"Kau mau ke mana sepagi ini sudah rapi?" tanya Zidane.
Matanya menyipit saat melihat istrinya sudah berpenampilan rapi. Gadis berhijab itu berjalan mendekati Zidane yang sedang menata makanan untuk sarapan di atas meja makan. Annisa menggeser salah satu kursi lalu mendudukinya dengan santai.
"Aku sudah bosan terlalu lama berdiam diri di rumah. Aku merindukan suasana kantor," ucap Annisa santai.
Seminggu berada di rumah tanpa aktivitas adalah waktu yang sangat lama dan membosankan bagi Annisa. Dia merindukan suasana bekerja di kantor. Setidaknya, dia bisa mengerjakan sesuatu yang berguna dari pada berdiam bagaikan pengangguran.
Zidane tak langsung menyahuti, pria beralis tebal itu mengernyitkan kedua laisnya menatap wajah sang istri dengan pandangan yang sulit dimengerti.
"Bosan?" ulang Zidane.
Annisa mengangguk mengiakan sambil mengambil nasi goreng ke dalam piringnya.
"Ya, aku merasa penat setiap hari hanya diam. Itu membuatku
Zidane tekekeh pelan tanpa dosa saat melihat sang istri tak berhenti menggerutu kesal kepadanya. Bagaimana tidak, penampilan yang semula rapi dan wangi siap untuk berangkat ke kantor, seketika menjadi sembrawut karena ulahnya yang tak bisa menahan diri untuk tidak melakukan adegan romantis di atas ranjang.Perlahan dia turun dari ranjang, mengikuti langkah Annisa yang hendak ke kamar mandi. Namun, langkahnya tertahan di ambang pintu saat tak mendapat izin masuk dari sitrinya itu."Kau mau ke mana?" tanya Annisa ketus sambil menyipitkan matanya menatap wajah tanpa dosa Zidane."Mau ikut mandi," sahut Zidane sambil menyeringai dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.Refleks, Annisa langsung memelototkan matanya menatap Zidane dengan sorot galaknya."Tidak boleh!" tolak Annisa tegas. Dia segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam agar Zidane tidak bisa menerobos masuk.Akan sangat berbahaya jika sampai Zidane dibiarkan ikut mandi bersama.
Annisa menatap Zidane dalam diam yang sedang fokus mengemudi mobil menuju ke kantor. Wajah pria itu nampak kusut walau sikapnya tetap tenang. Tiba-tiba saja, dering ponsel dalam tas Annisa berbunyi, menarik gadis itu dari lamunannya. Dia langsung menggeser icon berwarna hijau begitu tahu orang yang menghubunginya.Gadis berhijab itu berbicara, sekilas menoleh melihat ke arah Zidane yang masih fokus mengemudikan mobilnya. Tak lama kemudian, sambungan telepon terputus dan Annisa kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas."Kenapa kau tidak mengaktifkan ponselmu?" tanya Annisa kepada suaminya. "Baru saja Rizky menghubungiku. Dia berusaha menghubungimu dari tadi, tapi katanya tidak bisa," ucap Annisa lagi.Zidane menoleh, tidak langsung menjawab perkataan istrinya. Dia merogoh ponsel dari dalam saku jas yang dikenkanannya dengan satu tangan."Ah, iya. Aku lupa mengaktifkannya," ucapnya tenang sambil memperlihatkan layar benda pipih itu kepada Annisa. Sepersekia
Zidane menghentikan mobilnya tepat di parkiran kantor dan langsung mematikan mesinnya. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya melihat ke arah sang istri yang masih menunggunya berbicara."Bukan masalah serius. Aku pasti akan segera menyelesaikan semuanya," ucap Zidane sambil tersenyum tipis kepada Annisa."Kau yakin tidak butuh bantuanku?" tanya Annisa sambil menatap dalam-dalam wajah suaminya."Hm."Zidane kembali tersenyum, dia mengusap puncak kepala Annisa yang terhalang hijab dengan lembut."Yang perlu kau lakukan hanya cukup berada di sampingku dan tetap mencintaiku selamanya," sambung Zidane lagi.Tak ada yang terucap dari mulut Annisa. Dia hanya diam sambil memerhatikan wajah Zidane. Seolah sedang berusaha membaca apa yang ada di dalam pikiran suaminya itu sekarang."Jika kau membutuhkan bantuanku, katakan saja. Jangan merasa sungkan. Aku pasti akan berusaha membantumu," ucap Annisa serius. "Itu pun kalau kau menganggapku
Annisa sama sekali tak beranjak dari tempat duduknya menyelesaikan pekerjaan yang sudah menggunung di atas meja. Dia bahkan melewatkan waktu makan siangnya karena terlalu fokus pada pekerjaannya. Suara ketukan pintu dari luar sedikit menarik fokus Annisa. Dia lngsung mengizinkan orang itu masuk ke ruangannya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop yang sedari tadi terus menyala. Langkah Zidane terhenti sejenak di ambang pintu sambil melihat istrinya yang sama sekali tidak menyadari kehadirannya. Dia berjalan mendekat lalu menaruh kantung kresek berwarna putih berisi makanan di atas meja kerja Annisa. "Kerja boleh, tapi jangan sampai lupa makan," ucapnya sambil menatap Annisa yang saat itu masih fokus pada layar laptopnya. Mendengar suara yang sangat familiar, gadis itu pun mendongak untuk memastikannya. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas mengulas sebuah senyum yang sangat manis. "Kukira kau Tiara," sahut Annisa tenang. "Sedang apa kau d
