membaca pesan dari Yogi yang mengabarkan kalau sahabatnya telah pergi meninggalkan kota ini. Annisa pun tidak tahu apa-apa soal Nayla. Yogi mengirimkan lagi pesan padanya. [Kalau ada kabar dari Nayla tolong hubungi aku, ya, Sa] Annisa mengiyakan. Ia juga tidak tahu nanti akan mendapatkan kabar baik atau tidak dari Nayla.
Malam ini, Annisa masak dengan dibantu oleh Zidane. Namun bukannya makin cepat selesai, Zidane malah semakin membuat waktu memasak lama. Setelah shalat magrib, Annisa sudah mencuci sayur dan beberapa cabai serta tomat. Kini tinggal dipotong-potong saja. Zidane mengambil alih sayurannya. Ia memotong sayur dengan dibantu penggaris untuk mengukur panjang sayuran agar terlihat sama. Annisa menarik napas panjang. Ia harus sabar menghadapi suaminya yang membuat dirinya ingin berteriak di telinga Zidane. “Mas ... potong aja kira-kira. Nggak usah pakai penggaris juga. Emang kita makannya mau lihat panjang pendeknya? Sama besar atau kecilnya? Potong saja, Mas,” tutur Annisa. “Kata kamu sama panjang, jadi aku pakai penggaris,” ujar Zidane terlalu polos. Entah Zidane sedang serius atau hanya bercanda. Annisa geregetan sendiri dengan suaminya. “Ya maksudku nggak gitu, Mas. Udahlah aku aja yang masak,” ujar Annisa mengerucutkan bibirnya. “Katanya mau dibantu, udah biar ak
Pagi-pagi sekali Zidane ditelepon oleh ayahnya. Ia disuruh ayahnya untuk kembali ke perusahaan sang ayah. Karena Alfian merasa Zidane sudah siap menjalankan perusahaannya. “Kayson, kamu tahu kemarin saat perusahaan di tanganmu. Semua berjalan dengan lancar tanpa hambatan,” ujar Alfian dari telepon. Zidane sudah tidak mau lagi berkecimpung pada perusahaan ayahnya. Cukup kemarin dirinya membantu sang ayah. Mungkin kalau ada sesuatu yang penting lagi. Zidane baru bisa kembali untuk membantu. “Tidak bisa, Pah. Aku sudah selesai dengan perusahaan Papah. Silakan Papah lanjutkan perusahaan seperti dulu-dulu. Aku juga kembali ke perusahaan istriku seperti semula. Mungkin aku memang mampu menjalankan perusahaan Papah. Namun tidak dulu, Pah. Aku akan menjalankan tugasku di perusahaan istriku.” Terdengar suara helaan napas Alfian dari ponsel. Alfian memang sangat membutuhkan Zidane. Ia ingin menikmati masa tuanya dan menyerahkan perusahaan pada anaknya. Namun anaknya tetap kukuh pad
Annisa membawa Zidane ke rooftop. Di rooftop tersebut begitu sepi hanya terdapat satu meja dan dua kursi di tengah-tengah. Juga panggung kecil yang ada di pojok. Annisa pun membukakan penutup mata Zidane saat itu juga. Penglihatan Zidane yang awalnya gelap, kini terbuka menatap rooftop yang telah diubah sedemikian rupa. Angin sepoi-sepoi membuat Zidane merasa tenang. Tadi dirinya yang merasa lelah dan letih pun semuanya telah luruh ikut terbang dibawa angin. Ia menoleh pada Annisa. “Kamu nyiapin semua ini?” tanyanya. Mereka berdua pun duduk di kursi yang telah disediakan. Terdapat satu piring pasta dengan saus bolognese. Juga dua minuman bersoda yang telah dituang di gelas. Zidane menyuapi istrinya. Annisa menerima suapan dari Zidane. Begitu juga dengan Annisa. Ia menyuapi suaminya. “Aku nggak nyangka istriku ini bisa romantis,” ujar Zidane yang menjawil hidung Annisa. Annisa menahan malu. Ia tahu semua karyawan bersembunyi di balik tirai-tirai yang terpasang
Kembang api mewarnai gelapnya langit. Jadi acara berikutnya adalah pertunjukan kembang api. Setelah kembang api habis dinyalakan, lampu kembali dinyalakan. Tiara dan Rizky menutup acara itu. Mereka sekali lagi meminta maaf dan menyambut ulang Zidane yang telah kembali. “Untuk Pak Zidane yang kami hormati, selamat datang kembali ke perusahaan. Semoga perusahaan ini tetap berkembang pesat,” ucap Rizky. Semua orang mengaminkan. Acara ini ditutup pukul 12 malam. Zidane menggandeng Annisa sampai ke parkiran. “Gimana, Mas? Acara malam ini seru atau tidak?” tanya Annisa mengajak suaminya mengobrol di dalam mobil. “Cukup seru. Mas tidak pernah main permainan tadi yang goyang sambil nahan balon,” jawab ZIdane. Annisa membelalakkan matanya. “Beneran?” tanya Annisa tak percaya. “Iya, tiap ada lomba apa pun kecuali cerdas cermat, mas tidak pernah ikut,” jelas Zidane. “Jadi tadi yang pertama?” Zidane menganggukkan kepalanya. “Iya, makanya mas tadi cukup excited. Bagus
“Argh!” Vivi terbangun dari tidurnya. Ia memegangi dada yang berdegup kencang. Napasnya naik turun. Ia juga berkeringat saking terasa nyatanya mimpi Vivi. Vivi meminum air yang tersedia di nakas. Kemudian mengatur napasnya agar lebih normal. Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Ia mimpi buruk tentang Nayla. Saking khawatirnya, mimpi Vivi begitu buruk. Ia menyandarkan punggungnya pada headboard ranjang. Vivi tidak bisa tidur lagi. Saking takutnya mimpi itu berlanjut. Alfian tidak terganggu tidurnya. Ia masih pulas, mungkin karena Alfian kekurangan waktu tidur hingga tidak terganggu sama sekali. Vivi tetap terjaga di jam tiga dini hari. Ia tidak bisa tidur sama sekali. Bayangan Nayla dalam mimpi menghantui dirinya. “Kenapa mimpiku begitu buruk? Apa ini sebuah petunjuk?” Tangan Vivi sampai tremor. Ia tidak bisa mengendalikan diri. Jantungnya juga berdegup kencang. Ia memegangi dada yang berdebar-debar. “Ya Tuhan, apa maksud dari mimpi ini?” tanyanya menatap langit-lang