"Zidane," panggil Rizky. Dia langsung berjalan menghampiri CEO-nya yang sedang ingin dia temui untuk menyampaikan informasi penting terkait jadwal meeting. "Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini," ucap Rizky. Dia membuka buku catatan kecil miliknya lalu kembali menatap wajah Zidane. "Sore ini kau ada meeting dadakan dengan pak Pramana," jelasnya. "Bukankah meeting itu besok lusa?" "Ya, tapi baru saja pak Pramana menghubungiku, memberitahu kalau jadwalnya dimajukan menjadi pukul lima sore hari ini karena lusa dia akan pergi ke luar negeri," jelas Rizky. Zidane memainkan bibirnya kemudian mengangguk mengiakan. "Kalau begitu kau siapkan semua dokumen yang diperlukan untuk meeting sekarang!" titahnya sembari berjalan melanjutkan niatnya pergi ke ruang kerjanya. "Aku sudah menyiapkan semuanya," jawab Rizky yakin. "Baguslah," ucap Zidane datar. Sepersekian detik kemudian, dia berhenti dan berbalik melihat Rizky yang berjalan
Annisa bergeming, terkejut melihat wanita yang ada di hadapannya sekarang. Dia pernah melihat wajah itu sekali saat acara makan malam bersama Nayla beberapa waktu yang lalu. "Waalaikumsalam," jawab wanita paruh baya itu dengan nada yang terdengar tidak ramah. Dia menatap tajam wajah Annisa dari atas ke bawah lalu ke atas lagi dengan sorot yang menampakkan ketidaksukaannya. "Ta-tante," gumam Annisa gugup. Matanya mengejap seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Setelah kesadarannya terkumpul, dia langsung bergegas membuka pintu rumahnya dan mempersilakan tamu tak terduga itu masuk bersamanya. "Silakan masuk, Tante," ucap Annisa. Vivi bergeming sesaat masih menatap Annisa dengan sorot yang galak, lalu dia berjalan memasuki bangunan rumah tempat tinggal putranya yang baru dia ketahui sekarang. "Kenapa kau pulang sendiri? Di mana Kayson?" tanya Vivi bernada ketus. "Dia ada meeting penting bersama klien," jawab Annisa. Gad
Annisa merenggangkan tubuhnya dari pelukan Zidane. Dalam diam dia menatap teduh pendar bola mata suaminya yang nampak begitu tulus."Apa kau tidak mau mendengar apa yang kukatakan kepada mamamu saat dia meminta aku untuk meninggalkan kau?" tanya Annisa.Sebelah alis Zidane naik sambil menatap Annisa. "Apa yang kau katakan?" tanyanya penasaran.Zidane melihat istrinya menghela napas panjang sambil memainkan bibir dengan ekspresi seperti sedang berpikir sesuatu."Aku bilang kalau aku tidak akan pernah meninggalkan kau, kecuali kau yang menginginkannya," ucap Annisa sambil menatap Zidane."Mamamu terlihat sangat kesal begitu aku mengatakannya. Tapi aku tidak peduli itu," sambungnya lagi sambil mengangkat kedua bahunya tak acuh.Annisa terdiam beberapa detik untuk menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya."Aku memang bukan wanita baik jika dibandingkan dengan wanita lainnya, aku juga tidak bisa berjanji akan menjadi istri yang sempurna, ta
Annisa dan Zidane berjalan beriringan ke luar dari area kantor menuju ke restoran yang biasa mereka kunjungin untuk mencari makan siang. Langkah Annisa terhenti tepat saat setelah dia membuka pintu dan akan masuk ke mobil."Ada apa? Apa kau melupakan sesuatu?" tanya Zidane terheran. Dia pun ikut mengurungkan niatnya untuk masuk ke mobil."Sebenarnya siang ini Nayla mengajakku bertemu. Mungkin sekarang dia sudah menungguku di restoran," ucap Annisa."Untuk apa kalian bertemu?" tanya Zidane.Entahlah, sejak saat mengetahui bahwa Nayla adalah wanita yang akan dijodohkan dengannya membuat Zidane merasa tidak suka kepada gadis itu. Rasanya Zidane tidak ingin istrinya memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan Nayla lagi."Memangnya kenapa kalau aku bertemu dengan Nayla? Apa kau sudah lupa kalau kami itu bersahabat sejak lama?" Annisa mencercah Zidane dengan sederet pertanyaan."Bukan begitu, tapi aku merasa sepertinya kau harus berjaga jarak den
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe